"Kills, apa kamu baik-baik saja?"
Tidak ada kata yang diucapkan Killian untuk menjawab pertanyaan Aila kecuali suara erangan belaka. Merasa semakin cemas, Aila pun segera memanggil Aiden yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, berdiri tidak jauh dari brankar tempat Killian berbaring.
"Aiden! Apa nggak sebaiknya kalau kita memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Kills?"
"Aila, apa kamu lupa kalau aku ini juga seorang dokter?"
"Oh! Ma-maafkan aku, aku nggak bermaksud untuk-" Tercabik antara rasa malu dan khawatirnya, wajah cantik Aila sekarang terlihat memerah. "Maaf, tadi aku-, maksudku-"
Aiden tersenyum. Untuk pertama kali sejak situasi semalam yang membuatnya kesal luar biasa, ada senyuman di wajah ganteng dokter muda itu. Sepasang mata biru itu memandangi wajah kebingungan Aila yang lucu dan Aiden pun tidak menampik adanya getaran dalam dadanya yang ternyata masih juga tersi
"Rasanya aku mau menghajar seseorang!" Killian mendesis, menatap frustasi tumpukan undangan yang begitu menyiksanya ini. "Maksudku ..., God! Kiska, haruskah kita melakukan semua ini?"Tidak menjawab atau bahkan sekedar memandang Killian dengan sepasang mata abunya yang mengagumkan, Aila hanya mengulas segaris senyuman tipis sebagai respon.Menghela napas kasar, Killian kembali menatap tumpukan undangan yang memenuhi meja kayu berpelitur di hadapannya dengan tatapan membunuh.Kalau saja dia bisa mengambil semua undangan sialan itu lalu melemparkannya ke perapian, maka semua akan beres.Menggeleng, bahkan sekarang pun Killian merasa bahwa itu bukanlah tindakan yang bagus.Aila kemungkinan bisa membunuhnya kalau ada satu saja undangan pernikahan ini yang rusak."Kiska," erangnya lagi, persis seperti seorang anak kecil yang merajuk meminta permen. "Haruskah kita
"Kamu kenapa, Ian?" tanya Ayik, yang tadinya hanya berniat mampir sebentar hendak mengambil berkas file yang kebetulan tertinggal di ruang kerja Killian, lalu segera pergi.Namun sekarang, pria berwajah kalem itu malah memilih untuk berdiri diam, mengempit map file, sambil mengamati partner bisnisnya itu dengan seksama.Kenyataan bahwa lelaki tampan bersurai hitam itu masih memutuskan untuk tetap bekerja seperti ini saja sudah membuat Ayik terheran-heran. Padahal hari pernikahan partner bisnisnya itu kurang dari dua pekan lagi, tapi pagi tadi secara mendadak Killian malah datang ke kantor.Ditambah lagi, sekarang tanpa sengaja dia mendapati Killian yang tengah menghadapi laptop dengan wajah sangat muram, disertai helaan napas berat beberapa kali.Dengan berani Ayik bahkan menyempatkan diri untuk melirik tampilan layar laptop dengan benak yang bertanya-tanya, sekedar mencari tahu apa sebenarnya yang sudah membuat lelaki bersurai hitam itu diliputi aura sur
"Kenapa wajah Kakak seperti itu?""Seperti apa, maksudmu?"Ansia mengangkat kedua alisnya dan berkacak pinggang. Sepasang mata hitamnya menelusuri penampilan Aila dari atas ke bawah, sampai beberapa kali."Memangnya, Kakak akan pergi ke mana?" tanyanya lagi, tanpa merasa perlu untuk menjawab pertanyaan Aila yang sebelumnya."Ehm ... dokter?" ragu-ragu Aila menjawab. Masalahnya, sebagian besar dari dirinya juga masih tidak mempercayai kemungkinan yang ada."Lagi?" decak Ansia, kali ini dengan satu alis yang menaik. "Untuk apa?""Untuk apa?" ulang Aila kebingungan. "Ehm, itu ... un—untuk—"Untuk memeriksakan apakah hal yang kuperkirakan itu benar atau tidak, adalah hal yang Aila ucapkan dalam hati.Namun kini, perempuan bermata abu itu hanya sanggup menggigit bibir dan terlihat gelisah, membuat Ansia semakin
Aila tidak akan menjelaskan kenapa dia ada di sini. Dia tidak melakukan kesalahan. Tidak ada yang salah 'kan dengan dia berada di klub seperti sekarang? Toh, usianya juga sudah mencukupi, dia bukan lagi anak di bawah umur. Jadi, seharusnya tidak akan ada masalah 'kan? Iya 'kan? Oh, ayolah. Seseorang tolong katakan 'iya'. "Kamu dalam masalah, Queen." Segala usaha keras Aila untuk meyakinkan dirinya sendiri pun menguap dengan seketika ketika mendengarkan suara mendesis Killian yang berbisik tepat di depan telinganya. "Wait here," gumam Killian lagi, segera melepaskan kemeja yang dia kenakan lalu memakaikannya ke Aila karena jas kerjanya tertinggal di ruang private yang Aiden sewa. Dengan tekun lelaki tampan bersurai hitam itu mengancingkan satu persatu kancing kemejanya dan memastikan tubuh Aila sudah lebih terlindung di
Killian butuh waktu berjam-jam untuk bisa tidur.Kamar luasnya terlalu sunyi, tempat tidurnya terasa begitu kosong, dan yang terpenting adalah dia gagal bercinta. Kemarin.Entah mengapa, bangun sendirian kini terasa sangat menyebalkan bagi lelaki bersurai hitam itu.Bukankah dia sudah terbiasa sibuk? Bangun sendirian dan segera tenggelam dalam rutinitas hari yang ada. Bertahun-tahun dia menjalani ritme kehidupan yang semacam itu. Lalu, mengapa kini semua terasa salah?Seolah bukan hanya sisi tempat tidurnya yang kosong, tetapi juga hatinya."Oh, God. Kenapa bisa ada hal yang begitu merepotkan semacam pernikahan?" keluhnya, entah untuk yang ke berapa kali. "Kenapa aku nggak bisa langsung saja menikahinya, sih? Beres 'kan, yang penting kami sudah resmi dan nggak perlu ribet. Cih!"Killian tidak keberatan menikah dengan Aila. Sungguh. Malah, bisa dikata itu adal
"Apa urusan pernikahan ini sudah membuat otakmu tumpul?"Aiden berkata dengan nada ngeri, memberi Killian pandangan ngeri, dan terlalu ngeri untuk bisa memikirkan kemungkinan lebih lanjutnya."Bukan tumpul," sahut Ayik, terdengar seolah memberi sedikit harapan. "Tapi kurasa dia tidak mempunyai otak.""Aku tidak tahu, oke?" teriak Killian, suaranya bergema di ruang kantor Ayik. "Mana aku bisa tahu kalau malah Tuan Roxannelah yang akan menerima panggilan teleponnya?""Tapi siapa orang bodoh yang bahkan langsung mencerocos di telepon bahkan tanpa mendengar sahutan kata 'Halo' terlebih dulu?" balas Aiden, terlihat jelas sedang berpura-pura menahan senyum. Melihat Killian yang merasa kesusahan seperti ini rupanya bisa memberinya sedikit kesenangan. Yah, setidaknya ini membuktikan kalau lelaki bersurai hitam itu masih menjadi manusia, dan bukanlah iblis atau tembok baja yang dingin seperti sebutannya selama ini."Dan orang bodoh siapa yang menelepon di pagi buta lalu langsu
Tidak hanya kedua pipi, tapi seluruh tubuh Aila seolah terbakar.Setelah acara geladi resik yang rupanya lebih mirip seperti bencana besar, perempuan bermata abu itu sebenarnya membutuhkan tempat tidur dan kamarnya yang hening untuk berbaring dan sedikit menenangkan diri.Bagaimana tidak? Acara itu dari awal memang sudah kacau.Diawali dengan Killian yang tidak juga kunjung datang hingga satu jam lebih dari waktu yang seharusnya, disambung dengan kedatangannya yang secara tiba-tiba sambil berteriak menyuarakan fakta atas keterlambatannya.Lelaki tampan bersurai hitam itu juga langsung berlari lalu mencium Aila, membuat mereka akhirnya berciuman di depan banyak orang dengan tensi hasrat yang begitu tinggi seolah satu-satunya hal yang mereka inginkan adalah bercinta saat itu juga.Setelah itu, seolah semua masih belum juga cukup, maka sebagai pelengkapnya adalah Killian yang kemudi
Apakah menghabisi calon menantumu itu sebuah perbuatan ilegal?Atau apakah ada peraturan khusus yang memperbolehkan asal dengan alasan tertentu yang bisa diterima? Kalau iya, maka seberapa besar kemungkinannya?Apakah dia harus menyewa ahli hukum agar bisa memeriksanya dengan lebih rinci? Sepertinya itu bukan pilihan yang terlalu buruk dan patut dicoba.Yah, setidaknya hal itulah yangterus berkutat dalam pikiran Heri Roxanne saat ini. Tepatnya, sejak acara geladi resik yang kacau balau tadi."Si Iblis itu," bisiknya, setengah menggeram dan sekaligus berdesis. "Aku kira dia sudah berubah, tapi ternyata sama saja. Bagaimana bisa, dia malah terlambat datang di acara geladi resik pernikahannya sendiri? Apa dia tidak menganggapnya penting, sehingga berani menyepelekan? Aku jadi khawatir, jangan-jangan di hari pernikahan nanti dia juga bakal terlambat seperti tadi. Awas saja kalau dia sampai be