Home / Rumah Tangga / Terpenjara Dalam Kesetiaan / Bab 115: Jejak yang Mulai Terbuka

Share

Bab 115: Jejak yang Mulai Terbuka

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-01-09 14:26:55

Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus tirai jendela kamar. Alea duduk di ranjang dengan punggung bersandar pada bantal. Wajahnya masih pucat, tetapi ada sedikit warna di pipinya yang mulai kembali. Arka masuk membawa nampan sarapan, menatap Alea dengan senyum lembut.

“Selamat pagi,” ujar Arka sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku bikin bubur, nggak terlalu enak sih, tapi lumayan lah daripada kamu nggak makan.”

Alea tersenyum kecil, meski lelah terlihat jelas di matanya. “Terima kasih, Mas.”

Arka duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Alea. “Al, aku tahu aku nggak bisa selalu ada di sini buat jagain kamu. Makanya, aku sudah cari seseorang buat bantuin kamu di rumah. Kamu nggak perlu ngelakuin semuanya sendiri.”

Alea mengerutkan dahi. “Seseorang? Maksudnya, asisten rumah tangga?”

“Iya,” jawab Arka. “Namanya Bu Ratna. Aku sudah ngobrol sama dia, dan dia kelihatan bisa dipercaya. Aku nggak mau kamu kecapekan, apalagi sekarang kamu masih bu
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 116: Kebenaran yang Menghancurkan

    Di kamar rumah, Alea duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang memamerkan langit mendung di luar. Awan gelap menggantung seperti perasaannya saat ini.Segala sesuatu terasa berat, perasaan kehilangan bayi yang belum sempat ia lihat, kecelakaan yang membuat tubuhnya lemah, dan misteri pesan serta foto yang tak henti-hentinya membayangi pikirannya. Alea memejamkan matanya sejenak, mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa sakit di dadanya tetap tak mau hilang. Kenangan tentang bayinya terus menghantuinya. Ia mencoba tegar, tetapi setiap kali ia mengingat detik-detik sebelum kecelakaan itu terjadi, perasaan bersalah dan kehilangan melumpuhkannya. Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar di luar pintu. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Raka masuk dengan wajah ceria. Di belakangnya, Nyonya Kartika mengikuti dengan senyum lembut. "Bunda!" Raka berlari kecil ke arah Alea, membawa keceriaan yang begitu kontras dengan suasana hati ibunya. Alea berusaha tersenyum, meskipun h

    Last Updated : 2025-01-09
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 1 : Luka yang Tak Terucap

    Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara

    Last Updated : 2024-11-25
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 2: Bayangan Masa Lalu

    Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or

    Last Updated : 2024-11-25
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 3: Pertemuan yang Tak Terduga

    Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke

    Last Updated : 2024-11-25
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 4: Mencari Arti yang Hilang

    Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand

    Last Updated : 2024-11-25
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 5: Pecahan yang Belum Tersusun

    Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b

    Last Updated : 2024-11-25
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 6 : Yang Tertinggal

    Pagi itu, Arka merasa lebih lelah dari biasanya. Meskipun semalam mereka sudah berbicara dengan cukup terbuka, hatinya tetap terasa berat.Percakapan itu memberikan secercah harapan, tapi juga menambah keraguan yang sulit diungkapkan. Arka merasa bingung, apakah dia benar-benar bisa memperbaiki semuanya dengan Alea, atau apakah kata-kata itu hanya sekedar pelipur lara sementara.Setelah sarapan, Arka berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar. Ada banyak hal yang masih belum terselesaikan, banyak pertanyaan yang belum terjawab.Apakah dia bisa kembali membuka hatinya untuk Alea? Apakah mereka bisa menemukan kembali kebahagiaan yang dulu mereka miliki, atau perasaan itu sudah terlalu jauh menghilang?Setibanya di kantor, Arka berusaha untuk fokus pada pekerjaan, tetapi pikirannya tetap mengembara. Setiap kali matanya melintas pada layar komputer, dia merasakan ketegangan yang sama.Dia ingin memperbaiki hubungan mereka, tapi perasaan itu sulit untuk diungkapka

    Last Updated : 2024-11-27
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 7: Persimpangan Jalan

    Alea memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong.Pesan dari Arka yang baru saja masuk terasa berat, namun juga memberikan secercah harapan. "Jangan pergi terlalu jauh ya, Al? Agar ketika kamu pergi, aku bisa dengan mudah menemukan kamu."Pesan itu sederhana, namun penuh makna. Alea merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat membaca kalimat itu.Ada kehangatan yang terasa, namun di sisi lain, keraguan tetap membayangi dirinya. Mereka sudah berbicara panjang lebar semalam, mencoba merajut kembali hubungan yang terkoyak. Tetapi apakah kata-kata Arka itu cukup untuk memulai semuanya lagi?Alea menggigit bibir bawahnya, memikirkan setiap kalimat yang akan ia balas. “Mas, aku juga ingin kita memperbaiki semuanya. Tapi aku juga takut kalau aku terlalu berharap, nanti malah kecewa lagi.”Namun, saat jemarinya mulai mengetik balasan, ia terhenti sejenak. Hatinya diliputi perasaan campur aduk, antara ingin percaya dan takut terluka lagi. Akhirnya, ia hanya mengirimkan satu kalimat singkat

    Last Updated : 2024-11-27

Latest chapter

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 116: Kebenaran yang Menghancurkan

    Di kamar rumah, Alea duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang memamerkan langit mendung di luar. Awan gelap menggantung seperti perasaannya saat ini.Segala sesuatu terasa berat, perasaan kehilangan bayi yang belum sempat ia lihat, kecelakaan yang membuat tubuhnya lemah, dan misteri pesan serta foto yang tak henti-hentinya membayangi pikirannya. Alea memejamkan matanya sejenak, mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa sakit di dadanya tetap tak mau hilang. Kenangan tentang bayinya terus menghantuinya. Ia mencoba tegar, tetapi setiap kali ia mengingat detik-detik sebelum kecelakaan itu terjadi, perasaan bersalah dan kehilangan melumpuhkannya. Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar di luar pintu. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Raka masuk dengan wajah ceria. Di belakangnya, Nyonya Kartika mengikuti dengan senyum lembut. "Bunda!" Raka berlari kecil ke arah Alea, membawa keceriaan yang begitu kontras dengan suasana hati ibunya. Alea berusaha tersenyum, meskipun h

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 115: Jejak yang Mulai Terbuka

    Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus tirai jendela kamar. Alea duduk di ranjang dengan punggung bersandar pada bantal. Wajahnya masih pucat, tetapi ada sedikit warna di pipinya yang mulai kembali. Arka masuk membawa nampan sarapan, menatap Alea dengan senyum lembut. “Selamat pagi,” ujar Arka sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku bikin bubur, nggak terlalu enak sih, tapi lumayan lah daripada kamu nggak makan.” Alea tersenyum kecil, meski lelah terlihat jelas di matanya. “Terima kasih, Mas.” Arka duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Alea. “Al, aku tahu aku nggak bisa selalu ada di sini buat jagain kamu. Makanya, aku sudah cari seseorang buat bantuin kamu di rumah. Kamu nggak perlu ngelakuin semuanya sendiri.” Alea mengerutkan dahi. “Seseorang? Maksudnya, asisten rumah tangga?” “Iya,” jawab Arka. “Namanya Bu Ratna. Aku sudah ngobrol sama dia, dan dia kelihatan bisa dipercaya. Aku nggak mau kamu kecapekan, apalagi sekarang kamu masih bu

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 114: Kembali Pulang, Awal Baru

    Setelah beberapa hari yang penuh keputusasaan, kondisi Alea akhirnya mulai membaik. Perlahan, ia mulai menerima kenyataan yang begitu pahit dan tak terelakkan. Hari demi hari, rasa sakit fisik yang mendera tubuhnya mulai menghilang, namun luka di dalam hati masih terasa begitu dalam, menuntut waktu untuk sembuh.Alea tahu bahwa proses ini tak mudah, dan meski luka itu tak bisa terhapus, ia mulai merasa sedikit lebih kuat. Dengan dukungan dari orang-orang yang mencintainya, terutama Arka, ia perlahan menemukan kembali dirinya.Hari ini adalah hari yang telah ia tunggu-tunggu. Hari kepulangan dari rumah sakit. Rasa campur aduk memenuhi dadanya, di satu sisi, ia merasa lega bisa keluar dari tempat ini, tapi di sisi lain, ada ketakutan yang menggigit di dalam dirinya. Bagaimana rasanya kembali ke rumah? Apakah ia bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya, ataukah semuanya akan berubah?Arka, seperti biasa, tak pernah meninggalkannya. Ia selalu ada, menjadi tiang penyangga yang kuat di t

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 113 : Jarak yang Terlalu Jauh

    Waktu seakan terhenti. Semua suara, semua gerakan, menjadi hampa, menghilang dalam kesunyian yang mencekam. Mata Alea membelalak lebar, terkejut dan bingung, tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja Arka ucapkan. Ia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna kebenaran yang datang begitu tiba-tiba. Tetapi kenyataan itu terlalu pahit untuk diterima.Air mata mulai mengalir, tak bisa lagi dibendung. Hatinya robek, tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hancurnya dia saat itu.Alea, dengan suara gemetar, hampir berbisik.“Tidak … itu tidak mungkin. Kamu pasti salah. Dia baik-baik saja, kan? Aku masih bisa merasakannya waktu itu … Aku masih …”Arka memotongnya dengan suara yang pecah karena tangis, “maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mencoba … Aku berdoa setiap saat, berharap keajaiban … tapi kecelakaannya terlalu parah. Dokter bilang tidak ada yang bisa dilakukan…”Alea menggelengkan kepalanya dengan lemah, suaranya semakin tidak karuan. Isaknya semakin keras,

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 112: Kehilangan yang Tak Terucap

    Alea merasa gelisah, tubuhnya lemah, dan pikirannya kacau. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring di tempat tidur rumah sakit, dengan satu harapan, mendapatkan penjelasan.Tangannya gemetar ketika ia melihat tombol yang terletak di samping tempat tidurnya. Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol itu dengan lembut, berharap seorang perawat segera datang dan memberinya sedikit kelegaan.Beberapa detik terasa seperti menit, lalu terdengar suara langkah kaki di luar pintu kamar. Pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang perawat muncul dengan senyum ramah di wajahnya.“Selamat sore, Nona Alea. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya perawat itu dengan lembut.Alea menatapnya dengan mata yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Perut dan kepala saya ... terasa sangat sakit. Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya di sini?” suara Alea terdengar cemas, seolah ia berusaha mencari kepastian dalam setiap kata.Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menghampiri tempat tidur dan memeriks

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 111 : Perang Pikiran dan Hati

    Dina sedang bersiap di kantornya. Ia duduk di mejanya, matanya tidak teralihkan dari layar komputer. Hari ini, semuanya harus berjalan sesuai rencana. Ia sudah memutuskan untuk tidak lagi bermain-main. Jika Arka ingin menghadapi kenyataan, maka ia harus siap menghadapi Dina, yang selalu berada di belakang layar dengan rencana yang lebih matang.Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," jawab Dina singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Sekretarisnya, Susy, melangkah masuk dengan membawa beberapa berkas. "Bu Dina, semua jadwal sudah diatur seperti yang diminta. Pak Arka akan datang ke kantor sekitar pukul dua siang nanti."Dina mengangguk, matanya tetap fokus pada layar, namun pikirannya sudah melayang jauh. Ini adalah langkah pertama dari rencana besarnya. Arka akan datang, dan Arka akan melihat betapa mudahnya mengambil kendali atas situasi ini."Baik, terima kasih, Susy," jawab Dina. "Jaga agar semuanya tetap berjalan lancar."Begitu sekretarisnya keluar, Dina mel

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 110: Di Bawah Langit Kelabu

    Di rumah sakit, Arka duduk di samping tempat tidur Alea, menatap wajah istrinya yang masih terlelap dalam koma. Tangannya menggenggam erat jemari Alea, seolah mencoba menyampaikan kekuatan yang tersisa dalam dirinya. Matanya merah karena kurang tidur, pikirannya penuh dengan bayangan semua kesalahan yang telah ia lakukan. Penyesalan menggerogoti dirinya seperti racun. Seluruh dunianya kini hanya berputar pada wanita yang terbaring di hadapannya. “Sayang ... maafkan aku,” bisiknya pelan. Suara alat medis yang monoton menjadi satu-satunya teman kesunyiannya. Arka memikirkan semua kesalahan yang telah ia perbuat, semua janji yang ia langgar, dan semua rasa sakit yang ia sebabkan pada Alea. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tidak pernah berakhir. Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Randy melangkah masuk, membawa tas kecil di tangannya. Langkahnya mantap, tetapi wajahnya menampakkan keraguan yang dalam. “Randy?” Arka memandangnya dengan pandangan lelah. Randy

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 109 : Ambang Pintu

    Dina tetap duduk di kursinya, mengaduk sisa espresso yang sudah mulai dingin. Dina menyandarkan tubuhnya ke kursi, bibirnya membentuk senyum tipis. Senyum penuh makna. Randy bereaksi persis seperti yang ia perkirakan. Kemarahan. Ketidakpercayaan. Kebingungan. Semua itu terpancar jelas di wajahnya beberapa menit yang lalu. “Dia terlalu lemah untuk ini,” pikir Dina. “Terlalu lurus untuk melihat peluang.” Namun, ada satu hal yang mengusik pikirannya. Randy mungkin tidak semudah itu dimanipulasi. Reaksinya yang tegas, bahkan penuh kemarahan. Bisa menjadi penghalang bagi rencana Dina. Tapi bukan Dina namanya jika ia menyerah. “Dia akan berpikir,” bisiknya pelan sambil memandang ke luar jendela. Awan mendung masih menggantung, membuat suasana semakin suram. “Dan semakin dia memikirkannya, semakin dia sadar bahwa aku benar.” Dina menyesap sisa kopinya perlahan, membiarkan rasa pahit mengalir di tenggorokannya. Seperti rasa pahit yang ia simpan di dalam hatinya selama ini. Cinta ada

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 108: Tawaran yang Tidak Masuk Akal

    Setelah ketegangan yang menggantung di ruang rapat, Dina berdiri dari kursinya dan menatap Randy. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit ditebak, antara kesal dan sedikit terhibur karena melihat kebingungan di mata Randy. “Kita tidak bisa membicarakan ini di sini,” katanya sambil memungut berkas-berkasnya. “Ayo, aku tahu tempat yang lebih tenang.” Randy ragu sejenak, tetapi ia akhirnya mengikuti Dina keluar dari ruang rapat. Mereka berjalan dalam diam menuju kedai kopi kecil yang terletak tak jauh dari gedung kantor. Langit masih mendung, angin dingin berhembus pelan, dan Randy merasa semakin tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengerikan di balik ketenangan Dina yang tampak begitu terkontrol. Sesampainya di kedai, Dina memilih meja di sudut yang jauh dari keramaian. Ia memesan secangkir espresso, sementara Randy hanya meminta air mineral. Ketika pelayan pergi, Dina menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya menatap tajam ke arah Randy. “Jadi,” Dina memulai, dengan nada suara yang s

DMCA.com Protection Status