Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 120: Hati yang Terbebani

Share

Bab 120: Hati yang Terbebani

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-01-11 20:50:24

Pagi itu, Arka dan Randy bertemu di ruang makan hotel untuk sarapan. Dina belum terlihat, tetapi kehadirannya masih membayangi pembicaraan mereka.

“Kopi di sini nggak seberapa enak, ya?” Randy mencoba mencairkan suasana.

Arka tersenyum tipis sambil mengaduk kopinya. “Ya, tapi setidaknya cukup untuk bikin melek.”

“Rencana hari ini apa, Arka?” tanya Randy sambil menyeruput kopi, mencoba membuka percakapan.

Arka menghela napas ringan sebelum menjawab. “Cek lokasi proyek. Kalau bisa, aku mau sebisa mungkin menghindari Dina. Kalau kamu sendiri?”

Randy meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku ada meeting sama bos. Katanya ada revisi untuk aplikasi, jadi harus aku cek.”

Arka mengangguk pelan sambil meraih sepotong roti. “Semoga meeting-nya lancar. Proyek ini sudah terlalu banyak drama, aku nggak sabar semuanya selesai.”

Randy tersenyum kecil, meski ekspresinya menunjukkan bahwa ia masih memikirkan banyak hal. “Ya, aku juga. Semoga setelah ini semuanya kembali tenang.”

Arka ha
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 121 : Jebakan

    Keesokan harinya, sehari sebelum kepulangannya, Arka merasa lega karena tugasnya di luar kota hampir selesai. Ia menelepon Alea saat istirahat siang, memberitahukan kabar baik itu. “Sayang, Mas pulang besok. Kamu dan Raka siap-siap, ya. Mas kangen banget,” ucap Arka dengan suara hangat. Di ujung telepon, Alea tersenyum, meskipun hatinya masih menyimpan keraguan yang ia pendam beberapa hari terakhir. “Raka pasti senang banget dengar kabar ini. Kami juga kangen, Mas. Cepat pulang, ya,” jawabnya lembut. Percakapan mereka mengalir hangat meskipun tidak berlangsung lama. Arka kembali sibuk dengan pekerjaannya, dan Alea kembali pada rutinitas hariannya di rumah. Namun, di sela-sela kegembiraan akan kepulangan Arka, Alea tidak bisa sepenuhnya menyingkirkan rasa aneh yang terus menghantui pikirannya. --- Di kota tempat Arka bertugas, suasana mulai beranjak ceria ketika tim proyek mereka memutuskan untuk mengadakan makan malam perayaan. Restoran yang dipilih adalah salah satu tempat

    Last Updated : 2025-01-12
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 122: Diluar Batas

    Dina membuka pintu kamarnya dengan cepat, lalu membawa Arka masuk dan menutup pintu di belakang mereka dengan satu gerakan halus. Dina meletakkan tangan di bahu Arka, membimbingnya untuk duduk di tepi ranjang dengan penuh perhatian, sementara matanya memancarkan niat yang lebih dari sekadar perhatian biasa. Dina menutup pintu kamar dengan satu gerakan halus. Setelah memastikan Arka duduk di tepi ranjang, ia membuka jas pria itu dengan gerakan tegas, lalu berlutut untuk melepas sepatunya. Setiap gerakannya terukur, penuh perhatian, namun menyiratkan intensi yang lebih dalam. "Din ... aku mau istirahat," gumam Arka, tubuhnya condong ke depan. "Aku tahu," jawab Dina dengan nada lembut. "Aku cuma mau kamu nyaman dulu." Tangannya menyentuh leher Arka, melonggarkan dasi dengan gerakan perlahan, membiarkan jemarinya berlama-lama di kulit leher pria itu. "Din ... kenapa ... " Arka mencoba berbicara, tetapi suaranya tenggelam oleh desahan kecil yang keluar tanpa sadar saat Dina meny

    Last Updated : 2025-01-13
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 123: Bayangan yang Menghantui

    Randy berdiri di ujung koridor, memegang secangkir kopi dari pantry hotel. Matanya menyipit, mengamati Arka dengan ekspresi sulit ditebak. Tatapannya tidak hanya sekadar kebetulan, Randy tahu ada sesuatu yang aneh. "Arka," sapanya singkat, meskipun nada suaranya mengandung keheranan. Arka tersentak, mencoba menguasai dirinya. "Oh, pagi, Randy," jawabnya cepat, berusaha terdengar biasa saja. Ia menekan tombol lift dengan tangan gemetar, menghindari tatapan langsung. Randy melangkah mendekat, pandangannya tetap tajam. "Kok kamu dari arah sana?" tanyanya sambil melirik ke arah kamar yang baru saja Arka tinggalkan. "Aku ... aku cuma mau cari udara segar, kepala masih pusing," jawab Arka tergagap, meski ia tahu jawabannya tidak meyakinkan. Ia menghindari kontak mata, menatap lantai koridor seolah mencari jawaban di sana. Randy hanya mengangguk pelan, meskipun matanya tidak lepas dari Arka. Ia tidak berkata apa-apa lagi, tetapi jelas ada sesuatu yang tersimpan di pikirannya. K

    Last Updated : 2025-01-14
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 124: Penantian yang Penuh Tanda Tanya

    Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya. Ia merapikan selimutnya dengan hati-hati, seolah memulai hari dengan sesuatu yang rapi dapat membantu mengatur pikirannya yang kacau. Matahari baru saja muncul, menyinari rumah sederhana mereka. Namun, Alea masih merasa kosong, seperti ada sesuatu yang kurang. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Arka, suaminya, akan pulang setelah hampir seminggu bertugas di luar kota. Perasaan rindu bercampur gelisah menyelimuti hatinya. Alea memutuskan untuk mengalihkan perhatian dengan bersih-bersih rumah. Tangannya sibuk menyapu, mengepel, dan menata ulang dekorasi ruang tamu. Semuanya harus sempurna untuk menyambut kepulangan Arka. Saat ia sedang menyapu, suara kecil Raka terdengar dari ruang keluarga. Anak itu sibuk bermain dengan mobil-mobilannya, tetapi ia sempat berhenti untuk bertanya, “Bunda, Ayah pulang kapan?” Alea menoleh sambil tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa cemas. “Sore ini, Nak. Kamu senang Ayah pulang, k

    Last Updated : 2025-01-15
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 125: Foto yang Menghancurkan

    Pagi itu, Alea terbangun lebih awal dari biasanya. Arka sudah pergi ke kantor sebelum matahari terbit, meninggalkan keheningan yang terasa begitu asing. Ia berjalan menuju dapur untuk membuat teh, berharap bisa menghalau rasa cemas yang terus menghantuinya sejak Arka pulang dari perjalanan dinas. Setelah menyiapkan secangkir teh, ia duduk di meja makan dengan ponsel di tangan. Saat ia membuka layar ponselnya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Hatinya berdebar kencang saat ia membaca teks singkat itu: “Apa kamu benar-benar percaya Arka jujur?” Alea mengerutkan kening, merasa déjà vu. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat pesan seperti ini dari nomor yang sama. Sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini disertai lampiran foto. Dengan tangan gemetar, ia membuka foto itu. Pandangannya langsung membeku. Foto itu menampilkan Arka dan Dina terbaring di ranjang yang sama. Dina bersandar dengan rambut acak-acakan, selimut hanya menutupi sebagian tubuhnya, sem

    Last Updated : 2025-01-16
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 126: Langkah Awal Mencari Kebenaran

    Randy berjalan keluar dari kedai kopi dengan langkah berat. Udara sore yang seharusnya sejuk justru terasa menyesakkan baginya. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, sementara pikirannya terus berputar. Ia memikirkan Alea yang duduk di dalam sana, terluka, tetapi tetap berusaha tegar. Ia merasa gagal, tidak hanya sebagai teman tetapi juga sebagai seseorang yang peduli pada Alea lebih dari yang seharusnya. Randy mendesah panjang, menatap jalan di depannya. "Dina," gumamnya. Nama itu diucapkannya dengan nada penuh kebencian. Jika Dina benar-benar berada di balik semua ini, ia tidak bisa membiarkannya lolos begitu saja. Tapi bagaimana caranya ia bisa membuktikan hal ini tanpa membuat segalanya semakin rumit untuk Alea? "Aku harus hati-hati," pikirnya. Randy tahu bahwa langkah gegabah hanya akan membuat situasi semakin buruk. Ia tidak ingin membuat Alea semakin terluka, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kebenaran ini terkubur. --- Di rumah, Alea duduk di tepi tempa

    Last Updated : 2025-01-17
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 127: Dina dan Kebingungan yang Meningkat

    Dina duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Cangkir kopi di mejanya sudah dingin, isinya hampir tidak tersentuh. Jemarinya mengetuk meja kayu dengan ritme pelan, mencerminkan kegelisahan yang tak ia ungkapkan secara langsung. Sudah sebulan sejak ia mengirim foto itu kepada Alea, foto yang seharusnya menjadi pemicu kehancuran rumah tangga Arka. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda kehancuran seperti yang ia harapkan."Kenapa mereka tetap tenang?" gumam Dina, nada frustrasi terdengar jelas. Ia mencoba memutar ulang skenario di kepalanya, mencari tahu di mana rencananya meleset. Foto itu sudah cukup jelas, bukti yang seharusnya membuat Alea kehilangan kepercayaan pada Arka. Tetapi Alea dan Arka tetap seperti biasa atau setidaknya, tidak ada tanda-tanda besar bahwa hubungan mereka terguncang.Dina meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Foto yang sama, yang ia ambil secara diam-diam malam itu, terpampang di layar. Wajahnya mengeras saat melihatnya. "Tidak mungkin dia tidak b

    Last Updated : 2025-01-18
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 128: Pertarungan di Balik Gaun Malam

    Hari makan malam perusahaan pun tiba. Pagi itu, Alea sudah memutuskan bahwa ia akan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk acara ini. Ia tahu, ini bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah panggung di mana ia akan menunjukkan bahwa dirinya lebih dari apa yang Dina bayangkan.Siang harinya, Alea pergi ke salon langganannya. Ia duduk di kursi salon dengan tenang, membiarkan stylist menata rambut coklat panjang bergelombangnya menjadi lebih indah dan teratur. Wajahnya dipoles dengan riasan sederhana tetapi menonjolkan kecantikannya, memberikan kesan anggun dan mempesona.“Gaun merah, ya? Berani sekali,” komentar stylist itu sambil tersenyum.Alea membalas senyumnya melalui cermin. "Hari ini, aku butuh sesuatu yang berbeda," jawabnya.--- Malam yang dinantikan akhirnya tiba. Alea berdiri di depan cermin panjang di kamarnya, memandang penampilannya sendiri.Gaun merah panjang yang membalut tubuhnya begitu pas, memperlihatkan sisi elegan dan berani yang selama ini jarang ia tampilk

    Last Updated : 2025-01-19

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status