Dahi Ayik mengernyit, memandang heran ke arah sosok bersurai hitam yang saat ini terlihat begitu suram seolah diselimuti aura gelap.
"Ada apa? Apakah ada masalah?" tanyanya dengan nada hati-hati. "Sebentar lagi pestanya akan dimulai, tapi kenapa kamu masih belum juga bersiap-siap, Ian?""Handle saja pesta itu sendirian, Yik," sahut Killian dengan gusar. "Aku mungkin tidak akan bisa hadir.""Apa maksudmu kamu tidak akan bisa hadir?" Terkejut, Ayik pun bertanya dengan nada yang tidak kalah gusarnya. "Bukankah ini adalah acara yang sudah kamu tunggu-tunggu? Kamu sendiri yang mengatakannya bukan, bahwa kamu ingin memperlihatkan kesuksesan yang berhasil kamu raih dengan usahamu sendiri ini kepada kakekmu?"Killian terdiam, wajah tampannya pun tampak semakin muram sekarang."Kalau hanya untuk menyambut para tamu undangan, kamu sendiri 'kan bisa, Yik?" ujarnya lagi, masih berusaha keras menyabarkan diri. "Jangan membuatku repot hanya untuk hal yang tidak terlalu peSeumur hidup, belum pernah Aila mendatangi sebuah acara pesta yang sebesar ini. "Tenanglah, Nak," bisik Gallahan, ketika merasakan betapa tangan Aila mencengkeram lengannya dengan lebih erat. "Kamu boleh saja merasa gugup, tapi jangan tunjukkan hal tersebut. Jangan sampai orang lain mengetahui ketakutan yang sedang kamu rasakan." Mengangguk, Aila pun menarik napas dalam-dalam, kemudian mengulas senyuman. Pengalaman pertama kali menghadiri sebuah acara sebesar ini, tentu saja membuatnya grogi setengah mati. Dengan susah payah perempuan bermata abu itu pun berusaha untuk tetap bersikap setenang mungkin. Sesekali dia bahkan menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan, dan melihat betapa perhatian sebagian besar orang yang berada di ruang pesta tertuju pada Gallahan dan juga dirinya. "Kek, ngomong-ngomong ... kenapa reaksi orang-orang seheboh itu? Sejak saya keluar dari mobil tadi, ada begitu banyak wartawan yang langsung saja mengerubung. Apalagi ketik
"Pesta ini diselenggarakan atas kerja sama dua pihak, Nona, dan salah satu nama penyelenggaranya adalah Tuan Muda Killian Ardhana Putra."Aila mengangguk ketika mendengar laporan Yuni tersebut. Jadi yang dikatakan Ansia kepadanya memang benar, bahwa Killianlah yang menjadi penyelenggara acara pesta yang sebesar ini."Dan bahkan dia nggak mengundang atau sekedar memberi tahu aku soal ini," bisik Aila, perlahan menunduk sementara wajahnya pun mulai terlihat muram. "Apa kamu benar-benar ingin melepaskanku, Kills?"Sekarang ini dia dan Yuni memang sedang berada di ruangan khusus yang memang sudah dipersiapkan khusus untuk Gallahan, dan tentu saja, hal tersebut membuatnya merasa sangat lega.Yah, setidaknya dia tidak perlu lagi merasakan banyaknya pandangan menusuk penuh rasa ingin tahu yang terus menerus diarahkan kepadanya, baik oleh para tamu undangan maupun oleh wartawan.Jujur saja, Aila sama sekali tidak menikmati semua perhatian yang berlebihan t
Napas Killian sesak dan dadanya pun sudah terasa panas, seolah nyaris terbakar. Namun lelaki bersurai hitam itu tidak sedikit pun memperlambat laju larinya yang menuruni anak tangga darurat.Nyaris terhuyung, dia menabrak begitu saja pintu tangga darurat dengan bahunya, dan kembali berlari menuju lift yang sekarang masih tertutup."Ah, sh*t!" makinya, terengah mengatur napas.Berlari menuruni tangga dari lantai tujuh ke lantai satu tanpa henti, bukanlah perkara yang mudah dilakukan.Menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang juga sudah kering, Killian memgambil satu tarikan napas dalam, sebelum akhirnya lelaki tampan bersurai hitam itu berdiri lebih tegak, menanti pintu lift yang masih belum terbuka.Mendengus, Killian tidak bisa menahan diri untuk tidak menertawakan dirinya sendiri.Saat ini, dia bahkan harus rela berlari menuruni tangga darurat hotel tempat dia seharusnya menikmati pesta besar yang diselenggarakan untuk merayakan keberh
"Ah, yah. Di situ. Ehm! Enakh. Akh! Akh! Akh!""Kamu suka? Hem? Bagaimana kalau begini?"Suara erangan wanita cantik itu semakin keras terdengar, ketika kedua kakinya dibuka semakin lebar, sementara pria yang tengah bersamanya itu kini membenamkan wajah di pangkal pahanya dalam-dalam.Terdengar lolongan bernada kenikmatan yang keluar dari sepasang bibir yang dipoles lipstik berwarna merah hati tersebut, ketika wanita itu merasakan betapa bagian inti tubuhnya saat ini sedang dijelajahi oleh ujung lidah yang lunak, sekaligus ditusuk oleh ujung jari yang keras"Eunghm. Akh! Akh! Leb—bih dalam lagiihh. Oohh!!""Milikku. Argh! Kulum juga milikku! Ugh!"Bertindihan dengan posisi yang terbalik satu sama lainnya, kedua pasangan itu lalu saling memberi kenikmatan.Peluh sudah membanjir dan membasahi tubuh bugil keduanya. Hawa panas pun menguar dan memenuhi seisi kamar, sehingga alat pendingin ruangan yang saat ini sebenarnya sudah dinyal
Untuk beberapa saat, ada keheningan yang seketika menyelimuti ruangan VVIP tersebut. Baik Gallahan maupun Rafael, keduanya terlihat sama bingung dan kagetnya, hingga tidak sanggup bersuara sedikit pun ketika melihat Killian yang tiba-tiba menerobos masuk dan langsung memeluk Aila.Sementara itu, Aila sendiri saat ini pun hanya sanggup berdiam diri. Perempuan bermata abu itu merasa tidak berdaya berada di dalam pelukan Killian yang seolah benar-benar memerangkapnya.Keheningan tersebut kemungkinan masih akan terus berlangsung sedikit lebih lama lagi, kalau saja pintu ruang istirahat tidak lagi-lagi terbuka secara mendadak dan memunculkan Yuni dari ambang pintu, yang terlihat begitu berantakan, terbelah antara rasa terkejut dan ketakutan secara sekaligus."Apa-apaan ini?" seru Gallahan, segera setelah menyadari situasi yang ada. "Yuni! Kenapa kamu berpenampilan seperti itu?" hardiknya lagi, membuat Yuni nyaris terlonjak karena saking kagetnya.Mendengus keras
"Kiska, tunggu."Nyaris menabrak semua orang yang menghalangi jalannya, Killian berusaha mengejar sang istri. Sepasang mata gelapnya memandang tajam punggung Aila yang dengan jelas terekspos karena gaun berpotongan off shoulder yang perempuan bermata abu itu kenakan."Sh*t!" maki Killian, membuat orang-orang di sekitar menoleh kepadanya, tapi tentu saja lelaki tampan bersurai hitam itu tidak peduli.Dia tidak suka dengan model gaun yang Aila kenakan saat ini.Gaun itu memang cantik dan cocok sekali dikenakan oleh Aila, iya Killian akui itu. Namun yang dia tidak suka adalah model gaun itu yang begitu mengekspos bagian punggung, leher dan sedikit bagian dari dada istrinya. Ditambah lagi potongan gaun yang menampilkan bentuk tubuh ramping Aila.Memaki sekali lagi, kepala Killian rasanya mendadak seolah mendidih apabila memikirkan sudah ada berapa banyak pasang mata lelaki lain yang sudah melihat penampilan menawan istrinya hari ini."Belum lagi foto-foto y
Aila menolehkan kepala, sengaja menghindar ketika Killian hendak menciumnya."Apa kamu nggak mau untuk aku sentuh, Queen?" bisik Killian, membuat sekujur tubuh Aila meremang karena merasakan hembusan napas hangat yang menyapu tengkuknya. "Then, touch me.""Aa- apa?"Aila menatap tidak mengerti ke arah Killian yang sekarang berjalan mundur, memberi jarak di antara mereka."Kalau memang kamu nggak ingin aku sentuh, maka kamulah yang harus menyentuhku," kata Killian, mengulang ucapannya lagi.Tentu saja Aila melongo dibuatnya. Ini dia yang salah dengar atau apa, sih?"Memangnya, kenapa aku harus menyentuhmu, Kills?" protesnya. "Buat apa?""Memeriksaku.""Memerik-""Periksa tubuhku, Kiska," sela Killian, membuka lebar kedua tangannya seolah pasrah. "Bukankah sejak tadi kamu curiga kalau aku ada main d
Beberapa hari ini ada yang membuat Heri Roxanne pusing tujuh keliling."Apa dia datang lagi?" tanya Risa, menyentuh bahu suaminya dan memasang wajah prihatin.Terlalu lelah untuk menjawab, Heri hanya memberikan anggukan kepala disertai desahan bernada putus asa."Apa perlu aku memanggil pengawal untuk mengusirnya?" tawar Risa dengan nada menggeram, pertanda rasa kesalnya sudah sangat bertumpuk."Percuma," desah Heri, kembali menghembuskan napas berat. "Percuma saja, Ris.""Apa maksudmu dengan percuma?" kernyit Risa demi mendengar pernyataan Heri barusan.Tidak langsung menjawab, Heri memberi istrinya pandangan bercampur lelah dan putus asa. Namun, sekilas ada kilatan rasa geli di sepasang mata hitam itu."Yah, lihat saja dan kamu akan mengerti sendiri," mengedikkan bahu, Heri pun menjawab. "Tidak perlu keluar kamar dan pergi ke depan runah," imbuhnya, mencegah Risa yang sudah selangkah hendak pergi. Dia lalu mengedikkan kepala, menunj