"Dia tidak akan serius, kan?" gumam Isabelle saat Richard sudah benar-benar pergi. Isabelle yang tak tahu bahwa dia telah menyalakan api yang akan membakar tubuhnya sendiri, menggangguk dengan ekspresi yakin bahwa Richard hanya sedang mengancam saja. Dia juga sangat yakin jika pilihan yang diambilnya adalah pilihan paling tepat. "Dante Richardo, pria itu sudah tidak ada di sini, Belle?"Raisa, sepupu Isabelle, tiba-tiba berdiri di sebelah Isabelle. Isabelle segera menganggukkan kepala dan menoleh ke arah Raisa. "Sudah pergi. Kamu sembunyikan di mana Jeany?" tanyanya dengan tenang. Menyembunyikan gemetar di tubuhnya. "Di ruangan yang paling aman, bahkan jika Dante Richardo mencoba mencari lewat CCTV dan menjelajahi gedung ini, dia tidak akan bisa melihat di mana Jeany. Kamu ngin melihat? Ini, di sini," jawab Raisa seraya menunjukkan ponselnya pada Isabelle. Di layar ponsel itu terlihat Jeany yang sedang disekap dalam sebuah ruangan paling dalam di bangunan pencakar langit ini. Is
Raisa mengerutkan kening seperti sedang berpikir keras, lalu beberapa saat kemudian dia tersenyum cerah karena mendapatkan ide brilian. "Aku punya sesuatu yang menarik, Belle," ucapnya. "Aku pasrahkan padamu, Raisa. Cepat cari jalan keluar!" desak Isabelle tak sabar. "Begini, aku ada ide. Kamu segera suruh orang dan membawa ponsel milik Jeany ke tempat yang sangat jauh, begitu ada di pertengahan jalan, suruh mereka aktifkan lagi ponselnya. Dengan begitu Dante Richardo itu tidak akan kembali ke sini untuk sementara waktu dan benar-benar percaya kalau Jeany tidak sedang kita sekap. Pada jeda itu, aku akan mencuci otak Jeany agar dia pergi meninggalkan suaminya," ujar Raisa, menjelaskan rencananya. "Cuci otak? Kenapa tidak membunuhnya langsung aja, Raisa? Apa kamu juga terpesona dengan wanita lemah seperti dia? Tentu saja tidak, kan?" sahut Isabelle dengan ekspresi curiga saat mendengar bahwa bukannya menyingkirkan wanita itu secepatnya, Raisa malah berencana mencuci otaknya saja.
Telepon genggam Raisa berbunyi nyaring, seakan-akan mendukung daruratnya suasana, lampu merah di ruangan itu berkedip-kedip dan suara dari pengeras suara di pojok ruangan memecahkan keheningan. "DARURAT, DARURAT, KITA DISERANG!"Raisa yang mendengar itu mengerutkan kening dan segera menerima panggilan telepon di ponselnya. Segera suara nyaring Isabelle menyambut Raisa dan Jeany yang ada di dalam ruangan khusus itu. "RAISA! BAHAYA, DANTE SEPERTINYA SUDAH GILA, DIA MENYERANG MARKASKU DENGAN KEKUATAN PENUH! AKU SUDAH KABUR MELARIKAN DIRI, JEANY KUSERAHKAN PADAMU, CEPAT BUNUHLAH DIA!!"Setelah berteriak seperti itu, Isabelle langsung mematikan panggilan telepon. "Berengsek! Orang gila itu, dia tak mudah dimanipulasi!" geram Raisa saat mendengar kabar Richard yang menyerbu gedung ini sambil menggenggam tangannya erat-erat. Berbeda dengan Raisa yang panik dan marah, Jeany tersenyum lega saat mendengar itu. "Richard.... "Dia menyebutkan nama suaminya dengan haru, sedangkan Raisa, yang
"Berengsekkkk!!"Terdengar suara Richard mengumpat dengan sangat keras. "Cepat ke sini, aku kasih waktu 60 detik!" jawab Raisa dengan sedikit gugup setelah mendengar umpatan Richard. Setelah mengatakan hal itu, Richard buru-buru menutup panggilan telepon dan menunggu kedatangan Richard di atap sambil melipat tangannya di dada dan tersenyum penuh arti karena sebentar lagi, tujuan rahasianya melakukan semua ini akan tercapai. Tanpa diduga, Richard ternyata berhasil datang ke atap sebelum 60 detik, membuat Raisa bertepuk tangan untuknya. "Wow, gila. Kamu benar-benar datang sebelum 60 detik. Apa kamu ini manusia super?" puji Raisa dengan setengah tulus. "Jangan banyak bicara! Di mana istriku?!" teriak Richard dengan wajah memerah karena marah dan berlari ke arah Raisa seperti siap untuk membunuhnya. Raisa dengan ekspresi santai, mengarahkan pandangan ke atas di mana helikopter yang tadi dinaiki Jeany sudah lepas landas dan pengemudinya sudah turun menggunakan terjun payung, tanpa d
"Keukk....!!!"Raisa melotot kaget dengan cekikan dari Richard yang tiba-tiba, dia memegang tangan Richard dan mencakarnya dengan kuat saat merasakan cengkeraman tangan kekar Richard di lehernya semakin kuat sehingga Raisa tidak bisa bernapas. "Heukkkk!!!!"Raisa yang mulai kehilangan napas meronta-ronta tak terkendali dengan mata melotot lebar. Richard hanya memandang Raisa yang kini diambang kematian dengan ekspresi jijik. "Beraninya kamu mengatakan dari mulutmu yang kotor bahwa Jeany akan menjadi wanita simpanan. Kamu terlalu percaya diri, kamu belum tahu kekejamanku, hm? Aku bahkan tidak ragu membunuhmu sekarang juga," ucap Richard dengan suara dingin. "L-lepaskan!!!"Raisa berhasil berteriak saat cengkeraman Richard di lehernya sedikit melonggar. Richard hanya tersenyum sinis dan melepaskan cengkeramannya, membuat Raisa langsung jatuh terduduk dan terbatuk-batuk keras karena aliran udara di tenggorokan yang sempat tersumbat. Richard tanpa rasa bersalah sedikit pun, menyeka
Dalam waktu dekat, Richard kini sudah berada di depan tempat tinggal Isabelle yang mewah. "Halo, Sahabatku sayang. Tumben sekali kamu datang ke sini?" sapa Isabelle dengan senyum mengembang saat membukakan pintu untuk Richard yang datang ke tempat tinggalnya. Dia benar-benar bersikap seakan tak tahu apa yang sedang terjadi. Wanita itu, meski sudah menyaksikan lewat kamera yang dipasang Raisa di atap tentang bagaimana reaksi Richard ketika helikopter yang dinaiki Jeany meledak, tetap bersikap polos dan tak berdosa.Dia bahkan terlihat sangat puas dan merentangkan tangan dengan tanpa ragu, menyambut kedatangan Richard, mengira Richard ke sini untuk meminta bantuan padanya. "Kenapa kamu jauh-jauh datang ke sini, Dante? Apakah kamu perlu sesuatu yang membutuhkan campur tanganku?" tanya Isabelle dengan santai. Richard hanya tersenyum tipis melihat sambutan munafik dari Isabelle itu dan dengan sengaja melangkah mendekat sehingga Isabelle bisa memeluknya. "Oh, apakah kamu mengalami ha
Beberapa saat kemudian, setelah pingsan cukup lama, Isabelle akhirnya sadar dan memandang sekeliling yang gelap. "Aku... aku di mana?" tanyanya lemah dengan suara panik. Saat ini tubuhnya terikat di sebuah ranjang besi yang sangat cocok untuk penjagalan, sambil menahan sakit di punggung atas, Isabelle dengan panik melihat sekeliling. Richard yang tampaknya dari tadi sudah di ruangan itu dan menunggu sadarnya wanita itu, menyahut dengan sinis. "Kenapa kamu masih bertanya, Isabelle? Kamu lah yang dulu memberi ide padaku untuk membangun lantai bawah tanah ini. Tempat yang sangat pantas untuk tempat tinggal baru musuh-musuhku."Mendengar jawaban Richard, Isabelle seketika mendelik ketakutan. "INI... PENJARA LANTAI BAWAH TANAH MILIKMU?!"Raut muka Isabelle seketika pucat pasi saat menyebutkan nama penjara paling kejam yang diciptakan Richard untuk menghukum orang-orang yang menentang atau berkhianat pada dirinya. Munculnya penjara ini adalah ide dari Isabelle saat dia masih menjadi
Kini Isabelle yang sudah mendapatkan tindakan medis dari Luke untuk menghentikan pendarahan dan hanya memiliki satu lengan, didudukkan Richard di sebuah kursi dengan badan dan kaki terikat. Isabelle sudah pingsan berkali-kali karena tak bisa menahan sakit saat Luke menangani lukanya hanya dengan anestesi ringan, tapi wanita itu belum juga mati. Richard malah bersyukur dia tidak mati dengan mudah sehingga Richard bisa memuaskan balas dendamnya. Kini mereka berdua berada di ruangan yang lebih bersih dari ruangan pertama. Ruangan itu luas dengan dikelilingi dinding dan pintu besi yang mencegah siapa pun melarikan diri dari ruangan ini, ada kaca tebal tembus pandang di bagian depan. Ruangan ini bernama ruang mediasi, biasanya digunakan oleh Richard untuk mengurung seseorang tanpa makan dan minum sambil mengamati dirinya sampai mati kelaparan. Isabelle yang merasa lelah serta kesakitan jiwa dan raga, bertanya kepada Richard dengan ekspresi putus asa. "Dante, kenapa... kenapa kamu me