Share

(S2)-Bab 34 • Siapa Kamu?

Seumur hidup, belum pernah Aila mendatangi sebuah acara pesta yang sebesar ini.

"Tenanglah, Nak," bisik Gallahan, ketika merasakan betapa tangan Aila mencengkeram lengannya dengan lebih erat. "Kamu boleh saja merasa gugup, tapi jangan tunjukkan hal tersebut. Jangan sampai orang lain mengetahui ketakutan yang sedang kamu rasakan."

Mengangguk, Aila pun menarik napas dalam-dalam, kemudian mengulas senyuman. Pengalaman pertama kali menghadiri sebuah acara sebesar ini, tentu saja membuatnya grogi setengah mati.

Dengan susah payah perempuan bermata abu itu pun berusaha untuk tetap bersikap setenang mungkin. Sesekali dia bahkan menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan, dan melihat betapa perhatian sebagian besar orang yang berada di ruang pesta tertuju pada Gallahan dan juga dirinya.

"Kek, ngomong-ngomong ... kenapa reaksi orang-orang seheboh itu? Sejak saya keluar dari mobil tadi, ada begitu banyak wartawan yang langsung saja mengerubung. Apalagi ketika saya berjalan sambil merangkul lengan Kakek, rasanya kedua mata saya nyaris buta karena saking banyaknya lampu blitz dari kamera foto yang diarahkan ke arah kita," bisik Aila sambil sedikit tertawa.

Dia juga lalu mengambil salah satu gelas minuman yang ditawarkan oleh seorang pelayan karena merasa tenggorokannya sedikit kering. Rupanya rasa gugup yang Aila alami bisa menimbulkan rasa haus juga.

Di area pesta ini memang ada beberapa pelayan yang berkeliling di antara tamu undangan dengan membawa nampan yang berisi gelas minuman. Masing-masing dari mereka pun membawa jenis minuman yang berbeda, terlihat dari jenis warna minuman dan juga gelas kristal yang mereka sajikan.

"Apakah Kakek ini orang yang sangat terkenal? Kok, sampai reaksi mereka segempar itu," lanjut Aila, masih sambil berbisik-bisik sehingga membuat Gallahan sedikit membungkuk mendekat ke arahnya.

"Nak," sahut Gallahan, yang segera mengambil gelas berisi minuman di tangan Aila, sementara perempuan cantik bermata abu itu masih terlihat asyik mengendus-endusnya. "Kakekmu ini memang bukan artis, tapi Kakek memang cukup terkenal. Ngomong-ngomong, apakah kamu tahu kalau gelas yang kamu ambil ini berisi sampanye, Sayang?"

"Oh!"

Aila mengerjap. Sejujurnya dia memang tidak tahu apa isi gelas yang tadi dia ambil secara sembarang saja itu. Namun Aila memang lumayan menyukai aroma manis dari minuman tersebut dan bahkan nyaris meminumnya, kalau saja tidak terburu diambil oleh Gallahan.

"Ehm .... Pantas saja, kepala saya sekarang kok terasa sedikit pusing dan berat, Kek," gumamnya, kali ini memegang lengan Gallahan dengan lebih erat karena mulai merasa limbung.

Pria tua itu lalu mengernyit, mengamati Aila dengan seksama. Bisa dia lihat kalau perempuan cantik yang bersamanya itu sekarang berwajah sedikit pucat dan ada sedikit keringat yang mulai menghiasi dahi Aila.

"Nak," Gallahan merangkul pundak Aila, terlihat sedikit cemas. "Apa kamu memang belum pernah meminum alkohol?"

Aila mengulas senyuman dan hanya memberi anggukan kepala sebagai jawaban.

"Sedikit pun?" tanya Gallahan lagi, masih juga tidak percaya.

Masih berusaha tersenyum sementara kepalanya terasa semakin beeputar, Aila pun mengangguk kembali.

"Oh, ya Tuhan. Keajaiban apa ini?" seru Gallahan, benar-benar merasa terkejut.

Sepasang mata rentanya pun melebar memandang perempuan muda dan cantik itu. Dengan segera dia lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengelap keringat di dahi Aila.

Tidak lupa, pria baya itu juga segera memberi perintah pada Rafael agar mengambilkan segelas air putih untuk Aila.

"Bawakan dompetnya," perintah Gallahan lagi, kali ini kepada asisten wanita yang memang sengaja dia tugaskan untuk menemani Aila.

Menoleh ke arah Aila, Gallahan lalu berkata dengan lembut, "Berikan dompetmu, Nak. Biar Yuni saja yang membawanya, jadi kamu tidak perlu merasa kerepotan, ya?"

Asisten wanita bernama Yuni itu pun dengan patuh segera menerima dompet yang juga berisi handphone milik Aila.

"Apakah tidak ada tempat duduk di dekat sini?" omel Gallahan, sementara kedua mata tuanya mengedar mencari tempat duduk di area standing party tersebut. "Ayo kita pergi ke tempat khusus yang katanya sudah dipersiapkan itu. Awas saja kalau ternyata fasilitasnya tidak nyaman."

"Saya tidak apa-apa kok, Kek. Jangan terlalu merasa khawatir," Aila menyentuh lengan atas Gallahan, mencoba membujuk pria tua itu. "Sebentar lagi saya juga akan merasa lebih baik. Maaf karena sudah membuat Kakek cemas."

"Oh, Nak. Jangan selalu meminta maaf. Bukan salahmu, Sayang. Kakek hanya tidak mengira kalau kamu belum pernah meminum alkohol sama sekali. Makanya, sampai kaget seperti ini."

"Apakah itu hal yang salah, kalau saya belum pernah mengonsumsi alkohol sama sekali, Kek?"

"Ehm, itu-"

"Kek, kenapa saya harus melakukan sesuatu yang hanya berakibat buruk bagi saya?" tanya Aila lagi, kali ini meraih segelas air mineral yang disodorkan Rafael. Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih, dia pun lalu meminumnya, tentunya dengan diawasi oleh Gallahan. "Kalau semisal alkohol itu sesuatu yang bagus, kenapa ibu hamil dan menyusui tidak boleh mengonsumsinya? Kenapa anak di anak di bawah umur atau orang lanjut usia sangat tidak disarankan juga untuk meminumnya?" 

Gallahan tidak menjawabnya karena pertanyaan Aila tadi bukanlah sesuatu yang membutuhkan sebuah jawaban.

"Saya ... hanya tidak ingin merusak diri saya sendiri," lanjut Aila, kembali mengulas senyuman yang kemudian menular kepada Gallahan.

"Ya, Nak," angguk pria tua itu. " Tetaplah seperti itu. Tidak perlu memedulikan gaya hidup atau tren yang aneh-aneh."

Merasa kagum sekaligus bahagia, tanpa sungkan Gallahan bahkan memeluk Aila dan mencium dahi perempuan cantik itu. 

"Jaga dirimu baik-baik, Nak," bisiknya. "Jaga kesehatanmu. Cintai dirimu sendiri terlebih dulu sebelum kamu melakukan hal yang lainnya, ya?"

Mendongak, Aila lalu tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kek."

"Nah, sekarang ... mari kita berkeliling sebentar," kekeh Gallahan, meraih tangan Aila lalu menyampirkan di lengan kirinya. "Kakek harap kamu tidak malu karena harus datang ke pesta bersama dengan pria tua seperti kakekmu ini," imbuhnya, mengedipkan sebelah mata.

Aila tertawa kecil menanggapinya. Dia lalu mengangguk, dan dengan santai mereka pun berjalan beriringan, sambil sesekali mengamati keindahan hiasan Royal Ballroom yang terlihat begitu megah. 

***

"Apa tadi kamu lihat, betapa mesranya mereka?"

"Mereka bahkan berpelukan dan berciuman di depan umum."

"Jangan lupakan bahwa sikap mereka juga begitu akrab dan dekat. Bukankah ini berarti bahwa hubungan mereka sudah berjalan ke arah yang serius?"

Sepasang alis Killian mencuram ketika sekilas mendengar bisik-bisik beberapa orang yang dilewatinya. Sebenarnya tadi dia sudah tidak berminat untuk turun dan datang ke Royal Ballroom, tempat pesta mereka diselenggarakan, tapi Ayik terus menerus meneleponnya dan bahkan nyaris merengek, memintanya agar bersedia datang sebentar meski hanya sekedar menyapa beberapa tamu undangan saja.

"Dasar si Ayik itu. Bisanya hanya merepotkanku saja," gerutu Killian, mengenakan jas dan dasinya dengan asal saja dan terburu keluar. "Masa, dia sampai mengancam tidak akan mau meneruskan kerja sama denganku lagi, kalau sampai aku tetap tidak mau menemaninya. Memang apa susahnya, sih, berdiri dan tersenyum sedikit untuk menyambut para tamu undangan. Kalau mereka terlalu cerewet bertanya ini itu, tinggal beri jawaban 'iya' saja 'kan, biar cepat selesai."

Kekesalan Killian pun semakin bertambah ketika dia menyusuri lorong hotel yang rupanya juga didatangi oleh beberapa orang tamu undangan pesta, sekedar agar bisa bebas bergosip.

"Si pria tua itu," geramnya dengan rahang mengertak saking menahan rasa kesalnya. "Kenapa ada-ada saja, sih, ulahnya? Jadi dia benar-benar datang ke pestaku dengan mengajak kekasih daun mudanya itu? Cih!"

"Lihat saja nanti ...." Nyaris meninju panel lift yang sedang berada di lantai lain, lelaki bersurai hitam itu terlihat semakin geram. "Aku yang ingin menikahi perempuan yang benar-benar aku cintai saja, sudah Kakek katakan sebagai lelaki tidak tahu malu. Sekarang, ternyata malah kelakuan Kakek sendiri yang lebih parah. Menjalin hubungan kasih dengan perempuan yang jauh lebih muda, bahkan sebenarnya lebih pantas kalau menjadi cucunya, apa-apaan itu?"

Fakta bahwa dia masih harus bersedia menunggu lift yang masih terus berhenti di lantai lain itu, justru membuat rasa kesal Killian semakin bertambah. Entah mengapa, semua hal terasa menyebalkan bagi lelaki tampan itu. 

"Queen," bisiknya, lagi-lagi merasa merana sendiri. "Sebenarnya kamu di mana, sih? Oh, God. Sengsara sekali aku rasanya kalau nggak ada kamu, Kiska."

Saat berikutnya, Killian terperanjat ketika ada seorang perempuan yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Terlebih karena perempuan itu lalu mencium tengkuknya, membuat lelaki bersurai hitam itu pun langsung meremang.

"Hei, I miss you," bisik perempuan itu dengan gaya sensual. "Are you miss me too?"

Mengernyit, Killian pun menoleh, berusaha mencari tahu siapa perempuan yang tiba-tiba saja datang dan memeluk, serta mencium dirinya dengan seenaknya itu.

Saat berikutnya, sepasang mata hitamnya pun melebar ketika sosok perempuan itu akhirnya tertangkap oleh penglihatan.

"Kamu?"

Deg!

***

Halo, Kak.

Mohon maaf atas masalah yang kemarin, ya. Sinyalnya beneran ngajak gelut T.T

Mau pakai wifi ataupun kuota, sama-sama lemotnya.

Bab ini gratis, semoga bisa sedikit melegakan hati Kakak-kakak sekalian, ya.

Terima kasih.

Salam sayang

Comments (15)
goodnovel comment avatar
Iskandar Andi
dasar pelakor pengen saya sikat mukanya
goodnovel comment avatar
Wawa Sarifudin
Pkul berpa upload thor
goodnovel comment avatar
lim.lei.tin
ngeselin lama2 nih, ud tunggu update lama sedikit lg..trus crtny ngantung trus...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status