"Ini tentang penculikan di vila waktu itu."Jeany yang sudah menguatkan hati untuk membicarakan masalah penculikan dengan Richard, menjawab seperti itu. Seperti dugaan Jeany, ekspresi Richard yang awalnya santai, langsung berubah saat dia menyebutkan tentang penculikan."Hm? Penculikan? Apa maksudmu? Bukankah aku sudah bilang jika itu—""Kumohon, jangan berbohong!" potong Jeany dengan suara sedikit keras saat melihat suaminya hendak mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah tahu semuanya, Rich," lanjut Jeany dengan ekspresi sendu. "Ini."Mengatakan itu, Jeany lantas menunjukkan video yang diberikan Raisa kepada Richard."Lihat ini, aku waktu itu benar-benar diculik, kan? Sekarang, jujur padaku, apakah surprise itu benar-benar ada atau hanya kamuflase darimu untuk menutupi kenyataan bahwa aku telah diculik seseorang?"Jeany menanyakan hal itu dengan suara tegas, seakan meminta dengan sungguh-sungguh kepada suaminya untuk menjelaskan segalanya padanya saat ini juga. "Dari mana kamu dapat
Jeany sangat tidak enak hati saat Raisa bertanya seperti itu, sehingga dia tentu saja langsung menjawab tidak. "Hey, tentu saja bukan seperti itu, Raisa. Alasan apa yang membuat aku menghindari dirimu? Tidak ada, kan?" sanggah Jeany cepat. "Hah, jangan bohong. Kamu terus menolak bertemu hampir semingguan ini. Ada apa? Bicara padaku, Jeany. Kita teman, kan?" desak Raisa. Jeany menggigit bibir bawahnya, mencari jawaban yang tepat. Tidak mungkin dia akan jujur kepada Raisa bahwa saat ini dilarang Richard bertemu wanita itu. "Ya... kita teman, Raisa," jawab Jeany, sedikit terlambat. "Kalau teman, tidak ada yang perlu dirahasiakan, kan? Sekarang beritahu aku, kenapa kamu akhir-akhir ini menghindar? Aku mau kamu jujur!"Raisa yang blak-blakan seperti laki-laki itu terus mendesak Jeany. "Ehm, itu.... ""Bagaimana kalau kita bertemu sekarang juga, Jeany? Aku sangat kepikiran dengan sikap kamu yang mendadak berbeda sampai tidak konsentrasi kerja, bisa kan kita bertemu sekarang?" pinta Ra
"Aku... di mana?"Mata Jeany mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan pandangan saat pertama kali membuka mata. Begitu sadar, dia kini sudah duduk terikat di sebuah kursi dalam ruangan asing. "Jeany."Sebuah suara yang lumayan familiar memanggil Jeany, saat Jeany menoleh, dia terkejut bukan main. "H-hah? Isabelle? Apakah kamu sedang menculikku sekarang? Di mana Raisa?" tanyanya dengan panik, menoleh ke sana dan kemari. "Raisa? Hmmm, apakah kamu membicarakan tentang sepupuku yang cantik?" balas Isabelle yang kini berdiri di depan Jeany dengan tatapan pongah. Setelah bertanya seperti itu, Isabelle menjentikkan jarinya dan sosok dari kegelapan muncul dan berdiri dengan akrab di sebelah Isabelle. Mata Jeany terbelalak lebar saat mengetahui bahwa teman dekatnya ternyata selama ini ada di pihak musuh. "R-Raisa?! Bagaimana ini bisa.... ""Sepertinya kamu belum paham dengan keadaan di sini. Haaa, baiklah, aku akan menjelaskannya. Jadi Raisa, teman lamamu ini sebenarnya bekerja sama d
"Raisa.... "Jeany merasa terharu saat sahabatnya menolong dirinya di ujung maut, mengira bahwa Raisa setidaknya masih memiliki setitik rasa persahabatan dengan dirinya. Berbeda dengan Jeany, saat Raisa tiba-tiba mencegah tindakannya, Isabelle menoleh ke arah Raisa dan bertanya dengan senyum yang terkesan palsu. "Raisa, sepupuku tersayang. Kenapa kamu tiba-tiba mencegahku membunuh wanita lemah ini? Bukankah sangat mudah menyingkirkan dirinya di tempat seperti ini? Richard juga pasti belum sadar kalau istrinya kuculik, kan?"Raisa dengan tenang, menanggapi ucapan Isabelle yang tampak tak suka aksinya dihentikan oleh sepupunya. "Isabelle sepupuku, membunuhnya langsung seperti tadi tidak akan menyenangkan. Kenapa kamu tidak memancing kemarahan Richard lebih dulu? Bukankah itu lebih menyenangkan sekaligus mendebarkan melihat bagaimana Dante Richardo yang mulia itu kerepotan?" jawab Raisa dengan santai, yang seketika memupus harapan Jeany. Jeany mengira Raisa mungkin masih menganggap
"Kenapa ekspresimu seperti itu, Jeany? Apa bedanya aku dengan suamimu? Bukankah aku juga terlihat sangat tampan, hm?"Raisa bertanya dengan percaya diri. Jeany tentu saja ingin membantah ucapannya, tapi tahu jika saat ini dia adalah seorang sandera sehingga tak ingin memancing kemarahan wanita yang mungkin bisa membebaskan dirinya dari kematian itu, sehingga memutuskan untuk tetap diam dan tersenyum mendengar semua ocehannya. "Jeany, jawab aku!"Raisa yang terlihat tak sabar karena Jeany hanya diam, meraih kedua tangan Jeany yang diborgol, menggenggamnya dan berkata sambil memandang tengah mata wanita cantik itu. "Percayalah padaku, Jeany," ucap Raisa dengan ekspresi serius. "Aku akan membawamu pergi dengan aman dari sini. Kujamin, masa depan dan dirimu akan aman. Syaratnya cuma satu, ayo menikah denganku dan lupakan Dante Richardo. Kehidupannya terlalu sulit untuk dirimu, Jeany. Aku menawarkan hal ini karena memikirkan dirimu."Dia memandang Jeany dengan ekspresi seperti orang
"Dia tidak akan serius, kan?" gumam Isabelle saat Richard sudah benar-benar pergi. Isabelle yang tak tahu bahwa dia telah menyalakan api yang akan membakar tubuhnya sendiri, menggangguk dengan ekspresi yakin bahwa Richard hanya sedang mengancam saja. Dia juga sangat yakin jika pilihan yang diambilnya adalah pilihan paling tepat. "Dante Richardo, pria itu sudah tidak ada di sini, Belle?"Raisa, sepupu Isabelle, tiba-tiba berdiri di sebelah Isabelle. Isabelle segera menganggukkan kepala dan menoleh ke arah Raisa. "Sudah pergi. Kamu sembunyikan di mana Jeany?" tanyanya dengan tenang. Menyembunyikan gemetar di tubuhnya. "Di ruangan yang paling aman, bahkan jika Dante Richardo mencoba mencari lewat CCTV dan menjelajahi gedung ini, dia tidak akan bisa melihat di mana Jeany. Kamu ngin melihat? Ini, di sini," jawab Raisa seraya menunjukkan ponselnya pada Isabelle. Di layar ponsel itu terlihat Jeany yang sedang disekap dalam sebuah ruangan paling dalam di bangunan pencakar langit ini. Is
Raisa mengerutkan kening seperti sedang berpikir keras, lalu beberapa saat kemudian dia tersenyum cerah karena mendapatkan ide brilian. "Aku punya sesuatu yang menarik, Belle," ucapnya. "Aku pasrahkan padamu, Raisa. Cepat cari jalan keluar!" desak Isabelle tak sabar. "Begini, aku ada ide. Kamu segera suruh orang dan membawa ponsel milik Jeany ke tempat yang sangat jauh, begitu ada di pertengahan jalan, suruh mereka aktifkan lagi ponselnya. Dengan begitu Dante Richardo itu tidak akan kembali ke sini untuk sementara waktu dan benar-benar percaya kalau Jeany tidak sedang kita sekap. Pada jeda itu, aku akan mencuci otak Jeany agar dia pergi meninggalkan suaminya," ujar Raisa, menjelaskan rencananya. "Cuci otak? Kenapa tidak membunuhnya langsung aja, Raisa? Apa kamu juga terpesona dengan wanita lemah seperti dia? Tentu saja tidak, kan?" sahut Isabelle dengan ekspresi curiga saat mendengar bahwa bukannya menyingkirkan wanita itu secepatnya, Raisa malah berencana mencuci otaknya saja.
Telepon genggam Raisa berbunyi nyaring, seakan-akan mendukung daruratnya suasana, lampu merah di ruangan itu berkedip-kedip dan suara dari pengeras suara di pojok ruangan memecahkan keheningan. "DARURAT, DARURAT, KITA DISERANG!"Raisa yang mendengar itu mengerutkan kening dan segera menerima panggilan telepon di ponselnya. Segera suara nyaring Isabelle menyambut Raisa dan Jeany yang ada di dalam ruangan khusus itu. "RAISA! BAHAYA, DANTE SEPERTINYA SUDAH GILA, DIA MENYERANG MARKASKU DENGAN KEKUATAN PENUH! AKU SUDAH KABUR MELARIKAN DIRI, JEANY KUSERAHKAN PADAMU, CEPAT BUNUHLAH DIA!!"Setelah berteriak seperti itu, Isabelle langsung mematikan panggilan telepon. "Berengsek! Orang gila itu, dia tak mudah dimanipulasi!" geram Raisa saat mendengar kabar Richard yang menyerbu gedung ini sambil menggenggam tangannya erat-erat. Berbeda dengan Raisa yang panik dan marah, Jeany tersenyum lega saat mendengar itu. "Richard.... "Dia menyebutkan nama suaminya dengan haru, sedangkan Raisa, yang
"Lun, lo tau nggak kira-kira kenapa ada sisa bau Venus di tubuh lo?" Sekali lagi Kyle mengulang pertanyaan kenapa ada aroma Venus di baju sehingga netra Luana bergetar sedikit karena tak mampu memberi jawaban yang memuaskannya. Luana benar-benar tidak sedang dalam kondisi bisa berbohong sambil tersenyum sekarang, tidak ketika seluruh tubuhnya memanas secara tak jelas begini. Seperti mengetahui kelemahan Luana, Kyle mengelus dengan lembut pinggang sang gadis yang terbalut kemeja tipis, lalu mendekatkan hidung mancungnya ke badan Luana, sambil memejamkan mata dia mengendus pelan. "Baunya jelas banget, kenapa ya? Bilang ke gue coba, ini cuma parfum yang sama, kan? Tolong jawab gitu," ucapnya. Meski nadanya sangat tenang, Luana tahu jika ada aura mengancam di dalamnya. Luana tidak menggeleng atau mengangguk, hanya menatap wajah tampan teesebut dalam diam. Nadanya menyakitkan, sehingga Luana takut, jika salah menjawab maka semua akan berubah fatal. Beberapa detik kemudian, karena
"Cara apa?" Bodohnya Luana malah bertanya. Tak sadar bahwa Kyle sedang menjebaknya. "Biar nggak kedinginan kita harus mengeluarkan keringat, kan? Nah, ada cara yang mudah dan efektif serta menyenangkan, mau coba?" Kyle mengatakan dengan ceria, tampak sedikit bersemangat. "Emang gimana?" Luana yang masih tak paham maksud Kyle, bertanya lagi. "Begini." Seperti sudah tak sabar, Kyle segera mencondongkan badan ke arah gadis itu, lalu tanpa ba-bi-bu menempelkan bibirnya ke bibir Luana. Untuk mencegah Luana melarikan diri, dia mengunci belakang kepala Luana dengan tangannya lalu memasukkan lidahnya ke dalam mulut gadis itu. "K-Kyle...!" Mata Luana terbelalak lebar. Sensasi manis lollipop yang tadi dimakan Kyle, menyebar di seluruh mulut Luana, rasa hangat bibir Kyle dan rasa permen yang dia makan seakan melebur jadi satu di dalam mulut gadis itu. Kyle semakin mencondongkan badannya sehingga dada mereka saling menempel, melanjutkan sentuhan bibirnya ketika tak mendapat pen
Setelah menjawab seperti itu, Luana segera berlari dengan kecepatan penuh, mengambil peralatan mandi dan kemeja dan rok di tumpukan paling atas, lalu mandi, keramas dan ber-make up sederhana sebelum kembali berlari menuju perpustakaan. Untunglah, untung jarak antara asrama dan perpustakaan bisa ia potong lewat jalan pintas, kalau tidak, bisa celaka semuanya. Cemas, Luana melirik jam tangan, masih ada empat menit lagi. Huft. Semoga Luana bisa bertemu dengannya. Kembali Luana berlari menuju tempat biasa mereka bertemu, dan di sana... Tubuh gadis itu langsung merosot ke lantai ketika melihat Venus yang tampak tertidur nyenyak di meja biasa mereka bertemu saking leganya. Jackson tak ada di mana-mana, mungkin pulang setelah marah marah pada Luana tadi. Jantung gadis itu masih berdegup kencang ketika duduk di sebelah pria muda yang tengah tertidur, memandangi Venus yang tidur dengan memiringkan kepala, tampak tenang dan damai. Tangan Luana tiba-tiba tergelitik untuk merapikan ramb
Luana segera berbalik menghadap Kyle dan tersenyum semanis mungkin, menyembunyikan niatnya yang ingin menyelinap pergi untuk menemui Venus. "Kamu janji bakal ngeberesin kekacauan ini, kan, Kyle?" tanya Luana, masih tersenyum manis.Kyle tampak mengerucutkan bibir tipisnya dengan kening berkerut ketika menatap asrama Luana yang porak-poranda, lalu tersenyum lebar saat menatap wajah cemas gadis itu. Mengendikkan bahu, dengan santai dia pun menjawab."Mmm, Oke."Suaranya terdengar riang. Namun, Kata-katanya tak berhenti sampai situ. "Tapi... "Kyle seperti sengaja menggantung kalimatnya, sehingga Luana pun bertanya."Tapi apa, Kyle?""Tapi malem ini lo harus ikut sama gue pulang, ya?" jawabnya, dengan senyum lebar.Luana lagi-lagi tersenyum canggung. Luana tahu itu bukan permintaan meski Kyle berkata dengan nada ringan, tapi perintah yang harus ia taati.Jadi dengan pelan, Luana pun menganggukkan kepala.Senyum Kyle berubah semakin cerah melihat Luana yang menganggukkan kepala, dia p
Mati-matian Luana menahan tubuhnya supaya tidak ambruk ke lantai dan berusaha terlihat setenang mungkin."Yaaahhh, karena lo kayaknya suka gue yang kayak iblis begini, jadi rencananya gue mau bikin dia pisah sama jiwanya sebentar, lalu tubuhnya mau gue lempar dari atap gedung ini. Gimana? Seru, kan, pasti? Jadi gue nggak perlu sakit hati lagi."Kyle yang berada dalam tubuh Theo, mengucapkan semua rencana pembunuhan untuk Venus dengan sangat santai seakan Venus hanyalah seekor lalat saja.Luana tentu saja bergidik ngeri mendengar pengakuannya tersebut.'Jangan bunuh kak Venus, jangan!'Dia berteriak dengan putus asa. "Ky, Kyle... aku ... aku...."Tak sanggup rasanya luana meneruskan ucapan karena tenggorokan terasa kering, jadi ia menelan ludah dan membasahi bibir. Memandang Kyle dengan mata bergetar."Karena lo udah di sini, gimana cara lo ngehentiin gue, Luana? Gimana cara lo bikin gue nggak nyentuh si bajingan itu? Gue mau lihat."Kyle bertanya dengan suara manis, seakan memberi k
Sosok jangkung berkulit putih berlari ke arah Luana dengan terengah-engah, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Dia adalah Vincent, ketua kelas tiga. "Kamu di sini? Kamu baik-baik saja, kan? Lebih baik kamu pergi jauh untuk sementara, Lun. Theo saat ini kehilangan kendali, dia–""Theo di mana sekarang, Vin?"Luana memotong ucapan Vincent dengan terburu, melihat wajah panik gadis itu, Vincent memilih menjawab pertanyaan dari Luana. "Setelah bikin sebagian besar penghuni asrama putri seperti ini, dia melesat lari ke asrama putra, seperti mencari seseorang atau sesuatu entahlah. Akibatnya korban semakin bertambah banyak karena semakin banyak anak yang di sentuh Theo, sebaiknya kamu sembunyi yang jauh sebelum dia juga membuatmu seperti yang lain, Lun!"Wajahnya yang lelah terlihat cemas, Luana mau mengucapkan terima kasih karena telah mencemaskan dirinya tapi tangan Karios lebih dulu menyeret pergi."Mereka siapa? Boleh aku mengantarmu, Lum?"Vincent mengejar langkah kami dan menjajari Lu
Sungguh, Luana benar-benar tak tahu alasan mengapa Kyle melakukan ini semua.Mereka kini bergerak dengan satu tujuan yaitu membuat Kyle sadar kembali. Karena kalau lusa Kyle belum sadar juga, maka Luana pasti akan kehilangan nyawa di tangan Karios, sebelum kedua orang ini akan kehilangan nyawa di tangan ayah Kyle, yaitu tuan Ivander. 'Kyle, aku btahu ini semua balasan atas semua kekasaranku padamu, tapi kumohon, bangunlah.'Luana membatin dengan putus asa. Ia mengepalkan tangan yang basah oleh keringat untuk meredam rasa gugup yang terus membelenggu dirinya seperti rantai. Beberapa saat kemudian sebuah Limosin mengkilap terparkir di depan pintu gerbang rumah mewah itu dan dengan cekatan para bawahan menempatkan tubuh Kyle yang tak sadarkan diri dengan nyaman di sana.Kyle saat ini terbaring tenang dengan selang infus dan alat bantu pernapasan.Wajahnya terlihat sangat damai seperti orang mati."Itu membuat aku merinding, semoga kamu nggak mati, Kyle," bisik Luana dengan tangan basa
"Tolong, Luana. Tolong bangunkan anakku! Bagaimana pun caranya tolong buat dia terbangun kembali sebelum lusa!"Nyonya glory memohon dengan begitu putus asa. Cengkeraman nyonya Glory di lengan Luana sedikit mengeras bersamaan dengan air mata yang mulai jatuh ke pipi cantiknya, wanita itu menekankan untuk membangunkan Kyle lagi sebelum lusa.Luana tidak tahu alasannya apa, tapi sepertinya ini ada hubungannya dengan tuan Ivander yang kabarnya akan pulang dari luar negeri.Nyonya Glory yang terisak-isak tak mampu melanjutkan ucapannya, sehingga posisi berbicara pun digantikan oleh Karios. "Waktu kami hanya sampai besok, kalo sampe kamu nggak bisa bikin tuan muda Kyle sadar kembali, aku ngga bakal ragu lagi buat menyingkirkanmu dari muka bumi ini."Geraman Karios mengirimkan gelombang ketakutan pada Luana. Luana tahu wajahnya saat mengatakan itu tidak main-main, seakan Karios benar-benar bisa dengan mudah melakukan semua itu ...."Tolong lakukan apa pun, Luana. Tolong! Tolong! Kalau sa
Kyle dalam sekejap kembali menjadi seperti mayat hidup. Luana memandang sekeliling dengan panik. Di manakah jiwanya saat ini? Kenapa dia pergi lagi seperti ini? "Kyle, kamu di mana, Kyle? Di mana?!" teriak Luana, meski tak ada jawaban. Tanpa berpikir panjang, segera gadis itu meraih tangan Karios dan menyeretnya ke luar kamar. "Tunjukkan aku jalan ke luar rumah!" ucapnya. Luana pikir, mungkin saja ... mungkin saja jiwa Kyle sekarang berkeliaran di luar seperti saat sebelum luana masuk ke sini tadi. Luana harus menemukan dirinya dan membujuk untuk kembali ke tubuhnya atau nyawanya benar-benar melayang di tangan bodyguard Kyle yang menurut ketika ia seret pergi ini. Di luar rumah, sayangnya tetap tak ia jumpai siapa pun meski Luana terus meneriakkan nama Kyle sampai suaraku serak. Tanda-tanda kehadirannya seakan lenyap. Kyle saat ini tak ada di mana-mana dan Luana tak bisa melihatnya lagi. 'Tidak, ini tidak boleh terjadi! Bagaimana nasibku kalau terus seperti ini? Aku tid