“Ka-kak D-Dante...?” gumamnya nyaris tak percaya.
Senyuman tipis terangkat di bibir pria itu. “Akhirnya.” Binar tercekat. Dante yang dulu ia kenal adalah laki-laki lugu dengan sorot mata penuh kelembutan. Bukan pria yang memiliki tatapan tajam dan aura berbahaya di sekelilingnya. Binar membisu untuk sesaat. Benarkah dia adalah Dante yang ia kenal? Dilihat dari wajahnya memang mirip dengan yang ada di ingatannya, tapi mata itu ... aura dingin yang bertolak belakang dengan kepribadian Dante-nya yang hangat sedikit membingungkan untuknya. Tubuh Binar menegang kala Dante makin mendekat, mengungkungnya di kepala ranjang. Ia terkesiap kala tangan besar itu mengelus rambutnya lembut. “Sebenarnya aku ingin membawamu sejak dulu,” ungkapnya pelan. “Tapi aku terlalu lambat. Dan orang-orang itu ...,” Tatapannya menjadi gelap penuh kebencian. “ ... membuangmu ke neraka.” Tangan Binar mengepal begitu mendengar pengakuan Dante. Jadi, apa sebenarnya Dante mengetahui semua tentangnya? Tentang hidupnya yang sengsara dan berakhir di tangan mucikari sialan itu? Dante menatapnya dengan intens. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.” Binar menelan ludah. “Apa maksudmu?” Dante menyeringai, mengeluarkan sebuah kotak beludru merah dari sakunya dan membukanya di hadapan Binar. Tubuh Binar hampir goyah ketika disuguhkan sebuah cincin berlian yang nampak berkilau saat terkena cahaya matahari pagi. Jantung Binar seketika berhenti berdetak. “Menikahlah denganku.” Suaranya yang dalam terdengar tenang, seakan dia telah merencanakan semua ini. Hanya Binar yang menatap kosong ke depan. Ini gila. Mereka baru bertemu kembali setelah lima belas tahun, dan sekarang Dante melamarnya? Binar ingin membuka mulut untuk menolaknya, tapi suara tegas Dante yang penuh ancaman membuatnya bergetar. “Kau tahu, Binar.” Dante menyentuh Binar lembut, memaksanya untuk melihat keseriusan di matanya. “Ini bukanlah permintaan.” Binar semakin terperangah mendengarnya. Ini bukan lamaran biasa. Ini adalah klaim sepihak darinya. Binar mencengkeram ujung bajunya erat. Jemarinya bergetar saat ia menatap Dante. Lamaran ini terlalu mendadak untuknya. Meski dia adalah Dante, tapi ia tetap merasa asing dengannya. Dia ... sangat berbeda. "Kak Dante, kita bahkan tidak saling mengenal lagi," tutur Binar lemah. "Kau tidak bisa memaksaku untuk menikah denganmu!" Mata tajam Dante menelisik wajah Binar penuh perhitungan. "Ini bukan paksaan, tapi pilihan." "Pilihan?" Binar tertawa sinis. "Sejak kapan pilihan tak membiarkanku menjawab tidak?" geramnya. Dante makin memupus jarak keduanya hingga hidung mereka saling menempel. "Kau sendirian," bisik Dante, menatap lekat mata Binar yang berpendar ketakutan. "Kau tidak punya rumah, keluarga, ataupun teman. Hanya aku. Hanya aku yang bisa melindungimu dari bahaya di luar sana." Binar tertohok mendengar fakta yang baru saja Dante ungkapkan. Ia sendirian. Orang tua yang ia sayangi telah dengan tega menjualnya. Tak ada lagi tempat untuknya. "Kenapa sekarang?" gumam Binar dengan suara bergetar. Mata Dante sulit ditebak. Ia mengelus bibir Binar dengan gerakan seduktif. "Karena aku tak akan membiarkanmu jatuh ke tangan orang lain. Kau adalah milikku sejak awal." Binar mengertakkan giginya, mendorong dada Dante menjauh. "Aku bukan barang!" Dante tak mengacuhkannya. Ia menarik tangan Binar, memaksanya untuk memakai cincin itu di jemarinya. "Kau tau ... ini adalah pertama kalinya aku begitu menginginkan sesuatu." Dante menatap Binar tepat di matanya. "Dan kau akan terus berada disisiku, suka atau tidak." Binar menelan ludah. Ia tahu kalau ia tak punya pilihan sejak berurusan dengan Dante. --- Binar pasti telah gila saat ini. Ia berdiri di altar bersama Dante, dikelilingi wajah-wajah yang tampak menakutkan. Seolah mereka berasal dari kegelapan. Kepala Binar terasa pening mencerna semua hal yang tiba-tiba terjadi. Walaupun ia menjadi tokoh utama di ruangan yang telah dihias dengan megah ini, ia tetap merasa asing dan ... aneh. Dante tak berhenti menatapnya tajam sepanjang acara berlangsung. Harus Binar akui, kalau Dante memang mempesona dengan tubuh tegap yang menunjang wajah tampannya. Hanya saja ... aura gelap yang menyelimutinya membuat Binar bergidik. Andai, dia adalah Dante yang dulu. "Mulai sekarang, kau adalah istriku," klaim Dante dengan rasa puas yang tergambar jelas di wajahnya. Lalu, dengan gerakan cepat, Dante menarik Binar mendekat dan mencium bibirnya. Tubuh Binar menegang kaku kala bibir tebal itu bergerak liar menjelajah isi mulutnya. Ia tak menghindar, tak juga menikmati. Pasrah sepenuhnya pada pria yang kini telah mengikatnya. Ketika akhirnya Dante menyudahi ciuman panjangnya, benang perak tipis masih menghubungkan bibir mereka yang seakan enggan menjauh. Mata kelam Dante menyorot tajam Binar. Menegaskan posisinya sebagai sang pemegang kendali. Binar tidak tahu harus merasa apa. Namun, satu hal yang pasti. Tak akan ada jalan kembali. --- Tubuh Binar terhimpit antara dinding dingin dan tubuh Dante yang membara. Bibirnya terkunci rapat oleh bibir tebal pria itu yang terus bergerak liar menginvasi mulutnya. Gaun pengantin putih yang Binar kenakan telah berkerut akibat gerakan Dante yang terburu-buru. Tangan kecil Binar tak sanggup menahan tenaga yang berkali-kali lipat lebih besar darinya. Dante memberi jeda hanya untuk melihat wajah kemerahan Binar yang tengah meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Sangat. Menggairahkan. Binar terengah, menatap Dante murka. Ia ingin bererak menjauh, tapi rengkuhan pria itu sangat erat. "Lepaskan, Dante!" sungutnya kesal. Binar bahkan enggan memanggilnya kakak lagi. Baginya, Kak Dante yang ia kenal telah lama hilang. "Aku suka panggilanmu. Terdengar intim." Dante menyeringai senang. Bertolak belakang dengan Binar yang makin geram. "Brengsek!" Satu tangan Dante mulai merayap naik, melepas resleting gaun Binar dan mengelus punggung terbuka itu lembut. Membuat Binar meriding. "Kau bisa terus mengataiku, tapi itu tak bisa mengubah fakta kalau sekarang kau adalah milikku." Dante kembali menyerang bibir Binar lebih liar. Tak butuh usaha lebih, gaun itu telah lolos sepenuhnya. Mempermudah Dante menelusuri tubuh yang akan menjadi candunya. Sentuhan Dante yang panas, membakar perlahan tembok yang Binar bangun. Ia kehilangan arah seiring deru napasnya yang memburu. Binar telah kalah. Kedua matanya berkabut, dadanya naik turun seirama dengan geraman halus Dante yang menggema di seluruh kamar pengantin bernuansa merah. Ratusan kelopak mawar berhamburan ke lantai menandai betapa Dante tak menahan diri. Setiap sentuhan, bisikan, dan gerakan Dante yang berirama membawa Binar ke tempat yang tak pernah ia duga. "Kau milikku," bisik Dante dengan suara serak. Jemari besarnya terus bekerja di bawah sana, kembali membuat Binar mengerang keras untuk kesekian kalinya. Di tengah kamar temaram, dua siluet itu saling bertaut erat. Terbuai dalam harmoni hingga fajar menyingsing.Tubuh Binar terasa remuk redam kala terbangun di siang harinya. Ia hanya diam berbaring untuk meredakan bagian inti tubuhnya yang masih nyeri.Binar menyadari rambutnya sedikit lembab, tubuhnya juga telah dibalut piyama kebesaran. "Apakah Dante yang melakukannya?" tanyanya skeptis. Binar melirik noda merah pada seprai yang teronggok di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia telah menyerahkannya. Tangan Binar mengepal, merasakan denyut menyakitkan di dadanya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena ini adalah pilihannya. Ia yang memberikan akses kepada Dante untuk mengambil semuanya hanya karena sentuhan kecil. Suara pintu kamar mandi yang terbuka menarik atensi Binar. Ia melihat Dante keluar dari sana sambil mengenakan kausnya, memperlihatkan perut sixpack dan beberapa bekas luka di sana. Binar menggigit bibirnya berusaha bangun melawan nyeri yang makin terasa, tapi tubuhnya tak bisa diajak bekerjasama. Dante dengan tenang menghampiri Binar. Membaringkannya kembali dan
Binar tak tahu sejak kapan semuanya mulai berubah.Dante masihlah pria dingin dan mengintimidasi, tapi terkadang ... perlakuan lembutnya kembali mengingatkan pada masa kecil mereka yang damai. Pria itu masih mengingat makanan apa yang ia sukai dan ia benci. Menyiapkan segala keperluannya, meski ia tak diperbolehkan keluar dari rumah. Dante juga selalu membasuh tubuhnya ketika Binar sudah terkapar tak berdaya karena sentuhannya. Namun, masalah sebenarnya datang dari Valeria yang terus-terusan datang ke rumah dan mengacaukan semuanya. Sikap Dante yang tak pernah menjawab ketika Binar mempertanyakan hubungan keduanya, semakin membuatnya kesal dan jengkel. ---Binar merapatkan jari-jarinya yang terasa dingin sambil menyesap teh hangat di balkon kamarnya. Ia sendirian. Diana pamit entah kemana setelah mengantarkan teh untuknya. Tak lama kemudian, tatapannya tertuju pada Adrian yang berdiri di depan pintu kamar. Laki-laki aneh yang nyaris tak pernah mengangkat wajahnya di hadapan Binar
Binar masih bisa mencium aroma darah yang menguar dari pintu kamar meski lantai itu telah dibersihkan, seolah tak pernah ada kejadian mengenaskan yang terjadi. Diana terus membujuknya untuk makan, tapi ia terus menolak. Makanan itu selalu berakhir di toilet saat ia mengingat kejadian kemarin. Tangan Binar terus mencengkeram selimut dengan erat. Gemetar di tubuhnya tak juga kunjung mereda. Suara pistol yang menggema, darah yang berceceran ... terekam jelas di kepalanya. Binar ingin pergi.Ia tak bisa tinggal di sini lebih lama.Binar tak lagi peduli jika ia harus kehilangan segalanya. Yang terpenting, ia harus segera pergi dari sini bagaimanapun caranya. Dengan tangan gemetar, Binar meraih ponsel yang selama ini ia simpan di laci nakas. Ia mencoba menghubungi kontak sahabatnya dari panti -Vera untuk meminta bantuan. "Vera ... tolong aku. Aku ingin pergi dari sini." Binar mengetik sambil menahan gemetar di tangannya.Tak menunggu lama, pesan itu segera di baca. Dan sebuah notifikas
Binar berdiri untuk waktu yang cukup lama setelah sampai di sebuah sebuah kota kecil. Tangannya mencengkeram erat koper kecil-satu-satunya harta berharga yang ia punya dengan memandang lurus jalanan sepi di depannya.Jemarinya berganti mengusap pipinya yang telah basah entah sejak kapan. Tidak. Ia harus bergerak. Menjauh dari Dante adalah keputusan yang bijak."Kau bisa, Binar. Dari awal kau sudah sendirian."Malam itu, Binar berjalan sendirian menembus dinginnya malam. Setidaknya, ini lebih baik daripada hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kekangan erat yang Dante buat.---Binar menyesap segelas kopi instan yang mulai mendingin di tangannya, memindai isi kamar kecil yang bisa ia sewa untuk sebulan kedepan. Tempat ... yang ia pikir akan lolos dari intaian Dante.Ia menghitung sisa uang yang Valleria berikan padanya yang mulai tersisa sedikit. "Aku harus mencari pekerjaan segera."Begitu matahari mulai naik, Binar dengan semangat membersihkan diri dan pergi untuk mencari peruntung
Binar menggigit bibirnya kencang, menunduk di bawah meja. Tubuhnya gemetar dengan jantung yang memompa cepat melihat pecahan kaca yang berhamburan di lantai. Situasi yang Binar benci. Mengingatkannya akan tragedi berdarah yang menciptakan trauma mendalam di benaknya. Dan sekarang, ia berada di tengah kekacauan yang sama. Lagi. Semenjak bertemu Dante, sepertinya hidupnya tak pernah damai untuk sekejap. Memaksakan tububuhnya yang terus bergetar untuk bergerak, Binar merangkak di balik meja, menghindari serpihan kaca yang berserakan. Hingga ... siluet familiar tertangkap dari sudut matanya. Dante. Pria itu berdiri tegap memandang dingin ke arahnya dengan pistol berasap di genggaman. Binar jatuh terduduk dengan pupil bergetar tak bisa bergerak ketika Dante beranjak mendekat ke arahnya. Tatapan Dante terlihat gelap. Rahangnya mengeras. Jemari panjangnya melingkar erat di gagang pistol, seakan siap menghabisi siapa pun yang menghalangi jalannya. Binar mundur perlahan, berusaha men
Binar menggigit bibir dalamnya, menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Matanya memerah, menahan genangan air mata menghunus tajam ke arah Vincent."Kalian ...," geram Binar. Ia pikir Valleria tak akan mengusiknya lagi, tapi melihat Vincent di sini ... berarti wanita itu berusaha melenyapkannya.Sialan!Vincent tertawa melihat Binar yang berusaha melawan. Ia menjepit dagunya, tertawa senang. "Kau menggemaskan sekali, kucing kecil. Sayang sekali, cakar kecilmu tak berhasil melukaiku."Jemari Vincent terus menelusuri wajah Binar meski wanita itu trerus memberontak. "Dante pasti frustasi sekali ketika trophy kebanggaan miliknya kuambil paksa tepat di depan matanya."Binar terus memperhatikan dengan waspada tatapan Vincent yang seperti menelanjanginya. Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya terasa sakit.Vincent tertawa geli. "Sepertinya, ruangan ini kurang cocok untukmu." Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik lirih tepat di telinga Binar sembari mengendus lehernya. "Aku punya ruangan i
"Aku datang kesini hanya untuk menjadi pelayan, bukan wanita panggilan!" Binar menyalak keras, menatap wanita glamour yang menggunakan riasan tebal itu dengan amarah yang menggelegak. Binar jelita-gadis berusia 27 tahun itu tak terima dengan keputusan sepihak Madam Siska-pemilik Bar Eclipse. Namun, tawa wanita itu menggema. "Sayang sekali, orang tua angkatmu sudah menjualmu padaku."Dunia Binar runtuh dalam sekejap. Tak mungkin. Meski mereka memanfaatkannya selama ini, tak mungkin mereka akan sekejam itu. Namun, bukti itu nyata—kontrak perjanjian dengan tanda tangan ibunya."Aku tak percaya ...." Suaranya nyaris tak terdengar."Terserah." Madam Siska meniup asap rokoknya. "Pegang dia!"Dua pria berbadan besar segera mencengkram Binar, mengabaikan teriakannya yang menggema di antara dentuman musik. Cairan panas dipaksa melewati tenggorokannya, membuat tubuhnya terbakar dari dalam."Nikmati malam pertamamu."Binar terus meronta, tapi tubuhnya melemah. Napasnya mulai memburu dan kulit
Binar menggigit bibir dalamnya, menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Matanya memerah, menahan genangan air mata menghunus tajam ke arah Vincent."Kalian ...," geram Binar. Ia pikir Valleria tak akan mengusiknya lagi, tapi melihat Vincent di sini ... berarti wanita itu berusaha melenyapkannya.Sialan!Vincent tertawa melihat Binar yang berusaha melawan. Ia menjepit dagunya, tertawa senang. "Kau menggemaskan sekali, kucing kecil. Sayang sekali, cakar kecilmu tak berhasil melukaiku."Jemari Vincent terus menelusuri wajah Binar meski wanita itu trerus memberontak. "Dante pasti frustasi sekali ketika trophy kebanggaan miliknya kuambil paksa tepat di depan matanya."Binar terus memperhatikan dengan waspada tatapan Vincent yang seperti menelanjanginya. Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya terasa sakit.Vincent tertawa geli. "Sepertinya, ruangan ini kurang cocok untukmu." Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik lirih tepat di telinga Binar sembari mengendus lehernya. "Aku punya ruangan i
Binar menggigit bibirnya kencang, menunduk di bawah meja. Tubuhnya gemetar dengan jantung yang memompa cepat melihat pecahan kaca yang berhamburan di lantai. Situasi yang Binar benci. Mengingatkannya akan tragedi berdarah yang menciptakan trauma mendalam di benaknya. Dan sekarang, ia berada di tengah kekacauan yang sama. Lagi. Semenjak bertemu Dante, sepertinya hidupnya tak pernah damai untuk sekejap. Memaksakan tububuhnya yang terus bergetar untuk bergerak, Binar merangkak di balik meja, menghindari serpihan kaca yang berserakan. Hingga ... siluet familiar tertangkap dari sudut matanya. Dante. Pria itu berdiri tegap memandang dingin ke arahnya dengan pistol berasap di genggaman. Binar jatuh terduduk dengan pupil bergetar tak bisa bergerak ketika Dante beranjak mendekat ke arahnya. Tatapan Dante terlihat gelap. Rahangnya mengeras. Jemari panjangnya melingkar erat di gagang pistol, seakan siap menghabisi siapa pun yang menghalangi jalannya. Binar mundur perlahan, berusaha men
Binar berdiri untuk waktu yang cukup lama setelah sampai di sebuah sebuah kota kecil. Tangannya mencengkeram erat koper kecil-satu-satunya harta berharga yang ia punya dengan memandang lurus jalanan sepi di depannya.Jemarinya berganti mengusap pipinya yang telah basah entah sejak kapan. Tidak. Ia harus bergerak. Menjauh dari Dante adalah keputusan yang bijak."Kau bisa, Binar. Dari awal kau sudah sendirian."Malam itu, Binar berjalan sendirian menembus dinginnya malam. Setidaknya, ini lebih baik daripada hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kekangan erat yang Dante buat.---Binar menyesap segelas kopi instan yang mulai mendingin di tangannya, memindai isi kamar kecil yang bisa ia sewa untuk sebulan kedepan. Tempat ... yang ia pikir akan lolos dari intaian Dante.Ia menghitung sisa uang yang Valleria berikan padanya yang mulai tersisa sedikit. "Aku harus mencari pekerjaan segera."Begitu matahari mulai naik, Binar dengan semangat membersihkan diri dan pergi untuk mencari peruntung
Binar masih bisa mencium aroma darah yang menguar dari pintu kamar meski lantai itu telah dibersihkan, seolah tak pernah ada kejadian mengenaskan yang terjadi. Diana terus membujuknya untuk makan, tapi ia terus menolak. Makanan itu selalu berakhir di toilet saat ia mengingat kejadian kemarin. Tangan Binar terus mencengkeram selimut dengan erat. Gemetar di tubuhnya tak juga kunjung mereda. Suara pistol yang menggema, darah yang berceceran ... terekam jelas di kepalanya. Binar ingin pergi.Ia tak bisa tinggal di sini lebih lama.Binar tak lagi peduli jika ia harus kehilangan segalanya. Yang terpenting, ia harus segera pergi dari sini bagaimanapun caranya. Dengan tangan gemetar, Binar meraih ponsel yang selama ini ia simpan di laci nakas. Ia mencoba menghubungi kontak sahabatnya dari panti -Vera untuk meminta bantuan. "Vera ... tolong aku. Aku ingin pergi dari sini." Binar mengetik sambil menahan gemetar di tangannya.Tak menunggu lama, pesan itu segera di baca. Dan sebuah notifikas
Binar tak tahu sejak kapan semuanya mulai berubah.Dante masihlah pria dingin dan mengintimidasi, tapi terkadang ... perlakuan lembutnya kembali mengingatkan pada masa kecil mereka yang damai. Pria itu masih mengingat makanan apa yang ia sukai dan ia benci. Menyiapkan segala keperluannya, meski ia tak diperbolehkan keluar dari rumah. Dante juga selalu membasuh tubuhnya ketika Binar sudah terkapar tak berdaya karena sentuhannya. Namun, masalah sebenarnya datang dari Valeria yang terus-terusan datang ke rumah dan mengacaukan semuanya. Sikap Dante yang tak pernah menjawab ketika Binar mempertanyakan hubungan keduanya, semakin membuatnya kesal dan jengkel. ---Binar merapatkan jari-jarinya yang terasa dingin sambil menyesap teh hangat di balkon kamarnya. Ia sendirian. Diana pamit entah kemana setelah mengantarkan teh untuknya. Tak lama kemudian, tatapannya tertuju pada Adrian yang berdiri di depan pintu kamar. Laki-laki aneh yang nyaris tak pernah mengangkat wajahnya di hadapan Binar
Tubuh Binar terasa remuk redam kala terbangun di siang harinya. Ia hanya diam berbaring untuk meredakan bagian inti tubuhnya yang masih nyeri.Binar menyadari rambutnya sedikit lembab, tubuhnya juga telah dibalut piyama kebesaran. "Apakah Dante yang melakukannya?" tanyanya skeptis. Binar melirik noda merah pada seprai yang teronggok di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia telah menyerahkannya. Tangan Binar mengepal, merasakan denyut menyakitkan di dadanya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena ini adalah pilihannya. Ia yang memberikan akses kepada Dante untuk mengambil semuanya hanya karena sentuhan kecil. Suara pintu kamar mandi yang terbuka menarik atensi Binar. Ia melihat Dante keluar dari sana sambil mengenakan kausnya, memperlihatkan perut sixpack dan beberapa bekas luka di sana. Binar menggigit bibirnya berusaha bangun melawan nyeri yang makin terasa, tapi tubuhnya tak bisa diajak bekerjasama. Dante dengan tenang menghampiri Binar. Membaringkannya kembali dan
“Ka-kak D-Dante...?” gumamnya nyaris tak percaya.Senyuman tipis terangkat di bibir pria itu. “Akhirnya.”Binar tercekat. Dante yang dulu ia kenal adalah laki-laki lugu dengan sorot mata penuh kelembutan. Bukan pria yang memiliki tatapan tajam dan aura berbahaya di sekelilingnya. Binar membisu untuk sesaat. Benarkah dia adalah Dante yang ia kenal? Dilihat dari wajahnya memang mirip dengan yang ada di ingatannya, tapi mata itu ... aura dingin yang bertolak belakang dengan kepribadian Dante-nya yang hangat sedikit membingungkan untuknya. Tubuh Binar menegang kala Dante makin mendekat, mengungkungnya di kepala ranjang. Ia terkesiap kala tangan besar itu mengelus rambutnya lembut. “Sebenarnya aku ingin membawamu sejak dulu,” ungkapnya pelan. “Tapi aku terlalu lambat. Dan orang-orang itu ...,” Tatapannya menjadi gelap penuh kebencian. “ ... membuangmu ke neraka.”Tangan Binar mengepal begitu mendengar pengakuan Dante. Jadi, apa sebenarnya Dante mengetahui semua tentangnya? Tentang hidup
"Aku datang kesini hanya untuk menjadi pelayan, bukan wanita panggilan!" Binar menyalak keras, menatap wanita glamour yang menggunakan riasan tebal itu dengan amarah yang menggelegak. Binar jelita-gadis berusia 27 tahun itu tak terima dengan keputusan sepihak Madam Siska-pemilik Bar Eclipse. Namun, tawa wanita itu menggema. "Sayang sekali, orang tua angkatmu sudah menjualmu padaku."Dunia Binar runtuh dalam sekejap. Tak mungkin. Meski mereka memanfaatkannya selama ini, tak mungkin mereka akan sekejam itu. Namun, bukti itu nyata—kontrak perjanjian dengan tanda tangan ibunya."Aku tak percaya ...." Suaranya nyaris tak terdengar."Terserah." Madam Siska meniup asap rokoknya. "Pegang dia!"Dua pria berbadan besar segera mencengkram Binar, mengabaikan teriakannya yang menggema di antara dentuman musik. Cairan panas dipaksa melewati tenggorokannya, membuat tubuhnya terbakar dari dalam."Nikmati malam pertamamu."Binar terus meronta, tapi tubuhnya melemah. Napasnya mulai memburu dan kulit