Terima kasih semuanya. Semoga suka. See Soon
Amira bersiap pergi ke kantor Wijaya. Wanita itu membawakan makanan untuk suaminya. Dia ingin memberikan kejutan.“Non mau pergi ke kantor?” tanya bibi.“Iya. Bibi minta izin ke penjaga depan ya. Aku pakai sopir juga tidak apa-apa.” Amira memegang tangan bibi. “Bibi takut Pak Wijaya marah, Non.” Bibi benar-benar khawatir.“Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku langsung ke kantor Pak Wijaya,” ucap Amira tersenyum.“Janji ya, Non.” Bibi melihat tas bekal yang dibawa Amira.“Iya. Aku janji. Lagian aku mau kemana lagi selain ke tempat Pak Wijaya.” Amira terlihat senang. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah. Wanita itu juga ingin membuat Wijaya bahagia dengan kedatangannya ke kantor tanpa memberi kabar dulu.“Aku sudah hubungi Pak Dody untuk memastikan Pak Wijaya ada di kantor, tapi pakai ponsel bibi,” ucap Amira. “Apa?” Bibi terkejut.“Aku tahu, Wijaya memasang penyadap di ponselku.” Amira menatap bibi.“Apa Non Amira juga sudah tahu ada banyak kamera tersembunyi di rumah ini?” ta
Wijaya menghentikan mobil di depan pintu utama. Itu artinya dia masih akan pergi ke luar. Amira benar-benar mampu mengubah dan mengacaukan jadwal Wijaya Kusuma yang sudah tersusun rapi. Wanita itu bahkan bisa membuat sang suami keluar dari ruang rapat yang penting dan membuat semua orang heran.“Tetap diam,” tegas Wijaya pada Amira yang mau turun dari mobil.“Kenapa?” tanya Amira melihat pada Wijaya yang sudah turun. Pria itu mengitari mobil dan membuka pintu untuk istrinya. Dia segera menggendong sang sekretaris tercinta keluar dari kendaraan roda empat.“Kemarin baru saja terluka dan hari ini sudah pergi jeluar rumah.” Wijaya menatap tajam pada Amira. Dia marah karena wanita tercintanya terluka lagi.“Aku kan mau memberikan kejutan. Aku tidak tahu kamu tidak suka.” Amira membuang wajahnya dengan bibir cemberut.“Aku suka, Sayang. Tetapi, kamu masih sakit. Terima kasih.” Wijaya mengecup bibir Amira yang cemberut.“Sekarang kita obati luka kamu dan memeriksa tubuh untuk memastikan tida
Wijaya masuk ke dalam ruang tengah. Matanya meneliti ruangan rumahnya. Pria itu benar-benar sangat marah ketika ada orang yang mengganggu apalagi menyentuh Amira.“Lucas!” teriak Wijaya yang tahu bahwa kedua orang tua Luna ada di rumah.“Wijaya.” Lucas segera keluar dari kamar.“Di mana Mariama?” tanya Wijaya. Pria itu langsung menyebutkan nama mertuanya.“Ada apa?” tanya Mariama yang juga berdiri di samping Lucas. “Jangan pernah menyakiti Amira. Aku pastikan kamu akan kehilangan tangan itu!” Wijaya menatap tajam pada Mariama.“Kamu membela seorang pelacur!” teriak Mariama.“Plak!” Sebuah tamparan yang kuat mendarat di pipi Mariama hingga wanita itu tersungkur di lantai dengan bibir berdarah dan pipi membiri.“Ma!” teriak Luna.“Mariama.” Lucas sangat terkejut. Dia duduk memeriksa istrinya.“Jika kamu berani mengumpat Amira. Akan aku buat kamu bisu.” Wijaya memperhatikan Luna bersama kedua orang tuanya.“Kamu jahat, Wijaya. Aku istri kamu dan mereka orang tuaku,” tegas Wijaya. “Kamu
Luna dan kedua orang tuanya berkemas untuk meninggalkan rumah Wijaya karena telah diusir oleh sang pemilik rumah. Harga diri mereka benar-benar telah direndahkan oleh sang menantu dan tidak dianggap sama sekali.“Kita pindah ke apartemenku saja,” ucap Luna.“Papa dan mama pulang ke rumah kita. Walaupun sedikit lebih jauh dari sini.” Mariama duduk di sofa. Wanita itu sedang mengobati lupa pada bibir dan pipinya yang bengkak.“Apa yang Mama lakukan kepada Amira?” tanya Luna.“Mama hanya memaki wanita murahan itu dan tenyata Wijaya datang,” jawab Mariama.“Apa Mama tidak memukul dan menyakiti langsung wanita itu?” Luna menatap Mariama.“Mama belum sempat hanya berhasil mendorongnya jatuh ke tanah,” ucap Mariama.“Harusnya Mama buat Amira terluka.” Luna tersenyum.“Luna, itu saja sudah membuat Mama dalam bahaya. Wijaya sangat mengerikan. Apa kamu tidak melihat Mama terluka?” Mariama benar-benar kesal dengan sikap Luna“Aku benar-benar membenci wanita itu, Ma. Pikiran ku sudah kacau gara-ga
Leon dan Jack benar-benar bekerja keras. Dua orang itu tidak lagi dikunjungi Wijaya karena sang bos lebih sering bersama istri keduanya. “Kita tidak bisa menghubungi bos lebih dulu,” ucap Jack. “Tidak bisa. Bos sedang berada di dekat istrinya. Dia tidak mau Nyonya Amira mengetahui tentang dunia malam yang kelam.” Leon menatap pada Jack. “Aku sudah berhasil menarik Perusahaan Lucas dengan bisnis siluman.” Jack meletakkan berkas di atas meja. “Keuntungan akan masuk Perusahaan bersama kita, tetapi tidak akan bisa dideteksi sehingga tidak ada yang tahu bahwa semua adalah milik Pak Wijaya.” Jack duduk berhadapan dengan Leon. “Aku juga sudah menemukan dua perawat bayaran Cantika, tetapi posisi mereka sangat jauh di luar pulau ini. Kita harus pergi dengan pesawat dan kapal laut juga. Tidak ada lokasi mendarat untuk jet pribadi.” Leon terlihat sangat serius. “Apa?” Jack terkejut. “Cantika benar-benar penuh rahasia. Kenapa dia menyembunyikan dua perawat itu hingga ke pelosok hutan sehing
Kristian berada di ruang kerjanya yang ada di rumah. Pria itu cukup sibuk dengan banyak tugas. Dia bahkan harus terhubung dengan Perusahaan Wijaya yang menjadi saingan cinta.“Aku rindu Amira. Dia bahkan tidak masuk kantor.” Kristian tampak melamun. Pria itu masih bertanya tentang Amira pada Dody sehingga dia tahu wanita itu sedang sakit. “Andai aku punya kesempatan bertemu dengan Amira. Aku sangat ingin menghubunginya.” Kristian merebahkan tubuhnya di sofa. Dia telah mencari Amira kemana-mana, ketika bertemu wanita itu sudah berada di tangan Wijaya Kusuma.“Kenapa harus bersaing dengan Wijaya Kusuma? Aku benar-benar tidak mampu. Haruskah aku meminta Amira dari pria itu?” Kristian benar-benar gelisah. “Apa yang kamu pikirkan?” Dody duduk di depan Kristian. “Amira saki tapa, Pa?” tanya Kristian.“Wijaya tidak memberitahuku,” jawab Dody.“Hm. Di mana Amira tinggal, Pa? Apa dia bersama Wijaya?” Kristian menatap Dody.“Ya. Mereka tinggal bersama. Sebaiknya kamu melupakan Amira dan menca
Amira sudah bersiap pergi ke kantor. Wanita cantik itu mengenakan kemeja lengan panjang dan celana hitam panjang. Dia berdiri di depan cermin untuk merapikan diri.“Kamu mau kemana?” tanya Wijaya memeluk Amira dari belakang. Pria itu baru keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggangnya sebatas paha.“Basah.” Amira memukul lengan kekar Wijaya yang tepat di perutnya.“Hanya rambutku saja,” ucap Wijaya mencium leher Amira.“Apa kamu sudah mau masuk kerja? Itu artinya, kita sudah bisa bercinta.” Wijaya tersenyum.“Tidak bisa. Aku sedang mentruasi,” tegas Amira.“Apa? Itu tidak mungkin.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap padanya.“Benar. Biasanya memang begitu. Setelah masa nifas, maka akan langsung dilanjut dengan mentruasi.” Amira tersenyum puas.“Kamu tidak bohong kan?” Wijaya menatap Amira dengan tajam. Dia tidak ingin wanita itu sengaja menghindarinya.“Apa perlu aku perlihatkan di kamar mandi?” tanya Amira.“Tidak. Aku percaya kepada kamu,” j
Amira menghentikan ciuman Wijaya. Dia mendengar ketukan pintu dan suara Dody. Wanita itu segera turun dari pangkuan suami dan merapikan diri.“Ada apa, Sayang?” Wijaya memperhatikan Amira. Mereka seperti pasangan yang sedang selingkuh karena bermesraan secara sembunyi karena tidak mau diketahui orang lain.“Ada orang,” jawab Amira.“Aku rasa Pak Dody,” ucap Amira berjalan mendekati pintu.“Andai aku boleh publikasikan status kamu. Kita tidak perlu seperti ini, Amira. Aku akan perlihatkan pada dunia. Betapa aku mencintai kamu hingga menggila.” Wijaya menghela napas dengan berat. Pria itu pun beranjak dari kursi dan merapikan jas serta dasinya yang miring karena ditarik Amira. “Pak Dody. Silakan masuk.” Amira tersenyum pada Dody.“Apa Anda sudah sehat?” tanya Dody masuk ke dalam ruangan Wijaya.“Ya. Terima kasih selalu ada untuk membantu Pak Wijaya.” Amira benar-benar mampu menenangkan dirinya karena dia sudah terbiasa bermesraan dengan Wijaya. Dia bukan wanita yang mengejar pria itu, t
Anto dan anak buahnya bergerak di malam hari. Mereka meninggalkan pulau dengan kapal. Bayi tampan dengan kulit putih bersih berada dalam gendongan Sulas. Putra dari Andika dan Amira tertidur lelap. Lelaki kecil itu mampu bersaing dengan Keano. Lahir dari bobot dan bibit terbaik kedua orang tuanya.Wijaya dan Amira tidur dalam senyuman. Mereka tidak tahu bahwa putra yang dijaga dan dilindingi dari kejauhan akan datang sendiri ke kota dan tidak sulit untuk digapai. Berbeda ketika berada di pulau terpencil. Ada bgitu banyak penjaga dan lokasi yang sulit dijangkau.Jack yang selalu memantau pulau menggantikan pekerjaan Leon mendapatkan laporan dari anak buah mereka. Pria itu tidak bisa memberikan perintah menyerang dan merebut Devano karena Wijaya yang tidak bisa dihubungi. Dia hanya bisa terus mengikuti dan mengawasi pergerakan Anto beserta rombongannya. “Ada apa?” tanya Leon.“Devano dibawa keluar pulau. Apa kita rebut sekarang?” Jack melihat pada Leon.“Bukankah ini memang rencana Pak
Cantika terlihat melamun. Wanita itu benar-benar telah banyak berkorban untuk Andika dan sang suami menjadikan dirinya pemuas nafsu sebagai pengganti Amira. “Apa aku harus membunuh Devano?” tanya Cantika pada dirinya yang duduk di depan cermin meja rias.“Tetapi, jika aku tidak bisa hamil artinya kami tidak akan pernah punya anak sedangkan Devano adalah putra kandung Andikan. Darah daging suamiku.” Cantika benar-benar gelisah.“Aku akan membawa Devano pulang. Mengatakan kepada Andika bahwa itu anak saudara jauh yang ditinggal orang tuanya. Aku akan meminat izin untuk mengadopsinya dengan alasan sebagai pemancing agar bisa hamil dan kasian.” Cantika tersenyum dengan rencananya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi penjaga Devano.“Halo, bawa Devano pulang. Aku menginginkan dia. Pulau itu ambil saja untuk kalian,” ucap Cantika.“Baik, Bos.” Pria di seberang panggilan sangat senang. Mereka memiliki pulau pribadi dengan laut yang kaya. “Aku akan membesarkan anak Andika dan Amira. Itu tid
Luna melakukan penerbangan ke Amerika bersama Robert dan Bella. Wanita itu akan memulai karier sebagai aktris dan melanjutkan status modelling. Mereka sudah berada di apartemen milik Perusahaan.“Hah! Akhirnya aku bisa tinggal di tempat yang mewah lagi.” Luna menghempas tubuhnya di kasur.“Apartemen ini benar-benar mewah,” ucap Bella memperhatikan sekeliling. Kamar itu sangat luas dan lengkap. Ada dapur, ruang tamu dan bahkan balkon untuk bersantai. Kolam renang di atas Gedung.“Iya. Amerika memang gila dalam dunia entertaimen. Apalagi perfilm.” Luna beranjak dari kasur dan berjalan ke balkon.“Pemandangan yang indah. Aku suka tempat ini. Mahal.” Luna membentangkan tangan menghidup udara pagi.“Belum kontrak kerja, tetapi kita sudah dapat kemewahan.” Bella mendekati Luna yang berada di balkon.“Wijaya pasti punya saingan di Amerika ini. Aku ingin membuat pria itu menderita dengan kehilangan Amira. Aku akan balas dendam.” Luna mengepalkan tangannya.“Dia mencintai Amira dan membuang dir
Amira berada di halaman belakang. Wanita itu bermain bersama bayi tampan dan cerdasnya. Wanita itu benar-benar telah mengiklaskan Devano dengan adanya Keano.“Non, hari sudah mulai gelap. Sebaiknya Anda dan Keano masuk ke dalam rumah,” ucap bibi.“Bibi bawa Keano ke kamar.” Amira memberikan Keano kepada bibi.“Anda mau kemana?” tanya bibi.“Aku mau menunggu hujan turun.” Amira tersenyum.“Non, nanti Bapak marah,” ucap bibi khawatir.“Tidak akan. Aku suka hujan. Sudah lama tidak bermain air hujan. Bibi masuklah. Aku akan selesai sebelum Pak Wijaya pulang. Hari ini dia lembur.” Amira mendorong tubuh bibi masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dan duduk di tengah halaman.“Semoga hanya hujan dan tidak ada kilat, Guntur serta petir.” Amira mendongak dan tetesan pertama jatuh tepat di wajahnya.“Aah!” Amira tersenyum. Dia benar-benar menyukai hujan. Aroma dan suara air yang jatuh ke bumi memberikan ketenangan untuknya.“Ahhhhh!” Amira berdiri dan berputar di atas rumput yang basah. Dia men
Wijaya benar-benar serius untuk menjemput Devano. Dia tidak ingin Cantika lebih dulu mengambil bayi dari Amira. Pria it uterus memantau laporan dari anak buahnya yang menjaga di pesisir pantai dekat dari pulau tempat tinggal Devano.“Kita akan berperang jika tidak bisa mengambil Devano baik-baik,” ucap Wijaya. Pria itu berada di rumah sakit.“Apa tidak ada kesempatan?” tanya Leon.“Aku tidak ingin menambahkan korban lagi. Kita akan mengganti para penjaga mereka pelan-pelan. Ambil Devano di mana Cantika akan bergerak,” tegas Wijaya yang duduk di sofa bersama dengan Jack.“Maafkan aku, Bos,” ucap Leon.“Kamu minta maaf untuk apa?” tanya Wijaya menoleh pada Leon yang masih berbaring di tempat tidur.“Saya tidak bisa menyelesaikan tugas,” jawab Leon.“Tugas kamu sudah selesai,” tegas Wijaya.“Ini pertama kalinya orang kepercayaanku terluka. Padahal hanya pergi mencari anak Amira. Berperang melawan musuh dunia bisnis tidak membuatku mengorbankan banyak orang.” Wijaya menatap layar computer
Cantika menunggu Andika di dalam kamar. Suaminya benar-benar sering lembur.“Sayang.” Cantika menyambut kedatangan Andika. Wanita itu mengambil jas dan tas dari tangan suaminya. “Kamu mandi dulu,” ucap Cantika tersenyum pada Andika.“Ya.” Andika masuk kamar mandi. Membersihkan diri yang lelah dan gerah. Pria itu keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang.“Sayang.” Cantika memeluk Andika. Dia menggantungkan kedua tangan di leher suaminya.“Ada apa?” tanya Andika mencium bibir Cantika.“Kemarilah! Ada yang mau aku bicarakan.” Cantika menarik Andika ke tempat tidur.“Kamu mau berbicara atau bercinta?” Andika berada di atas kasur dan Cantika duduk di perut ratanya. Jari-jari wanita itu merada dada bidang suaminya.“Sayang, aku belum juga hamil. Apa kita perlu program dengan dokter?” tanya Cantika.“Apa?” Andika terkejut. “Siapa yang tidak sehat?” tanya Andika menatap Cantika.“Aku sudah periksa dan sehat,” jawab Cantika.“Apa itu artinya aku yang tidak sehat?
Bella pergi ke penginapan Luna dengan mengendarai mobil pribadinya. Dia harus menjemput sahabatnya pindah ke apartemen.“Lelah sekali. Wijaya benar-benar membuang Luna.” Bella harus mengendarai mobil cukup lama. Dua jam perjalanan baru bisa sampai di penginapan yang berada di ujung kota.Bella memarkirkan mobil di tempat parkir. Dia tiba hampir tengah malam. Wanita itu disambut oleh karyawati bagian resepsionis.“Selamat datang. Apa Anda mau menginap?” tanya karyawati.“Aku ada janji dengan tamu bernama Luna,” jawab Bella.“Mungkin Anda bisa menghubunginya agar bisa keluar dari kamar,” ucap karyawanti.“Baiklah.” Bella menghungi Luna dan tidak ada jawaban.“Apa aku bisa menunggu di sini?” tanya Bella yang gagal menghubungi Luna.“Tentu saja,” jawab karyawati.“Terima kasih.” Bella duduk di sofa. Dia terus berusaha menghubungi Luna yang tidak juga menjawab panggilannya.“Kemana Luna? Apa dia tidur? Padahal aku sudah memintanya untuk menunggu.” Bella sangat lelah dan mengantuk. Dia butuh
Amira membuka mata. Dia benar-benar tidak bisa lagi tidur tanpa Wijaya. Jari-jarinya meraba kasur yang kosong. Kehangatan dari pelukan suaminya sudah menjadi kebiasaan.“Sayang,” sapa Amira lembut. Dia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat.“Kemana dia?” Amira duduk di tepi kasur. Dia kesulitan melihat karena pencahayaan yang sedikit di dalam kamar.“Sayang.” Amira beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju sakelar lampu dan menyalakannya. Wanita itu mengetuk kamar mandi dan tidak ada jawaban.“Apa dia pergi?” Amira melihat jam yang telah menujukkan pukul sepuluh malam.“Sepertinya aku tertidur di mobil. Aku lihat Keano dulu.” Amira tersenyum. Dia melihat pakaian yang telah diganti dengan piyama tidur. Wanita itu segera pergi ke kamar putranya.“Sudah tidur. Apa dia asi dari botol?” Amira mencium Keano yang terlelap. Wanita itu menuruni tangga dan memastikan bahwa Wijaya ada di ruang kerja. Dia baru saja akan mengetuk dan pintu sudah terbuka. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya yan
Amira dan Wijaya masih berada di puncak bukit. Mereka berdua menikmati matahari terbenam. Sang istri duduk di pangkuan suami. Pelukan kuat dari belakang oleh Wijaya Kusuma. Kedua tangan pria itu mengunci pinggang Amira. “Sayang, apa kita menginap di sini saja?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak bisa. Aku kangen Keano. Dia belum asi,” jawab Amira.“Hmm. Keano nomor satu di hati kamu,” ucap Wijaya menggigit pundak Amira.“Aaah. Sakit.” Amira mencubit paha Wijaya.“Kamu membuat aku cemburu. Padahal hari ini aku mau memiliki kamu untuk diriku sendiri. Tidak memikirkan Keano yang berada di rumah.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap dirinya.“Apa sih. Kiano itu anak kita,” ucap Amira.“Ya. Keano adalah anak kita, Sayang.” Wijaya tersenyum. Dia menyentuh bibir Amira dengan jarinya.“Kamu tidak boleh begitu. Bersaing dengan Keano yang anak sendiri.” Amira merapikan diri agar tubuhnya benar-benar berhadapan dengan Wijaya.“Aku tahu, Sayang. Aku terlalu mencintai dan takut keh