Killian tidak bisa berhenti untuk tidak merasa gelisah. Hilir mudik dia berjalan di depan pintu ruang periksa di UGD ADK Hospital dengan wajah cemas.
Sebenarnya dini hari tadi dia sudah memanggil dokter pribadi untuk datang ke villa pribadi milik keluarganya. Tentu saja tujuannya tidak lain adalah untuk memeriksakan kesehatan Aila.
Namun karena kondisi istrinya itu tidak juga kunjung membaik, maka Killian membawanya agar bisa diperiksa secara langsung di salah satu rumah sakit terbesar yang ada di Maldives ini.
"Bagaimana kalau Queen benar-benar sakit," gumamnya, gelisah sendiri. "Dini hari tadi, setelah kami selesai bercinta, dia tiba-tiba saja mual dan muntah-muntah parah. Bahkan sampai nggak bisa memakan apa pun, meski hanya sedikit."
"Queen juga terlihat pucat." Meremas rambut dengan kedua tangannya, Killian mengerang. "Oh, God. Dia bahkan sampai kelihatan lemas seperti itu."
"Apa aku dalam masalah?""Kamu dalam masalah yang sangat besar, Queen.""Sepertinya ini jadi sesuatu yang berulang secara bergantian di antara kita."Killian berhenti setelah satu langkah maju mendekati Aila, berpikir."Sepertinya begitu," ujarnya setengah ragu."Apa kamu akan memberi tahu soal apa yang menjadi kesalahanku, Kill?" Mendongak, Aila menatap Killian dengan pandangan penuh harap. Kedua pipinya bersemu, terlihat luar biasa cantik di mata Killian yang sekarang sudah menghela napas berat. "Apa salahku?""Aku nggak suka gaunmu, Queen.""Apakah itu artinya aku harus melepaskannya? Sekarang? Di hadapanmu?"God!Killian menghujat dirinya sendiri di dalam hati.Tadinya dia ingin marah. Malah, sebenarnya dia sangat marah, tapi sekarang dia malah harus menelan kembali segala
"Angkat tangan Anda, Nona.""Apa yang kamu lakukan? Bukan dia sasaran kita.""Rambut berwarna coklat dan gaun malam berwarna hitam," eyel pria pertama sembari mengerutkan dahi. "Jadi, apanya yang salah?"Melotot marah, pria kedua lantas menghardik, "Sudah kukatakan, bukan dia. Jangan gegabah, bisa gawat nanti kalau kita sampai salah."Seorang wanita yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu terlihat ketakutan.Dia menatap ngeri dua orang pria asing berjas yang entah siapa, yang tiba-tiba saja menghadang jalannya seusai kembali dari toilet.Sementara yang satu menempelkan ujung benda yang entah apa yang terasa bagai logam dingin mengerikan di kulit punggungnya yang telanjang, maka satu pria lainnya hanya berdiri menghalanginya sambil melotot marah."Ap—apa sebenarnya yang kalian inginkan?" rintihnya, terdengar bagai tikus yang m
Di antara satu sampai seratus, maka tingkat ketegangan Killian saat ini sudah mencapai seribu."Lepaskan dia," desisnya dengan suara nyaris menggeram, terbelah antara rasa marah dan sekaligus khawatir. "Aku tidak tahu apa yang Anda inginkan, tapi apa pun itu, jangan melibatkan istriku."Meneguk ludah, Killian memandang cemas ke arah istrinya yang sudah terlihat pucat dengan kedua tangan yang terangkat.Sesaat kemudian, Aila mengelus perutnya seakan ingin melindungi sesuatu yang masih sangat lemah di dalam sana, dan hal tersebut pun tidak luput dari pengamatan Killian.Menggeram, lelaki bersurai hitam itu berusaha menahan diri agar tidak gegabah dan langsung menyerang maju begitu saja.Diliriknya sekilas, beberapa petugas keamanan yang ada juga sudah menyebar dan bersiaga, menanti saat yang tepat.Namun masalahnya, dia benar-benar sudah tidak sanggup lag
Kakak-kakak tersayang, Sehubungan dengan masih banyaknya pembaca yang kesulitan menemukan cerita sequel Aila - Killian di novel Istri Manis Kesayangan CEO, maka saya dan editor sepakat untuk meneruskan cerita tersebut di buku awal. Cerita kelanjutan Aila - Killian bisa kembali kakak-kakak nikmati di Terperangkap Gairah Suami Butaku, sehingga Kakak-kakak tidak perlu lagi kerepotan untuk mencari link cerita yang baru. Semoga cerita yang akan saya suguhkan nanti bisa memberi kepuasan membaca dan berkenan bagi Kakak-kakak. Saran dan masukkan juga sangat saya harapkan untuk perbaikan ke depannya. Terima kasih dan salam sayang. Semoga sehat selalu. Apabila ingin mengikuti informasi by Igeh saya, silakan di: Rae_1243
"Argh!"Suara erang kesakitan terdengar menembus keheningan malam. Killian yang saat itu tengah berada di kamar mandi pun seketika terlihat mematung.Apakah tadi dia hanya salah dengar?Mengulurkan tangan dan mematikan kran shower, lelaki berambut hitam itu lantas berusaha untuk mendengarkan dengan lebih seksama.Hening. Tidak ada terdengar suara kecuali sisa tetes air mandinya.Menghela napas dan menggeleng kecil, Killian sudah nyaris akan memutar kembali kran shower dan berniat meneruskan mandi malamnya, ketika suara yang mengerang kesakitan itu kembali menyapa pendengaran."Argh! Sakit! Kills!"Panik. Setidaknya itulah emosi yang menguasai lelaki tampan berambut hitam itu. Mengambil handuk yang tersampir dan memakainya dengan asal, dia pun berlari kencang keluar dari kamar mandi dan melintasi kamar tidurnya."Queen!" serunya, memandang cemas sang istri yang saat ini tidur bergelung dan mengerang kesakitan. "Ada apa?"
"Digugurkan?"Killian bertanya dengan wajah hampa, sementara dokter pria yang berada di depannya kini pun menghela napas berat."Benar, Tuan. Jadi—""Lantas kenapa? Sebenarnya ada masalah apa?" cecar Killian, mati-matian berusaha menahan diri agar tidak lepas kontrol. "Sebelumnya tadi semua masih baik-baik saja, tapi kemudian—""Dari awal sebenarnya sudah ada indikasi bahwa ada masalah dengan kandungan istri Anda—""KALAU MEMANG SUDAH TAHU SEJAK AWAL, LALU TINDAKAN APA SAJA YANG SUDAH KALIAN USAHAKAN?"Teriakan Killian bergaung. Bukan hanya karena amarah, tapi juga frustrasi dan rasa cemas yang mencekik.Saat ini dia dan dokter yang menangani istrinya itu sedang berdiri di koridor depan ruang gawat darurat, dan jujur saja, lelaki tampan itu sudah nyaris tidak sanggup lagi menahan diri agar tidak mengamuk."BUKANKAH SEHARUSNYA KALIAN BISA MELAKUKAN SESUATU?""Tuan, mohon tenanglah dulu—""Ma
Suara isak tangis Ivona masih terdengar sewaktu Claude berbicara melalui sambungan telepon.Bukan Killian yang menelepon kedua orang tuanya tersebut, melainkan Erik. Tentu saja, mana mungkin dia sanggup memberi tahu soal keadaan Aila saat ini.Lelaki berambut hitam itu kini hanya duduk diam di atas lantai dan bersandar di dinding, sambil memasang pandangan kosong ke arah pintu ruang operasi di depannya yang tertutup."Tuan Muda," panggil Erik hati-hati, dengan sangat perlahan pria separuh baya itu menyentuh bahu Killian. "Tuan Besar ingin berbicara dengan Anda. Silakan."Killian masih tetap terdiam dan tidak langsung menerima ponsel yang diulurkan Erik. Ada beberapa saat berlalu yang dihabiskan oleh lelaki itu untuk menarik napas dalam-dalam."Ian," sapa Claude, ketika akhirnya Killian bersedia menerima ponsel Erik. "Yang sabar, Nak. Jangan goyah atau runtuh. Ingat posisimu. Sebagai kepala keluarga kamu harus selalu bisa berdiri dengan kuat."
"Kills?"Ada kerutan samar di dahi Killian ketika dia merasakan ada yang mengelus lembut rambutnya. Namun meski begitu, lelaki tampan itu masih belum juga mau membuka mata dan tetap lelap dalam tidur."Kills," panggil suara bernada merdu itu. "Killian."Dua menit berlalu dan lelaki itu tetap bergeming, setidaknya sampai sebuah ciuman mendarat di dahi dan membuatnya mulai bereaksi."Queen?" bisiknya dengan suara serak, belum sepenuhnya sadar.Seolah masih memerlukan waktu untuk mencerna keadaan, Killian tetap terdiam selama beberapa saat seperti orang yang melamun. Sampai kemudian dia sontak terbangun semacam orang yang terkena kejutan listrik."Queen!" serunya kaget, berlanjut dengan sebuah pertanyaan bodoh, "Kamu sudah bangun?"Masih terlihat pucat dan lemas, Aila pun tidak sanggup untuk menahan rasa gelinya. Dengan senyuman di wajah, perempuan bermata abu itu kini mengelus pipi Killian."Iya, Kills, aku sudah bangun. Berapa l