"Dengan serius...."
Aku mendesah.Sungguh, aku benar-benar masih tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi ini. Jadi, mantanku tercinta, Dante Richardo, sangat membenciku sampai ingin mencincang-cincang tubuhku menjadi potongan kecil, tapi, di saat bersamaan, dia juga mengatakan bahwa aku harus menikah dengannya?"Dia sepertinya sudah gila."Aku mendesah lagi.Sampai saat ini, aku masih belum bisa merespon apa yang sebenarnya terjadi, dan sekarang, tahu-tahu sekarang aku sudah menjadi istrinya? Sungguh. Ini sangat aneh!Apalagi saat mengingat lagi bagaimana prosesi pernikahan kami yang begitu lancar tadi, seakan-akan sudah disiapkan oleh Richard sejak lama, membuat aku dengan sangat serius mencurigai bahwa Richard sebenarnya sudah mengawasi kehidupanku jauh sebelum kami bertemu lagi hari ini.Proses pernikahan antara aku dan Richard berjalan dengan cepat, lancar dan damai. Saking cepatnya sampai-sampai aku tak sadar bahwa aku kini sudah resmi menjadi istri seorang Dante Richardo."Gaun pengantin bahkan sudah disiapkan dan sangat pas di tubuhku," gumamku, dengan ekspresi kosong.Ekspresiku masih kosong bahkan setelah kini aku berada satu mobil dengan Richard, entah ke mana."Kita... kita mau ke mana?"Gugup karena Richard tak mengatakan apa pun semenjak kita resmi menikah, aku pun bertanya."Rumahku, ke mana lagi?"Singkat, Richard pun menjawab.Setelah menikah dengan Richard, pria itu mengatakan bahwa akan membawa aku ke rumahnya.Itu hal yang wajar karena aku sekarang istrinya, aku berpikir dengan positif dan duduk dengan tenang.Kupikir aku akan tenang sampai akhir, tapi saat mobil kami berhenti di depan sebuah rumah, aku langsung terkejut setengah mati.Di depanku ada sebuah pintu besar. Permukaan pintunya dihiasi beludru merah tua, dan pegangannya, dibuat dari emas, memiliki ukiran singa yang sangat indah. Bagi siapa pun yang melihatnya, tidak salah lagi itu rumah orang yang sangat kaya raya seperti seorang raja."Ini... ini rumah atau istana??!"Tanpa sadar, aku berteriak."Jangan bersikap konyol."Richard menjawab dengan acuh tak acuh, berjalan masuk.Dua orang segera menyambut dan berdiri di depan pintu begitu pintu terbuka - satu laki-laki dan satu perempucan.Di antara mereka, Richard menunjuk seorang pelayan wanita."Mayes, cuci dia."Richard memberi perintah singkat."Ya, Tuan."Pelayan bernama Mayes itu mengangguk sopan."Rawat dan jaga dia dengan baik," ujarnya lagi, sebelum berjalan pergi setelah menyerahkanku pada pelayan."Baik, Tuan.""R-Rich, tunggu!"Aku mencoba mengejarnya tapi sebelum aku berhasil melangkah, dua pelayan itu langsung menghalangi jalanku."Perkenalkan saya Joseph, kepala pelayan di rumah ini. Dan ini Mayes, pengurus rumah tangga," ucap pelayan laki-laki, memperkenalkan diri."Senang bertemu dengan Anda, Nona.""Nona, silakan ikuti saya. Saya akan membawa Anda ke kamar Anda," ucap pelayan bernama Mayes, membimbingku ke suatu tempat."Eh? Aku... aku tidak sekamar dengan Richard?"Aku bertanya, kebingungan. Bukankah aku sekarang istrinya? Jadi kenapa aku tidak tinggal satu kamar?O-oh? Apakah aku akan dibawa ke ruang bawah tanah??Memikirkan hal itu, tubuhku langsung merinding."Untuk saat ini, saya menunggu instruksi dari tuan Richard lebih dahulu."Jawaban Mayes membuat tubuhku semakin lemas karena yakin bahwa aku mungkin akan ditempatkan di ruang bawah tanah seperti ucapan Richard tadi."Oh, baiklah," jawabku dengan suara kecil.Namun, dugaanku ternyata salah besar. Mayes membawaku ke sebuah kamar mewah yang membuat aku terkejut setengah mati.Ini... ini kamarku??Sungguh, aku tak pernah membayangkan akan tinggal di kamar semewah ini!!Saat aku masih terbengong-bengong dengan kondisi kamarku, beberapa pelayan masuk dan Mayes mengatakan bahwa dia akan memandikan diriku seperti intruksi dari Richard tadi."Apa!? Tunggu sebentar!"Para pelayan lain yang muncul dari suatu tempat tadi, langsung memimpinku dengan lancar dan tegas ke sebuah ruangan.Sebelum aku bisa memahami apa yang sedang terjadi, aku sudah mendapati diriku yang kini sudah tenggelam dalam bak mandi."M-Mayes, ada yang tidak beres... ""Ya ampun, kulitmu tampak agak halus. Bagaimana caramu mempertahankannya?"Mayes malah membahas kulitku."B-biarkan aku melakukannya sendiri?" pintaku, tapi lagi-lagi Mayes membahas hal lain."Saya melihat kapalan di tangan Anda. Apakah Anda sering mengerjakan banyak dokumen? Jika Anda mengoleskan krim ini, itu akan melembutkan kulit Anda.""Terima kasih...."Gugup karena tak pernah dilayani orang, aku menjawab."Anda lebih suka aroma jasmine atau aroma rose, Nona?"Pelayan yang memandikan diriku bertanya."Emmm, jasmine?""Kalau begitu, saya akan mengoleskanminyak jasmine untuk membuat tubuh Anda rileks."Percakapan mengalir begitu lancar, dan tingkah laku mereka begitu anggun sehingga aku pun tidak punya ruang untuk menolak.Aku benar-benar belum bisa merespon apa yang sebenarnya telah terjadi, tahu-tahu sekarang aku sudah berada di kamar dengan gaun tidur yang cukup tipis dan badan yang begitu lembut dan wangi karena pijatan para pelayan.Saat aku masih duduk dengan wajah terbengong-bengong, Mayes yang tadi memperkenalkan diri sebagai pengasuh Richard, berkata dengan suara yang sopan dan sopan."Baiklah. Semua persiapan sudah selesai. Saya undur diri dulu. Anda bisa menggunakan telepon di sana untuk memanggil kami jika ada keperluan," ucapnya dengan badan membungkuk dan undur diri bersama beberapa pelayan yang tadi membantu aku mandi."B-baik. Terima kasih," jawabku, yang tak pernah ada di posisi diperlakukan dengan sopan seperti ini, dengan suara canggung.Setelah semua orang pergi dan aku ditinggalkan di kamar yang begitu mewah dan luas sendirian, aku memandang langit-langit kamar mewah itu sambil menarik napas panjang."Haaaa. Apa ini? Aku kira aku akan dimasukkan ke penjara bawah tanah begitu menjadi istrinya, tapi, perlakuan bawahannya cukup baik?" gumamku, keheranan.Sungguh, perkataan dan perlakuan Richard sangat penuh kontradiksi. Dia bilang ingin balas dendam dan menghukumku, tapi kenapa menempatkan diriku di ruang mewah seperti ini dan memerintahkan pelayan untuk memperlakukan diriku seperti seorang majikan?"Dia orang aneh," ucapku, menggeleng sendiri.Aku lantas memandang kamar tidur besar di samping, yang ukurannya bahkan jauh lebih besar dari ranjang yang biasa aku tiduri seumur hidup."Apa benar-benar tidak apa-apa aku mengambil langkah ini?" bisikku, yang masih merasa takut dengan ancaman Richard."Ahhh, tak tahulah. Yang paling penting sekarang, nyawaku selamat."Aku mengatakan hal itu sambil melihat sekeliling, lalu bergumam sendiri lagi."Tapi... aku sekarang di mana, ya? Apakah ini rumah Richard selama ini? Woah, gila. Dia ternyata sekaya ini!"Sialan.Seandainya waktu itu aku tidak gegabah dan tidak buru-buru mencuri uang dari ibunya lalu memanfaatkan cinta Richard yang membabi buta, mungkin aku sudah menikmati semua kemewahan ini, pikirku.Namun, sekarang aku adalah istrinya. Jadi aku bisa menikmati semua ini, kan?Pikiran jahat selintas berseliweran di kepalaku, tapi aku langsung menampar pipiku dengan keras agar berhenti melakukan hal bodoh karena tergiur dengan uang."Tidak, tidak. Bodoh! Aku mikir apa. Aku hanya istri tawanan, bagaimana bisa tadi aku sempat berpikir akan menikmati semua kemewahan sebagai istrinya?"Aku mencoba berpikir rasional dan dewasa, terlebih lagi, aku harus tetap siaga.Setelah berkeliling sebentar di kamar yang luasnya seperti lapangan sepak bola ini, aku yang kelelahan akhirnya melemparkan diri ke ranjang."Whoaaaa, empuk sekali!"Aku tanpa sengaja berteriak dengan wajah sumringah saat merasakan betapa empuknya ranjang kamar di rumah Richard.Saking senangnya, aku sampai bermain-bermain di sana dengan mengepakkan tanganku seperti seekor burung.Pada saat itulah, tiba-tiba suara dingin terdengar."Sepertinya kamu sangat menikmati ranjang rumahku."Mendengar suara itu, punggung bawah ku langsung terasa dingin dan aku pun bangkit dengan wajah ketakutan."R-Rich?!"Richard tersenyum sinis dan berjalan ke arahku yang sedang buru-buru turun dari ranjang dan bertanya. "Kenapa? Apa aku bahkan tidak boleh masuk ke bagian dari rumahku sendiri?"Nadanya terdengar mengejek, sehingga aku yang merasa malu karena bersenang-senang di kamarnya, menjawab dengan wajah merah padam. "B-bukan. Bukan seperti itu. Silakan lakukan apa pun yang kamu inginkan di sini.... "Richard yang kini berdiri tepat di depanku, mencengkeram lembut kedua pipiku dengan tangannya yang besar. "Kamu tidak akan berpikir kalau ini akan menjadi malam pertama kita, kan?" tanyanya, dengan suara pelan tapi tegas. Mataku seketika terbuka lebar saat mendengar kata malam pertama, sehingga menjawab dengan suara gagap. "Hah? T-tidak. Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa aku—""Tidak mungkin katamu? Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu? Segitu jijiknya kamu sama aku?"Kemarahan berkelebat di kedua matanya, sehingga aku pun menjawab tergesa-gesa dengan suara gugup. "H-hah?! Tentu, tentu saja t
"Istriku sayang, inilah yang dinamakan sebuah ciuman."Richard mengatakan itu, lantas membungkuk dan meraih daguku dengan satu tangan agar aku memandangnya.Lalu, tanpa ragu sama sekali, dia pun menutupi bibirku dengan bibirnya. Saat aku mencoba menarik wajahku ke belakang, dia langsung menopang bagian belakang kepalaku dengan satu tangan untuk mencegahku melarikan diri.Tempat tidurnya sedikit bergoyang. Richard melompat ke tempat tidur dalam sekejap, menopang tubuhnya dengan tangannya dan mengunciku di dalamnya."Mmmmhh!"Aku sedikit berteriak saat lidah Richard mulai bergerak-gerak dengan sungguh-sungguh di mulutku.Mula-mula lidah itu menembus setiap gigi seolah menghitung jumlah gigi di mulutku, lalu masuk lebih dalam dan dengan lembut menggaruk langit-langit mulutku.Meskipun aku tidak pernah punya pengalaman dengan pria lain, tapi aku yakin. Pria ini, suamiku, adalah pencium yang sangat baik.Bibir lembutnya yang menyentuh leherku sungguh merangsang, sehingga aku mengalihkan pa
"Richard di mana?"Pagi hari, saat aku pergi sarapan, ku tanyakan kepada kepala pelayan di mana Richard, suamiku. "Tuan Richard tidak pernah sarapan, Nyonya. Dan beliau sekarang telah berangkat lebih awal untuk pergi ke kantor."Ethan, sang kepala pelayan menjawab. "Hmm, baiklah."Itu cukup bagus, toh aku juga belum tentu berani memandang wajah pria itu setelah kejadian semalam. Meski dia langsung pergi dan terlihat marah karena aku membicarakan hal yang merusak moodnya, aku masih merasa malu dengan ciuman kami. Hari ini aku kembali dibuat kagum dengan pelayanan rumah ini yang seperti hotel bintang lima, makanannya juga sangat enak sehingga aku menghabiskan sarapan dengan hati senang. "Sesuai perintah dari tuan Richard, mulai hari ini Anda akan pindah dan tinggal di kamar utama, di mana tuan Richard juga tidur di sana."Ethan mengatakan itu padaku saat aku selesai sarapan, sedangkan aku yang mendengar berita mengejutkan itu, melongo menatap dirinya. "Hah?"Ini serius? Kenapa...
"Malaikat penyelamat? Apa maksud ucapanmu, Mayes?"Tak ingin menebak-nebak, aku memutuskan untuk bertanya terus terang. "Anda mungkin tidak tahu, tapi, tuan Richard mengalami hal-hal yang cukup sulit karena seorang wanita. Saya benar-benar tidak menyangka, hari di mana beliau akhirnya membuka hati dan kembali mau dengan wanita akan datang seperti ini. Jadi, Anda benar-benar malaikat penyelamat, Nyonya! Andalah yang telah menyembuhkan tuan kami dari trauma kepada wanita, karena ulah wanita jahat saat beliau kuliah!"Mayes menjawab dengan menggebu-gebu, dia bahkan menyumpahi wanita jahat yang telah menyakiti hati Richard dengan penuh semangat, sehingga aku hanya bisa tersenyum kaku mendengarnya. Permisi, Mayes. Wanita jahat yang kamu maksud itu ada di sini, itu aku. "Sebenarnya, sesuatu yang sangat mengerikan telah terjadi semenjak tuan Richard dicampakkan wanita jahat itu, Nyonya."Suara Mayes yang tadinya penuh semangat saat menyumpah, kini terdengar sendu. "Sesuatu yang mengerik
"Siapa... kamu?"Bingung, aku bertanya pada sosok pria asing di depanku. Pria itu balas memandangku dengan kening berkerut, lalu menoleh ke belakang. "Dante, apakah kita salah rumah?" tanya pria itu kepada seseorang yang berjalan mendekat. "Salah rumah? Apa maksudmu?"Suara suamiku terdengar, aku melongok dari bahu pria asing itu untuk melihat Richard. Pria yang tadi bertanya apakah dia salah rumah, bergerak minggir untuk menunjukkan diriku pada Richard. Pada saat itulah, pandanganku dan Richard bertemu. "Tiba-tiba ada seorang wanita muda di rumahmu, bukankah ini aneh? Seperti kita benar-benar salah rumah!" seru pria itu, yang sepertinya sangat shock saat melihat ada wanita di rumah Richard. Richard yang memandangku dengan ekspresi tegas, tanpa mengalihkan pandangannya dariku, memberi jawaban. "Ryuka, sepertinya kita harus menunda membicarakan tentang pekerjaan di rumahku. Ayo bahas masalah itu nanti, sekarang pulanglah ke rumahmu," ucap Richard, masih dengan mengunci pandangan
"Huh, aku... aku di mana? Apa ini di kamarku atau di surga?"Saat aku sadar dari pingsan, aku reflek bergumam seperti itu ketika membuka mata dan melihat langit-langit kamar yang mewah. "Nyonya, Anda sudah sadar! Syukurlah! Anda demam dan pingsan seharian, saya sangat khawatir!!"Suara Mayes yang menggelegar, membuat aku menoleh ke samping. "M-Mayes?"Mayes yang duduk di sampingku sambil memegang tanganku, menjawab dengan wajah khawatir. "Iya, ini saya, Nyonya. Bagaimana keadaan Anda?" tanyanya. Meremas lembut tanganku, seperti sedang menunjukkan kekhawatirannya yang tulus. Aku mengalihkan pandangan dan menatap sekeliling kamar, mencari seseorang. "Di mana Richard, suamiku?" "Beliau sedang pergi ke kantor, apakah Anda perlu minum, ini minumlah dulu? Hati-hati," jawab Mayes seraya mengulurkan segelas air setelah membantuku duduk dengan hati-hati.Moodku langsung memburuk saat mendengar hal itu. Hah, di saat kondisi istrinya seperti ini, dia malah pergi ke kantor? Sangat tidak pun
"R-Richard?"Aku berbalik dengan kaget saat mendapati suamiku sudah berdiri di belakang, sampai anggur yang baru saja masuk ke mulutku, meluncur jatuh. Richard yang sepertinya baru pulang kerja, memungut anggurku yang jatuh ke ranjang dan memasukkan anggur itu ke mulutnya dengan santai. "Hey, anggur itu.... "Aku ingin mengatakan bahwa anggur yang dia makan tadi sudah sempat masuk mulutku, tapi saat melihat Richard yang tampak santai mengunyah anggur itu, aku tak jadi bicara. Richard sedikit membungkuk untuk mengambil anggur lain di piringku, lalu pandangannya tertuju pada layar ponselku. "Oh, apa itu? Apakah kamu sedang asyik menonton pria lain dengan tatapan mesra sambil menghabiskan anggur yang dibeli dengan uangku, Jeany?"Richard mengambil ponselku dengan kening berkerut, menatap pria dalam drama China yang aku tonton. "Ahh, ini.... "Aku tak bisa menjawab. Haaa, apa maksudnya menonton pria lain dengan tatapan mesra? Aku hanya sedang melihat sebuah drama di ponsel! Wajahku
Merasa pusing karena aroma yang sangatkaya dari Richard, yang kurasakan untuk pertama kalinya, aku lupa bahwa saat ini hanya mengenakan rok dan memperlihatkan dadaku tanpa penghalang apa pun. Hanya saja, tatapan Richard yang menyapu tubuhku, menyebabkan semburan jus cinta mengalir dari bawah.Kepalaku menjadi panas dan erangan basah keluar dari mulutku. Richard mendekat ke arahku yang terengah-engah, menekan tubuhnya ke tubuhku. Tangannya yang besar dan meraih kedua pergelangan tanganku dan mendorongnya atas. Menguncinya di sana. "Kamu terlihat sangat cantik hari ini, Jeany."Richard mengatakan hal itu dengan suara bersemangat, lantas membungkukkan badannya dan menggigit dadaku. "Ah! Aduh! R-Rich, apa yang...!"Richard hanya tertawa dan menjilat dadaku, menimbulkan sensasi kesemutan yang membuat aku seperti melayang. "Apanya yang apa, Jeany?"Dia malah bertanya dengan suara main-main dan menggigit dadaku lagi. Sehingga aku seketika berteriak dan menjambak rambutnya. Bukannya ma
Luana, mengusap air matanya dan menatap Gio dengan bibir cemberut. "Kamu tadi minta aku buat menemani kamu main, kan? Sini aku temani. Aku temani sampai kamu bosan main game, kalau perlu sampai pagi." Luana mengatakan itu dengan suara serak. Untunglah besok hari Sabtu, sehingga dia tidak perlu bertemu dengan Kyle sampai hari Senin depan. Gio menggeleng tegas, menunduk untuk menyamakan tinggi wajahnya dengan wajah Luana dan menatap gadis mungil itu dengan tajam. "Luna, kamu janji bakal balik sambil tersenyum, kenapa malah nangis lagi? Ada apa? Cerita sama aku, Luna." Ucapan Gio itu dijawab Luana dengan gelengan, dia balas menatap tajam kepada pria jangkung yang wajahnya sama persis dengan Kyle tersebut. "Nggak usah tanya-tanya karena aku nggak bakal mau cerita!" Melihat kekeras kepalaan di wajah gadis itu, Gio hanya menarik nafas panjang dan memilih untuk mengalah. "Ya sudah. Kamu mau ajak aku ke mana sekarang?" Luana kembali menyeret tangan Gio menuju pinggir j
"Kenapa kamu manggil aku Luna terus,sih, dari tadi? Namaku tuh Luana. L-U-A-NA." Luana mengeja namanya di depan Gio karena kesal pria itu mengubah panggilannya sesuka hati. "Bagiku, kamu Luna-ku," jawab Gio cuek, tersenyum geli melihat Luana yang lagi-lagi cemberut. "Luna?" "Ya, kamu memberi kehidupan baru padaku, kamu sudah seperti rembulan bagiku," jawab Gio dengan tenang. Luana yang masih tidak mengerti kenapa Gio melihat dirinya seperti rembulan, memilih tidak memikirkannya lebih lanjut. "Hm, terserahlah. Tapi kamu agak aneh, kenapa menyamakan aku dengan rembulan, kenapa nggak matahari?" tanya Luana, bingung. Gio lagi-lagi hanya mengendikkan bahu. "Pengen aja." "Dasar aneh." Atas ejekan dari Luana tersebut, Gio tertawa lebar. "Tapi aku tampan, 'kan? Kalau kamu nggak bilang aku tampan, berarti Kyle juga jelek karena wajah kita tuh sama," ancamnya. "liih. Kenapa kamu itu nyebelin banget, sih! Serius deh!" Luana menatap sebal vampir jangkung di depannya
Gio mengetuk pelan puncak kepala Luana satu kali sambil sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi badannya dengan gadis itu. "Kenapa kamu nggak tanya baik-baik kenapa dia tadi ngusir kamu, Luna? Aku tebak, kamu langsung pergi dan menangis seperti ini, kan?" tanyanya tenang. Luana membuang pandang sembari menggigit bibir bawahnya. "Itu.... " Dia tidak bisa menjawab. Dia tidak mau mengakui, bahwa dirinya takut bertanya pada Kyle dan mendapat jawaban yang membuat gadis itu semakin hancur, semisal benar kalau Kyle memang membuang dirinya setelah menikmati tubuhnya. Gio, memandang Luana seperti seorang kakak laki-laki yang menasehati adik perempuannya yang menangis karena bertengkar dengan pacar. "Kamu bilang, Kyle bukan tipe yangbakal memukul atau maki-maki kamu, dia nggak mungkin ngelakuin hal itu ke kamu. Jadi, dia juga bukan tipe yang akan ngusir kamu setelah make kamu, kan?" Luana menatap Gio, mengerjapkan mata berkali-kali dengan ekspresi sendu seperti anak kecil
"Sudah kubilang, jangan nangis," ucap Gio. Luana menggeleng, mengusap pipinya yang basah dan menjawab. "Siapa yang nangis, aku nggak nangis." Gio menyilangkan tangan di dada dan menatap Luana dengan pandangan mengejek. "Ah, benar. Kamu, kan, gengsian." Sindiran Gio tersebut seketika membuat bibir Luana cemberut. "Ngapain juga aku gengsi sama kamu!l" serunya sambil menatap jengkel kepada Gio. Gio hanya tertawa kecil, mencondongkan badannya yang tinggi ke arah Luana dan bertanya dengan tenang. "Si Tuan Muda itu nyakitin kamu? Kamu masuk lagi ke dalam bukan karena ada barang yang ketinggalan, tapi menemui dia, bukan?" Luana melengos sebal, mengarahkan pandangan ke jalanan sore depan kantor yang penuh lalu lalang mobil. "Sok tau. Nyebelin," jawabnya dengan bibir cemberut dan muka ditekuk. Gio tersenyum melihat ekspresi manyun gadis mungil itu, lalu dengan santai berucap. "Berarti jawabannya iya." "Enggak!" Luana segera melayangkan tatapan judes padanya, men
Saat keluar dari ruangan Kyle, Luana berusaha tegar dan bersikap seakan tak ada apa-apa. Namun, begitu sampai depan kamar mandi kantor, langkahnya mulai goyah. "Ah." Luana membuka pelan pintu kamar mandi, duduk dia atas toilet dan membuang celana dalamnya yang basah ke tempat sampah dengan ekspresi lunglai. "Kenapa.... " Gadis itu mendesah, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar suara isakannya tidak terdengar sampai luar. "Kyle, kenapa kamu begini padaku?" gumamnya nelangsa. Menangis seperti itu rasanya lebih sakit dan menyesakkan, tapi hal itu tidak sesakit yang di rasakannya sekarang. Dirinya merasa hancur saat diusir seperti wanita murahan oleh Kyle tadi, hati gadis itu kini remuk redam. "Teganya kamu, Kyle. Teganya.... " Dia menangis sampai bahunya naik-turun, menekan dadanya yang terasa sangat sesak sampai kesulitan bernapas. Dengan pandangan penuh kaca-kaca air mata yang siap tumpah,
"Luana? Bolehkah?" Pria itu meminta izin untuk menjilati leher dan dadanya yang penuh keringat. Saat Luana dengan malu-malu mengangguk, Kyle segera dengan tekun melakukan apa yang dia inginkan. Kyle baru tahu, bahwa keringat gadis ini ketika sedang terangsang ternyata bisa membantu mengembalikan kekuatan miliknya yang sempat menghilang. Magic stone bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan ini. Saat keringat Luana habis dijilat oleh Kyle, kyle memandang Luana dengan ekspresi lapar. "Lun, cara bikin kamu berkeringat bagaimana?" bisiknya dengan suara menggoda, membuat gadis itu memandang Kyle dengan pipi merona merah, sementara Kyle menggesek penis miliknya yang sudah tegak di antara paha Luana. "Kenapa tiba-tiba ingin membuat saya berkeringat, Tuan?" Luana yang gugup, sampai tanpa sadar berbicara formal kepada Kyle. Kyle tidak menjawab, malah melesak kan mulutnya di buah dada Luana yang benar-benar menggoda, membuat gadis itu mengerang pelan dan menggeliat. "Hah
"Kamu tahu.... " Kyle berkata dengan napas tersengal-sengal. "Cuma tubuh kamu yang bisa membuat suhu tubuhku hangat kembali, Luana," lanjutnya dengan suara lemah. Mendengar itu, Luana tanpa ragu segera berdiri dan melempar jas yang ia pakai ke lantai. "Baiklah. Aku akan melakukannya, aku akan melakukan hal itu, Kyle. Aku akan melakukan apa pun! Kamu harus sembuh, kamu nggak boleh pergi!" teriak Luana dengan penuh tekad. Gadis itu segera berlari ke pintu untuk menguncinya dan menepuk tangan satu kali sebagai sensor lampu, membuat ruangan itu seketika gelap gulita. "Kyle, tunggu. Aku akan membantumu!" Luana tanpa ragu dia melepas blush hijau muda yang dia pakai dan melempar bra miliknya ke lantai, kemudian dengan tubuh atas tanpa memakai apa pun, mulai naik ke atas tubuh Kyle yang terbaring di sofa. "Kamu percaya sama aku, oke? Aku akan melakukan seperti saat membuat kamu bisa kembali normal ketika SMA, aku akan membuat kamu sembuh lagi, Kyle. Jangan pergi dulu, jang
Jam kerja selesai. Kyle semakin panik saat melihat Luana yang mulai berkemas, sementara Jasmine dan Gio belum juga meninggalkan meja kerja mereka. Kyle memutar otak untuk mencari cara supaya Luana masuk ke dalam ruangannya tanpa membuat Gio dan Jasmine tahu sehingga kedua makhluk brengsek itu tidak merecoki pertemuan mereka dengan alasan yang mengada-ada. Sementara itu, sakit kepala Kyle semakin parah dan demamnya mulai tinggi. Kyle meraih ponsel di meja, mengetik sesuatu dengan jemari yang gemetar karena demam. [Lun.] Bahkan untuk mengirimkan pesan singkat seperti itu, Kyle membutuhkan usaha yang sangat keras. Kepalanya seperti berputar-putar dan demam yang dideritanya membuat pria itu tidak fokus. Matanya sampai menyipit untuk menyelesaikan chat yang ia kirim ke Luana. [Sini, ke aku.] Tak sanggup lagi mengetik banyak, Kyle melempar ponselnya dan memijat kepala yang seperti meledak. Dia tak sanggup menahan sakit ini lagi, sepertinya magic stone yang dipinjamk
Gio lagi-lagi tersenyum dengan ekspresi licik, sebelum kemudian menjawab. "Karena aku yang menukar sendiri barang itu sebelum sampai ke Kyle, jadi tentu saja aku tahu." Ekor mata Gio melirik ke Kyle yang sedang memijat keningnya dengan ekspresi puas. "Sayangnya, karena kekuatannya melemah, Kyle bahkan nggak sadar kalau barang itu palsu dan terus bergantung pada benda itu seperti orang bodoh," lanjutnya dengan bibir mencibir. "Kamu gila!" Jasmine berseru, menggeleng tak percaya, tapi juga salut pada pria yang sepertinya lebih kuat dari Kyle ini. Sepertinya, pria yang wajahnya mirip Kyle ini sedang tidak berbohong, kini Jasmine baru menyadari bahwa aura Kyle hari ini, memang tidak sekuat dan semenusuk biasanya. "Sekarang, kamu percaya padaku, kan?" Gio bertanya dengan ekspresi penuh kemenangan. Jasmine ingin mengangguk tapi dia sadar bahwa harus berhati-hati dengan pria di sampingnya ini, jadi dia menjawab. "Aku masih harus berpikir lebih dalam lagi." Gio yang