Sudah doubel update yaa. Semoaga dapet double hadiah. Terima kasih. See soon.
Perawat berlari keluar dari ruang ICU. Amira kehilangan detak jantung. Layar monitor menampilkan garis lurus dengan nada yang kembali terdengar dari pintu yang terbuka.“Apa yang terjadi?” Wijaya terkejut. “Pasien kembali drop,” jawab perawat.“Apa?” Wijaya berhasil menerobos masuk dengan tidak lupa membawa Keano yang menangis. Bayi tampan itu sudah mulai gelisah sejak Amira dirawat di rumah sakit. Dia rindu akan aroma tubuh ibu susunya.“Amira!” teriak Wijaya.“Pak!” Dokter Ibra mencoba membawa Wijaya keluar karena pria itu menggendong bayinya.Tangis Keano pecah ketika bayi itu melihat Amira yang terlelap. Tangan kecil mencoba menggapai ibunya. Keano hampir jatuh dari gendongan Wijaya.“Apa?” Dokter terdiam melihat Keano yang histeris sehingga membiarkan Wijaya membawa bayi itu mendekat pada Amira.“Mungkin putranya bisa membangun sang ibu,” ucap dokter memperhatikan Keano yang sudah berada di atas dada Amira. Bayi itu berusaha mencari sumber kehidupannya. Dia meraba-raba wajah dan
Wijaya masuk sendirian. Bibi dan Keano menunggu di ruang tunggu. Pria itu melihat Amira sudah tertidur kembali setelah diberikan obat. “Amira.” Wijaya mengusap kepala Amira dengan lembut.“Kamu cepat pulih dan kita pulang. Aku tidak akan menyentuh kamu hingga dua bulan ke depan.” Wijaya mencium dahi Amira. Dia duduk di kursi samping. Dia menggenggam jari-jari istrinya.“Tetaplah di rumah sakit. Aku harus membalas dendam atas kematian putri kita.” Wijaya mencium tangan, pipi dan dahi Amira. Dia membawa pulang bibi dan Keano. Meninggalkan Amira dengan penjagaan dan perawatan terbaik.“Pak, bagaimana denga nasi untuk Keano?” tanya bibi duduk di kuris kedua mobil dengan menggendong Keano.“Pihak rumah sakit akan mengaturnya,” jawab Wijaya.“Baik, Pak.” Bibi mengangguk.Wijaya mengantarkan bibi dan Keano hingga tiba di rumah. Pria itu pergi ke Perusahaan. Dia bisa pergi bekerja karena kondisi Amira yang sudah lebih baik.“Selamat siang, Pak.” Semua karyawan terkejut melihat kedatangan Wij
Bella keluar jalan belakang karena menyembunyikan kabar tentang Luna yang dirawat di rumah sakit. Mereka tidak mau ada fans atau wartawan mengetahui tentang keberadaan sang actor.“Akhirnya gedung baru itu digunakan,” ucap perawat melewati Bella.“Pak Wijaya benar-benar sayang dengan sekretarisnya itu.” Dua perawat sedang asyik berbincang. Mereka tidak tahu ada orang asing yang mendengarkan.“Apa? Wijaya?” Bella segera memutar tubuh dan menyusul perawat.“Tunggu!” Bella menahan tangan seorang perawat yang baru dari ruang ICU. “Ada apa, Bu?” tanya perawat. “Apa kalian sedang membicarakan Pak Wijaya dan sekretarisnya bernama Amira?” Bella menatap dua perawat yang tidak menjawat pertanyaanya.“Ehem.” Bella mengeluarkan semua uang yang ada di dompetnya.“Tolong kerjasamanya,” ucap Bella memberikan lembaran merah kepada dua perawat.“Ini sepuluh juta.” Bella memegang tangan seorang perawat.“Iya, Bu. Amira. Dia baru dipindahkan dari ruang ICU,” ucap perawat yang bertugas di ruang ICU seb
“Aku takut.” Amira ragu untuk menancapkan pisau ke perutnya. Dia memejamkan mata. “Mm.” Amira membuka mata karena tangannya tertahan. Wanita itu melihat darah menetes di lantai, tetapi pisau tidak mengenai perutnya.“Wijaya?” Amira terkejut melihat Wijaya menatap tajam padanya dengan tangan berdarah.“Kenapa? Apa kamu mau meninggalkan aku dan Keano?” Wijaya masih menggenggam pisau di tangannya.“Lepaskan!” Amira memukul tangan Wijaya.“Dokter! Suster!” Amira berteriak. Dia sangat khawatir. Wanita itu bahkan takut melihat darah yang terus mengalir dari tangan Wijaya dan menetes pada lantai.“Aku tidak mau menjadi wanita pembawa sial.” Amira menangis. Dia ketakutan melihat Wijaya yang terluka. “Tenanglah, Amira!” teriak Wijaya memeluk Amira yang terlihat histeris. Tubuh wanita itu bergetar. “Aku tidak mau.” Amira menanis. Dia dan Wijaya duduk di lantai. “Kamu bukan pembawa siap, Amira. Kamu adalah kehidupan baru untuk aku dan Keano. Kami membutuhkan kamu.” Amira menguatkan pelukannya
Helicopter mendarat di atap rumah pribadi Wijaya. Pria itu dengan tenang menggendong Amira turun dari kendaraan terbang itu. “Anda sedang sakit.” Amira sangat mengkhawatirkan tangan Wijaya.“Siapa yang membuat aku sakit?” tanya Wijaya.“Maaf.” Amira menunduk. Wanita itu melingkarkan tangan di leher Wijaya yang kekar.“Aku tidak akan memaafkan kamu. Jika masih berpikir untuk pergi dariku,” tegas Wijaya.“Apak amu masih mau meninggalkanku?” tanya Wijaya.“Tidak.” Amira menggeleng.“Janji?” Wijaya menatap Amira dan wanita itu diam.“Kenapa kamu tidak berani untuk berjanji, Amira?” Wijaya membaringkan Amira di kasur.“Aku….” Amira menatap Wijaya.“Aku akan setia, Amira. Kamu adalah istriku satu-satunya.” Wijaya menyentuh pipi Amira dengan lembut.“Berjanjilah untuk terus berada di sisiku, Amira.” Wijaya menatap lekat dan dekat pada Amira.“Ya.” Amira mengangguk.“Itu baru benar.” Wijaya mencium bibir Amira dengan cukup lama. Pria itu sangat merindukan istrinya.“Bagaimana perasaan kamu sa
Wijaya sangat tidak ingin bertemu dengan Luna, tetapi demi memuaskan diri untuk membalas dendam. Dia rela berjalan ke Gedung sebelah. Di mana istri pertamanya mendapatkan perawatan dan bersembunyi darinya.“Dia di lantai paling atas.” Wijaya masuk ke dalam lift. Dia ada yang mampu mencegah pria itu bertindak sesuai keinginannya.Wijaya tiba di depan pintu kamar Luna yang dijaga dua orang pengawal. Wanita itu cukup takut ada fans yang berhasil masuk dengan menyamar menjadi pasien atau petugas.“Pak Wijaya.” Dua penjaga langsung mengenali Wijaya. Mereka segera membuka pintu masuk ke kamar Luna. “Apa patah kaki masih belum cukup?” tanya Wijaya berdiri di belakang Luna yang duduk di tepi kasur dan menghadap ke jendela.“Jaya!” Luna segera menoleh. Dia sangat terkejut melihat pria tampan yang berdiri tegak dengan tangan di dalam saku celana. “Beraninya kamu mengirim orang datang ke kamar Amira!” Wijaya mencekik leher Luan dengan satu tangan.“Aarrgghh!” Luna kesakitan dan kesulitan bernap
Wijaya keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk putih sebatas paha. Rambutnya masih basah. Dia melihat Amira masih duduk di sofa dan melamun. Pria itu tidak bisa menebak apa yang dipikitkan istrinya tercinta. “Apa yang kamu lamunkan, Amira?” tanya Wijaya berdiri di depan Amira. “Tidak ada.” Amira mendongak dan melihat rambut serta tubuh Wijaya yang masih basah. Pria itu memegang handuk lain untuk mengeringkan rambutnya.“Kemarilah!” Amira menarik tangan Wijaya dan mengambil handuk.“Mandi terlalu malam.” Amira mengeringkan rambut Wijaya dengan lembut. Dia bahkan mengusap leher dan tubuh pria itu. “Apa yang kamu lakukan?” Wijaya memegang tangan Amira.“Membantu mengeringkan rambut dan tubuh kamu agar tidak masuk angin. Setelah ini aku akan membungkus luka kamu,” ucap Amira menatan Wijaya.“Kamu sedang tidak berencana untuk melarikan diri kan?” Wijaya memicingkan matanya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Aku mau lari kemana?” tanya Amira melepaskan tangan Wij
Amira membuka mata dan Wijaya tidak lagi di sisinya. Wanita itu segera duduk. Dia melihat segelas susu dan roti bakar di atas meja. Kamar begitu tenang dan sepi. Tidak seorang pun membangunkannya.“Apa dia sudah pergi bekerja?” Amira melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah Sembilan pagi. Wanita itu segera turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dengan air hangat.“Aku sudah berapa hari tidak kerja. Benar-benar wanita pembawa siap.” Amira mengupat dirinya sendiri. Dia berganti pakaian dan sarapan. Wanita itu minum obat khusus yang diberikan dokter agar tidak tetap bisa memberi asi untuk Keano.“Non mau kemana?” tanya bibi.“Keano di mana, Bu?” Amira balik bertanya.“Di taman dengan Pak Wijaya,” jawab bibi.“Pak Wijaya tidak kerja,” ucap Amira.“Sepertinya diserahkan kepada Pak Dody.” Bibi melihat Amira yang sudah pergi ke taman samping.“Kenapa tidak ke kantor?” tanya Amira melihat Wijaya menggendong Keano.“Kamu sudah bangun. Keano belum asi p
Wijaya pergi ke penjara. Pria itu sudah lama tidak mengunjungi orang tua Luna. "Kenapa Anda pergi ke penjara yang kotor, Bos?" tanya Jack mengikuti Wijaya. "Aku hanya mau memastikan keinginan terakhir Lucas dan istrinya," jawab Wijaya. "Baik, Bos." Jack membuka pintu pertama penjara Unu Wijaya. "Pak Wijaya." Leon berdiri di depan pintu. Dia menyambut kedatangan Wijaya. "Kenapa kamu memilih tinggal di sini?" tanya Wijaya kepada Leon. "Ini adalah tempat terbaik untuk bekerja, Bos." Leon tersenyum. Dia senang bisa melihat Wijaya."Terserah kamu." Wijaya menepuk pundak Leon dan melewati pria itu. "Jika kamu mau balas dendam ke pulau. Kamu bebas pergi dan membawa anak buah," ucap Wijaya berlalu.“Aku tidak tertarik, Bos.” Leon tidak menyimpan dendam sama sekali. Baginya itu adalah resiko dari tugas yang dijalankannya.“Kenapa?” tanya Wijaya menghentikan langkah kaki dan menoleh pada Leon.“Tidak apa, Bos. Itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja. Em, biaya juga.” Leon tersenyu
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian. “Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika. “Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika. “Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pe
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Tid
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami. “Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira. “Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak. “Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum. “Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya. “Susah di waktu
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrert
Warning 21+Wijaya menggendong Amira ke kamar mereka. Para pelayan segera merapikan dan membersihkan taman dengan cepat. Bibi memiliki tugas menjaga dua bayi yang sudah tidur.“Apa malam ini kita bisa bercinta?” tanya Wijaya.“Tentu saja.” Amira tersenyum. Dia melingkarkan tangan di leher Wijaya dengan tatapan yang menggoda.“Jangan berteriak.” Wijaya melepaskan Amira di kasur. Dia mulai menyerang leher istrinya yang putih. “Hahaha.” Amira tertawa geli. Wanita itu benar-benar menjadi manja dan menikmati setiap sentuhan Wijaya.“Aaahhh!” Jari-jari Amira mengacak rambut Wijaya. Ciuman kuat dan gigitan pria itu membuat sang istri berteriak menahan hasrat yang terus bangkit. Leher dan lengan yang putih telah menjadi merah.“Hhhhhh!” Wijaya benar-benar sangat liar. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lidahnya yang hangat. Menghisap putting susu yang masih memiliki asi walaupun tidak banyak lagi. Ada sisa-sisa dari dua putranya yang sudah minum susu formula sehingga cairan putih itu mulai
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka