Pada akhirnya baik Richard atau aku tidak membahas lagi masalah tidak memuaskan di ranjang itu. Dan sekarang, aku harus menemani Richard ke pesta para konglomerat yang biasa diadakan sebulan sekali. Langit-langit tinggi, lampu gantung berornamen, waltz anggun yang mengalir merdu, gaun indah para wanita serta pria sibuk saling menanyakan kabar.Sudah lama sejak aku menghadiri pesta seperti ini, terakhir, ketika masih tinggal di rumah Damien bersama ibuku. Beberapa tahun lalu, saat aku masih menjadi putri tiri konglomerat kaya ayah Damien. Sejujurnya aku tidak begitu suka dengan pesta seperti ini, tapi Richard membawaku karena katanya ingin menunjukkan dan memberi peringatan kepada Isabella, bahwa kedudukanku di sisi Richard, tak bisa diremehkan.Aku sangat mengandalkan Richard, tapi begitu sampai sini, Richard segera dikerubungi banyak orang sehingga aku tersingkir secara alami, sehingga aku akhirnya bersandar di dinding dan menatap sekelompok wanita highclass seusiaku, yang tampak
Dia terang-terangan melihat Raisa dari atas ke bawah dan menggerakkan sudut mulutnya."Apakah itu alasanmu terus bertanya apakah kamu memuaskan diriku? Karena kamu ingin mencoba dengan pria lain?"Nada suaranya sinis dan matanya berbinar tajam. Aku yang malu memutar bola matanya kesana kemari. Aku bahkan tidak tahu bagaimana keadaannya.Aku menoleh ke arah Raisa, dia memiliki senyum cerah di wajahnya, tapo tampaknya tidak terlalu senang dengan Richard. "Siapa ini, Jeany?"Raisa bertanya, melirik tak tertarik ke arah Richard. "Dia... dia suamiku," jawabku. Mendengar itu, Raisa tersenyum semakin lebar dan menatap tajam pada Richard. "Menurutku kamu adalah suami yang berpikiran sempit yang bahkan tidak bisa menghormati privasi istrinya," ucap Raisa tiba-tiba. Ketika kata 'berpikiran sempit' keluar dari mulut Raisa, Richard tampak tersentak."Saat aku melihatmu berlarian seperti anjing yang kehilangan pemiliknya, tidak mampu menahan diri dan mencegah seorang istri menari mengikuti b
Dante Richardo. Dia adalah satu-satunya pewaris keluarga dengan berbagai bisnis luar biasa. Tidak ada kegembiraan sejati dalam hidup yang berulang-ulang seperti metronom.Berkat ini, dia acuh tak acuh terhadap segalanya. Bahkan dalam hal yang seharusnya membahagiakan dan dalam hal yang seharusnyamenyedihkan. Wajahnya selalu tanpa ekspresikecuali ketika dia harus berekspresi karena kebutuhan.Tidak mungkin orang tuanya, yang dijodohkan, bisa mengajarinya tentang cinta atau kasihsayang yang hangat. Karena orang lain juga terikat dengan Richard bukan atas kemauannya, tidak mungkin dia memiliki perasaan manis padanya.Karena itu, dia tidak tahu bagaimana menerima cinta, dan tentu saja dia juga tidak tahu bagaimana memberikannya.Namun, acuh tak acuh terhadap segala halbukan berarti ia tidak merasa frustasi denganhidupnya.Kehidupan yang membosankan dan monoton selalu membuatnya merasa tercekik.Meskipun mereka jelas memiliki kebebasandi tangan mereka, mereka tidak tahu bagaimana m
Jeany akhirnya menahan desahannya dan Richard tersenyum semakin lebar. "Bagus...."Jeany yang sedang duduk di sofa luar ruangan dengan kaki terbuka lebar dan memperlihatkan bagian pribadinya, memejamkan mata rapat-rapat seolah malu dengan tatapan terang-terangan suaminya. Richard mengoleskan sari cinta yang mengalir ke klitorisnya, menggosoknya dengan kasar beberapa kali, lalu meraih tiang penisnya dengan gerakan yang lebih tergesa-gesa dari biasanyaKelenjar tebal menembus di antara labia dan berkeliaran di sekitar lubang vagina. Kemudian lubang kecil itu terbuka dan menahannya dengan susah payah, Richard sangat senang melihat penampilan cabul itu hingga senyuman tak lepas dari wajahnya.Richard meraih tiang daging dan menusuk vagina Jeany, mengunyah dan menelan kutukan. Bagian dalam tubuh Jeany cemberut indah, seolah menginginkannya.Melihat mata Richard bersinar karena nafsu, Jeany berbicara dengan hati-hati."Rich. Hmm, ssssssssssssssssss....""Ya, aku akan melakukannya dengan le
Mungkin karena pesta sehari sebelumnya, aku bangun lebih lambat dari biasanya. Begitu aku membuka mataku, yang kulihat adalah Richard yang memelukku seperti biasanya."Selamat pagi, Jeany."Dia menyapa sambil tersenyum, sedangkan aku menatap dirinya dengan kebingungan. "Ya. Selamat pagi juga untukmu, Rich. Tapi... tumben kamu belum berangkat kerja?"Aku bertanya sambil menguap keras dan menggeliat dalam-dalam ke pelukan Richard. Kemudian Richard dengan hati-hati mendorongku menjauh dan berkata."Sayang, lihatlah, aku punya hadiah.""Hadiah?"Sebuah hadiah datang entah dari mana pagi ini. Aku mengusap mataku yang mengantuk dan mencoba untuk bangun."Apakah kamu ingin membuka tanganmu?" tanya Richard yang kini berdiri di pinggir ranjang. Aku ikut duduk dan membuka tanganku seperti yang dia minta, pada saat itu, sesuatu diletakkan di telapak tanganku bersamaan dengan suara gemerincing.Suara gemerincing. Apa yang sebenarnya... Aku segera memeriksa telapak tanganku dan memiringkan kep
"Itu terlalu banyak," tolakku. Menggeleng tegas. "Terlalu banyak? Hmm, tapi milik siapa ya yang terus meminta pusakaku masuk ke dalamnya selama ini seperti tidak punya rasa puas?"Richard membalas dengan tertawa geli. Aku sedikit menyipitkan mata mendengar kata-katanya yang jelas-jelas dimaksudkan untuk menggoda. Lalu aku berkata sambil mengunci sabuk kesucian itu lagi."Aku berubah pikiran. Sekarang aku ingin menguncinya lagi," ucapku, sedikit ketus. "Oh tidak. Tidak tidak! Maaf. Itu hanya lelucon, Sayangku. Hah?"Richard terlambat mengambil tindakan karena aku sudah mengunci sabuk itu lagi, dia merengek seolah sedang mengamuk.Melihat tindakannya yang imut tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya, aku menahan sudut mulut yang hendak terangkat dan memelototinya tanpa alasan."Maaf, Sayang. Aku bercanda. Yang c*bul adalah diriku, bukan kamu. Aku sangat c*bul karena memasukkan p*nis ke dalam mulut istri yang sedang tidur dan menghisap v*ginanya.....""Apa, apa ada sesuatu seperti itu di
"Usir dia."Richard mengeluarkan perintah tegas kepada kepala pelayan agar Raisa yang sudah datang ke sini diusir saja. "TIDAK."Aku langsung menolak perintah itu, sehingga ekspresi Richard berubah menjadi dingin, keningnya berkerut dalam dan wajahnya yang tampan itu menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Jeany, sangat mengejutkan. Bagaimana kamu bisa meninggalkan suamimu sendiri demi bajingan ikan teri seperti itu? Tidak boleh. Kamu tidak boleh bertemu dengan Raisa atau siapa pun itu!" sanggahnya. Nada suara Richard terdengar begitu tegas sehingga tampaknya tak ada celah untukku bernegosiasi. "Tapi dia teman lamaku, Rich. Ayolah, apa salahnya aku menemui dirinya? Raisa perempuan, bukan laki-laki, jadi apa masalahnya?" tanyaku dengan ekspresi lelah, sama sekali tak mengerti dengan tindakan tidakan Richard kenapa dia melarang aku bertemu Raisa. Sayangnya, meski aku sudah memohon, Richard tetap menggeleng . "Tapi itu tidak berhasil. Mata orang itu terlihat tidak murni. Aku yakin
"Tuan, nyonya jatuh pingsan!!"Suara Mayes di pagi hari sangat mengejutkan Richard yang hendak berangkat bekerja. Tanpa memikirkan apapun dia segera berlari ke tempat istrinya berada."Jeany!"Richard sangat panik saat melihat istrinya tergeletak tak berdaya di depan pintu kamar, wajahnya sangat pucat dan badannya panas. Dengan sigap dia memeriksa kondisi istrinya dan membawa Jeany ke rumah sakit untuk diberi penanganan lebih lanjut. Jeany akhirnya ditaruh di ruang VVIP dan diinfus karena dia ternyata mengalami dehidrasi. Richard yang melihat istrinya sampai jatuh pingsan hanya karena protes atas tindakannya yang melarang sang istri bertemu teman lama, menghela napas panjang. "Dia sepertinya benar-benar ingin bertemu temannya itu, apakah aku mengizinkannya saja?" gumam Richard, yang merasa pikirannya kosong saat melihat istrinya jatuh tak sadarkan diri tadi. Setelah mengangguk sendiri, Richard akhirnya mengambil keputusan. Bahwa dia akan mengizinkan Jeany bertemu Raisa, meski Richar
"Sekali lagi, itu tugasku, Luna. Kamu nggak usah memikirkan hal yang bukan bagianmu. Tugasmu hanya satu, yaitu selalu bahagia." Ucapan yang meski diucapkan dengan nada datar ala tanpa emosi Kyletersebut, membuat dada Luana rasanya mengembang bahagia. Mungkin karena cinta, sehingga hal biasa seperti itu terdengar luar biasa di telinga Luana, mungkin juga karena jarang sekali Kyle mengatakan hal seperti itu pada orang lain, sehingga Luana merasa istimewa. Kyle yang tidak sadar bahwa kata-katanya tersebut membuat hati seorang gadis meleleh, melanjutkan. "Sedang tugasku adalah membuatkamu bahagia, jadi masalah-masalah nggak penting seperti itu nggak usah kamu pikirkan lagi, mengerti, Luna?" Kyle mengatakan itu dengan suara tegas. "Ya ampun, Tuan...." Luana yang terharu, segera mermeluk erat bos-nya tersebut, tidak menyangka bahwa pria yang dulu saat SMA begitu menyebalkan dan terus mengganggu dirinya, kini tumbuh menjadi pria yang dapat dipercaya seperti ini. Benar-benar pertumb
"Anda ini bicara apa, sih, Tuan?" Luana mencubit pelan punggung tangan Kyle yang melingkar di perutnya, memiringkan kepala untuk menatap bos-nya. Mendadak gadis itu kesal kepada sang bosyang terlalu mudah curiga dengannya,untuk mengungkapkan rasa kesalnyatersebut, Luana pun memukul pelan punggung tangan Kyle karena tidak puas hanya dengan mencubitnya saja. Sementara itu Kyle balas memandang dirinya dengan ekspresi muka ditekuk, membuat Luana menarik napas panjang dan turun dari pangkuannya. Dia kini duduk di samping sang bos dan memegang kedua tanganya, menggenggam telapak tangan yang besar dan hangat meski sedikit kepalan tersebut. "Tuan, Anda kenapa punya pikiran sesempit itu?" keluhnya sambil sekali lagi menghela napas panjang. "Pikiran sempit katamu?" bantah Kyle, tak terima. Luana menggeleng dengan ekspresi cemberut, menatap intens pria yang tampak tersinggung dengan ucapannya itu. "Tentu saja. Saya benar-benar kecewa saat tahu Anda ternyata mengukur perasaan saya seda
"A-apa, Tuan? Pernikahan?" Mulut Luana membulat dengan tatapan bingung saat Kyle menyebut kata pernikahan. Kyle yang berada di atasnya balas memandang gadis di bawahnya dengan bertanya-tanya. "Kenapa kamu seperti linglung begitu saat aku menyebut kata menikah, Luana?" Atas pertanyaan tersebut Luana mengulurkan tangannya dan membelai pipi Kyle yang mulus. Ah, tidak. Tidak mulus karena saat ini adalah satu jerawat kecil nakal berwarna merah muda yang berada di pipi dekat telinga pria itu. Hal itu serta merta membuat konsentrasi Luana buyar dan membuat bibir gadis mungil itu cemberut. "Ish, bagaimana bisa, sih, Anda sampai jerawatan seperti ini, Tuan?Tunggu sebentar, saya akan mengambilkan Anda salep. Saya tidak terima wajah Anda yang setampan dewa ini sampai ditumbuhi jerawat!" Dia melayangkan protes. Luana, dengan lihainya meloloskan diri dari kungkungan Kyle dan berjalan menuju meja rias tak jauh darinya. Kyle hanya mengendikkan bahu dan duduk di tepi ranjang, menunggu g
Anehnya, hal itu tidak ada terjadi hari ini. Di bagian depan celana, hanya ada basah di bagian yang terletak di antara dua pahanya. Seperti normalnya orang yang baru saja mengeluarkan sperma. Sungguh aneh. Cairan itu seperti cairan pria pada umumnya sekarang. Apa yang membuatnya berbeda dengan kejadian ketika di ruangan kantor nya waktu itu? Apakah karena saat itu Kyle sedang berada diambang kehilangan kekuatan, sehingga cairannya juga berpengaruh? Hal ini harus ia bicarakan dengan Rion lagi. Setelah mencapai kesimpulan itu, Kyle bernapas lega dan memandang gadisnya dengan penuh cinta. "Kamu tadi mau melakukan apa sebelum aku ke sini, Luna?" Kyle bertanya kepada Luana yang masih betah memeluk dirinya. "Eummm, makan. Mau merebus mie tadi." Gadis itu menjawab malu-malu. "Ya sudah, sana ke kamar mandi, aku juga mau ambil celana dan baju bersih di mobil. Habis itu kita makan bersama, ya?" ucap Kyle. Luana mengangguk dan dibantu Kyle turun dari meja. Pria i
Luana terengah-engah karena payudaranya terus dimainkan Kyle, sedangkan Kyle sibuk dengan semua ketegangan dalam dirinya. "Biarkan aku melakukan ini, Lun. Aku sangat merindukannya," ucap Kyle dengan nada tegas. Pria itu memandang payudara Luana dengan sikap menghamba. Di mata Kyle, milik Luana ini selalu yang terbaik. Kedua bulatan itu besar, bulat sempurna, segar, putih mulus dan penuh, seperti mengundang Kyle untuk melesak kan mulutnya di sana, sampai benda itu terhisap sepenuhnya di mulut Kyle. "Ah, aku nggak tahan," desahnya dengan ekspresi serius saat memandang payudara besar Luana, seakan-akan itu cobaan paling berat dalam hidupnya. Pria itu benar-benar tak sabar untuk menggigit bulatan besar milik Luana yang seperti bakpao baru matang tersebut, dengan puncak berwarna merah muda yang menggoda. Pria itu tak sabar untuk melakukan banyak hal di sana. Jadi, Kyle pun mendekatkan mulutnya ke payudara Luana yang terbuka, dan mulai menjilat serta menyedot putingnya y
"Aku bicara jujur, Luana." Kyle mengatakan itu dengan tegas, seraya berjalan mendekat seraya mengulurkan tangannya untuk meraih gadis itu ke dalam pelukannya. "Aku tidak pernah berbohong padamu," lanjutnya dengan serius, saat Luana sudah berada di dalam pelukannya. "'Sudahlah, lupakan. Lagian itu juga sudah hampir seminggu lalu," balas Luana sambil menggeleng dengan pasrah. Tidak ada gunanya lagi untuk marah, toh pelukan dari Kyle ini benar-benar membiusnya, mencairkan seluruh kemarahan yang sebelumnya membuncah di dadanya. Luana balas memeluk Kyle, tubuh pria itu besar, ramping dan berotot, sehingga sangat nyaman untuk berada di pelukannya. "Maafkan aku, akhir-akhir ini benar-benar nggak ada waktu istirahat, Luana. Maafkan aku, ya?" bisiknya lembut di samping telinga sang gadis. Luana sekali lagi menggeleng. Meskipun dia membalas pelukan Kyle, bahkan membebankan wajahnyadi dada bidang pria itu, dan dia juga sudah luluh saat Kyle mengatakan maaf pertama, dia tetap pura-pu
Sepulang kerja, hujan turun dengan derasnya, membuat Luana benar-benar terkurung di dalam rumah. Dia berencana menghabiskan malam dengan menonton drama setelah berendam di dalam kamar mandi yang membuat tubuhnya segar dan wangi. Luana tiba-tiba berpikir kalau menonton drama di ponsel sambil makan mie yang dicampur telur pasti rasanya nikmat sekali, jadi dia berjalan menuju dapur untuk melaksanakan niatnya tersebut. Dengan handuk masih melilit di kepala karena rambutnya yang masih basah, Luana mulai menyiapkan apa saja yang akan dia masukkan ke dalam mie nya tersebut. Selesai mandi, Luana hanya memakaikaus warna putih long size sampai paha dengan hanya memakai celana dalam tanpa menggunakan bra di dalamnya. Luana berniat menonton drama itu sampai tertidur, jadi dia memutuskan untuk tidak memakai bra agar tidak repot-repot melepasnya ketika hendak tidur nanti. Luana berjongkok untuk mengambil sesuatu dari dalam kulkas, dia mengambil cabe, telur, sosis dan daun bawang Se
Tuan Ivander berkata lagi, kali ini dengan nada lebih putus asa. Kyle yang sejatinya sangat menyayangi ayahnya, akhirnya mengangguk pelan. Pria muda itu mencoba bertoleransi sedikit lagi meski ayahnya selalu bersikap sangat menyebalkan dan seenaknya sendiri. "Silakan Ayah bicara," ucapnya tenang. Kyle kembali duduk saat sang ayah menunjuk kursi, pria itu belum sepenuhnya percaya dengan sang ayah, sehingga duduk dengan ekspresi defensif. Seakan-akan siap pergi kapan saja, jika ucapan sang ayah kembali menyakiti hatinya. Tuan Ivander yang melihat bagaimana Kyle memberi kesempatan, menghela napas lega dan mulai berbicara. "Mengenai masalah sayembara itu, maaf, memang benar, aku sudah tahu semuanya, tentang vampir itu juga, dan Luana yang hampir mati juga. Aku sengaja membuat dokumen itu untuk memancing dirimu kembali sini, karena aku tahu kalau kamu pasti tidak akan terima jika Luana yang disalahkan di insiden pulau itu." Tuan Ivander mulai berbicara panjang lebar.
Kyle tertawa sumbang mendengar ucapan sinis ayahnya, menjawab dengan mata sedikit menyipit. "Aku tidak menyangka ayah ternyata serendah itu menilai orang. Memangnya apa yang salah dengan asal usul keluarga Luana?" Melihat anaknya yang sudah terbakar amarah, tuan Ivander, ayah Kyle itu hanya memandang dengan santai. "Menurutmu, apakah gadis yang ibunya bekerja di luar, tidak jelas keberadaannya, dan meninggalkan anaknya lalu menikah lagi dan memilih kebahagiaannya sendiri, bukan termasuk perempuan rendahan?" Ayahnya berkata dengan alis terangkat satu. Brak!! Kyle membanting dokumen-dokumen yang tadi dibawanya ke meja kerja sang ayah. "Berhenti mengolok-olok seseorang yang tidak kamu kenal dengan baik, Ayah! Cukup. Jangan menghina Luana lagi!'" "Aku tidak menghina, aku bicara kenyataan. Bagaimana keluarga dia hancur, ibunya meninggalkan ayahnya karena ayahnya tidak mampu bekerja, dan Luana—" "Ayah tidak tahu bagaimana dia bekerja dan berusaha sangat keras menyelesa