"Apakah sudah ditemukan?" tanya Richard lewat panggilan telepon kepada seseorang, suaranya sangat lemah seperti tengah menahan sakit yang teramat sangat. "Maaf, Bos. Kami sudah menyisir di seluruh tempat sekitar ledakan, tapi hanya menemukan satu mayat yang terbakar dalam mobil, dugaan kuat kami, itu adalah mayat pria yang membawa nyonya, sedangkan tubuh nyonya, wanita itu tidak ada di mana pun."Mendengar laporan tentang pengejaran mobil yang membawa Jeany yang kabarnya terbakar, Richard menutup matanya dengan kedua tangan, mendesah berat, kedua matanya tampak berair. Dalam hidup, ini pertama kalinya Richard menangis. "Jeany, kamu belum mati, kan?" gumamnya, terisak sendirian di kantor yang megah. Tadi saat dia menyiksa Isabelle, Richard mendapatkan laporan tim pengejar, bahwa Zion yang panik setelah keberadaannya ditemukan dan dikejar banyak orang, mengalami kecelakaan karena mobilnya yang masuk ke jurang, mobil itu meledak, hanya menyisakan kerangka, tapi di dalam mobil hanya
"Kamu ... suamiku?"Wajah cantik Jeany tampak sangat terkejut saat mendengar jawaban Richard, sedangkan Richard, mengangguk dengan putus asa. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku suamimu, Jeany. Jangan mengajakku bercanda tentang masalah ini," jawabnya seraya mengulurkan tangan, berusaha untuk menyentuh Jeany yang sayangnya malah melangkah mundur. Penolakan itu membuat Richard merasa begitu patah hati sehingga dia hanya bisa mengepalkan tangannya erat-erat sebelum menariknya kembali. "Jeany, kenapa... "Richard merasa hatinya sangat sakit saat melihat sang istri, yang sudah tak dia temui beberapa bulan, malah seperti menolak kehadirannya. Ingatan dan trauma ditinggalkan oleh Jeany saat masa kuliah membuat tubuh Richard menegang. Dia tak bisa membayangkan bagaimana jika kali ini Jeany menolak dirinya lagi. Bukankah sebelum Jeany hilang, mereka sudah saling mencintai. Kehidupan pernikahan mereka juga mesra. Lalu kenapa sekarang Jeany memandang dirinya seperti orang asi
"Jeany, ehm... senyumku mungkin agak sedikit menakutkan, tapi wajahku.... "Richard yang cemas sendiri menunggu penilaian dari istrinya, berkata dengan sedikit gagap. Bahkan tak sanggup menyelesaikan ucapan. Berbeda dengan Jeany yang masih terus menatap wajah Richard, dan segera menjawab tanpa berpikir. "Kamu sangat tampan. Yah, wajahmu seperti malaikat yang turun dari surga," ucapnya, yang tentu saja membuat Richard lega bukan main. Sayangnya, kelegaan itu hanya bertahan sebentar saat Jeany melanjutkan ucapan. "Tapi.... ""Tapi apa, Jeany?" tanya Richard, menyembunyikan rasa frustasi di dalam hatinya. Dia sudah lolos tes verifikasi ketampanan, sekarang apalagi? "Tapi aku ragu kamu suamiku?"Jeany mengatakan itu dengan nada ringan, sedangkan Richard hanya bisa menyugar rambutnya ke belakang dengan helaan napas panjang. "Kenapa lagi? Aku tidak jelek seperti anak kepala desa itu dan kamu bilang aku tampan. Aku sudah lolos tes, jadi jelas suamimu, Jeany," sahut Richard, semakin pu
"Aku suamimu dan selamanya hanya suami kamu, Jeany. Maafkan aku karena terlalu terlambat menemukan keberadaan kamu."Jawaban Richard yang begitu tegas saat terus meng klaim dirinya sebagai suami Jeany, membuat wanita itu tersenyum dan memegangi kepalanya. "Tidak masalah, hanya saja maafkan aku. Aku masih bingung karena semuanya terasa sangat mendadak," ucap Jeany, yang membuat Richard mengangguk. "Aku mengerti," jawab Richard dengan penuh pengertian. menepuk lembut punggung Jeany. "Kalau begitu, maukah kamu pergi dengaku, Jeany? Aku berjanji akan mengembalikan ingatanmu seperti semula," ajak Richard. "Ehm... baiklah," jawab Jeany setelah ragu beberapa saat. Richard tersenyum lega mendengar itu dan tanpa menunggu lama, langsung mengurus kepergian Jeany. Setelah melalui beberapa prosedur, Richard akhirnya membawa Jeany kembali ke kota, dia juga mempersilahkan kepada Jeany untuk melakukan perpisahan kepada nenek yang telah merawatnya dan berjanji untuk membuatkan rumah yang layak b
"Ahh, gila. Semuanya kacau," ucap Jeany begitu dia pulang ke rumah bersama Richard. Saat ini Richard sedang di kamar mandi saat Jeany dibawanya masuk ke kamar untuk tidur bersama. Awalnya Jeany menunggu dengan tenang di atas ranjang sambil mengedarkan pandangan ke seluruh interior kamar Richard yang memiliki gaya minimalis dan hanya ada warna-warna monokrom di sana. Namun, setelah Richard benar-benar sibuk di kamar mandi, dia akhirnya mendesah panjang. "Huft, aku harus tenang dan mencari kesempatan untuk menjelaskan semuanya kepada Richard," gumam Jeany, memandang cemas ke arah kamar mandi tempat Richard berada sekarang. Jeany menggigit bibir bawahnya dan mengeluarkan desahan putus asa sekali lagi. "Ugh, gila. Gila. Kenapa sih kemarin aku melakukan hal itu?"Jeany memukul kepalanya sendiri, menyesali drama yang baru saja dia mainkan untuk menggoda Richard. Jadi, sebenarnya Jeany sama sekali tidak menderita hilang ingatan. Saat Richard mendatangi dirinya siang itu di dapur ruma
Jeany bertanya dengan badan gemetar halus, bukan gemetar karena takut, melainkan secara aneh saat ini dia malah bersemangat atas pertanyaan suaminya."Kamu tidak tahu maksudnya apa?" Richard bertanya sembari dengan gerakan ringan mengambil handuk di tangan istrinya, lalu pria itu mengulurkan tangannya dan menyentuh bibir sang istri dengan ujung jempol. "Aku bilang jangan memancingku. Memancing untuk memakanmu."Richard mengatakan itu dengan nada rendah. Ucapannya itu membuat Jeany reflek tersenyum kaku sambil menelan ludah kering. "Tapi aku ... aku bukan makanan," jawab Jeany, dengan jantung yang rasanya mau meledak padahal Richard bhanya membelai bibir bawah Jeany, dengan ujung jemarinya. "Hm, kamu memang bukan makanan," sahut Richard, menggerakkan jari telunjuknya ke dagu Jeany, gerakannya sangat lembut tapi gilanya, Jeany merasa tubuh bagian bawahnya justru berdenyut. Richard menyeringai dengan ekspresi yang membuat wajahnya menjadi semakin tampan, menggerakkan jari telunjukn
"Kenapa?" tanya Richard dengan nada menggoda. "Aku ... aku malu kamu menjilati bagian pribadiku," jawab Jeany seraya menutup mukanya dengan kedua tangan, meski dia sangat suka diperlakukan seperti itu, dia tak bisa menutupi rasa malunya. Richard hanya tertawa melihat ekspresi Jeany dan kini bersiap untuk memasuki tubuh Jeany segera setelah membuat bagian bawah wanita yang dicintainya itu basah kuyup."H-hey!"Mata Jeany membelalak kaget saat melihat Richard yang melepas pakaiannya dan melihat celana dalam pria itu. Karena fisiknya sangat sempurna. Otot-ototnya seimbang. Bahu lebar, lengan berotot, dan pandangan ke bawah yang mantap di pangkalan….Pusaka milik Richard yang besar dan terangkat dengan kuat menarik perhatian Jeany dan seketika membuat wajah wanita itu merah padam karena malu. Tanpa disadari, Jeany menelan ludah saat melihat ukuran Richard. Itu... sangat besar. "Jeany-ku.... "Richard tersenyum dengan begitu menawan kepada Jeany saat memanggil namanya dan meminta iz
"Haaaa."Setelah mengeluarkan cairannya di dalam diri Jeany, , tubuh Richard kini jatuh ke sisi sebelah istrinya yang berbaring telentang. Sebelum ini, mereka telah bernafsu terhadap tubuh satu sama lain, tetapi mereka tidak dapat memiliki kepuasan yang memuaskan saat saling berpelukan di tempat tidur bersebelahan. Rasanya mencapai puncak satu kali masih terasa sangat kurang. Keduanya saling berpelukan dengan tubuh basah oleh keringat, Richard dengan lembut mencium kening Jeany yang basah, dan membisikkan kata terima kasih. Jeany yang baru merasa malu saat mereka kini berpelukan tanpa mengenakan sehelai benang pun, membenamkan wajahnya di dada Richard yang hangat, untuk menutupi wajahnya yang memerah. Richard tertawa rendah melihat ekspresi malu-malu Jeany, membenahi anak rambut Jeany yang menyentuh pipi sang istri dan berbisik dengan suara lembut dan menggoda. "Jeany, lanjut ronde kedua, yuk? Aku belum puas, nih."Mendengar itu, mata Jeany seketika terbelalak lebar. "H-hah? Tun
Luana, mengusap air matanya dan menatap Gio dengan bibir cemberut. "Kamu tadi minta aku buat menemani kamu main, kan? Sini aku temani. Aku temani sampai kamu bosan main game, kalau perlu sampai pagi." Luana mengatakan itu dengan suara serak. Untunglah besok hari Sabtu, sehingga dia tidak perlu bertemu dengan Kyle sampai hari Senin depan. Gio menggeleng tegas, menunduk untuk menyamakan tinggi wajahnya dengan wajah Luana dan menatap gadis mungil itu dengan tajam. "Luna, kamu janji bakal balik sambil tersenyum, kenapa malah nangis lagi? Ada apa? Cerita sama aku, Luna." Ucapan Gio itu dijawab Luana dengan gelengan, dia balas menatap tajam kepada pria jangkung yang wajahnya sama persis dengan Kyle tersebut. "Nggak usah tanya-tanya karena aku nggak bakal mau cerita!" Melihat kekeras kepalaan di wajah gadis itu, Gio hanya menarik nafas panjang dan memilih untuk mengalah. "Ya sudah. Kamu mau ajak aku ke mana sekarang?" Luana kembali menyeret tangan Gio menuju pinggir j
"Kenapa kamu manggil aku Luna terus,sih, dari tadi? Namaku tuh Luana. L-U-A-NA." Luana mengeja namanya di depan Gio karena kesal pria itu mengubah panggilannya sesuka hati. "Bagiku, kamu Luna-ku," jawab Gio cuek, tersenyum geli melihat Luana yang lagi-lagi cemberut. "Luna?" "Ya, kamu memberi kehidupan baru padaku, kamu sudah seperti rembulan bagiku," jawab Gio dengan tenang. Luana yang masih tidak mengerti kenapa Gio melihat dirinya seperti rembulan, memilih tidak memikirkannya lebih lanjut. "Hm, terserahlah. Tapi kamu agak aneh, kenapa menyamakan aku dengan rembulan, kenapa nggak matahari?" tanya Luana, bingung. Gio lagi-lagi hanya mengendikkan bahu. "Pengen aja." "Dasar aneh." Atas ejekan dari Luana tersebut, Gio tertawa lebar. "Tapi aku tampan, 'kan? Kalau kamu nggak bilang aku tampan, berarti Kyle juga jelek karena wajah kita tuh sama," ancamnya. "liih. Kenapa kamu itu nyebelin banget, sih! Serius deh!" Luana menatap sebal vampir jangkung di depannya
Gio mengetuk pelan puncak kepala Luana satu kali sambil sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi badannya dengan gadis itu. "Kenapa kamu nggak tanya baik-baik kenapa dia tadi ngusir kamu, Luna? Aku tebak, kamu langsung pergi dan menangis seperti ini, kan?" tanyanya tenang. Luana membuang pandang sembari menggigit bibir bawahnya. "Itu.... " Dia tidak bisa menjawab. Dia tidak mau mengakui, bahwa dirinya takut bertanya pada Kyle dan mendapat jawaban yang membuat gadis itu semakin hancur, semisal benar kalau Kyle memang membuang dirinya setelah menikmati tubuhnya. Gio, memandang Luana seperti seorang kakak laki-laki yang menasehati adik perempuannya yang menangis karena bertengkar dengan pacar. "Kamu bilang, Kyle bukan tipe yangbakal memukul atau maki-maki kamu, dia nggak mungkin ngelakuin hal itu ke kamu. Jadi, dia juga bukan tipe yang akan ngusir kamu setelah make kamu, kan?" Luana menatap Gio, mengerjapkan mata berkali-kali dengan ekspresi sendu seperti anak kecil
"Sudah kubilang, jangan nangis," ucap Gio. Luana menggeleng, mengusap pipinya yang basah dan menjawab. "Siapa yang nangis, aku nggak nangis." Gio menyilangkan tangan di dada dan menatap Luana dengan pandangan mengejek. "Ah, benar. Kamu, kan, gengsian." Sindiran Gio tersebut seketika membuat bibir Luana cemberut. "Ngapain juga aku gengsi sama kamu!l" serunya sambil menatap jengkel kepada Gio. Gio hanya tertawa kecil, mencondongkan badannya yang tinggi ke arah Luana dan bertanya dengan tenang. "Si Tuan Muda itu nyakitin kamu? Kamu masuk lagi ke dalam bukan karena ada barang yang ketinggalan, tapi menemui dia, bukan?" Luana melengos sebal, mengarahkan pandangan ke jalanan sore depan kantor yang penuh lalu lalang mobil. "Sok tau. Nyebelin," jawabnya dengan bibir cemberut dan muka ditekuk. Gio tersenyum melihat ekspresi manyun gadis mungil itu, lalu dengan santai berucap. "Berarti jawabannya iya." "Enggak!" Luana segera melayangkan tatapan judes padanya, men
Saat keluar dari ruangan Kyle, Luana berusaha tegar dan bersikap seakan tak ada apa-apa. Namun, begitu sampai depan kamar mandi kantor, langkahnya mulai goyah. "Ah." Luana membuka pelan pintu kamar mandi, duduk dia atas toilet dan membuang celana dalamnya yang basah ke tempat sampah dengan ekspresi lunglai. "Kenapa.... " Gadis itu mendesah, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar suara isakannya tidak terdengar sampai luar. "Kyle, kenapa kamu begini padaku?" gumamnya nelangsa. Menangis seperti itu rasanya lebih sakit dan menyesakkan, tapi hal itu tidak sesakit yang di rasakannya sekarang. Dirinya merasa hancur saat diusir seperti wanita murahan oleh Kyle tadi, hati gadis itu kini remuk redam. "Teganya kamu, Kyle. Teganya.... " Dia menangis sampai bahunya naik-turun, menekan dadanya yang terasa sangat sesak sampai kesulitan bernapas. Dengan pandangan penuh kaca-kaca air mata yang siap tumpah,
"Luana? Bolehkah?" Pria itu meminta izin untuk menjilati leher dan dadanya yang penuh keringat. Saat Luana dengan malu-malu mengangguk, Kyle segera dengan tekun melakukan apa yang dia inginkan. Kyle baru tahu, bahwa keringat gadis ini ketika sedang terangsang ternyata bisa membantu mengembalikan kekuatan miliknya yang sempat menghilang. Magic stone bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan ini. Saat keringat Luana habis dijilat oleh Kyle, kyle memandang Luana dengan ekspresi lapar. "Lun, cara bikin kamu berkeringat bagaimana?" bisiknya dengan suara menggoda, membuat gadis itu memandang Kyle dengan pipi merona merah, sementara Kyle menggesek penis miliknya yang sudah tegak di antara paha Luana. "Kenapa tiba-tiba ingin membuat saya berkeringat, Tuan?" Luana yang gugup, sampai tanpa sadar berbicara formal kepada Kyle. Kyle tidak menjawab, malah melesak kan mulutnya di buah dada Luana yang benar-benar menggoda, membuat gadis itu mengerang pelan dan menggeliat. "Hah
"Kamu tahu.... " Kyle berkata dengan napas tersengal-sengal. "Cuma tubuh kamu yang bisa membuat suhu tubuhku hangat kembali, Luana," lanjutnya dengan suara lemah. Mendengar itu, Luana tanpa ragu segera berdiri dan melempar jas yang ia pakai ke lantai. "Baiklah. Aku akan melakukannya, aku akan melakukan hal itu, Kyle. Aku akan melakukan apa pun! Kamu harus sembuh, kamu nggak boleh pergi!" teriak Luana dengan penuh tekad. Gadis itu segera berlari ke pintu untuk menguncinya dan menepuk tangan satu kali sebagai sensor lampu, membuat ruangan itu seketika gelap gulita. "Kyle, tunggu. Aku akan membantumu!" Luana tanpa ragu dia melepas blush hijau muda yang dia pakai dan melempar bra miliknya ke lantai, kemudian dengan tubuh atas tanpa memakai apa pun, mulai naik ke atas tubuh Kyle yang terbaring di sofa. "Kamu percaya sama aku, oke? Aku akan melakukan seperti saat membuat kamu bisa kembali normal ketika SMA, aku akan membuat kamu sembuh lagi, Kyle. Jangan pergi dulu, jang
Jam kerja selesai. Kyle semakin panik saat melihat Luana yang mulai berkemas, sementara Jasmine dan Gio belum juga meninggalkan meja kerja mereka. Kyle memutar otak untuk mencari cara supaya Luana masuk ke dalam ruangannya tanpa membuat Gio dan Jasmine tahu sehingga kedua makhluk brengsek itu tidak merecoki pertemuan mereka dengan alasan yang mengada-ada. Sementara itu, sakit kepala Kyle semakin parah dan demamnya mulai tinggi. Kyle meraih ponsel di meja, mengetik sesuatu dengan jemari yang gemetar karena demam. [Lun.] Bahkan untuk mengirimkan pesan singkat seperti itu, Kyle membutuhkan usaha yang sangat keras. Kepalanya seperti berputar-putar dan demam yang dideritanya membuat pria itu tidak fokus. Matanya sampai menyipit untuk menyelesaikan chat yang ia kirim ke Luana. [Sini, ke aku.] Tak sanggup lagi mengetik banyak, Kyle melempar ponselnya dan memijat kepala yang seperti meledak. Dia tak sanggup menahan sakit ini lagi, sepertinya magic stone yang dipinjamk
Gio lagi-lagi tersenyum dengan ekspresi licik, sebelum kemudian menjawab. "Karena aku yang menukar sendiri barang itu sebelum sampai ke Kyle, jadi tentu saja aku tahu." Ekor mata Gio melirik ke Kyle yang sedang memijat keningnya dengan ekspresi puas. "Sayangnya, karena kekuatannya melemah, Kyle bahkan nggak sadar kalau barang itu palsu dan terus bergantung pada benda itu seperti orang bodoh," lanjutnya dengan bibir mencibir. "Kamu gila!" Jasmine berseru, menggeleng tak percaya, tapi juga salut pada pria yang sepertinya lebih kuat dari Kyle ini. Sepertinya, pria yang wajahnya mirip Kyle ini sedang tidak berbohong, kini Jasmine baru menyadari bahwa aura Kyle hari ini, memang tidak sekuat dan semenusuk biasanya. "Sekarang, kamu percaya padaku, kan?" Gio bertanya dengan ekspresi penuh kemenangan. Jasmine ingin mengangguk tapi dia sadar bahwa harus berhati-hati dengan pria di sampingnya ini, jadi dia menjawab. "Aku masih harus berpikir lebih dalam lagi." Gio yang