Ada sesuatu yang aneh.
"Kills?"
Aila terbangun di tempat tidur yang kosong. Ini kejadian yang tidak biasa dan dia sudah nyaris tertidur kembali, ketika pikirannya kemudian menyentil.
Di mana Killian?
Beringsut bangun dan bertumpu dengan satu lengan, perempuan bermata abu itu lantas melihat jam beker di atas nakas.
Sudah tengah malam lewat tujuh menit.
Lalu, Killian pergi ke mana pada waktu yang selarut ini?
"Tunggu," gumam Aila, mulai merasa panik. "Jangan katakan kalau dia meninggalkanku sendirian di villa."
Bukannya apa-apa, tapi villa mereka ini memang terletak di sebuah pulau pribadi, yang tentu saja tertutup bagi orang luar.
Memang, sih, dia dan Killian menginginkan privasi selama berada di Maldives, dan Aila juga tahu bahwa ada beberapa orang penjaga yang bertugas di sekeliling pulau sehingg
Killian tidak bisa berhenti untuk tidak merasa gelisah. Hilir mudik dia berjalan di depan pintu ruang periksa di UGD ADK Hospital dengan wajah cemas.Sebenarnya dini hari tadi dia sudah memanggil dokter pribadi untuk datang ke villa pribadi milik keluarganya. Tentu saja tujuannya tidak lain adalah untuk memeriksakan kesehatan Aila.Namun karena kondisi istrinya itu tidak juga kunjung membaik, maka Killian membawanya agar bisa diperiksa secara langsung di salah satu rumah sakit terbesar yang ada di Maldives ini."Bagaimana kalau Queen benar-benar sakit," gumamnya, gelisah sendiri. "Dini hari tadi, setelah kami selesai bercinta, dia tiba-tiba saja mual dan muntah-muntah parah. Bahkan sampai nggak bisa memakan apa pun, meski hanya sedikit.""Queen juga terlihat pucat." Meremas rambut dengan kedua tangannya, Killian mengerang. "Oh, God. Dia bahkan sampai kelihatan lemas seperti itu."
"Apa aku dalam masalah?""Kamu dalam masalah yang sangat besar, Queen.""Sepertinya ini jadi sesuatu yang berulang secara bergantian di antara kita."Killian berhenti setelah satu langkah maju mendekati Aila, berpikir."Sepertinya begitu," ujarnya setengah ragu."Apa kamu akan memberi tahu soal apa yang menjadi kesalahanku, Kill?" Mendongak, Aila menatap Killian dengan pandangan penuh harap. Kedua pipinya bersemu, terlihat luar biasa cantik di mata Killian yang sekarang sudah menghela napas berat. "Apa salahku?""Aku nggak suka gaunmu, Queen.""Apakah itu artinya aku harus melepaskannya? Sekarang? Di hadapanmu?"God!Killian menghujat dirinya sendiri di dalam hati.Tadinya dia ingin marah. Malah, sebenarnya dia sangat marah, tapi sekarang dia malah harus menelan kembali segala
"Angkat tangan Anda, Nona.""Apa yang kamu lakukan? Bukan dia sasaran kita.""Rambut berwarna coklat dan gaun malam berwarna hitam," eyel pria pertama sembari mengerutkan dahi. "Jadi, apanya yang salah?"Melotot marah, pria kedua lantas menghardik, "Sudah kukatakan, bukan dia. Jangan gegabah, bisa gawat nanti kalau kita sampai salah."Seorang wanita yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu terlihat ketakutan.Dia menatap ngeri dua orang pria asing berjas yang entah siapa, yang tiba-tiba saja menghadang jalannya seusai kembali dari toilet.Sementara yang satu menempelkan ujung benda yang entah apa yang terasa bagai logam dingin mengerikan di kulit punggungnya yang telanjang, maka satu pria lainnya hanya berdiri menghalanginya sambil melotot marah."Ap—apa sebenarnya yang kalian inginkan?" rintihnya, terdengar bagai tikus yang m
Di antara satu sampai seratus, maka tingkat ketegangan Killian saat ini sudah mencapai seribu."Lepaskan dia," desisnya dengan suara nyaris menggeram, terbelah antara rasa marah dan sekaligus khawatir. "Aku tidak tahu apa yang Anda inginkan, tapi apa pun itu, jangan melibatkan istriku."Meneguk ludah, Killian memandang cemas ke arah istrinya yang sudah terlihat pucat dengan kedua tangan yang terangkat.Sesaat kemudian, Aila mengelus perutnya seakan ingin melindungi sesuatu yang masih sangat lemah di dalam sana, dan hal tersebut pun tidak luput dari pengamatan Killian.Menggeram, lelaki bersurai hitam itu berusaha menahan diri agar tidak gegabah dan langsung menyerang maju begitu saja.Diliriknya sekilas, beberapa petugas keamanan yang ada juga sudah menyebar dan bersiaga, menanti saat yang tepat.Namun masalahnya, dia benar-benar sudah tidak sanggup lag
Kakak-kakak tersayang, Sehubungan dengan masih banyaknya pembaca yang kesulitan menemukan cerita sequel Aila - Killian di novel Istri Manis Kesayangan CEO, maka saya dan editor sepakat untuk meneruskan cerita tersebut di buku awal. Cerita kelanjutan Aila - Killian bisa kembali kakak-kakak nikmati di Terperangkap Gairah Suami Butaku, sehingga Kakak-kakak tidak perlu lagi kerepotan untuk mencari link cerita yang baru. Semoga cerita yang akan saya suguhkan nanti bisa memberi kepuasan membaca dan berkenan bagi Kakak-kakak. Saran dan masukkan juga sangat saya harapkan untuk perbaikan ke depannya. Terima kasih dan salam sayang. Semoga sehat selalu. Apabila ingin mengikuti informasi by Igeh saya, silakan di: Rae_1243
"Argh!"Suara erang kesakitan terdengar menembus keheningan malam. Killian yang saat itu tengah berada di kamar mandi pun seketika terlihat mematung.Apakah tadi dia hanya salah dengar?Mengulurkan tangan dan mematikan kran shower, lelaki berambut hitam itu lantas berusaha untuk mendengarkan dengan lebih seksama.Hening. Tidak ada terdengar suara kecuali sisa tetes air mandinya.Menghela napas dan menggeleng kecil, Killian sudah nyaris akan memutar kembali kran shower dan berniat meneruskan mandi malamnya, ketika suara yang mengerang kesakitan itu kembali menyapa pendengaran."Argh! Sakit! Kills!"Panik. Setidaknya itulah emosi yang menguasai lelaki tampan berambut hitam itu. Mengambil handuk yang tersampir dan memakainya dengan asal, dia pun berlari kencang keluar dari kamar mandi dan melintasi kamar tidurnya."Queen!" serunya, memandang cemas sang istri yang saat ini tidur bergelung dan mengerang kesakitan. "Ada apa?"
"Digugurkan?"Killian bertanya dengan wajah hampa, sementara dokter pria yang berada di depannya kini pun menghela napas berat."Benar, Tuan. Jadi—""Lantas kenapa? Sebenarnya ada masalah apa?" cecar Killian, mati-matian berusaha menahan diri agar tidak lepas kontrol. "Sebelumnya tadi semua masih baik-baik saja, tapi kemudian—""Dari awal sebenarnya sudah ada indikasi bahwa ada masalah dengan kandungan istri Anda—""KALAU MEMANG SUDAH TAHU SEJAK AWAL, LALU TINDAKAN APA SAJA YANG SUDAH KALIAN USAHAKAN?"Teriakan Killian bergaung. Bukan hanya karena amarah, tapi juga frustrasi dan rasa cemas yang mencekik.Saat ini dia dan dokter yang menangani istrinya itu sedang berdiri di koridor depan ruang gawat darurat, dan jujur saja, lelaki tampan itu sudah nyaris tidak sanggup lagi menahan diri agar tidak mengamuk."BUKANKAH SEHARUSNYA KALIAN BISA MELAKUKAN SESUATU?""Tuan, mohon tenanglah dulu—""Ma
Suara isak tangis Ivona masih terdengar sewaktu Claude berbicara melalui sambungan telepon.Bukan Killian yang menelepon kedua orang tuanya tersebut, melainkan Erik. Tentu saja, mana mungkin dia sanggup memberi tahu soal keadaan Aila saat ini.Lelaki berambut hitam itu kini hanya duduk diam di atas lantai dan bersandar di dinding, sambil memasang pandangan kosong ke arah pintu ruang operasi di depannya yang tertutup."Tuan Muda," panggil Erik hati-hati, dengan sangat perlahan pria separuh baya itu menyentuh bahu Killian. "Tuan Besar ingin berbicara dengan Anda. Silakan."Killian masih tetap terdiam dan tidak langsung menerima ponsel yang diulurkan Erik. Ada beberapa saat berlalu yang dihabiskan oleh lelaki itu untuk menarik napas dalam-dalam."Ian," sapa Claude, ketika akhirnya Killian bersedia menerima ponsel Erik. "Yang sabar, Nak. Jangan goyah atau runtuh. Ingat posisimu. Sebagai kepala keluarga kamu harus selalu bisa berdiri dengan kuat."
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida