Binar menggigit bibirnya kencang, menunduk di bawah meja. Tubuhnya gemetar dengan jantung yang memompa cepat melihat pecahan kaca yang berhamburan di lantai.
Situasi yang Binar benci. Mengingatkannya akan tragedi berdarah yang menciptakan trauma mendalam di benaknya. Dan sekarang, ia berada di tengah kekacauan yang sama. Lagi. Semenjak bertemu Dante, sepertinya hidupnya tak pernah damai untuk sekejap. Memaksakan tububuhnya yang terus bergetar untuk bergerak, Binar merangkak di balik meja, menghindari serpihan kaca yang berserakan. Hingga ... siluet familiar tertangkap dari sudut matanya. Dante. Pria itu berdiri tegap memandang dingin ke arahnya dengan pistol berasap di genggaman. Binar jatuh terduduk dengan pupil bergetar tak bisa bergerak ketika Dante beranjak mendekat ke arahnya. Tatapan Dante terlihat gelap. Rahangnya mengeras. Jemari panjangnya melingkar erat di gagang pistol, seakan siap menghabisi siapa pun yang menghalangi jalannya. Binar mundur perlahan, berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Yang ia pikirkan hanya satu, ia harus bisa kabur sebelum situasi semakin memburuk dan ia kana tertawan selamanya. Namun, seseorang lebih dulu menarik pergelangan tangannya. Telapak tangan itu mencengkeram pergelangan tangan Binar kuat. Ia mendongak perlahan... napasnya kembali tersengal ketika tatapannya bertemu dengan mata kelam penuh hal licik yang tak terbaca. Vincent. Pupil mata Binar bergetar, tertekan dengan situasi menegangkan bak domino yang melibas habis akal sehatnya. Senyum samar Vincent terlihat tak manusiawi. Itu lebih seperti senyum hewan buas yang telah menemukan buruannya. “Kemana kau akan lari, Binar?” tanya Vincent kalem, suaranya terdengar lembut … terlalu lembut untuk situasi sekejam ini. Binar mencoba meronta. Tapi genggamannya terlalu kuat. Ia merintih ketika kuku-kuku Vincent hampir menembus kulitnya. “Aku sudah lama menunggumu. Kau tahu kan, Dante tak bisa menjagamu selamanya.” “Lepas ….” suaranya tercekat, tapi tegas. Meski gemetar tubuhnya masih terasa, Binar menolak menyerah. Otaknya masih waras untuk memikirkan cara melarikan diri. Vincent terkekeh pelan. “Oh, aku suka versi galakmu. Tapi nanti kau juga akan menangis memohon padaku. aku tak terburu-buru untuk melihat sisi itu." Binar terkejut, tubuhnya terseret paksa. Ia ingin berontak, ingin menolak, tetapi suaranya tercekat begitu melihat ekspresi Dante yang kini berdiri di ambang pintu. Dante mendobrak masuk, mata gelapnya menusuk lurus ke arahnya. Tatapan itu … Binar merasakan sesuatu menjalar di tengkuknya, campuran antara ketakutan dan sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang menyeretnya kembali ke masa lalu. Saat Dante membujuknya untuk tak pergi. Memohon padanya untuk tinggal. Namun, Binar hanyalah anak kecil yang ingin merasakan hangat pelukan orang tua. Meski realitanya ia hanya dijadikan budak pencetak uang gratis. "Binar." Dante memanggilnya, suaranya lebih seperti geraman tajam daripada panggilan lembut. Binar menelan ludah. Ia tidak bisa menjawab. Matanya membulat begitu Dante mengarahkan moncong handgun ke arahnya. Lalu, dalam sekejap, suara tembakan meledak. Peluru melesat cepat, mengenai lengan Vincent yang mencekal tangan Binar. Anehnya, bukannya menunjukkan tanda kesakitan... Vincent malah terkekeh kuat. "Dia sangat berarti untukmu ya?" Vincent tertawa mengejek ke arah Dante, mengabaikan darah yang mulai mengucur deras dari lengan kirinya. Napas Dante memberat. Ia menurunkan pistolnya, menatap Vincent dengan ekspresi datar tanpa riak emosi di sana. Menunjukkan pada Binar, sisi lain Dante yang sebenarnya. Gelap dan tanpa ampun. "Lepaskan dia." Itu bukan permohonan, melainkan perintah. Suaranya yang dalam sanggup menggetarkan siapapun, ditambah aura gelap yang mengelilinginya. Vincent tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia menarik Binar lebih erat dan menodongkan pistol ke pelipisnya. Binar membelalak. Dingin. Dingin sekali. Ujung pistol yang menyentuh pelipisnya terasa membakar, menciptakan rasa takut yang menelusup ke dalam tulangnya. Binar tak bisa bereaksi. Semua ini terlalu mengejutkan. Ia seperti orang bodoh, mengamati ekspresi Dante yang tetap tenang dari waktu ke waktu. Membuatnya bertanya-tanya. Apakah pria itu mencintainya? Apakah Dante peduli padanya? Tanpa sadar Binar berharap. Namun ... Yang Binar lihat hanyalah ... kekosongan. Tanpa sadar, Binar meraba dadanya yang terasa sakit. Vincent menyeringai menyadari gelagat Binar. "Lihat, pria itu tak akan peduli pada hidup dan matimu," bisiknya lirih tepat di telinga Binar. Yang tak Binar sadari adalah genggaman tangan Dante pada pistolnya yang semakin mengerat. Vincent hanya memanipulasi Binar agar semakin tenggelam dalam luka dan mudah untuk dikendalikan nantinya. Dua pria berbahaya bertarung memperebutkannya, bukan karena dirinya sebagai manusia, tetapi sebagai simbol. Dante ingin memilikinya karena cinta, obsesi, dan dendam. Vincent ingin merecokinya karena ia ingin menghancurkan Dante. Dan Binar? Ia hanya ingin lepas dari semuanya. Dunia seolah mengecil ketika Vincent menyeretnya keluar dari tempat itu. Dante berteriak, suara pelurunya membelah udara. Tapi Vincent terlalu terlatih. Gerakannya licin, cepat—dan orang-orangnya sudah mengepung ruangan. Satu suara berdentum lagi. Lalu gelap. Binar jatuh tak sadarkan diri, memudahkan Vincent untuk membawanya. Dante menggertakkan giginya. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia benci ini. Ia benci melihat Binar dalam genggaman orang lain. Ia benci melihat ketakutan di mata perempuan itu. Tapi di saat yang sama, ia tidak bisa membiarkan peluru menembus tubuh Binar. Kesalahan sekecil apa pun bisa merenggut nyawa wanitanya. "Aku akan mendapatkanmu kembali, sayang." --- Cahaya remang lampu adalah benda pertama yang Binar lihat ketika ia membuka matanya. Rasanya seperti ditampar oleh kenyataan. Kepalanya berat, bibirnya pecah-pecah, dan tangan kirinya terasa nyeri akibat diikat terlalu erat dengan kabel plastik. Ia mencoba menggerakkan tubuh, tapi bahkan sekadar bernapas saja seperti ratusan jarum menembus tubuhnya. Tempat itu dingin. Lembap. Bau logam dan karat menyengat. "Sudah bangun?" Suara itu menyelinap dari kegelapan, Vincent menunggu di sana sejak awal. Pria itu duduk santai di kursi, mengenakan setelan gelap seperti tidak ada yang terjadi. Di hadapannya, segelas wine merah berkilau di bawah lampu neon usang. Binar diam. Lidahnya kelu. “Tenang … aku tidak akan menyakitimu. Belum saja. ” Vincent tersenyum, menyeringai lebih tepatnya. “Kau terlalu berharga untuk itu.” Ia berdiri, berjalan perlahan mendekati Binar yang masih tergeletak di lantai berdebu. “Aku ingin mengenalmu,” lanjutnya. “Lebih dekat. Lebih dalam. Lebih … utuh. Bukankah kita bisa berbagi waktu dengan damai, hm?” Binar menghindari tatapannya, berusaha menyembunyikan rasa takut yang bergolak di dalam dada. Tapi suara hatinya tak bisa dibungkam 'Aku harus keluar dari sini. Aku harus tetap waras.'Binar menggigit bibir dalamnya, menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Matanya memerah, menahan genangan air mata menghunus tajam ke arah Vincent."Kalian ...," geram Binar. Ia pikir Valleria tak akan mengusiknya lagi, tapi melihat Vincent di sini ... berarti wanita itu berusaha melenyapkannya.Sialan!Vincent tertawa melihat Binar yang berusaha melawan. Ia menjepit dagunya, tertawa senang. "Kau menggemaskan sekali, kucing kecil. Sayang sekali, cakar kecilmu tak berhasil melukaiku."Jemari Vincent terus menelusuri wajah Binar meski wanita itu trerus memberontak. "Dante pasti frustasi sekali ketika trophy kebanggaan miliknya kuambil paksa tepat di depan matanya."Binar terus memperhatikan dengan waspada tatapan Vincent yang seperti menelanjanginya. Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya terasa sakit.Vincent tertawa geli. "Sepertinya, ruangan ini kurang cocok untukmu." Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik lirih tepat di telinga Binar sembari mengendus lehernya. "Aku punya ruangan i
"Aku datang kesini hanya untuk menjadi pelayan, bukan wanita panggilan!" Binar menyalak keras, menatap wanita glamour yang menggunakan riasan tebal itu dengan amarah yang menggelegak. Binar jelita-gadis berusia 27 tahun itu tak terima dengan keputusan sepihak Madam Siska-pemilik Bar Eclipse. Namun, tawa wanita itu menggema. "Sayang sekali, orang tua angkatmu sudah menjualmu padaku."Dunia Binar runtuh dalam sekejap. Tak mungkin. Meski mereka memanfaatkannya selama ini, tak mungkin mereka akan sekejam itu. Namun, bukti itu nyata—kontrak perjanjian dengan tanda tangan ibunya."Aku tak percaya ...." Suaranya nyaris tak terdengar."Terserah." Madam Siska meniup asap rokoknya. "Pegang dia!"Dua pria berbadan besar segera mencengkram Binar, mengabaikan teriakannya yang menggema di antara dentuman musik. Cairan panas dipaksa melewati tenggorokannya, membuat tubuhnya terbakar dari dalam."Nikmati malam pertamamu."Binar terus meronta, tapi tubuhnya melemah. Napasnya mulai memburu dan kulit
“Ka-kak D-Dante...?” gumamnya nyaris tak percaya.Senyuman tipis terangkat di bibir pria itu. “Akhirnya.”Binar tercekat. Dante yang dulu ia kenal adalah laki-laki lugu dengan sorot mata penuh kelembutan. Bukan pria yang memiliki tatapan tajam dan aura berbahaya di sekelilingnya. Binar membisu untuk sesaat. Benarkah dia adalah Dante yang ia kenal? Dilihat dari wajahnya memang mirip dengan yang ada di ingatannya, tapi mata itu ... aura dingin yang bertolak belakang dengan kepribadian Dante-nya yang hangat sedikit membingungkan untuknya. Tubuh Binar menegang kala Dante makin mendekat, mengungkungnya di kepala ranjang. Ia terkesiap kala tangan besar itu mengelus rambutnya lembut. “Sebenarnya aku ingin membawamu sejak dulu,” ungkapnya pelan. “Tapi aku terlalu lambat. Dan orang-orang itu ...,” Tatapannya menjadi gelap penuh kebencian. “ ... membuangmu ke neraka.”Tangan Binar mengepal begitu mendengar pengakuan Dante. Jadi, apa sebenarnya Dante mengetahui semua tentangnya? Tentang hidup
Tubuh Binar terasa remuk redam kala terbangun di siang harinya. Ia hanya diam berbaring untuk meredakan bagian inti tubuhnya yang masih nyeri.Binar menyadari rambutnya sedikit lembab, tubuhnya juga telah dibalut piyama kebesaran. "Apakah Dante yang melakukannya?" tanyanya skeptis. Binar melirik noda merah pada seprai yang teronggok di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia telah menyerahkannya. Tangan Binar mengepal, merasakan denyut menyakitkan di dadanya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena ini adalah pilihannya. Ia yang memberikan akses kepada Dante untuk mengambil semuanya hanya karena sentuhan kecil. Suara pintu kamar mandi yang terbuka menarik atensi Binar. Ia melihat Dante keluar dari sana sambil mengenakan kausnya, memperlihatkan perut sixpack dan beberapa bekas luka di sana. Binar menggigit bibirnya berusaha bangun melawan nyeri yang makin terasa, tapi tubuhnya tak bisa diajak bekerjasama. Dante dengan tenang menghampiri Binar. Membaringkannya kembali dan
Binar tak tahu sejak kapan semuanya mulai berubah.Dante masihlah pria dingin dan mengintimidasi, tapi terkadang ... perlakuan lembutnya kembali mengingatkan pada masa kecil mereka yang damai. Pria itu masih mengingat makanan apa yang ia sukai dan ia benci. Menyiapkan segala keperluannya, meski ia tak diperbolehkan keluar dari rumah. Dante juga selalu membasuh tubuhnya ketika Binar sudah terkapar tak berdaya karena sentuhannya. Namun, masalah sebenarnya datang dari Valeria yang terus-terusan datang ke rumah dan mengacaukan semuanya. Sikap Dante yang tak pernah menjawab ketika Binar mempertanyakan hubungan keduanya, semakin membuatnya kesal dan jengkel. ---Binar merapatkan jari-jarinya yang terasa dingin sambil menyesap teh hangat di balkon kamarnya. Ia sendirian. Diana pamit entah kemana setelah mengantarkan teh untuknya. Tak lama kemudian, tatapannya tertuju pada Adrian yang berdiri di depan pintu kamar. Laki-laki aneh yang nyaris tak pernah mengangkat wajahnya di hadapan Binar
Binar masih bisa mencium aroma darah yang menguar dari pintu kamar meski lantai itu telah dibersihkan, seolah tak pernah ada kejadian mengenaskan yang terjadi. Diana terus membujuknya untuk makan, tapi ia terus menolak. Makanan itu selalu berakhir di toilet saat ia mengingat kejadian kemarin. Tangan Binar terus mencengkeram selimut dengan erat. Gemetar di tubuhnya tak juga kunjung mereda. Suara pistol yang menggema, darah yang berceceran ... terekam jelas di kepalanya. Binar ingin pergi.Ia tak bisa tinggal di sini lebih lama.Binar tak lagi peduli jika ia harus kehilangan segalanya. Yang terpenting, ia harus segera pergi dari sini bagaimanapun caranya. Dengan tangan gemetar, Binar meraih ponsel yang selama ini ia simpan di laci nakas. Ia mencoba menghubungi kontak sahabatnya dari panti -Vera untuk meminta bantuan. "Vera ... tolong aku. Aku ingin pergi dari sini." Binar mengetik sambil menahan gemetar di tangannya.Tak menunggu lama, pesan itu segera di baca. Dan sebuah notifikas
Binar berdiri untuk waktu yang cukup lama setelah sampai di sebuah sebuah kota kecil. Tangannya mencengkeram erat koper kecil-satu-satunya harta berharga yang ia punya dengan memandang lurus jalanan sepi di depannya.Jemarinya berganti mengusap pipinya yang telah basah entah sejak kapan. Tidak. Ia harus bergerak. Menjauh dari Dante adalah keputusan yang bijak."Kau bisa, Binar. Dari awal kau sudah sendirian."Malam itu, Binar berjalan sendirian menembus dinginnya malam. Setidaknya, ini lebih baik daripada hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kekangan erat yang Dante buat.---Binar menyesap segelas kopi instan yang mulai mendingin di tangannya, memindai isi kamar kecil yang bisa ia sewa untuk sebulan kedepan. Tempat ... yang ia pikir akan lolos dari intaian Dante.Ia menghitung sisa uang yang Valleria berikan padanya yang mulai tersisa sedikit. "Aku harus mencari pekerjaan segera."Begitu matahari mulai naik, Binar dengan semangat membersihkan diri dan pergi untuk mencari peruntung
Binar menggigit bibir dalamnya, menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Matanya memerah, menahan genangan air mata menghunus tajam ke arah Vincent."Kalian ...," geram Binar. Ia pikir Valleria tak akan mengusiknya lagi, tapi melihat Vincent di sini ... berarti wanita itu berusaha melenyapkannya.Sialan!Vincent tertawa melihat Binar yang berusaha melawan. Ia menjepit dagunya, tertawa senang. "Kau menggemaskan sekali, kucing kecil. Sayang sekali, cakar kecilmu tak berhasil melukaiku."Jemari Vincent terus menelusuri wajah Binar meski wanita itu trerus memberontak. "Dante pasti frustasi sekali ketika trophy kebanggaan miliknya kuambil paksa tepat di depan matanya."Binar terus memperhatikan dengan waspada tatapan Vincent yang seperti menelanjanginya. Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya terasa sakit.Vincent tertawa geli. "Sepertinya, ruangan ini kurang cocok untukmu." Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik lirih tepat di telinga Binar sembari mengendus lehernya. "Aku punya ruangan i
Binar menggigit bibirnya kencang, menunduk di bawah meja. Tubuhnya gemetar dengan jantung yang memompa cepat melihat pecahan kaca yang berhamburan di lantai. Situasi yang Binar benci. Mengingatkannya akan tragedi berdarah yang menciptakan trauma mendalam di benaknya. Dan sekarang, ia berada di tengah kekacauan yang sama. Lagi. Semenjak bertemu Dante, sepertinya hidupnya tak pernah damai untuk sekejap. Memaksakan tububuhnya yang terus bergetar untuk bergerak, Binar merangkak di balik meja, menghindari serpihan kaca yang berserakan. Hingga ... siluet familiar tertangkap dari sudut matanya. Dante. Pria itu berdiri tegap memandang dingin ke arahnya dengan pistol berasap di genggaman. Binar jatuh terduduk dengan pupil bergetar tak bisa bergerak ketika Dante beranjak mendekat ke arahnya. Tatapan Dante terlihat gelap. Rahangnya mengeras. Jemari panjangnya melingkar erat di gagang pistol, seakan siap menghabisi siapa pun yang menghalangi jalannya. Binar mundur perlahan, berusaha men
Binar berdiri untuk waktu yang cukup lama setelah sampai di sebuah sebuah kota kecil. Tangannya mencengkeram erat koper kecil-satu-satunya harta berharga yang ia punya dengan memandang lurus jalanan sepi di depannya.Jemarinya berganti mengusap pipinya yang telah basah entah sejak kapan. Tidak. Ia harus bergerak. Menjauh dari Dante adalah keputusan yang bijak."Kau bisa, Binar. Dari awal kau sudah sendirian."Malam itu, Binar berjalan sendirian menembus dinginnya malam. Setidaknya, ini lebih baik daripada hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kekangan erat yang Dante buat.---Binar menyesap segelas kopi instan yang mulai mendingin di tangannya, memindai isi kamar kecil yang bisa ia sewa untuk sebulan kedepan. Tempat ... yang ia pikir akan lolos dari intaian Dante.Ia menghitung sisa uang yang Valleria berikan padanya yang mulai tersisa sedikit. "Aku harus mencari pekerjaan segera."Begitu matahari mulai naik, Binar dengan semangat membersihkan diri dan pergi untuk mencari peruntung
Binar masih bisa mencium aroma darah yang menguar dari pintu kamar meski lantai itu telah dibersihkan, seolah tak pernah ada kejadian mengenaskan yang terjadi. Diana terus membujuknya untuk makan, tapi ia terus menolak. Makanan itu selalu berakhir di toilet saat ia mengingat kejadian kemarin. Tangan Binar terus mencengkeram selimut dengan erat. Gemetar di tubuhnya tak juga kunjung mereda. Suara pistol yang menggema, darah yang berceceran ... terekam jelas di kepalanya. Binar ingin pergi.Ia tak bisa tinggal di sini lebih lama.Binar tak lagi peduli jika ia harus kehilangan segalanya. Yang terpenting, ia harus segera pergi dari sini bagaimanapun caranya. Dengan tangan gemetar, Binar meraih ponsel yang selama ini ia simpan di laci nakas. Ia mencoba menghubungi kontak sahabatnya dari panti -Vera untuk meminta bantuan. "Vera ... tolong aku. Aku ingin pergi dari sini." Binar mengetik sambil menahan gemetar di tangannya.Tak menunggu lama, pesan itu segera di baca. Dan sebuah notifikas
Binar tak tahu sejak kapan semuanya mulai berubah.Dante masihlah pria dingin dan mengintimidasi, tapi terkadang ... perlakuan lembutnya kembali mengingatkan pada masa kecil mereka yang damai. Pria itu masih mengingat makanan apa yang ia sukai dan ia benci. Menyiapkan segala keperluannya, meski ia tak diperbolehkan keluar dari rumah. Dante juga selalu membasuh tubuhnya ketika Binar sudah terkapar tak berdaya karena sentuhannya. Namun, masalah sebenarnya datang dari Valeria yang terus-terusan datang ke rumah dan mengacaukan semuanya. Sikap Dante yang tak pernah menjawab ketika Binar mempertanyakan hubungan keduanya, semakin membuatnya kesal dan jengkel. ---Binar merapatkan jari-jarinya yang terasa dingin sambil menyesap teh hangat di balkon kamarnya. Ia sendirian. Diana pamit entah kemana setelah mengantarkan teh untuknya. Tak lama kemudian, tatapannya tertuju pada Adrian yang berdiri di depan pintu kamar. Laki-laki aneh yang nyaris tak pernah mengangkat wajahnya di hadapan Binar
Tubuh Binar terasa remuk redam kala terbangun di siang harinya. Ia hanya diam berbaring untuk meredakan bagian inti tubuhnya yang masih nyeri.Binar menyadari rambutnya sedikit lembab, tubuhnya juga telah dibalut piyama kebesaran. "Apakah Dante yang melakukannya?" tanyanya skeptis. Binar melirik noda merah pada seprai yang teronggok di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia telah menyerahkannya. Tangan Binar mengepal, merasakan denyut menyakitkan di dadanya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena ini adalah pilihannya. Ia yang memberikan akses kepada Dante untuk mengambil semuanya hanya karena sentuhan kecil. Suara pintu kamar mandi yang terbuka menarik atensi Binar. Ia melihat Dante keluar dari sana sambil mengenakan kausnya, memperlihatkan perut sixpack dan beberapa bekas luka di sana. Binar menggigit bibirnya berusaha bangun melawan nyeri yang makin terasa, tapi tubuhnya tak bisa diajak bekerjasama. Dante dengan tenang menghampiri Binar. Membaringkannya kembali dan
“Ka-kak D-Dante...?” gumamnya nyaris tak percaya.Senyuman tipis terangkat di bibir pria itu. “Akhirnya.”Binar tercekat. Dante yang dulu ia kenal adalah laki-laki lugu dengan sorot mata penuh kelembutan. Bukan pria yang memiliki tatapan tajam dan aura berbahaya di sekelilingnya. Binar membisu untuk sesaat. Benarkah dia adalah Dante yang ia kenal? Dilihat dari wajahnya memang mirip dengan yang ada di ingatannya, tapi mata itu ... aura dingin yang bertolak belakang dengan kepribadian Dante-nya yang hangat sedikit membingungkan untuknya. Tubuh Binar menegang kala Dante makin mendekat, mengungkungnya di kepala ranjang. Ia terkesiap kala tangan besar itu mengelus rambutnya lembut. “Sebenarnya aku ingin membawamu sejak dulu,” ungkapnya pelan. “Tapi aku terlalu lambat. Dan orang-orang itu ...,” Tatapannya menjadi gelap penuh kebencian. “ ... membuangmu ke neraka.”Tangan Binar mengepal begitu mendengar pengakuan Dante. Jadi, apa sebenarnya Dante mengetahui semua tentangnya? Tentang hidup
"Aku datang kesini hanya untuk menjadi pelayan, bukan wanita panggilan!" Binar menyalak keras, menatap wanita glamour yang menggunakan riasan tebal itu dengan amarah yang menggelegak. Binar jelita-gadis berusia 27 tahun itu tak terima dengan keputusan sepihak Madam Siska-pemilik Bar Eclipse. Namun, tawa wanita itu menggema. "Sayang sekali, orang tua angkatmu sudah menjualmu padaku."Dunia Binar runtuh dalam sekejap. Tak mungkin. Meski mereka memanfaatkannya selama ini, tak mungkin mereka akan sekejam itu. Namun, bukti itu nyata—kontrak perjanjian dengan tanda tangan ibunya."Aku tak percaya ...." Suaranya nyaris tak terdengar."Terserah." Madam Siska meniup asap rokoknya. "Pegang dia!"Dua pria berbadan besar segera mencengkram Binar, mengabaikan teriakannya yang menggema di antara dentuman musik. Cairan panas dipaksa melewati tenggorokannya, membuat tubuhnya terbakar dari dalam."Nikmati malam pertamamu."Binar terus meronta, tapi tubuhnya melemah. Napasnya mulai memburu dan kulit