Keesokan harinya, ketika sarapan.
"Ayah ...," panggil Aila, dan Heri, yang semula sedang menikmati sarapan dengan damai pun langsung buru-buru menyelesaikan sarapannya, lalu bergegas pergi dengan alasan masih ada pekerjaan yang perlu dia lakukan.
Saat siang hari dan Heri pulang ke rumah, berencana untuk makan siang bersama keluarganya.
"Ayah ...," panggil Aila, membuat Heri mendadak ingat bahwa dia ada meeting penting yang akan berlangsung lima belas menit lagi, sehingga pria separuh baya itu pun terpaksa harus meninggalkan sepiring pasta yang menjadi menu makan siang mereka, meski masih ada tersisa lebih dari separuh.
Lalu, ketika makan malam dan mereka semua sudah berada di meja makan, Aila meletakkan sendoknya dengan sedikit lebih keras dan memandang tajam ke arah ayahnya.
"Ayah, sebenarnya maunya Ayah ini bagaimana?" tanyanya to the point, membuat Heri nyaris tersed
Ivona baru saja akan berniat tidur ketika suara dering telepon terdengar mengiris keheningan malam di kediaman Agentine.Sedikit mengerutkan dahi, Ivona sempat bertanya-tanya, siapa yang menelepon di larut malam begini? Melirik sekilas jam yang ada di atas nakas, perempuan setengah baya itu bisa melihat bahwa saat ini waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam."Tidak tahu sopan santun sekali," gerutunya sambil beringsut masuk ke dalam selimut, berbaring nyaman di sebelah Claude yang masih asyik dengan laptop di pangkuan."Siapa?" tanya pria Rusia tersebut, sama sekali tidak mengalihkan sepasang matanya dari layar laptop. "Memangnya, siapa yang menelepon?""Entahlah. Paling juga telepon yang tidak penting.""Kalau tidak penting, maka seharusnya dia tidak menghubungi larut malam seperti ini."Mendengus kecil, Ivona tidak menghiraukan apa pun lagi. Kedua matanya saat ini sudah sangat berat dan meminta untuk segera dipejamkan, sehingga dia hanya ingin sege
Suara dari alat EKG terdengar memenuhi ruang rawat. sementara kabel-kabel yang tersambung dengan elektroda yang dipasang di dada Killian tampak menjuntai.Aila sesaat terpaku. Saat ini dia berdiri di luar ruang rawat dan memandangi sosok lelaki yang saat ini tengah berbaring di atas brankar dalam kondisi yang masih tidak sadarkan diri dari balik kaca."Bukankah waktu itu dia baik-baik saja?" tanyanya yang entah kepada siapa. "Kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini?"Menoleh ke arah Ivona yang masih terus sesenggukan menangis meski nyaris tanpa suara, perempuan bermata abu itu pun lanjut berkata, "Apakah Kills mempunyai riwayat sakit jantung?""Itu hal yang sangat tidak mungkin," sahut Claude, mewakili Ivona yang masih belum sanggup berbicara. "Ian sangat sehat. Sejak kecil dia bahkan nyaris tidak pernah sakit.""Lalu, kenapa dia mendadak-""Pasti itu karena beberapa bulan ini."Menoleh bersamaan, Aila dan Claude bisa menemukan sumber suara yang menye
"Kills, apa kamu baik-baik saja?"Tidak ada kata yang diucapkan Killian untuk menjawab pertanyaan Aila kecuali suara erangan belaka. Merasa semakin cemas, Aila pun segera memanggil Aiden yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, berdiri tidak jauh dari brankar tempat Killian berbaring."Aiden! Apa nggak sebaiknya kalau kita memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Kills?""Aila, apa kamu lupa kalau aku ini juga seorang dokter?""Oh! Ma-maafkan aku, aku nggak bermaksud untuk-" Tercabik antara rasa malu dan khawatirnya, wajah cantik Aila sekarang terlihat memerah. "Maaf, tadi aku-, maksudku-"Aiden tersenyum. Untuk pertama kali sejak situasi semalam yang membuatnya kesal luar biasa, ada senyuman di wajah ganteng dokter muda itu. Sepasang mata biru itu memandangi wajah kebingungan Aila yang lucu dan Aiden pun tidak menampik adanya getaran dalam dadanya yang ternyata masih juga tersi
"Rasanya aku mau menghajar seseorang!" Killian mendesis, menatap frustasi tumpukan undangan yang begitu menyiksanya ini. "Maksudku ..., God! Kiska, haruskah kita melakukan semua ini?"Tidak menjawab atau bahkan sekedar memandang Killian dengan sepasang mata abunya yang mengagumkan, Aila hanya mengulas segaris senyuman tipis sebagai respon.Menghela napas kasar, Killian kembali menatap tumpukan undangan yang memenuhi meja kayu berpelitur di hadapannya dengan tatapan membunuh.Kalau saja dia bisa mengambil semua undangan sialan itu lalu melemparkannya ke perapian, maka semua akan beres.Menggeleng, bahkan sekarang pun Killian merasa bahwa itu bukanlah tindakan yang bagus.Aila kemungkinan bisa membunuhnya kalau ada satu saja undangan pernikahan ini yang rusak."Kiska," erangnya lagi, persis seperti seorang anak kecil yang merajuk meminta permen. "Haruskah kita
"Kamu kenapa, Ian?" tanya Ayik, yang tadinya hanya berniat mampir sebentar hendak mengambil berkas file yang kebetulan tertinggal di ruang kerja Killian, lalu segera pergi.Namun sekarang, pria berwajah kalem itu malah memilih untuk berdiri diam, mengempit map file, sambil mengamati partner bisnisnya itu dengan seksama.Kenyataan bahwa lelaki tampan bersurai hitam itu masih memutuskan untuk tetap bekerja seperti ini saja sudah membuat Ayik terheran-heran. Padahal hari pernikahan partner bisnisnya itu kurang dari dua pekan lagi, tapi pagi tadi secara mendadak Killian malah datang ke kantor.Ditambah lagi, sekarang tanpa sengaja dia mendapati Killian yang tengah menghadapi laptop dengan wajah sangat muram, disertai helaan napas berat beberapa kali.Dengan berani Ayik bahkan menyempatkan diri untuk melirik tampilan layar laptop dengan benak yang bertanya-tanya, sekedar mencari tahu apa sebenarnya yang sudah membuat lelaki bersurai hitam itu diliputi aura sur
"Kenapa wajah Kakak seperti itu?""Seperti apa, maksudmu?"Ansia mengangkat kedua alisnya dan berkacak pinggang. Sepasang mata hitamnya menelusuri penampilan Aila dari atas ke bawah, sampai beberapa kali."Memangnya, Kakak akan pergi ke mana?" tanyanya lagi, tanpa merasa perlu untuk menjawab pertanyaan Aila yang sebelumnya."Ehm ... dokter?" ragu-ragu Aila menjawab. Masalahnya, sebagian besar dari dirinya juga masih tidak mempercayai kemungkinan yang ada."Lagi?" decak Ansia, kali ini dengan satu alis yang menaik. "Untuk apa?""Untuk apa?" ulang Aila kebingungan. "Ehm, itu ... un—untuk—"Untuk memeriksakan apakah hal yang kuperkirakan itu benar atau tidak, adalah hal yang Aila ucapkan dalam hati.Namun kini, perempuan bermata abu itu hanya sanggup menggigit bibir dan terlihat gelisah, membuat Ansia semakin
Aila tidak akan menjelaskan kenapa dia ada di sini. Dia tidak melakukan kesalahan. Tidak ada yang salah 'kan dengan dia berada di klub seperti sekarang? Toh, usianya juga sudah mencukupi, dia bukan lagi anak di bawah umur. Jadi, seharusnya tidak akan ada masalah 'kan? Iya 'kan? Oh, ayolah. Seseorang tolong katakan 'iya'. "Kamu dalam masalah, Queen." Segala usaha keras Aila untuk meyakinkan dirinya sendiri pun menguap dengan seketika ketika mendengarkan suara mendesis Killian yang berbisik tepat di depan telinganya. "Wait here," gumam Killian lagi, segera melepaskan kemeja yang dia kenakan lalu memakaikannya ke Aila karena jas kerjanya tertinggal di ruang private yang Aiden sewa. Dengan tekun lelaki tampan bersurai hitam itu mengancingkan satu persatu kancing kemejanya dan memastikan tubuh Aila sudah lebih terlindung di
Killian butuh waktu berjam-jam untuk bisa tidur.Kamar luasnya terlalu sunyi, tempat tidurnya terasa begitu kosong, dan yang terpenting adalah dia gagal bercinta. Kemarin.Entah mengapa, bangun sendirian kini terasa sangat menyebalkan bagi lelaki bersurai hitam itu.Bukankah dia sudah terbiasa sibuk? Bangun sendirian dan segera tenggelam dalam rutinitas hari yang ada. Bertahun-tahun dia menjalani ritme kehidupan yang semacam itu. Lalu, mengapa kini semua terasa salah?Seolah bukan hanya sisi tempat tidurnya yang kosong, tetapi juga hatinya."Oh, God. Kenapa bisa ada hal yang begitu merepotkan semacam pernikahan?" keluhnya, entah untuk yang ke berapa kali. "Kenapa aku nggak bisa langsung saja menikahinya, sih? Beres 'kan, yang penting kami sudah resmi dan nggak perlu ribet. Cih!"Killian tidak keberatan menikah dengan Aila. Sungguh. Malah, bisa dikata itu adal