Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus tirai jendela kamar. Alea duduk di ranjang dengan punggung bersandar pada bantal. Wajahnya masih pucat, tetapi ada sedikit warna di pipinya yang mulai kembali. Arka masuk membawa nampan sarapan, menatap Alea dengan senyum lembut. “Selamat pagi,” ujar Arka sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku bikin bubur, nggak terlalu enak sih, tapi lumayan lah daripada kamu nggak makan.” Alea tersenyum kecil, meski lelah terlihat jelas di matanya. “Terima kasih, Mas.” Arka duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Alea. “Al, aku tahu aku nggak bisa selalu ada di sini buat jagain kamu. Makanya, aku sudah cari seseorang buat bantuin kamu di rumah. Kamu nggak perlu ngelakuin semuanya sendiri.” Alea mengerutkan dahi. “Seseorang? Maksudnya, asisten rumah tangga?” “Iya,” jawab Arka. “Namanya Bu Ratna. Aku sudah ngobrol sama dia, dan dia kelihatan bisa dipercaya. Aku nggak mau kamu kecapekan, apalagi sekarang kamu masih bu
Di kamar rumah, Alea duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang memamerkan langit mendung di luar. Awan gelap menggantung seperti perasaannya saat ini.Segala sesuatu terasa berat, perasaan kehilangan bayi yang belum sempat ia lihat, kecelakaan yang membuat tubuhnya lemah, dan misteri pesan serta foto yang tak henti-hentinya membayangi pikirannya. Alea memejamkan matanya sejenak, mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa sakit di dadanya tetap tak mau hilang. Kenangan tentang bayinya terus menghantuinya. Ia mencoba tegar, tetapi setiap kali ia mengingat detik-detik sebelum kecelakaan itu terjadi, perasaan bersalah dan kehilangan melumpuhkannya. Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar di luar pintu. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Raka masuk dengan wajah ceria. Di belakangnya, Nyonya Kartika mengikuti dengan senyum lembut. "Bunda!" Raka berlari kecil ke arah Alea, membawa keceriaan yang begitu kontras dengan suasana hati ibunya. Alea berusaha tersenyum, meskipun h
Arka berdiri membeku di taman yang sepi. Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi ia bahkan tidak merasakannya. Kata-kata Dina terus terngiang di telinganya. "Aku yang melakukannya! Aku yang mengirim pesan dan foto itu." Suara penuh emosi itu berulang-ulang menggema di pikirannya, mengiris kepercayaannya yang selama ini ia pertahankan.Langkah kakinya terasa berat ketika ia berjalan meninggalkan Dina dan Randy, membiarkan mereka berdua di taman. Dadanya sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit napasnya. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi satu hal jelas di pikirannya: ia butuh waktu untuk berpikir sebelum menghadapi Alea.Di ruang rapat yang kini sepi, Arka berdiri dengan kedua tangan mencengkeram meja panjang. Napasnya terdengar berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena emosi yang bergejolak dalam dirinya. Dina, kenapa kamu melakukan ini? pertanyaan itu berulang kali terlintas di benaknya, tetapi tidak ada jawaban yang memuaskan.Ponselnya tiba-tiba bergetar di saku
Sejak insiden di taman sebulan yang lalu, Arka merasa harus mengambil langkah tegas. Ia memutuskan untuk menjaga jarak sejauh mungkin dari Dina. Setiap kali ada rapat atau pertemuan yang melibatkan mereka berdua, Arka selalu mencari alasan untuk menghindarinya.Ia bahkan meminta Randy menjadi perantara jika ada hal penting yang memerlukan komunikasi dengan Dina. Semua ini ia lakukan demi satu hal, melindungi Alea dan membangun kembali kepercayaannya.Di rumah, Alea perlahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meski rasa sakit di hatinya belum sepenuhnya hilang. Kehadiran Raka menjadi penyemangat terbesar bagi Alea, memberikan keceriaan di tengah duka yang belum sepenuhnya sirna. Namun, Arka tahu bahwa ia juga harus memberikan waktu untuk dirinya sendiri agar dapat melindungi keluarganya lebih baik.Langit malam di luar rumah terlihat gelap, hanya diterangi sedikit cahaya bulan yang temaram. Alea duduk di ruang tamu dengan selimut yang melingkari tubuhnya. Di sebelahnya, Arka sedang mem
Pesawat yang membawa rombongan tim proyek di udara. Di dalam kabin, suasana terasa formal dan sedikit kaku.Arka duduk di dekat jendela, menatap ke luar, tetapi pikirannya tidak berada di sana. Ia mencoba fokus pada presentasi yang akan ia berikan di lokasi proyek nanti, tetapi bayang-bayang dari percakapan terakhirnya dengan Randy terus mengusik pikirannya. Dina duduk di beberapa baris belakang, sibuk dengan laptopnya. Wajahnya tampak tenang, tetapi Arka tahu lebih baik daripada mempercayai penampilannya yang selalu terlihat tak terganggu. Sementara itu, Randy yang duduk di sebelah Arka sibuk membaca dokumen di tabletnya, tetapi sesekali melirik Arka, seolah mencoba memastikan keadaan temannya. “Ka,” panggil Randy dengan nada rendah agar tidak menarik perhatian orang lain. “Kamu yakin bisa menangani Dina di perjalanan ini? Kita nggak tahu apa yang dia rencanakan.” Arka menghela napas panjang, berusaha meredakan ketegangan dalam dirinya. “Aku harus bisa, Ran. Aku nggak mau dia t
Pagi itu, Arka dan Randy bertemu di ruang makan hotel untuk sarapan. Dina belum terlihat, tetapi kehadirannya masih membayangi pembicaraan mereka. “Kopi di sini nggak seberapa enak, ya?” Randy mencoba mencairkan suasana. Arka tersenyum tipis sambil mengaduk kopinya. “Ya, tapi setidaknya cukup untuk bikin melek.” “Rencana hari ini apa, Arka?” tanya Randy sambil menyeruput kopi, mencoba membuka percakapan. Arka menghela napas ringan sebelum menjawab. “Cek lokasi proyek. Kalau bisa, aku mau sebisa mungkin menghindari Dina. Kalau kamu sendiri?” Randy meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku ada meeting sama bos. Katanya ada revisi untuk aplikasi, jadi harus aku cek.” Arka mengangguk pelan sambil meraih sepotong roti. “Semoga meeting-nya lancar. Proyek ini sudah terlalu banyak drama, aku nggak sabar semuanya selesai.” Randy tersenyum kecil, meski ekspresinya menunjukkan bahwa ia masih memikirkan banyak hal. “Ya, aku juga. Semoga setelah ini semuanya kembali tenang.” Arka ha
Keesokan harinya, sehari sebelum kepulangannya, Arka merasa lega karena tugasnya di luar kota hampir selesai. Ia menelepon Alea saat istirahat siang, memberitahukan kabar baik itu. “Sayang, Mas pulang besok. Kamu dan Raka siap-siap, ya. Mas kangen banget,” ucap Arka dengan suara hangat. Di ujung telepon, Alea tersenyum, meskipun hatinya masih menyimpan keraguan yang ia pendam beberapa hari terakhir. “Raka pasti senang banget dengar kabar ini. Kami juga kangen, Mas. Cepat pulang, ya,” jawabnya lembut. Percakapan mereka mengalir hangat meskipun tidak berlangsung lama. Arka kembali sibuk dengan pekerjaannya, dan Alea kembali pada rutinitas hariannya di rumah. Namun, di sela-sela kegembiraan akan kepulangan Arka, Alea tidak bisa sepenuhnya menyingkirkan rasa aneh yang terus menghantui pikirannya. --- Di kota tempat Arka bertugas, suasana mulai beranjak ceria ketika tim proyek mereka memutuskan untuk mengadakan makan malam perayaan. Restoran yang dipilih adalah salah satu tempat
Dina membuka pintu kamarnya dengan cepat, lalu membawa Arka masuk dan menutup pintu di belakang mereka dengan satu gerakan halus. Dina meletakkan tangan di bahu Arka, membimbingnya untuk duduk di tepi ranjang dengan penuh perhatian, sementara matanya memancarkan niat yang lebih dari sekadar perhatian biasa. Dina menutup pintu kamar dengan satu gerakan halus. Setelah memastikan Arka duduk di tepi ranjang, ia membuka jas pria itu dengan gerakan tegas, lalu berlutut untuk melepas sepatunya. Setiap gerakannya terukur, penuh perhatian, namun menyiratkan intensi yang lebih dalam. "Din ... aku mau istirahat," gumam Arka, tubuhnya condong ke depan. "Aku tahu," jawab Dina dengan nada lembut. "Aku cuma mau kamu nyaman dulu." Tangannya menyentuh leher Arka, melonggarkan dasi dengan gerakan perlahan, membiarkan jemarinya berlama-lama di kulit leher pria itu. "Din ... kenapa ... " Arka mencoba berbicara, tetapi suaranya tenggelam oleh desahan kecil yang keluar tanpa sadar saat Dina meny
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam