"Ah, yah. Di situ. Ehm! Enakh. Akh! Akh! Akh!"
"Kamu suka? Hem? Bagaimana kalau begini?"
Suara erangan wanita cantik itu semakin keras terdengar, ketika kedua kakinya dibuka semakin lebar, sementara pria yang tengah bersamanya itu kini membenamkan wajah di pangkal pahanya dalam-dalam.
Terdengar lolongan bernada kenikmatan yang keluar dari sepasang bibir yang dipoles lipstik berwarna merah hati tersebut, ketika wanita itu merasakan betapa bagian inti tubuhnya saat ini sedang dijelajahi oleh ujung lidah yang lunak, sekaligus ditusuk oleh ujung jari yang keras
"Eunghm. Akh! Akh! Leb—bih dalam lagiihh. Oohh!!"
"Milikku. Argh! Kulum juga milikku! Ugh!"
Bertindihan dengan posisi yang terbalik satu sama lainnya, kedua pasangan itu lalu saling memberi kenikmatan.
Peluh sudah membanjir dan membasahi tubuh bugil keduanya. Hawa panas pun menguar dan memenuhi seisi kamar, sehingga alat pendingin ruangan yang saat ini sebenarnya sudah dinyal
Untuk beberapa saat, ada keheningan yang seketika menyelimuti ruangan VVIP tersebut. Baik Gallahan maupun Rafael, keduanya terlihat sama bingung dan kagetnya, hingga tidak sanggup bersuara sedikit pun ketika melihat Killian yang tiba-tiba menerobos masuk dan langsung memeluk Aila.Sementara itu, Aila sendiri saat ini pun hanya sanggup berdiam diri. Perempuan bermata abu itu merasa tidak berdaya berada di dalam pelukan Killian yang seolah benar-benar memerangkapnya.Keheningan tersebut kemungkinan masih akan terus berlangsung sedikit lebih lama lagi, kalau saja pintu ruang istirahat tidak lagi-lagi terbuka secara mendadak dan memunculkan Yuni dari ambang pintu, yang terlihat begitu berantakan, terbelah antara rasa terkejut dan ketakutan secara sekaligus."Apa-apaan ini?" seru Gallahan, segera setelah menyadari situasi yang ada. "Yuni! Kenapa kamu berpenampilan seperti itu?" hardiknya lagi, membuat Yuni nyaris terlonjak karena saking kagetnya.Mendengus keras
"Kiska, tunggu."Nyaris menabrak semua orang yang menghalangi jalannya, Killian berusaha mengejar sang istri. Sepasang mata gelapnya memandang tajam punggung Aila yang dengan jelas terekspos karena gaun berpotongan off shoulder yang perempuan bermata abu itu kenakan."Sh*t!" maki Killian, membuat orang-orang di sekitar menoleh kepadanya, tapi tentu saja lelaki tampan bersurai hitam itu tidak peduli.Dia tidak suka dengan model gaun yang Aila kenakan saat ini.Gaun itu memang cantik dan cocok sekali dikenakan oleh Aila, iya Killian akui itu. Namun yang dia tidak suka adalah model gaun itu yang begitu mengekspos bagian punggung, leher dan sedikit bagian dari dada istrinya. Ditambah lagi potongan gaun yang menampilkan bentuk tubuh ramping Aila.Memaki sekali lagi, kepala Killian rasanya mendadak seolah mendidih apabila memikirkan sudah ada berapa banyak pasang mata lelaki lain yang sudah melihat penampilan menawan istrinya hari ini."Belum lagi foto-foto y
Aila menolehkan kepala, sengaja menghindar ketika Killian hendak menciumnya."Apa kamu nggak mau untuk aku sentuh, Queen?" bisik Killian, membuat sekujur tubuh Aila meremang karena merasakan hembusan napas hangat yang menyapu tengkuknya. "Then, touch me.""Aa- apa?"Aila menatap tidak mengerti ke arah Killian yang sekarang berjalan mundur, memberi jarak di antara mereka."Kalau memang kamu nggak ingin aku sentuh, maka kamulah yang harus menyentuhku," kata Killian, mengulang ucapannya lagi.Tentu saja Aila melongo dibuatnya. Ini dia yang salah dengar atau apa, sih?"Memangnya, kenapa aku harus menyentuhmu, Kills?" protesnya. "Buat apa?""Memeriksaku.""Memerik-""Periksa tubuhku, Kiska," sela Killian, membuka lebar kedua tangannya seolah pasrah. "Bukankah sejak tadi kamu curiga kalau aku ada main d
Beberapa hari ini ada yang membuat Heri Roxanne pusing tujuh keliling."Apa dia datang lagi?" tanya Risa, menyentuh bahu suaminya dan memasang wajah prihatin.Terlalu lelah untuk menjawab, Heri hanya memberikan anggukan kepala disertai desahan bernada putus asa."Apa perlu aku memanggil pengawal untuk mengusirnya?" tawar Risa dengan nada menggeram, pertanda rasa kesalnya sudah sangat bertumpuk."Percuma," desah Heri, kembali menghembuskan napas berat. "Percuma saja, Ris.""Apa maksudmu dengan percuma?" kernyit Risa demi mendengar pernyataan Heri barusan.Tidak langsung menjawab, Heri memberi istrinya pandangan bercampur lelah dan putus asa. Namun, sekilas ada kilatan rasa geli di sepasang mata hitam itu."Yah, lihat saja dan kamu akan mengerti sendiri," mengedikkan bahu, Heri pun menjawab. "Tidak perlu keluar kamar dan pergi ke depan runah," imbuhnya, mencegah Risa yang sudah selangkah hendak pergi. Dia lalu mengedikkan kepala, menunj
Keesokan harinya, ketika sarapan. "Ayah ...," panggil Aila, dan Heri, yang semula sedang menikmati sarapan dengan damai pun langsung buru-buru menyelesaikan sarapannya, lalu bergegas pergi dengan alasan masih ada pekerjaan yang perlu dia lakukan. Saat siang hari dan Heri pulang ke rumah, berencana untuk makan siang bersama keluarganya. "Ayah ...," panggil Aila, membuat Heri mendadak ingat bahwa dia ada meeting penting yang akan berlangsung lima belas menit lagi, sehingga pria separuh baya itu pun terpaksa harus meninggalkan sepiring pasta yang menjadi menu makan siang mereka, meski masih ada tersisa lebih dari separuh. Lalu, ketika makan malam dan mereka semua sudah berada di meja makan, Aila meletakkan sendoknya dengan sedikit lebih keras dan memandang tajam ke arah ayahnya. "Ayah, sebenarnya maunya Ayah ini bagaimana?" tanyanya to the point, membuat Heri nyaris tersed
Ivona baru saja akan berniat tidur ketika suara dering telepon terdengar mengiris keheningan malam di kediaman Agentine.Sedikit mengerutkan dahi, Ivona sempat bertanya-tanya, siapa yang menelepon di larut malam begini? Melirik sekilas jam yang ada di atas nakas, perempuan setengah baya itu bisa melihat bahwa saat ini waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam."Tidak tahu sopan santun sekali," gerutunya sambil beringsut masuk ke dalam selimut, berbaring nyaman di sebelah Claude yang masih asyik dengan laptop di pangkuan."Siapa?" tanya pria Rusia tersebut, sama sekali tidak mengalihkan sepasang matanya dari layar laptop. "Memangnya, siapa yang menelepon?""Entahlah. Paling juga telepon yang tidak penting.""Kalau tidak penting, maka seharusnya dia tidak menghubungi larut malam seperti ini."Mendengus kecil, Ivona tidak menghiraukan apa pun lagi. Kedua matanya saat ini sudah sangat berat dan meminta untuk segera dipejamkan, sehingga dia hanya ingin sege
Suara dari alat EKG terdengar memenuhi ruang rawat. sementara kabel-kabel yang tersambung dengan elektroda yang dipasang di dada Killian tampak menjuntai.Aila sesaat terpaku. Saat ini dia berdiri di luar ruang rawat dan memandangi sosok lelaki yang saat ini tengah berbaring di atas brankar dalam kondisi yang masih tidak sadarkan diri dari balik kaca."Bukankah waktu itu dia baik-baik saja?" tanyanya yang entah kepada siapa. "Kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini?"Menoleh ke arah Ivona yang masih terus sesenggukan menangis meski nyaris tanpa suara, perempuan bermata abu itu pun lanjut berkata, "Apakah Kills mempunyai riwayat sakit jantung?""Itu hal yang sangat tidak mungkin," sahut Claude, mewakili Ivona yang masih belum sanggup berbicara. "Ian sangat sehat. Sejak kecil dia bahkan nyaris tidak pernah sakit.""Lalu, kenapa dia mendadak-""Pasti itu karena beberapa bulan ini."Menoleh bersamaan, Aila dan Claude bisa menemukan sumber suara yang menye
"Kills, apa kamu baik-baik saja?"Tidak ada kata yang diucapkan Killian untuk menjawab pertanyaan Aila kecuali suara erangan belaka. Merasa semakin cemas, Aila pun segera memanggil Aiden yang sejak tadi hanya diam dan mengamati, berdiri tidak jauh dari brankar tempat Killian berbaring."Aiden! Apa nggak sebaiknya kalau kita memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Kills?""Aila, apa kamu lupa kalau aku ini juga seorang dokter?""Oh! Ma-maafkan aku, aku nggak bermaksud untuk-" Tercabik antara rasa malu dan khawatirnya, wajah cantik Aila sekarang terlihat memerah. "Maaf, tadi aku-, maksudku-"Aiden tersenyum. Untuk pertama kali sejak situasi semalam yang membuatnya kesal luar biasa, ada senyuman di wajah ganteng dokter muda itu. Sepasang mata biru itu memandangi wajah kebingungan Aila yang lucu dan Aiden pun tidak menampik adanya getaran dalam dadanya yang ternyata masih juga tersi
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida