"Raisa.... "Jeany merasa terharu saat sahabatnya menolong dirinya di ujung maut, mengira bahwa Raisa setidaknya masih memiliki setitik rasa persahabatan dengan dirinya. Berbeda dengan Jeany, saat Raisa tiba-tiba mencegah tindakannya, Isabelle menoleh ke arah Raisa dan bertanya dengan senyum yang terkesan palsu. "Raisa, sepupuku tersayang. Kenapa kamu tiba-tiba mencegahku membunuh wanita lemah ini? Bukankah sangat mudah menyingkirkan dirinya di tempat seperti ini? Richard juga pasti belum sadar kalau istrinya kuculik, kan?"Raisa dengan tenang, menanggapi ucapan Isabelle yang tampak tak suka aksinya dihentikan oleh sepupunya. "Isabelle sepupuku, membunuhnya langsung seperti tadi tidak akan menyenangkan. Kenapa kamu tidak memancing kemarahan Richard lebih dulu? Bukankah itu lebih menyenangkan sekaligus mendebarkan melihat bagaimana Dante Richardo yang mulia itu kerepotan?" jawab Raisa dengan santai, yang seketika memupus harapan Jeany. Jeany mengira Raisa mungkin masih menganggap
"Kenapa ekspresimu seperti itu, Jeany? Apa bedanya aku dengan suamimu? Bukankah aku juga terlihat sangat tampan, hm?"Raisa bertanya dengan percaya diri. Jeany tentu saja ingin membantah ucapannya, tapi tahu jika saat ini dia adalah seorang sandera sehingga tak ingin memancing kemarahan wanita yang mungkin bisa membebaskan dirinya dari kematian itu, sehingga memutuskan untuk tetap diam dan tersenyum mendengar semua ocehannya. "Jeany, jawab aku!"Raisa yang terlihat tak sabar karena Jeany hanya diam, meraih kedua tangan Jeany yang diborgol, menggenggamnya dan berkata sambil memandang tengah mata wanita cantik itu. "Percayalah padaku, Jeany," ucap Raisa dengan ekspresi serius. "Aku akan membawamu pergi dengan aman dari sini. Kujamin, masa depan dan dirimu akan aman. Syaratnya cuma satu, ayo menikah denganku dan lupakan Dante Richardo. Kehidupannya terlalu sulit untuk dirimu, Jeany. Aku menawarkan hal ini karena memikirkan dirimu."Dia memandang Jeany dengan ekspresi seperti orang
"Dia tidak akan serius, kan?" gumam Isabelle saat Richard sudah benar-benar pergi. Isabelle yang tak tahu bahwa dia telah menyalakan api yang akan membakar tubuhnya sendiri, menggangguk dengan ekspresi yakin bahwa Richard hanya sedang mengancam saja. Dia juga sangat yakin jika pilihan yang diambilnya adalah pilihan paling tepat. "Dante Richardo, pria itu sudah tidak ada di sini, Belle?"Raisa, sepupu Isabelle, tiba-tiba berdiri di sebelah Isabelle. Isabelle segera menganggukkan kepala dan menoleh ke arah Raisa. "Sudah pergi. Kamu sembunyikan di mana Jeany?" tanyanya dengan tenang. Menyembunyikan gemetar di tubuhnya. "Di ruangan yang paling aman, bahkan jika Dante Richardo mencoba mencari lewat CCTV dan menjelajahi gedung ini, dia tidak akan bisa melihat di mana Jeany. Kamu ngin melihat? Ini, di sini," jawab Raisa seraya menunjukkan ponselnya pada Isabelle. Di layar ponsel itu terlihat Jeany yang sedang disekap dalam sebuah ruangan paling dalam di bangunan pencakar langit ini. Is
Raisa mengerutkan kening seperti sedang berpikir keras, lalu beberapa saat kemudian dia tersenyum cerah karena mendapatkan ide brilian. "Aku punya sesuatu yang menarik, Belle," ucapnya. "Aku pasrahkan padamu, Raisa. Cepat cari jalan keluar!" desak Isabelle tak sabar. "Begini, aku ada ide. Kamu segera suruh orang dan membawa ponsel milik Jeany ke tempat yang sangat jauh, begitu ada di pertengahan jalan, suruh mereka aktifkan lagi ponselnya. Dengan begitu Dante Richardo itu tidak akan kembali ke sini untuk sementara waktu dan benar-benar percaya kalau Jeany tidak sedang kita sekap. Pada jeda itu, aku akan mencuci otak Jeany agar dia pergi meninggalkan suaminya," ujar Raisa, menjelaskan rencananya. "Cuci otak? Kenapa tidak membunuhnya langsung aja, Raisa? Apa kamu juga terpesona dengan wanita lemah seperti dia? Tentu saja tidak, kan?" sahut Isabelle dengan ekspresi curiga saat mendengar bahwa bukannya menyingkirkan wanita itu secepatnya, Raisa malah berencana mencuci otaknya saja.
Telepon genggam Raisa berbunyi nyaring, seakan-akan mendukung daruratnya suasana, lampu merah di ruangan itu berkedip-kedip dan suara dari pengeras suara di pojok ruangan memecahkan keheningan. "DARURAT, DARURAT, KITA DISERANG!"Raisa yang mendengar itu mengerutkan kening dan segera menerima panggilan telepon di ponselnya. Segera suara nyaring Isabelle menyambut Raisa dan Jeany yang ada di dalam ruangan khusus itu. "RAISA! BAHAYA, DANTE SEPERTINYA SUDAH GILA, DIA MENYERANG MARKASKU DENGAN KEKUATAN PENUH! AKU SUDAH KABUR MELARIKAN DIRI, JEANY KUSERAHKAN PADAMU, CEPAT BUNUHLAH DIA!!"Setelah berteriak seperti itu, Isabelle langsung mematikan panggilan telepon. "Berengsek! Orang gila itu, dia tak mudah dimanipulasi!" geram Raisa saat mendengar kabar Richard yang menyerbu gedung ini sambil menggenggam tangannya erat-erat. Berbeda dengan Raisa yang panik dan marah, Jeany tersenyum lega saat mendengar itu. "Richard.... "Dia menyebutkan nama suaminya dengan haru, sedangkan Raisa, yang
"Berengsekkkk!!"Terdengar suara Richard mengumpat dengan sangat keras. "Cepat ke sini, aku kasih waktu 60 detik!" jawab Raisa dengan sedikit gugup setelah mendengar umpatan Richard. Setelah mengatakan hal itu, Richard buru-buru menutup panggilan telepon dan menunggu kedatangan Richard di atap sambil melipat tangannya di dada dan tersenyum penuh arti karena sebentar lagi, tujuan rahasianya melakukan semua ini akan tercapai. Tanpa diduga, Richard ternyata berhasil datang ke atap sebelum 60 detik, membuat Raisa bertepuk tangan untuknya. "Wow, gila. Kamu benar-benar datang sebelum 60 detik. Apa kamu ini manusia super?" puji Raisa dengan setengah tulus. "Jangan banyak bicara! Di mana istriku?!" teriak Richard dengan wajah memerah karena marah dan berlari ke arah Raisa seperti siap untuk membunuhnya. Raisa dengan ekspresi santai, mengarahkan pandangan ke atas di mana helikopter yang tadi dinaiki Jeany sudah lepas landas dan pengemudinya sudah turun menggunakan terjun payung, tanpa d
"Keukk....!!!"Raisa melotot kaget dengan cekikan dari Richard yang tiba-tiba, dia memegang tangan Richard dan mencakarnya dengan kuat saat merasakan cengkeraman tangan kekar Richard di lehernya semakin kuat sehingga Raisa tidak bisa bernapas. "Heukkkk!!!!"Raisa yang mulai kehilangan napas meronta-ronta tak terkendali dengan mata melotot lebar. Richard hanya memandang Raisa yang kini diambang kematian dengan ekspresi jijik. "Beraninya kamu mengatakan dari mulutmu yang kotor bahwa Jeany akan menjadi wanita simpanan. Kamu terlalu percaya diri, kamu belum tahu kekejamanku, hm? Aku bahkan tidak ragu membunuhmu sekarang juga," ucap Richard dengan suara dingin. "L-lepaskan!!!"Raisa berhasil berteriak saat cengkeraman Richard di lehernya sedikit melonggar. Richard hanya tersenyum sinis dan melepaskan cengkeramannya, membuat Raisa langsung jatuh terduduk dan terbatuk-batuk keras karena aliran udara di tenggorokan yang sempat tersumbat. Richard tanpa rasa bersalah sedikit pun, menyeka
Dalam waktu dekat, Richard kini sudah berada di depan tempat tinggal Isabelle yang mewah. "Halo, Sahabatku sayang. Tumben sekali kamu datang ke sini?" sapa Isabelle dengan senyum mengembang saat membukakan pintu untuk Richard yang datang ke tempat tinggalnya. Dia benar-benar bersikap seakan tak tahu apa yang sedang terjadi. Wanita itu, meski sudah menyaksikan lewat kamera yang dipasang Raisa di atap tentang bagaimana reaksi Richard ketika helikopter yang dinaiki Jeany meledak, tetap bersikap polos dan tak berdosa.Dia bahkan terlihat sangat puas dan merentangkan tangan dengan tanpa ragu, menyambut kedatangan Richard, mengira Richard ke sini untuk meminta bantuan padanya. "Kenapa kamu jauh-jauh datang ke sini, Dante? Apakah kamu perlu sesuatu yang membutuhkan campur tanganku?" tanya Isabelle dengan santai. Richard hanya tersenyum tipis melihat sambutan munafik dari Isabelle itu dan dengan sengaja melangkah mendekat sehingga Isabelle bisa memeluknya. "Oh, apakah kamu mengalami ha
"Sayang! Kyle, aku.. aku hamil!" Teriakan Luana di pagi hari membuat Kyle seketika terbangun dari tidurnya. Dia menyibak selimut dan berlari ke kamar mandi di mana Luana sedang terduduk di lantai kamar mandi sambil memegang test pack di tangannya dengan tubuh gemetar. Sedang satu tangan yang lain menutup mulut dengan pipi yang basah oleh air mata. "Apa tadi yang kamu bilang, Luna?" Luana mendongak, menatap suaminya tersebut dengan mata berkaca-kaca dan menyodorkan test pack yang sedari tadi dia pegang. "Aku... aku hamil, hasilnya positif" ucap Luana dengan bibir bergetar. Haru, bahagia dan masih tak percaya memenuhi ekspresi wajahnya. Kyle melihat tanda positif di benda ramping warna putih tersebut, matanya terbelalak lebar dan langsung ikut terduduk, memeluk sang istri tercinta. "Akhirnya, akhirnya, ya, Lun. Akhirnya kita benar-benar akan menjadi orang tua." Kyle memeluk erat istrinya yang terisak-isak, ini mungkin pagi paling bahagia selama masa pernikahan merek
Raphael mengucap hal itu dengan acuh tak acuh, tapi langsung menembus hati Kyle. Kyle menyugar rambutnya dengan ekspresi lelah dan bertanya, "Memangnya kabar baik apa yang kau bawa, Pak Tua? Jangan hanya memberiku harapan palsu," ancamnya. Jiwa Kyle saat ini sedang lelah sehingga dia tidak akan mentolerir apa pun yang membuat dirinya tak puas. Raphael memandang Kyle dengan ekspresi tenang, melanjutkan ucapannya. "Aku menemukan cara agar Luana bisa hamil, dan aku berani memastikan bahwa kehamilan ini tidak akan mengancam nyawanya sama sekali. Kau tak perlu takut ditinggal olehnya setelah dia melahirkan, seperti nasib ibumu. Hal itu tidak akan terjadi." Ucapan Raphael membuat Kyle membelalakkan matanya. "Sungguh? Bagaimana caranya?" Ada setitik harapan di mata Kyle saat mendengar ucapan Raphael tersebut, meski hatinya masih diliputi rasa was-was. Benarkah... benarkah ada cara seperti itu? Luana bisa hamil, mereka berdua akhirnya mempunyai buah hati tanpa perlu sya
Rion sadar bahwa penuturannya tersebut bisa diartikan berbeda oleh Kyle, karena itu Rion pun buru-buru melanjutkan ucapannya. "Memang saat menghadapi ini secara langsung seperti ini, rasanya sangat berat, tapi setiap mengingat bahwa ini adalah pilihannya dan keputusan Leanna, saya merasa sedikit kuat, Tuan Muda. Apalagi saat dia berjanji bahwa akan terbangun suatu hari nanti, saat putra kami beranjak dewasa dan mulai bisa mengendalikan kekuatan yang diturunkan Leanna. Saya... saya merasa memegang sebuah harapan." Rion mengatakan hal itu dengan suara lirih tapi penuh tekad. Yah, meskipun jarang sekali orang dari golongan mereka yang selamat dari kematian setelah melahirkan seorang keturunan, tapi Rion merasa bahwa Leanna akan bisa kembali lagi padanya, terbangun dari koma dan hidup bersama dengannya sampai tua karena Leanna agak berbeda dengan keturunan vampir lainnya. "Ah, karena kekuatan penyembuhan yang dimiliki Leanna dan kekuatan itu... kini berpindah ke putramu?" Pertan
Mendengar kabar bahwa Leanna koma, Kyle segera memacu mobilnya menuju rumah sakit tempat Leanna melahirkan. Luana duduk di kursi penumpang dengan wajah pucat, tubuh gemetar, dan napas memburu seperti orang kehilangan arah. "Kenapa? Kenapa dia bisa koma? Aku selalu ikut dia kontrol selama ini… cuma bulan ini aku nggak ikut… sejauh ini semuanya baik-baik saja, bahkan dokter bilang dia bisa melahirkan normal!" racau Luana, suaranya nyaris tak terdengar karena tercekat isak. Sebagai seseorang yang tak pernah memiliki saudara perempuan kandung, Luana sudah lama menganggap Leanna seperti saudari sejatinya—bahkan lebih. Maka kabar ini benar-benar menghantamnya tanpa ampun. Dunia di sekitarnya seakan kehilangan warna. Jalanan yang mereka lewati terlihat samar, berputar dalam pandangan yang buram karena air mata yang terus mengalir deras. Ujung-ujung jarinya terasa dingin, tubuhnya mati rasa, dan bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, menahan kepanikan yang menggerogoti dirinya dari dalam. "
"Jamie, sini. Om Kyle datang, Sayang."Jia memanggil Jamie yang sampai saat Luana dan Kyle kembali dari ruangan Jia, anak kecil itu masih asyik di depan komputer. Kini jemari tangannya lincah menari di atas keyboard dengan kedua telinga tersumpal earphone besar.Jamie melepas earphone di telinganya dan turun dari kursi, lalu berjalan mendekat ke arah Kyle yang kini duduk berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya."Hai, Oom. Ke sini sama siapa?"Jamie kembali membuat Luana tercengang karena bicaranya yang sudah fasih dan tidak cadel di usia tiga tahun. Benar-benar seperti melihat langsung the amazing child. Kyle mengangkat telapak tangan dan melakukan tos dengan Jamie, mereka terlihat akrab satu sama lain. Sepertinya Kyle lebih sering ke sini melebihi dugaan Luana. Ia menyesal kenapa tak mengenal Jamie lebih dulu sebelumnya."Sama istriku, nih."Luana ikut duduk jongkok di samping Kyle dan mengangkat tangan untuk mengajak Jamie ber-tos ria. Namun, anak kecil itu mengabaikan Luan
Luana, yang kini berdiri di samping Kyle dengan tangan memeluk lengan sang suami, bertanya seraya menatap lurus kepada Jeremy, putra Lucas yang kabarnya masih berusia tiga tahun. "Ya, dia merayakan ulang tahun ketiganya beberapa bulan lalu," jawab Kyle santai, berbeda dengan Luana yang terus menerus memandang Jamie—panggilan Jeremy—dengan mata terbuka lebar. Pasalnya, apa yang dilihat oleh Luana ini benar-benar tak umum bagi anak laki-laki berusia tiga tahun seperti Jamie. Saat ini, yang berada di depan Luana bukanlah seorang anak kecil imut yang berlarian ke sana kemari dengan membawa mainan di tangan. Namun, seorang anak kecil yang tampak sibuk di depan sebuah layar komputer besar, bersama orang-orang dewasa di sekitarnya. Dia sungguh tidak seperti anak kecil, tapi seperti orang dewasa yang terjebak di tubuh anak kecil! Lihat saja ekspresi seriusnya tersebut ketika sedang berhadapan dengan komputer—benar-benar luar biasa. Dia bahkan tak menoleh sama sekali atas keda
"Hmmm, maafkan aku, ya, Luana. Maaf kalau aku masih menjadi suami yang buruk." Kyle mengatakan hal itu dengan serius, meski tak berani mengakui kebenaran, tapi dia tetap bersungguh-sungguh untuk meminta maaf. "Aku juga minta maaf karena belum bisa memberi dirimu anak." Luana segera menggeleng dan mengatakan itu bukan masalah besar baginya, jadi Kyle tak perlu memikirkannya terlalu berlebihan. Tiba-tiba Kyle ingat sesuatu. "Ah, bicara tentang anak... bagaimana kalau kamu mengadopsi anak, Luana? Di perusahaan keamanan milik Zeus yang dipimpin oleh Jia, kemarin ada salah satu anggotanya yang merupakan suami istri dan keduanya meninggal dalam misi. Mereka meninggalkan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun. Saat ini dia tinggal di gedung organisasi dan dirawat bersama oleh para anggota karena sudah seperti anak mereka sendiri. Apakah kamu mau mengadopsinya?" Kyle tiba-tiba teringat putra Lucas, kakak angkatnya yang meninggal dalam misi beberapa waktu lalu. Kyle da
"Kyle, Kyle." Luana mengguncang pelan tubuh sang suami yang tidur miring di sebelahnya, sementara itu kedua netranya sudah basah oleh air mata. "Kyle, bangun." Kali ini dia mengguncang agak keras karena suaminya tersebut tidak segera membuka mata, sepertinya dia tidur terlalu lelap, sedang saat ini Luana benar-benar butuh dirinya. "Kyle!" Luana akhirnya berteriak. Kyle yang kaget karena ada yang memanggil dirinya dengan keras, langsung terbangun sampai terduduk. Dia menoleh ke samping dan mendapati istrinya sedang duduk dengan pipi basah oleh air mata. "Luana? Ada apa?" Wajah Kyle seketika panik, dia menyentuh pundak gadis itu dan menggoyangkannya. "Ada apa, Sayang? Kenapa kamu menangis?" tanyanya, lalu meraih Luana ke dalam pelukan. Kyle melirik jam di dinding, masih pukul tiga dini hari. Kenapa istrinya menangis di jam seperti ini? Luana yang berada di pelukan Kyle, menangis sampai bahunya naik turun. "Kyle...." "Iya, ada apa? Bilang padaku, Sayang. Ada ap
"Bagaimana menurutmu, Pak Tua?" Kyle yang akhirnya sadar bahwa dia tidak ada bedanya dengan sang ayah, yang memaksakan kehendak kepada orang lain demi kebahagiaan pribadinya, menemui Raphael untuk mengusahakan Luana agar bisa hamil. Dia sudah bertekad untuk melakukan apa pun agar istrinya tersebut bisa hamil. Kyle ingin melihat senyum bahagia di bibir perempuan yang sangat dicintainya tersebut, meski risiko yang harus dihadapi olehnya jika membiarkan Luana hamil adalah kematian sang istri. Kyle dengan sengaja tidak membagikan kerisauan yang terus mengganggu dirinya tersebut kepada Luana. Biarlah Luana hanya tahu kabar yang baik-baik saja. Dan, tujuannya untuk menemui Raphael kali ini adalah untuk meminta pendapat kepada vampir yang juga seorang dokter tersebut bagaimana cara agar Luana bisa hamil, tapi nyawanya tetap bisa selamat. Raphael menyanggupi permintaan Kyle dan datang ke dunia manusia untuk menemui Luana, setelah sekian puluh tahun vampir tua tersebut tak menginjakka