"Kenapa wajah Kakak seperti itu?"
"Seperti apa, maksudmu?"
Ansia mengangkat kedua alisnya dan berkacak pinggang. Sepasang mata hitamnya menelusuri penampilan Aila dari atas ke bawah, sampai beberapa kali.
"Memangnya, Kakak akan pergi ke mana?" tanyanya lagi, tanpa merasa perlu untuk menjawab pertanyaan Aila yang sebelumnya.
"Ehm ... dokter?" ragu-ragu Aila menjawab. Masalahnya, sebagian besar dari dirinya juga masih tidak mempercayai kemungkinan yang ada.
"Lagi?" decak Ansia, kali ini dengan satu alis yang menaik. "Untuk apa?"
"Untuk apa?" ulang Aila kebingungan. "Ehm, itu ... un—untuk—"
Untuk memeriksakan apakah hal yang kuperkirakan itu benar atau tidak, adalah hal yang Aila ucapkan dalam hati.
Namun kini, perempuan bermata abu itu hanya sanggup menggigit bibir dan terlihat gelisah, membuat Ansia semakin
Aila tidak akan menjelaskan kenapa dia ada di sini. Dia tidak melakukan kesalahan. Tidak ada yang salah 'kan dengan dia berada di klub seperti sekarang? Toh, usianya juga sudah mencukupi, dia bukan lagi anak di bawah umur. Jadi, seharusnya tidak akan ada masalah 'kan? Iya 'kan? Oh, ayolah. Seseorang tolong katakan 'iya'. "Kamu dalam masalah, Queen." Segala usaha keras Aila untuk meyakinkan dirinya sendiri pun menguap dengan seketika ketika mendengarkan suara mendesis Killian yang berbisik tepat di depan telinganya. "Wait here," gumam Killian lagi, segera melepaskan kemeja yang dia kenakan lalu memakaikannya ke Aila karena jas kerjanya tertinggal di ruang private yang Aiden sewa. Dengan tekun lelaki tampan bersurai hitam itu mengancingkan satu persatu kancing kemejanya dan memastikan tubuh Aila sudah lebih terlindung di
Killian butuh waktu berjam-jam untuk bisa tidur.Kamar luasnya terlalu sunyi, tempat tidurnya terasa begitu kosong, dan yang terpenting adalah dia gagal bercinta. Kemarin.Entah mengapa, bangun sendirian kini terasa sangat menyebalkan bagi lelaki bersurai hitam itu.Bukankah dia sudah terbiasa sibuk? Bangun sendirian dan segera tenggelam dalam rutinitas hari yang ada. Bertahun-tahun dia menjalani ritme kehidupan yang semacam itu. Lalu, mengapa kini semua terasa salah?Seolah bukan hanya sisi tempat tidurnya yang kosong, tetapi juga hatinya."Oh, God. Kenapa bisa ada hal yang begitu merepotkan semacam pernikahan?" keluhnya, entah untuk yang ke berapa kali. "Kenapa aku nggak bisa langsung saja menikahinya, sih? Beres 'kan, yang penting kami sudah resmi dan nggak perlu ribet. Cih!"Killian tidak keberatan menikah dengan Aila. Sungguh. Malah, bisa dikata itu adal
"Apa urusan pernikahan ini sudah membuat otakmu tumpul?"Aiden berkata dengan nada ngeri, memberi Killian pandangan ngeri, dan terlalu ngeri untuk bisa memikirkan kemungkinan lebih lanjutnya."Bukan tumpul," sahut Ayik, terdengar seolah memberi sedikit harapan. "Tapi kurasa dia tidak mempunyai otak.""Aku tidak tahu, oke?" teriak Killian, suaranya bergema di ruang kantor Ayik. "Mana aku bisa tahu kalau malah Tuan Roxannelah yang akan menerima panggilan teleponnya?""Tapi siapa orang bodoh yang bahkan langsung mencerocos di telepon bahkan tanpa mendengar sahutan kata 'Halo' terlebih dulu?" balas Aiden, terlihat jelas sedang berpura-pura menahan senyum. Melihat Killian yang merasa kesusahan seperti ini rupanya bisa memberinya sedikit kesenangan. Yah, setidaknya ini membuktikan kalau lelaki bersurai hitam itu masih menjadi manusia, dan bukanlah iblis atau tembok baja yang dingin seperti sebutannya selama ini."Dan orang bodoh siapa yang menelepon di pagi buta lalu langsu
Tidak hanya kedua pipi, tapi seluruh tubuh Aila seolah terbakar.Setelah acara geladi resik yang rupanya lebih mirip seperti bencana besar, perempuan bermata abu itu sebenarnya membutuhkan tempat tidur dan kamarnya yang hening untuk berbaring dan sedikit menenangkan diri.Bagaimana tidak? Acara itu dari awal memang sudah kacau.Diawali dengan Killian yang tidak juga kunjung datang hingga satu jam lebih dari waktu yang seharusnya, disambung dengan kedatangannya yang secara tiba-tiba sambil berteriak menyuarakan fakta atas keterlambatannya.Lelaki tampan bersurai hitam itu juga langsung berlari lalu mencium Aila, membuat mereka akhirnya berciuman di depan banyak orang dengan tensi hasrat yang begitu tinggi seolah satu-satunya hal yang mereka inginkan adalah bercinta saat itu juga.Setelah itu, seolah semua masih belum juga cukup, maka sebagai pelengkapnya adalah Killian yang kemudi
Apakah menghabisi calon menantumu itu sebuah perbuatan ilegal?Atau apakah ada peraturan khusus yang memperbolehkan asal dengan alasan tertentu yang bisa diterima? Kalau iya, maka seberapa besar kemungkinannya?Apakah dia harus menyewa ahli hukum agar bisa memeriksanya dengan lebih rinci? Sepertinya itu bukan pilihan yang terlalu buruk dan patut dicoba.Yah, setidaknya hal itulah yangterus berkutat dalam pikiran Heri Roxanne saat ini. Tepatnya, sejak acara geladi resik yang kacau balau tadi."Si Iblis itu," bisiknya, setengah menggeram dan sekaligus berdesis. "Aku kira dia sudah berubah, tapi ternyata sama saja. Bagaimana bisa, dia malah terlambat datang di acara geladi resik pernikahannya sendiri? Apa dia tidak menganggapnya penting, sehingga berani menyepelekan? Aku jadi khawatir, jangan-jangan di hari pernikahan nanti dia juga bakal terlambat seperti tadi. Awas saja kalau dia sampai be
Jantung Aila terasa diremas dengan sangat kuat sehingga rasanya dipaksa berhenti berdetak, sebelum akhirnya berdetak kembali dengan lebih kencang.Segala kekacauan yang berlangsung selama berminggu-minggu kemarin memang mengerikan, tapi obrolan singkatnya bersama Killian di ruang tamu tadi benar-benar membuat Aila menyadari bahwa pernikahan mereka sudah sangat dekat.Dia akan menikah besok.Dengan seorang Killian Ardhana Putra.Benar-benar menikah, dan bukan lagi sebuah pernikahan yang terpaksa atau pun palsu.Dia mencintainya. Mencintai lelaki bersurai hitam itu.Namun sesaat kemudian, Aila tertegun.Dia ingat ....'Sebagai jal*ngku, tugasmu hanyalah mendesah dan memuaskanku.''Diam dan jangan keluar selangkah pun dari ruangan ini. Mengerti?''Panggil aku lagi. Panggil aku se
Bukankah seharusnya ini hal yang mudah?Aila hanya perlu menggandeng tangan ayahnya, berusaha berjalan seanggun mungkin seperti yang pernah diajarkan padanya sewaktu geladi resik dulu, menyambut tangan Killian dan mengikuti prosesi sumpah pernikahan sebelum akhirnya mereka sah menjadi sepasang suami istri.Bukankah hal ini dia juga sudah pernah melakukannya?Bahkan dulu tidak ada Heri Roxanne di sampingnya sehingga Aila harus berjalan sendirian menyusuri karpet, menuju lelaki yang pada waktu itu masih salah mengiranya sebagai Ansia, dan pada akhirnya dia terpaksa harus menandatangani surat nikah yang bukan atas namanya.Jadi, bukankah seharusnya sekarang tidak ada masalah?"Apa kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Heri, menundukkan kepala agar bisa melihat lebih jelas wajah putri pertamanya. "Nak? Wajahmu kenapa pucat begitu?"Menggeleng, Aila merasa tidak sanggup untuk menyuarakan jawaban. Saat ini perutnya terasa bergolak tidak nyaman, membuatnya mual
Selamat pagi, Kakak-kakak pembaca Sebelumnya saya meminta maaf karena untuk hal tertentu yang sayang sekali tidak bisa saya jelaskan di sini, novel Terperangkap Gairah Suami Butaku untuk sementara di-take down dari GoodNovel, baik di aplikasi maupun web-nya. Saya bahkan tidak tahu, apakah Kakak-kakak pembaca akan bisa membaca catatan penulis ini, semoga saja bisa. Saya akan tetap up secara daily seperti biasa, sambil menunggu bagaimana mengenai kebijakan GN ke depannya untuk novel ini dan tentunya saya juga berkoordinasi dengan Editor in House yang membawahi saya. Semoga akan segera ada kabar baik karena cerita novel ini sebenarnya belum tamat. Namun apabila masalah ini terlalu berlarut-larut, maka saya tidak punya pilihan lain kecuali menamatkannya lebih cepat. Semoga saja tidak, karena saya masih memiliki kepercayaan bahwa GN akan menaungi para penulisnya dengan baik dan adil. Dengan ini saya memohon pengertian Kakak-kakak atas ketidaknyaman
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida