Seumur hidup, belum pernah Aila mendatangi sebuah acara pesta yang sebesar ini.
"Tenanglah, Nak," bisik Gallahan, ketika merasakan betapa tangan Aila mencengkeram lengannya dengan lebih erat. "Kamu boleh saja merasa gugup, tapi jangan tunjukkan hal tersebut. Jangan sampai orang lain mengetahui ketakutan yang sedang kamu rasakan."
Mengangguk, Aila pun menarik napas dalam-dalam, kemudian mengulas senyuman. Pengalaman pertama kali menghadiri sebuah acara sebesar ini, tentu saja membuatnya grogi setengah mati.
Dengan susah payah perempuan bermata abu itu pun berusaha untuk tetap bersikap setenang mungkin. Sesekali dia bahkan menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan, dan melihat betapa perhatian sebagian besar orang yang berada di ruang pesta tertuju pada Gallahan dan juga dirinya.
"Kek, ngomong-ngomong ... kenapa reaksi orang-orang seheboh itu? Sejak saya keluar dari mobil tadi, ada begitu banyak wartawan yang langsung saja mengerubung. Apalagi ketika saya berjalan sambil merangkul lengan Kakek, rasanya kedua mata saya nyaris buta karena saking banyaknya lampu blitz dari kamera foto yang diarahkan ke arah kita," bisik Aila sambil sedikit tertawa.
Dia juga lalu mengambil salah satu gelas minuman yang ditawarkan oleh seorang pelayan karena merasa tenggorokannya sedikit kering. Rupanya rasa gugup yang Aila alami bisa menimbulkan rasa haus juga.
Di area pesta ini memang ada beberapa pelayan yang berkeliling di antara tamu undangan dengan membawa nampan yang berisi gelas minuman. Masing-masing dari mereka pun membawa jenis minuman yang berbeda, terlihat dari jenis warna minuman dan juga gelas kristal yang mereka sajikan.
"Apakah Kakek ini orang yang sangat terkenal? Kok, sampai reaksi mereka segempar itu," lanjut Aila, masih sambil berbisik-bisik sehingga membuat Gallahan sedikit membungkuk mendekat ke arahnya.
"Nak," sahut Gallahan, yang segera mengambil gelas berisi minuman di tangan Aila, sementara perempuan cantik bermata abu itu masih terlihat asyik mengendus-endusnya. "Kakekmu ini memang bukan artis, tapi Kakek memang cukup terkenal. Ngomong-ngomong, apakah kamu tahu kalau gelas yang kamu ambil ini berisi sampanye, Sayang?"
"Oh!"
Aila mengerjap. Sejujurnya dia memang tidak tahu apa isi gelas yang tadi dia ambil secara sembarang saja itu. Namun Aila memang lumayan menyukai aroma manis dari minuman tersebut dan bahkan nyaris meminumnya, kalau saja tidak terburu diambil oleh Gallahan.
"Ehm .... Pantas saja, kepala saya sekarang kok terasa sedikit pusing dan berat, Kek," gumamnya, kali ini memegang lengan Gallahan dengan lebih erat karena mulai merasa limbung.
Pria tua itu lalu mengernyit, mengamati Aila dengan seksama. Bisa dia lihat kalau perempuan cantik yang bersamanya itu sekarang berwajah sedikit pucat dan ada sedikit keringat yang mulai menghiasi dahi Aila.
"Nak," Gallahan merangkul pundak Aila, terlihat sedikit cemas. "Apa kamu memang belum pernah meminum alkohol?"
Aila mengulas senyuman dan hanya memberi anggukan kepala sebagai jawaban.
"Sedikit pun?" tanya Gallahan lagi, masih juga tidak percaya.
Masih berusaha tersenyum sementara kepalanya terasa semakin beeputar, Aila pun mengangguk kembali.
"Oh, ya Tuhan. Keajaiban apa ini?" seru Gallahan, benar-benar merasa terkejut.
Sepasang mata rentanya pun melebar memandang perempuan muda dan cantik itu. Dengan segera dia lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengelap keringat di dahi Aila.
Tidak lupa, pria baya itu juga segera memberi perintah pada Rafael agar mengambilkan segelas air putih untuk Aila.
"Bawakan dompetnya," perintah Gallahan lagi, kali ini kepada asisten wanita yang memang sengaja dia tugaskan untuk menemani Aila.
Menoleh ke arah Aila, Gallahan lalu berkata dengan lembut, "Berikan dompetmu, Nak. Biar Yuni saja yang membawanya, jadi kamu tidak perlu merasa kerepotan, ya?"
Asisten wanita bernama Yuni itu pun dengan patuh segera menerima dompet yang juga berisi handphone milik Aila.
"Apakah tidak ada tempat duduk di dekat sini?" omel Gallahan, sementara kedua mata tuanya mengedar mencari tempat duduk di area standing party tersebut. "Ayo kita pergi ke tempat khusus yang katanya sudah dipersiapkan itu. Awas saja kalau ternyata fasilitasnya tidak nyaman."
"Saya tidak apa-apa kok, Kek. Jangan terlalu merasa khawatir," Aila menyentuh lengan atas Gallahan, mencoba membujuk pria tua itu. "Sebentar lagi saya juga akan merasa lebih baik. Maaf karena sudah membuat Kakek cemas."
"Oh, Nak. Jangan selalu meminta maaf. Bukan salahmu, Sayang. Kakek hanya tidak mengira kalau kamu belum pernah meminum alkohol sama sekali. Makanya, sampai kaget seperti ini."
"Apakah itu hal yang salah, kalau saya belum pernah mengonsumsi alkohol sama sekali, Kek?"
"Ehm, itu-"
"Kek, kenapa saya harus melakukan sesuatu yang hanya berakibat buruk bagi saya?" tanya Aila lagi, kali ini meraih segelas air mineral yang disodorkan Rafael. Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih, dia pun lalu meminumnya, tentunya dengan diawasi oleh Gallahan. "Kalau semisal alkohol itu sesuatu yang bagus, kenapa ibu hamil dan menyusui tidak boleh mengonsumsinya? Kenapa anak di anak di bawah umur atau orang lanjut usia sangat tidak disarankan juga untuk meminumnya?"
Gallahan tidak menjawabnya karena pertanyaan Aila tadi bukanlah sesuatu yang membutuhkan sebuah jawaban.
"Saya ... hanya tidak ingin merusak diri saya sendiri," lanjut Aila, kembali mengulas senyuman yang kemudian menular kepada Gallahan.
"Ya, Nak," angguk pria tua itu. " Tetaplah seperti itu. Tidak perlu memedulikan gaya hidup atau tren yang aneh-aneh."
Merasa kagum sekaligus bahagia, tanpa sungkan Gallahan bahkan memeluk Aila dan mencium dahi perempuan cantik itu.
"Jaga dirimu baik-baik, Nak," bisiknya. "Jaga kesehatanmu. Cintai dirimu sendiri terlebih dulu sebelum kamu melakukan hal yang lainnya, ya?"
Mendongak, Aila lalu tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kek."
"Nah, sekarang ... mari kita berkeliling sebentar," kekeh Gallahan, meraih tangan Aila lalu menyampirkan di lengan kirinya. "Kakek harap kamu tidak malu karena harus datang ke pesta bersama dengan pria tua seperti kakekmu ini," imbuhnya, mengedipkan sebelah mata.
Aila tertawa kecil menanggapinya. Dia lalu mengangguk, dan dengan santai mereka pun berjalan beriringan, sambil sesekali mengamati keindahan hiasan Royal Ballroom yang terlihat begitu megah.
***
"Apa tadi kamu lihat, betapa mesranya mereka?"
"Mereka bahkan berpelukan dan berciuman di depan umum."
"Jangan lupakan bahwa sikap mereka juga begitu akrab dan dekat. Bukankah ini berarti bahwa hubungan mereka sudah berjalan ke arah yang serius?"
Sepasang alis Killian mencuram ketika sekilas mendengar bisik-bisik beberapa orang yang dilewatinya. Sebenarnya tadi dia sudah tidak berminat untuk turun dan datang ke Royal Ballroom, tempat pesta mereka diselenggarakan, tapi Ayik terus menerus meneleponnya dan bahkan nyaris merengek, memintanya agar bersedia datang sebentar meski hanya sekedar menyapa beberapa tamu undangan saja.
"Dasar si Ayik itu. Bisanya hanya merepotkanku saja," gerutu Killian, mengenakan jas dan dasinya dengan asal saja dan terburu keluar. "Masa, dia sampai mengancam tidak akan mau meneruskan kerja sama denganku lagi, kalau sampai aku tetap tidak mau menemaninya. Memang apa susahnya, sih, berdiri dan tersenyum sedikit untuk menyambut para tamu undangan. Kalau mereka terlalu cerewet bertanya ini itu, tinggal beri jawaban 'iya' saja 'kan, biar cepat selesai."
Kekesalan Killian pun semakin bertambah ketika dia menyusuri lorong hotel yang rupanya juga didatangi oleh beberapa orang tamu undangan pesta, sekedar agar bisa bebas bergosip.
"Si pria tua itu," geramnya dengan rahang mengertak saking menahan rasa kesalnya. "Kenapa ada-ada saja, sih, ulahnya? Jadi dia benar-benar datang ke pestaku dengan mengajak kekasih daun mudanya itu? Cih!"
"Lihat saja nanti ...." Nyaris meninju panel lift yang sedang berada di lantai lain, lelaki bersurai hitam itu terlihat semakin geram. "Aku yang ingin menikahi perempuan yang benar-benar aku cintai saja, sudah Kakek katakan sebagai lelaki tidak tahu malu. Sekarang, ternyata malah kelakuan Kakek sendiri yang lebih parah. Menjalin hubungan kasih dengan perempuan yang jauh lebih muda, bahkan sebenarnya lebih pantas kalau menjadi cucunya, apa-apaan itu?"
Fakta bahwa dia masih harus bersedia menunggu lift yang masih terus berhenti di lantai lain itu, justru membuat rasa kesal Killian semakin bertambah. Entah mengapa, semua hal terasa menyebalkan bagi lelaki tampan itu.
"Queen," bisiknya, lagi-lagi merasa merana sendiri. "Sebenarnya kamu di mana, sih? Oh, God. Sengsara sekali aku rasanya kalau nggak ada kamu, Kiska."
Saat berikutnya, Killian terperanjat ketika ada seorang perempuan yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Terlebih karena perempuan itu lalu mencium tengkuknya, membuat lelaki bersurai hitam itu pun langsung meremang.
"Hei, I miss you," bisik perempuan itu dengan gaya sensual. "Are you miss me too?"
Mengernyit, Killian pun menoleh, berusaha mencari tahu siapa perempuan yang tiba-tiba saja datang dan memeluk, serta mencium dirinya dengan seenaknya itu.
Saat berikutnya, sepasang mata hitamnya pun melebar ketika sosok perempuan itu akhirnya tertangkap oleh penglihatan.
"Kamu?"
Deg!
***
Halo, Kak.
Mohon maaf atas masalah yang kemarin, ya. Sinyalnya beneran ngajak gelut T.T
Mau pakai wifi ataupun kuota, sama-sama lemotnya.
Bab ini gratis, semoga bisa sedikit melegakan hati Kakak-kakak sekalian, ya.
Terima kasih.
Salam sayang
"Pesta ini diselenggarakan atas kerja sama dua pihak, Nona, dan salah satu nama penyelenggaranya adalah Tuan Muda Killian Ardhana Putra."Aila mengangguk ketika mendengar laporan Yuni tersebut. Jadi yang dikatakan Ansia kepadanya memang benar, bahwa Killianlah yang menjadi penyelenggara acara pesta yang sebesar ini."Dan bahkan dia nggak mengundang atau sekedar memberi tahu aku soal ini," bisik Aila, perlahan menunduk sementara wajahnya pun mulai terlihat muram. "Apa kamu benar-benar ingin melepaskanku, Kills?"Sekarang ini dia dan Yuni memang sedang berada di ruangan khusus yang memang sudah dipersiapkan khusus untuk Gallahan, dan tentu saja, hal tersebut membuatnya merasa sangat lega.Yah, setidaknya dia tidak perlu lagi merasakan banyaknya pandangan menusuk penuh rasa ingin tahu yang terus menerus diarahkan kepadanya, baik oleh para tamu undangan maupun oleh wartawan.Jujur saja, Aila sama sekali tidak menikmati semua perhatian yang berlebihan t
Napas Killian sesak dan dadanya pun sudah terasa panas, seolah nyaris terbakar. Namun lelaki bersurai hitam itu tidak sedikit pun memperlambat laju larinya yang menuruni anak tangga darurat.Nyaris terhuyung, dia menabrak begitu saja pintu tangga darurat dengan bahunya, dan kembali berlari menuju lift yang sekarang masih tertutup."Ah, sh*t!" makinya, terengah mengatur napas.Berlari menuruni tangga dari lantai tujuh ke lantai satu tanpa henti, bukanlah perkara yang mudah dilakukan.Menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang juga sudah kering, Killian memgambil satu tarikan napas dalam, sebelum akhirnya lelaki tampan bersurai hitam itu berdiri lebih tegak, menanti pintu lift yang masih belum terbuka.Mendengus, Killian tidak bisa menahan diri untuk tidak menertawakan dirinya sendiri.Saat ini, dia bahkan harus rela berlari menuruni tangga darurat hotel tempat dia seharusnya menikmati pesta besar yang diselenggarakan untuk merayakan keberh
"Ah, yah. Di situ. Ehm! Enakh. Akh! Akh! Akh!""Kamu suka? Hem? Bagaimana kalau begini?"Suara erangan wanita cantik itu semakin keras terdengar, ketika kedua kakinya dibuka semakin lebar, sementara pria yang tengah bersamanya itu kini membenamkan wajah di pangkal pahanya dalam-dalam.Terdengar lolongan bernada kenikmatan yang keluar dari sepasang bibir yang dipoles lipstik berwarna merah hati tersebut, ketika wanita itu merasakan betapa bagian inti tubuhnya saat ini sedang dijelajahi oleh ujung lidah yang lunak, sekaligus ditusuk oleh ujung jari yang keras"Eunghm. Akh! Akh! Leb—bih dalam lagiihh. Oohh!!""Milikku. Argh! Kulum juga milikku! Ugh!"Bertindihan dengan posisi yang terbalik satu sama lainnya, kedua pasangan itu lalu saling memberi kenikmatan.Peluh sudah membanjir dan membasahi tubuh bugil keduanya. Hawa panas pun menguar dan memenuhi seisi kamar, sehingga alat pendingin ruangan yang saat ini sebenarnya sudah dinyal
Untuk beberapa saat, ada keheningan yang seketika menyelimuti ruangan VVIP tersebut. Baik Gallahan maupun Rafael, keduanya terlihat sama bingung dan kagetnya, hingga tidak sanggup bersuara sedikit pun ketika melihat Killian yang tiba-tiba menerobos masuk dan langsung memeluk Aila.Sementara itu, Aila sendiri saat ini pun hanya sanggup berdiam diri. Perempuan bermata abu itu merasa tidak berdaya berada di dalam pelukan Killian yang seolah benar-benar memerangkapnya.Keheningan tersebut kemungkinan masih akan terus berlangsung sedikit lebih lama lagi, kalau saja pintu ruang istirahat tidak lagi-lagi terbuka secara mendadak dan memunculkan Yuni dari ambang pintu, yang terlihat begitu berantakan, terbelah antara rasa terkejut dan ketakutan secara sekaligus."Apa-apaan ini?" seru Gallahan, segera setelah menyadari situasi yang ada. "Yuni! Kenapa kamu berpenampilan seperti itu?" hardiknya lagi, membuat Yuni nyaris terlonjak karena saking kagetnya.Mendengus keras
"Kiska, tunggu."Nyaris menabrak semua orang yang menghalangi jalannya, Killian berusaha mengejar sang istri. Sepasang mata gelapnya memandang tajam punggung Aila yang dengan jelas terekspos karena gaun berpotongan off shoulder yang perempuan bermata abu itu kenakan."Sh*t!" maki Killian, membuat orang-orang di sekitar menoleh kepadanya, tapi tentu saja lelaki tampan bersurai hitam itu tidak peduli.Dia tidak suka dengan model gaun yang Aila kenakan saat ini.Gaun itu memang cantik dan cocok sekali dikenakan oleh Aila, iya Killian akui itu. Namun yang dia tidak suka adalah model gaun itu yang begitu mengekspos bagian punggung, leher dan sedikit bagian dari dada istrinya. Ditambah lagi potongan gaun yang menampilkan bentuk tubuh ramping Aila.Memaki sekali lagi, kepala Killian rasanya mendadak seolah mendidih apabila memikirkan sudah ada berapa banyak pasang mata lelaki lain yang sudah melihat penampilan menawan istrinya hari ini."Belum lagi foto-foto y
Aila menolehkan kepala, sengaja menghindar ketika Killian hendak menciumnya."Apa kamu nggak mau untuk aku sentuh, Queen?" bisik Killian, membuat sekujur tubuh Aila meremang karena merasakan hembusan napas hangat yang menyapu tengkuknya. "Then, touch me.""Aa- apa?"Aila menatap tidak mengerti ke arah Killian yang sekarang berjalan mundur, memberi jarak di antara mereka."Kalau memang kamu nggak ingin aku sentuh, maka kamulah yang harus menyentuhku," kata Killian, mengulang ucapannya lagi.Tentu saja Aila melongo dibuatnya. Ini dia yang salah dengar atau apa, sih?"Memangnya, kenapa aku harus menyentuhmu, Kills?" protesnya. "Buat apa?""Memeriksaku.""Memerik-""Periksa tubuhku, Kiska," sela Killian, membuka lebar kedua tangannya seolah pasrah. "Bukankah sejak tadi kamu curiga kalau aku ada main d
Beberapa hari ini ada yang membuat Heri Roxanne pusing tujuh keliling."Apa dia datang lagi?" tanya Risa, menyentuh bahu suaminya dan memasang wajah prihatin.Terlalu lelah untuk menjawab, Heri hanya memberikan anggukan kepala disertai desahan bernada putus asa."Apa perlu aku memanggil pengawal untuk mengusirnya?" tawar Risa dengan nada menggeram, pertanda rasa kesalnya sudah sangat bertumpuk."Percuma," desah Heri, kembali menghembuskan napas berat. "Percuma saja, Ris.""Apa maksudmu dengan percuma?" kernyit Risa demi mendengar pernyataan Heri barusan.Tidak langsung menjawab, Heri memberi istrinya pandangan bercampur lelah dan putus asa. Namun, sekilas ada kilatan rasa geli di sepasang mata hitam itu."Yah, lihat saja dan kamu akan mengerti sendiri," mengedikkan bahu, Heri pun menjawab. "Tidak perlu keluar kamar dan pergi ke depan runah," imbuhnya, mencegah Risa yang sudah selangkah hendak pergi. Dia lalu mengedikkan kepala, menunj
Keesokan harinya, ketika sarapan. "Ayah ...," panggil Aila, dan Heri, yang semula sedang menikmati sarapan dengan damai pun langsung buru-buru menyelesaikan sarapannya, lalu bergegas pergi dengan alasan masih ada pekerjaan yang perlu dia lakukan. Saat siang hari dan Heri pulang ke rumah, berencana untuk makan siang bersama keluarganya. "Ayah ...," panggil Aila, membuat Heri mendadak ingat bahwa dia ada meeting penting yang akan berlangsung lima belas menit lagi, sehingga pria separuh baya itu pun terpaksa harus meninggalkan sepiring pasta yang menjadi menu makan siang mereka, meski masih ada tersisa lebih dari separuh. Lalu, ketika makan malam dan mereka semua sudah berada di meja makan, Aila meletakkan sendoknya dengan sedikit lebih keras dan memandang tajam ke arah ayahnya. "Ayah, sebenarnya maunya Ayah ini bagaimana?" tanyanya to the point, membuat Heri nyaris tersed
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida