"Dari mana saja kalian?" tanya Ivona dengan nada suara setengah melengking. "Satu jam lebih kami mencari-cari kalian dan hasilnya nihil. Apa kalian tahu, kekacauan apa yang nyaris saja kalian akibatkan?"
Kalau Aila langsung terlihat mengerut dan seakan hendak bersembunyi di belakang punggung Killian, maka lelaki bersurai hitam itu justru meremas tangannya sesaat, menaikkan satu alisnya dan memasang senyuman miring yang khas sebelum menjawab, "Apakah terjadi gunung meletus, gempa bumi dan gelombang tsunami saat kami tidak ada tadi, Bu?"
Kedua mata Heri Roxanne sontak melebar ketika mendengar ucapan Killian tadi, sementara di satu sisi Aila justru sebisa mungkin menahan tawanya.
Perempuan bermata abu itu luar biasa merasa geli, sebab apa yang Killian katakan tadi sama persis dengan apa yang Ayahnya katakan saat berjalan mendampinginya sebelum pernikahan.
Heri Roxanne saat ini bahkan memandang Killian d
"Dasar iblis," gumam Aila, nyaris tanpa menggerakkan bibirnya sedikit pun.Di wajah cantik perempuan itu memang tersungging segaris senyuman, tapi pandangan sepasang mata berwarna abunya terlihat berkobar, seakan ada gemuruh badai yang menggulung di sana."Dasar lelaki arogan, sombong, nggak punya hati," ujarnya lagi, melanjutkan omelan dalam desisan samar yang bahkan nyaris tidak terdengar.Killian tertawa kecil dan terlihat luar biasa bahagia. Dia mengerling Aila sekilas, mengeratkan genggamannya, lalu mengangkat tangan dan mengecup punggung tangan perempuan itu sebanyak beberapa kali dalam satu menit terakhir, seolah ingin memastikan bahwa cincin pernikahan yang dia sematkan nyaris empat jam lalu masih ada di jari manis Aila."Aku sebal padamu, Kills," sambung Aila, kali ini dengan campuran antara nada marah dan juga merajuk. "Tega sekali kamu."Mengerucutkan sepasang bibir mu
"Queen," bisiknya, menyempatkan diri untuk mencium sekilas tengkuk Aila.Aila sebelumnya sedang duduk mengobrol bersama Ansia dan Aisa, ketika Killian tiba-tiba datang dan langsung melingkarkan lengan di pinggangnya.Lelaki itu tersenyum dan menghela napas berat. Segala penundaan ini terasa bagai seumur hidup bagi Killian.Yah, bayangkan saja.Dua jam untuk sesi pemotretan dan syuting video, dan dua jam untuk berkeliling serta menyapa para tamu undangan.Belum cukup sampai di situ, dua jam kemudian Killian terpaksa pula harus menghabiskan waktu ketika Aiden menyeretnya ke bar, bertiga bersama Ayik yang baru saja datang.Oh, God.Rasanya, hanya Tuhan dan Killian yang tahu, betapa keras lelaki itu sudah berusaha untuk mengendalikan dirinya."Mmh, Kills. Hei." Aila menoleh, memandang Killian dengan sepasang mata abu yang berbinar karena merasa senang.Fakta bahwa tidak ada aroma alkohol yang menguar dari Killian, membuktikan kalau suaminya i
Killian memutar kran shower dan mematikan siraman air dingin. Dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang, lelaki bersurai hitam itu keluar dari kamar mandi.Berjalan memasuki kamar, sesaat dia berhenti dan terpaku dengan nadi yang berdenyut kencang.Aila ada di sini, di atas tempat tidurnya, tertidur nyenyak setelah permainan panas mereka yang entah sudah berapa ronde berlangsung. Melirik jam beker di atas nakas, sepasang mata gelapnya bisa melihat bahwa saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.Pukul sepuluh pagi. Itu berarti tadi mereka bercinta selama hampir empat jam."Tadi itu ... aku pasti sudah benar-benar menggila," erangnya, sekarang mulai mengkhawatirkan keadaan Aila. "Queen .... Dia pasti capek karena perjalanan jauh ini, tapi aku malah langsung mengajaknya bercinta. God!"Killian lalu naik ke tempat tidur, memosisikan diri di atas Aila, bertopang dengan lengan dan kakinya. Dia tidak ingin menyentuh Aila, setidaknya belum.
"Queen, apa kamu yakin?""Tentu saja.""Tapi-""Killian?"Killian mendengus dan, untuk pertama kali dalam hidupnya, cemberut, membuat Aila tertawa melihatnya."Oh, ayolah, Kills," kekehnya, berusaha keras menahan semburan tawa. "Masa kita harus mendekam terus di villa? Sudah dua hari penuh kita menghabiskan waktu hanya dengan berada di vila dan sekitarnya. Apa kamu nggak bosan?""Mana mungkin aku bosan kalau itu denganmu, Queen," rajuk Killian, memeluk Aila dan mencium tengkuknya sekilas. "Aku justru betah kalau harus berduaan saja denganmu.""Dasar mesum.""Mesum sama istri sendiri, boleh 'kan? Lagi pula, aku juga nggak bisa dikata mesum sepenuhnya." Mencondongkan tubuh dan menunduk, Killian berbisik di dekat telinga Aila. "Toh kemarin selama seharian milikku ini belum bertemu dengan pasangannya."Wajah Aila sontak memerah. Dengan gemas dia mencubit pinggang Killian, dan membuat lelaki itu meringis."Queen, sejak kapan kamu menjadi
Ada sesuatu yang aneh."Kills?"Aila terbangun di tempat tidur yang kosong. Ini kejadian yang tidak biasa dan dia sudah nyaris tertidur kembali, ketika pikirannya kemudian menyentil.Di mana Killian?Beringsut bangun dan bertumpu dengan satu lengan, perempuan bermata abu itu lantas melihat jam beker di atas nakas.Sudah tengah malam lewat tujuh menit.Lalu, Killian pergi ke mana pada waktu yang selarut ini?"Tunggu," gumam Aila, mulai merasa panik. "Jangan katakan kalau dia meninggalkanku sendirian di villa."Bukannya apa-apa, tapi villa mereka ini memang terletak di sebuah pulau pribadi, yang tentu saja tertutup bagi orang luar.Memang, sih, dia dan Killian menginginkan privasi selama berada di Maldives, dan Aila juga tahu bahwa ada beberapa orang penjaga yang bertugas di sekeliling pulau sehingg
Killian tidak bisa berhenti untuk tidak merasa gelisah. Hilir mudik dia berjalan di depan pintu ruang periksa di UGD ADK Hospital dengan wajah cemas.Sebenarnya dini hari tadi dia sudah memanggil dokter pribadi untuk datang ke villa pribadi milik keluarganya. Tentu saja tujuannya tidak lain adalah untuk memeriksakan kesehatan Aila.Namun karena kondisi istrinya itu tidak juga kunjung membaik, maka Killian membawanya agar bisa diperiksa secara langsung di salah satu rumah sakit terbesar yang ada di Maldives ini."Bagaimana kalau Queen benar-benar sakit," gumamnya, gelisah sendiri. "Dini hari tadi, setelah kami selesai bercinta, dia tiba-tiba saja mual dan muntah-muntah parah. Bahkan sampai nggak bisa memakan apa pun, meski hanya sedikit.""Queen juga terlihat pucat." Meremas rambut dengan kedua tangannya, Killian mengerang. "Oh, God. Dia bahkan sampai kelihatan lemas seperti itu."
"Apa aku dalam masalah?""Kamu dalam masalah yang sangat besar, Queen.""Sepertinya ini jadi sesuatu yang berulang secara bergantian di antara kita."Killian berhenti setelah satu langkah maju mendekati Aila, berpikir."Sepertinya begitu," ujarnya setengah ragu."Apa kamu akan memberi tahu soal apa yang menjadi kesalahanku, Kill?" Mendongak, Aila menatap Killian dengan pandangan penuh harap. Kedua pipinya bersemu, terlihat luar biasa cantik di mata Killian yang sekarang sudah menghela napas berat. "Apa salahku?""Aku nggak suka gaunmu, Queen.""Apakah itu artinya aku harus melepaskannya? Sekarang? Di hadapanmu?"God!Killian menghujat dirinya sendiri di dalam hati.Tadinya dia ingin marah. Malah, sebenarnya dia sangat marah, tapi sekarang dia malah harus menelan kembali segala
"Angkat tangan Anda, Nona.""Apa yang kamu lakukan? Bukan dia sasaran kita.""Rambut berwarna coklat dan gaun malam berwarna hitam," eyel pria pertama sembari mengerutkan dahi. "Jadi, apanya yang salah?"Melotot marah, pria kedua lantas menghardik, "Sudah kukatakan, bukan dia. Jangan gegabah, bisa gawat nanti kalau kita sampai salah."Seorang wanita yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu terlihat ketakutan.Dia menatap ngeri dua orang pria asing berjas yang entah siapa, yang tiba-tiba saja menghadang jalannya seusai kembali dari toilet.Sementara yang satu menempelkan ujung benda yang entah apa yang terasa bagai logam dingin mengerikan di kulit punggungnya yang telanjang, maka satu pria lainnya hanya berdiri menghalanginya sambil melotot marah."Ap—apa sebenarnya yang kalian inginkan?" rintihnya, terdengar bagai tikus yang m