"Argh!"
Suara erang kesakitan terdengar menembus keheningan malam. Killian yang saat itu tengah berada di kamar mandi pun seketika terlihat mematung.
Apakah tadi dia hanya salah dengar?
Mengulurkan tangan dan mematikan kran shower, lelaki berambut hitam itu lantas berusaha untuk mendengarkan dengan lebih seksama.
Hening. Tidak ada terdengar suara kecuali sisa tetes air mandinya.
Menghela napas dan menggeleng kecil, Killian sudah nyaris akan memutar kembali kran shower dan berniat meneruskan mandi malamnya, ketika suara yang mengerang kesakitan itu kembali menyapa pendengaran.
"Argh! Sakit! Kills!"
Panik. Setidaknya itulah emosi yang menguasai lelaki tampan berambut hitam itu. Mengambil handuk yang tersampir dan memakainya dengan asal, dia pun berlari kencang keluar dari kamar mandi dan melintasi kamar tidurnya.
"Queen!" serunya, memandang cemas sang istri yang saat ini tidur bergelung dan mengerang kesakitan. "Ada apa?"
"Digugurkan?"Killian bertanya dengan wajah hampa, sementara dokter pria yang berada di depannya kini pun menghela napas berat."Benar, Tuan. Jadi—""Lantas kenapa? Sebenarnya ada masalah apa?" cecar Killian, mati-matian berusaha menahan diri agar tidak lepas kontrol. "Sebelumnya tadi semua masih baik-baik saja, tapi kemudian—""Dari awal sebenarnya sudah ada indikasi bahwa ada masalah dengan kandungan istri Anda—""KALAU MEMANG SUDAH TAHU SEJAK AWAL, LALU TINDAKAN APA SAJA YANG SUDAH KALIAN USAHAKAN?"Teriakan Killian bergaung. Bukan hanya karena amarah, tapi juga frustrasi dan rasa cemas yang mencekik.Saat ini dia dan dokter yang menangani istrinya itu sedang berdiri di koridor depan ruang gawat darurat, dan jujur saja, lelaki tampan itu sudah nyaris tidak sanggup lagi menahan diri agar tidak mengamuk."BUKANKAH SEHARUSNYA KALIAN BISA MELAKUKAN SESUATU?""Tuan, mohon tenanglah dulu—""Ma
Suara isak tangis Ivona masih terdengar sewaktu Claude berbicara melalui sambungan telepon.Bukan Killian yang menelepon kedua orang tuanya tersebut, melainkan Erik. Tentu saja, mana mungkin dia sanggup memberi tahu soal keadaan Aila saat ini.Lelaki berambut hitam itu kini hanya duduk diam di atas lantai dan bersandar di dinding, sambil memasang pandangan kosong ke arah pintu ruang operasi di depannya yang tertutup."Tuan Muda," panggil Erik hati-hati, dengan sangat perlahan pria separuh baya itu menyentuh bahu Killian. "Tuan Besar ingin berbicara dengan Anda. Silakan."Killian masih tetap terdiam dan tidak langsung menerima ponsel yang diulurkan Erik. Ada beberapa saat berlalu yang dihabiskan oleh lelaki itu untuk menarik napas dalam-dalam."Ian," sapa Claude, ketika akhirnya Killian bersedia menerima ponsel Erik. "Yang sabar, Nak. Jangan goyah atau runtuh. Ingat posisimu. Sebagai kepala keluarga kamu harus selalu bisa berdiri dengan kuat."
"Kills?"Ada kerutan samar di dahi Killian ketika dia merasakan ada yang mengelus lembut rambutnya. Namun meski begitu, lelaki tampan itu masih belum juga mau membuka mata dan tetap lelap dalam tidur."Kills," panggil suara bernada merdu itu. "Killian."Dua menit berlalu dan lelaki itu tetap bergeming, setidaknya sampai sebuah ciuman mendarat di dahi dan membuatnya mulai bereaksi."Queen?" bisiknya dengan suara serak, belum sepenuhnya sadar.Seolah masih memerlukan waktu untuk mencerna keadaan, Killian tetap terdiam selama beberapa saat seperti orang yang melamun. Sampai kemudian dia sontak terbangun semacam orang yang terkena kejutan listrik."Queen!" serunya kaget, berlanjut dengan sebuah pertanyaan bodoh, "Kamu sudah bangun?"Masih terlihat pucat dan lemas, Aila pun tidak sanggup untuk menahan rasa gelinya. Dengan senyuman di wajah, perempuan bermata abu itu kini mengelus pipi Killian."Iya, Kills, aku sudah bangun. Berapa l
"Apa yang sedang kamu lihat?""Diamlah. Jangan berisik terus."Dahi Risa Roxanne berkerut, merasa heran dengan kelakuan suaminya yang sejak tadi mengintip ke dalam ruang rawat Aila. Dengan pandangan curiga dia mengamati lelaki separuh baya itu."Kenapa kita tidak langsung masuk saja, sih?" tanyanya lagi, kali ini sambil membungkukkan badan, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya suaminya itu sedang amati. "Untuk apa kita mengendap-endap seperti ini?"Mereka baru mendapatkan kabar mengenai keadaan Aila tadi malam, dan sudah langsung berniat untuk mengunjungi putri pertama mereka di rumah sakit seketika itu juga, tapi entah mengapa Claude malah melarang."'Jangan dibesuk dulu, tunggu besok saja,'" omel Risa, menirukan ucapan Claude sewaktu menelepon mereka semalam. "'Keadaan mereka saat ini masih labil, tolong biarkan mereka menenangkan diri dulu.' Huh! Dasar Tukang Perintah! Seenaknya saja bicara ini itu!"Mendengus-dengus, Risa masi
Senyuman Aila tidak juga luntur.Wajah cantik yang semula pucat itu pun kini sudah kembali berseri, terutama ketika dokter yang menanganinya datang pada saat jadwal pemeriksaan rutin, dan memberi tahu kabar menggembirakan bahwa dia bisa segera pulang."Hari ini kami akan melakukan pemeriksaan ulang secara keseluruhan terlebih dulu. Anggap saja, untuk mendapatkan hasil diagnosa tahap akhir," lanjut sang dokter, sekarang ikut tertular senyuman Aila. "Kalau semuanya beres, besok Nyonya sudah bisa pulang."Ada ucapan syukur dan juga desah kelegaan yang terdengar menanggapi ucapan dokter tersebut. Disusul kemudian oleh suara Killian yang bernada dengan begitu bersemangat, "Aku akan segera menghubungi Erik, agar mereka yang ada di rumah bisa mempersiapkan segalanya untuk menyambut kepulanganmu besok, Queen.""Apa maksudmu?" Heri menyela dengan nada bicara yang tidak kalah bahagianya. "Tidak perlu repot-repot mmpersiapkan ini atau itu, biarkan putriku pulang ke
Sejak tadi, segaris senyuman tidak juga kunjung luntur dari bibir Killian.Wajah tampan lelaki itu terlihat begitu berseri, sehingga bahkan orang lain pun tidak perlu bertanya lagi soal betapa bahagia hatinya saat ini."Aku mencintaimu, Queen," ujarnya sambil menciumi lagi rambut dan wajah Aila, entah sudah untuk yang ke berapa kali. "Orang-orang di kediaman Ardhana, mereka pasti sudah tidak sabar menunggu kepulanganmu," imbuh Killian lagi sambil menarik Aila lebih dalam lagi ke dalam pelukan.Aila tidak lantas menjawab dan hanya mendongak sambil tersenyum. Perempuan bermata abu itu merasa nyaman dalam pelukan hangat suaminya.Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil yang tengah melaju ke kediaman Ardhana. Kenyataan bahwa Aila akhirnya memilih untuk pulang bersamanya, tentu saja membuat Killian sangat senang.Yah, meski di satu sisi bisa dipastikan ada pihak yang merasa tidak senang dengan keputusan tersebut.Dengusan dan gumaman mengger
"Ada tamu?"Sepasang alis Killian mencuram, ketika mendengar laporan yang baru saja disampaikan oleh Erik.Raut wajah lelaki itu yang semula begitu bahagia pun seketika muram. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit dan langsung saja mendapat laporan bahwa sudah ada tamu tidak diundang yang sudah menunggu."Erik, bukankah tanpa perlu aku berikan perintah seharusnya sudah jelas 'kan, bahwa untuk saat ini aku masih tidak ingin diganggu?""Maaf, Tuan Muda," jawab Erik sambil menundukkan kepala kembali."Jadi kenapa tidak segera saja kamu usir keluar sebelum kami tiba?""Sayangnya tamu yang saat ini sedang menunggu Anda bukanlah jenis yang bisa saya tolak kedatangannya begitu saja, Tuan Muda."Killian memejamkan kedua matanya sesaat dan menyergah napas kasar. Tidak perlu untuk diberi tahu pun, saat ini sudah terlihat jelas kalau lelaki berambut hitam itu tengah menahan amarah."Memangnya siapa yang datang, Erik?""Itu&mdash
"Hutang?" "Yah ...." Killian menyugar rambut hitamnya sambil menghela napas berat. "Begitulah, Queen. Setidaknya, hal itulah yang Kakek Ed ceritakan padaku tadi." Kernyit di dahi Aila pun semakin dalam. Rupanya, perempuan bermata abu itu tengah berpikir keras. Saat ini mereka berdua sedang berada di dalam kamar, duduk berdampingan di tepi tempat tidur untuk membicarakan persoalan baru yang dibawa secara tiba-tiba oleh Edmund Agentine. "Tapi, Kills ... memangnya, sebesar apa hutang beliau sampai bisa menjanjikan hal yang semacam itu. Maksudku-" Sekilas, dia melirik suaminya yang sekarang memasang wajah keruh. "Sampai beliau menjanjikan agar kamu bersedia untuk menikah lag-" "Queen, kamu tidak berpikiran kalau aku akan menyetujuinya 'kan?" potong Killian dengan nada bicara yang mulai berbahaya. "Beri tahu aku, apa yang ada di dalam pikiranmu sekarang."