"Pesta ini diselenggarakan atas kerja sama dua pihak, Nona, dan salah satu nama penyelenggaranya adalah Tuan Muda Killian Ardhana Putra."
Aila mengangguk ketika mendengar laporan Yuni tersebut. Jadi yang dikatakan Ansia kepadanya memang benar, bahwa Killianlah yang menjadi penyelenggara acara pesta yang sebesar ini.
"Dan bahkan dia nggak mengundang atau sekedar memberi tahu aku soal ini," bisik Aila, perlahan menunduk sementara wajahnya pun mulai terlihat muram. "Apa kamu benar-benar ingin melepaskanku, Kills?"
Sekarang ini dia dan Yuni memang sedang berada di ruangan khusus yang memang sudah dipersiapkan khusus untuk Gallahan, dan tentu saja, hal tersebut membuatnya merasa sangat lega.
Yah, setidaknya dia tidak perlu lagi merasakan banyaknya pandangan menusuk penuh rasa ingin tahu yang terus menerus diarahkan kepadanya, baik oleh para tamu undangan maupun oleh wartawan.
Jujur saja, Aila sama sekali tidak menikmati semua perhatian yang berlebihan t
Napas Killian sesak dan dadanya pun sudah terasa panas, seolah nyaris terbakar. Namun lelaki bersurai hitam itu tidak sedikit pun memperlambat laju larinya yang menuruni anak tangga darurat.Nyaris terhuyung, dia menabrak begitu saja pintu tangga darurat dengan bahunya, dan kembali berlari menuju lift yang sekarang masih tertutup."Ah, sh*t!" makinya, terengah mengatur napas.Berlari menuruni tangga dari lantai tujuh ke lantai satu tanpa henti, bukanlah perkara yang mudah dilakukan.Menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang juga sudah kering, Killian memgambil satu tarikan napas dalam, sebelum akhirnya lelaki tampan bersurai hitam itu berdiri lebih tegak, menanti pintu lift yang masih belum terbuka.Mendengus, Killian tidak bisa menahan diri untuk tidak menertawakan dirinya sendiri.Saat ini, dia bahkan harus rela berlari menuruni tangga darurat hotel tempat dia seharusnya menikmati pesta besar yang diselenggarakan untuk merayakan keberh
"Ah, yah. Di situ. Ehm! Enakh. Akh! Akh! Akh!""Kamu suka? Hem? Bagaimana kalau begini?"Suara erangan wanita cantik itu semakin keras terdengar, ketika kedua kakinya dibuka semakin lebar, sementara pria yang tengah bersamanya itu kini membenamkan wajah di pangkal pahanya dalam-dalam.Terdengar lolongan bernada kenikmatan yang keluar dari sepasang bibir yang dipoles lipstik berwarna merah hati tersebut, ketika wanita itu merasakan betapa bagian inti tubuhnya saat ini sedang dijelajahi oleh ujung lidah yang lunak, sekaligus ditusuk oleh ujung jari yang keras"Eunghm. Akh! Akh! Leb—bih dalam lagiihh. Oohh!!""Milikku. Argh! Kulum juga milikku! Ugh!"Bertindihan dengan posisi yang terbalik satu sama lainnya, kedua pasangan itu lalu saling memberi kenikmatan.Peluh sudah membanjir dan membasahi tubuh bugil keduanya. Hawa panas pun menguar dan memenuhi seisi kamar, sehingga alat pendingin ruangan yang saat ini sebenarnya sudah dinyal
Untuk beberapa saat, ada keheningan yang seketika menyelimuti ruangan VVIP tersebut. Baik Gallahan maupun Rafael, keduanya terlihat sama bingung dan kagetnya, hingga tidak sanggup bersuara sedikit pun ketika melihat Killian yang tiba-tiba menerobos masuk dan langsung memeluk Aila.Sementara itu, Aila sendiri saat ini pun hanya sanggup berdiam diri. Perempuan bermata abu itu merasa tidak berdaya berada di dalam pelukan Killian yang seolah benar-benar memerangkapnya.Keheningan tersebut kemungkinan masih akan terus berlangsung sedikit lebih lama lagi, kalau saja pintu ruang istirahat tidak lagi-lagi terbuka secara mendadak dan memunculkan Yuni dari ambang pintu, yang terlihat begitu berantakan, terbelah antara rasa terkejut dan ketakutan secara sekaligus."Apa-apaan ini?" seru Gallahan, segera setelah menyadari situasi yang ada. "Yuni! Kenapa kamu berpenampilan seperti itu?" hardiknya lagi, membuat Yuni nyaris terlonjak karena saking kagetnya.Mendengus keras
"Kiska, tunggu."Nyaris menabrak semua orang yang menghalangi jalannya, Killian berusaha mengejar sang istri. Sepasang mata gelapnya memandang tajam punggung Aila yang dengan jelas terekspos karena gaun berpotongan off shoulder yang perempuan bermata abu itu kenakan."Sh*t!" maki Killian, membuat orang-orang di sekitar menoleh kepadanya, tapi tentu saja lelaki tampan bersurai hitam itu tidak peduli.Dia tidak suka dengan model gaun yang Aila kenakan saat ini.Gaun itu memang cantik dan cocok sekali dikenakan oleh Aila, iya Killian akui itu. Namun yang dia tidak suka adalah model gaun itu yang begitu mengekspos bagian punggung, leher dan sedikit bagian dari dada istrinya. Ditambah lagi potongan gaun yang menampilkan bentuk tubuh ramping Aila.Memaki sekali lagi, kepala Killian rasanya mendadak seolah mendidih apabila memikirkan sudah ada berapa banyak pasang mata lelaki lain yang sudah melihat penampilan menawan istrinya hari ini."Belum lagi foto-foto y
Aila menolehkan kepala, sengaja menghindar ketika Killian hendak menciumnya."Apa kamu nggak mau untuk aku sentuh, Queen?" bisik Killian, membuat sekujur tubuh Aila meremang karena merasakan hembusan napas hangat yang menyapu tengkuknya. "Then, touch me.""Aa- apa?"Aila menatap tidak mengerti ke arah Killian yang sekarang berjalan mundur, memberi jarak di antara mereka."Kalau memang kamu nggak ingin aku sentuh, maka kamulah yang harus menyentuhku," kata Killian, mengulang ucapannya lagi.Tentu saja Aila melongo dibuatnya. Ini dia yang salah dengar atau apa, sih?"Memangnya, kenapa aku harus menyentuhmu, Kills?" protesnya. "Buat apa?""Memeriksaku.""Memerik-""Periksa tubuhku, Kiska," sela Killian, membuka lebar kedua tangannya seolah pasrah. "Bukankah sejak tadi kamu curiga kalau aku ada main d
Beberapa hari ini ada yang membuat Heri Roxanne pusing tujuh keliling."Apa dia datang lagi?" tanya Risa, menyentuh bahu suaminya dan memasang wajah prihatin.Terlalu lelah untuk menjawab, Heri hanya memberikan anggukan kepala disertai desahan bernada putus asa."Apa perlu aku memanggil pengawal untuk mengusirnya?" tawar Risa dengan nada menggeram, pertanda rasa kesalnya sudah sangat bertumpuk."Percuma," desah Heri, kembali menghembuskan napas berat. "Percuma saja, Ris.""Apa maksudmu dengan percuma?" kernyit Risa demi mendengar pernyataan Heri barusan.Tidak langsung menjawab, Heri memberi istrinya pandangan bercampur lelah dan putus asa. Namun, sekilas ada kilatan rasa geli di sepasang mata hitam itu."Yah, lihat saja dan kamu akan mengerti sendiri," mengedikkan bahu, Heri pun menjawab. "Tidak perlu keluar kamar dan pergi ke depan runah," imbuhnya, mencegah Risa yang sudah selangkah hendak pergi. Dia lalu mengedikkan kepala, menunj
Keesokan harinya, ketika sarapan. "Ayah ...," panggil Aila, dan Heri, yang semula sedang menikmati sarapan dengan damai pun langsung buru-buru menyelesaikan sarapannya, lalu bergegas pergi dengan alasan masih ada pekerjaan yang perlu dia lakukan. Saat siang hari dan Heri pulang ke rumah, berencana untuk makan siang bersama keluarganya. "Ayah ...," panggil Aila, membuat Heri mendadak ingat bahwa dia ada meeting penting yang akan berlangsung lima belas menit lagi, sehingga pria separuh baya itu pun terpaksa harus meninggalkan sepiring pasta yang menjadi menu makan siang mereka, meski masih ada tersisa lebih dari separuh. Lalu, ketika makan malam dan mereka semua sudah berada di meja makan, Aila meletakkan sendoknya dengan sedikit lebih keras dan memandang tajam ke arah ayahnya. "Ayah, sebenarnya maunya Ayah ini bagaimana?" tanyanya to the point, membuat Heri nyaris tersed
Ivona baru saja akan berniat tidur ketika suara dering telepon terdengar mengiris keheningan malam di kediaman Agentine.Sedikit mengerutkan dahi, Ivona sempat bertanya-tanya, siapa yang menelepon di larut malam begini? Melirik sekilas jam yang ada di atas nakas, perempuan setengah baya itu bisa melihat bahwa saat ini waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam."Tidak tahu sopan santun sekali," gerutunya sambil beringsut masuk ke dalam selimut, berbaring nyaman di sebelah Claude yang masih asyik dengan laptop di pangkuan."Siapa?" tanya pria Rusia tersebut, sama sekali tidak mengalihkan sepasang matanya dari layar laptop. "Memangnya, siapa yang menelepon?""Entahlah. Paling juga telepon yang tidak penting.""Kalau tidak penting, maka seharusnya dia tidak menghubungi larut malam seperti ini."Mendengus kecil, Ivona tidak menghiraukan apa pun lagi. Kedua matanya saat ini sudah sangat berat dan meminta untuk segera dipejamkan, sehingga dia hanya ingin sege