"Kiska, tunggu."
Nyaris menabrak semua orang yang menghalangi jalannya, Killian berusaha mengejar sang istri. Sepasang mata gelapnya memandang tajam punggung Aila yang dengan jelas terekspos karena gaun berpotongan off shoulder yang perempuan bermata abu itu kenakan."Sh*t!" maki Killian, membuat orang-orang di sekitar menoleh kepadanya, tapi tentu saja lelaki tampan bersurai hitam itu tidak peduli.Dia tidak suka dengan model gaun yang Aila kenakan saat ini.Gaun itu memang cantik dan cocok sekali dikenakan oleh Aila, iya Killian akui itu. Namun yang dia tidak suka adalah model gaun itu yang begitu mengekspos bagian punggung, leher dan sedikit bagian dari dada istrinya. Ditambah lagi potongan gaun yang menampilkan bentuk tubuh ramping Aila.Memaki sekali lagi, kepala Killian rasanya mendadak seolah mendidih apabila memikirkan sudah ada berapa banyak pasang mata lelaki lain yang sudah melihat penampilan menawan istrinya hari ini."Belum lagi foto-foto yAila menolehkan kepala, sengaja menghindar ketika Killian hendak menciumnya."Apa kamu nggak mau untuk aku sentuh, Queen?" bisik Killian, membuat sekujur tubuh Aila meremang karena merasakan hembusan napas hangat yang menyapu tengkuknya. "Then, touch me.""Aa- apa?"Aila menatap tidak mengerti ke arah Killian yang sekarang berjalan mundur, memberi jarak di antara mereka."Kalau memang kamu nggak ingin aku sentuh, maka kamulah yang harus menyentuhku," kata Killian, mengulang ucapannya lagi.Tentu saja Aila melongo dibuatnya. Ini dia yang salah dengar atau apa, sih?"Memangnya, kenapa aku harus menyentuhmu, Kills?" protesnya. "Buat apa?""Memeriksaku.""Memerik-""Periksa tubuhku, Kiska," sela Killian, membuka lebar kedua tangannya seolah pasrah. "Bukankah sejak tadi kamu curiga kalau aku ada main d
Beberapa hari ini ada yang membuat Heri Roxanne pusing tujuh keliling."Apa dia datang lagi?" tanya Risa, menyentuh bahu suaminya dan memasang wajah prihatin.Terlalu lelah untuk menjawab, Heri hanya memberikan anggukan kepala disertai desahan bernada putus asa."Apa perlu aku memanggil pengawal untuk mengusirnya?" tawar Risa dengan nada menggeram, pertanda rasa kesalnya sudah sangat bertumpuk."Percuma," desah Heri, kembali menghembuskan napas berat. "Percuma saja, Ris.""Apa maksudmu dengan percuma?" kernyit Risa demi mendengar pernyataan Heri barusan.Tidak langsung menjawab, Heri memberi istrinya pandangan bercampur lelah dan putus asa. Namun, sekilas ada kilatan rasa geli di sepasang mata hitam itu."Yah, lihat saja dan kamu akan mengerti sendiri," mengedikkan bahu, Heri pun menjawab. "Tidak perlu keluar kamar dan pergi ke depan runah," imbuhnya, mencegah Risa yang sudah selangkah hendak pergi. Dia lalu mengedikkan kepala, menunj
Keesokan harinya, ketika sarapan. "Ayah ...," panggil Aila, dan Heri, yang semula sedang menikmati sarapan dengan damai pun langsung buru-buru menyelesaikan sarapannya, lalu bergegas pergi dengan alasan masih ada pekerjaan yang perlu dia lakukan. Saat siang hari dan Heri pulang ke rumah, berencana untuk makan siang bersama keluarganya. "Ayah ...," panggil Aila, membuat Heri mendadak ingat bahwa dia ada meeting penting yang akan berlangsung lima belas menit lagi, sehingga pria separuh baya itu pun terpaksa harus meninggalkan sepiring pasta yang menjadi menu makan siang mereka, meski masih ada tersisa lebih dari separuh. Lalu, ketika makan malam dan mereka semua sudah berada di meja makan, Aila meletakkan sendoknya dengan sedikit lebih keras dan memandang tajam ke arah ayahnya. "Ayah, sebenarnya maunya Ayah ini bagaimana?" tanyanya to the point, membuat Heri nyaris tersed
Ivona baru saja akan berniat tidur ketika suara dering telepon terdengar mengiris keheningan malam di kediaman Agentine.Sedikit mengerutkan dahi, Ivona sempat bertanya-tanya, siapa yang menelepon di larut malam begini? Melirik sekilas jam yang ada di atas nakas, perempuan setengah baya itu bisa melihat bahwa saat ini waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam."Tidak tahu sopan santun sekali," gerutunya sambil beringsut masuk ke dalam selimut, berbaring nyaman di sebelah Claude yang masih asyik dengan laptop di pangkuan."Siapa?" tanya pria Rusia tersebut, sama sekali tidak mengalihkan sepasang matanya dari layar laptop. "Memangnya, siapa yang menelepon?""Entahlah. Paling juga telepon yang tidak penting.""Kalau tidak penting, maka seharusnya dia tidak menghubungi larut malam seperti ini."Mendengus kecil, Ivona tidak menghiraukan apa pun lagi. Kedua matanya saat ini sudah sangat berat dan meminta untuk segera dipejamkan, sehingga dia hanya ingin sege
Suara dari alat EKG terdengar memenuhi ruang rawat. sementara kabel-kabel yang tersambung dengan elektroda yang dipasang di dada Killian tampak menjuntai.Aila sesaat terpaku. Saat ini dia berdiri di luar ruang rawat dan memandangi sosok lelaki yang saat ini tengah berbaring di atas brankar dalam kondisi yang masih tidak sadarkan diri dari balik kaca."Bukankah waktu itu dia baik-baik saja?" tanyanya yang entah kepada siapa. "Kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini?"Menoleh ke arah Ivona yang masih terus sesenggukan menangis meski nyaris tanpa suara, perempuan bermata abu itu pun lanjut berkata, "Apakah Kills mempunyai riwayat sakit jantung?""Itu hal yang sangat tidak mungkin," sahut Claude, mewakili Ivona yang masih belum sanggup berbicara. "Ian sangat sehat. Sejak kecil dia bahkan nyaris tidak pernah sakit.""Lalu, kenapa dia mendadak-""Pasti itu karena beberapa bulan ini."Menoleh bersamaan, Aila dan Claude bisa menemukan sumber suara yang menye
"Kills, apa kamu baik-baik saja?"Tidak ada kata yang diucapkan Killian untuk menjawab pertanyaan Aila kecuali suara erangan belaka. Merasa semakin cemas, Aila pun segera memanggil Aiden yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, berdiri tidak jauh dari brankar tempat Killian berbaring."Aiden! Apa nggak sebaiknya kalau kita memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Kills?""Aila, apa kamu lupa kalau aku ini juga seorang dokter?""Oh! Ma-maafkan aku, aku nggak bermaksud untuk-" Tercabik antara rasa malu dan khawatirnya, wajah cantik Aila sekarang terlihat memerah. "Maaf, tadi aku-, maksudku-"Aiden tersenyum. Untuk pertama kali sejak situasi semalam yang membuatnya kesal luar biasa, ada senyuman di wajah ganteng dokter muda itu. Sepasang mata biru itu memandangi wajah kebingungan Aila yang lucu dan Aiden pun tidak menampik adanya getaran dalam dadanya yang ternyata masih juga tersi
"Rasanya aku mau menghajar seseorang!" Killian mendesis, menatap frustasi tumpukan undangan yang begitu menyiksanya ini. "Maksudku ..., God! Kiska, haruskah kita melakukan semua ini?"Tidak menjawab atau bahkan sekedar memandang Killian dengan sepasang mata abunya yang mengagumkan, Aila hanya mengulas segaris senyuman tipis sebagai respon.Menghela napas kasar, Killian kembali menatap tumpukan undangan yang memenuhi meja kayu berpelitur di hadapannya dengan tatapan membunuh.Kalau saja dia bisa mengambil semua undangan sialan itu lalu melemparkannya ke perapian, maka semua akan beres.Menggeleng, bahkan sekarang pun Killian merasa bahwa itu bukanlah tindakan yang bagus.Aila kemungkinan bisa membunuhnya kalau ada satu saja undangan pernikahan ini yang rusak."Kiska," erangnya lagi, persis seperti seorang anak kecil yang merajuk meminta permen. "Haruskah kita
"Kamu kenapa, Ian?" tanya Ayik, yang tadinya hanya berniat mampir sebentar hendak mengambil berkas file yang kebetulan tertinggal di ruang kerja Killian, lalu segera pergi.Namun sekarang, pria berwajah kalem itu malah memilih untuk berdiri diam, mengempit map file, sambil mengamati partner bisnisnya itu dengan seksama.Kenyataan bahwa lelaki tampan bersurai hitam itu masih memutuskan untuk tetap bekerja seperti ini saja sudah membuat Ayik terheran-heran. Padahal hari pernikahan partner bisnisnya itu kurang dari dua pekan lagi, tapi pagi tadi secara mendadak Killian malah datang ke kantor.Ditambah lagi, sekarang tanpa sengaja dia mendapati Killian yang tengah menghadapi laptop dengan wajah sangat muram, disertai helaan napas berat beberapa kali.Dengan berani Ayik bahkan menyempatkan diri untuk melirik tampilan layar laptop dengan benak yang bertanya-tanya, sekedar mencari tahu apa sebenarnya yang sudah membuat lelaki bersurai hitam itu diliputi aura sur