Share

Bab 122: Diluar Batas

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 21:45:18
Dina membuka pintu kamarnya dengan cepat, lalu membawa Arka masuk dan menutup pintu di belakang mereka dengan satu gerakan halus. Dina meletakkan tangan di bahu Arka, membimbingnya untuk duduk di tepi ranjang dengan penuh perhatian, sementara matanya memancarkan niat yang lebih dari sekadar perhatian biasa.

Dina menutup pintu kamar dengan satu gerakan halus. Setelah memastikan Arka duduk di tepi ranjang, ia membuka jas pria itu dengan gerakan tegas, lalu berlutut untuk melepas sepatunya. Setiap gerakannya terukur, penuh perhatian, namun menyiratkan intensi yang lebih dalam.

"Din ... aku mau istirahat," gumam Arka, tubuhnya condong ke depan.

"Aku tahu," jawab Dina dengan nada lembut. "Aku cuma mau kamu nyaman dulu." Tangannya menyentuh leher Arka, melonggarkan dasi dengan gerakan perlahan, membiarkan jemarinya berlama-lama di kulit leher pria itu.

"Din ... kenapa ... " Arka mencoba berbicara, tetapi suaranya tenggelam oleh desahan kecil yang keluar tanpa sadar saat Dina meny
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 123: Bayangan yang Menghantui

    Randy berdiri di ujung koridor, memegang secangkir kopi dari pantry hotel. Matanya menyipit, mengamati Arka dengan ekspresi sulit ditebak. Tatapannya tidak hanya sekadar kebetulan, Randy tahu ada sesuatu yang aneh. "Arka," sapanya singkat, meskipun nada suaranya mengandung keheranan. Arka tersentak, mencoba menguasai dirinya. "Oh, pagi, Randy," jawabnya cepat, berusaha terdengar biasa saja. Ia menekan tombol lift dengan tangan gemetar, menghindari tatapan langsung. Randy melangkah mendekat, pandangannya tetap tajam. "Kok kamu dari arah sana?" tanyanya sambil melirik ke arah kamar yang baru saja Arka tinggalkan. "Aku ... aku cuma mau cari udara segar, kepala masih pusing," jawab Arka tergagap, meski ia tahu jawabannya tidak meyakinkan. Ia menghindari kontak mata, menatap lantai koridor seolah mencari jawaban di sana. Randy hanya mengangguk pelan, meskipun matanya tidak lepas dari Arka. Ia tidak berkata apa-apa lagi, tetapi jelas ada sesuatu yang tersimpan di pikirannya. K

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 124: Penantian yang Penuh Tanda Tanya

    Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya. Ia merapikan selimutnya dengan hati-hati, seolah memulai hari dengan sesuatu yang rapi dapat membantu mengatur pikirannya yang kacau. Matahari baru saja muncul, menyinari rumah sederhana mereka. Namun, Alea masih merasa kosong, seperti ada sesuatu yang kurang. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Arka, suaminya, akan pulang setelah hampir seminggu bertugas di luar kota. Perasaan rindu bercampur gelisah menyelimuti hatinya. Alea memutuskan untuk mengalihkan perhatian dengan bersih-bersih rumah. Tangannya sibuk menyapu, mengepel, dan menata ulang dekorasi ruang tamu. Semuanya harus sempurna untuk menyambut kepulangan Arka. Saat ia sedang menyapu, suara kecil Raka terdengar dari ruang keluarga. Anak itu sibuk bermain dengan mobil-mobilannya, tetapi ia sempat berhenti untuk bertanya, “Bunda, Ayah pulang kapan?” Alea menoleh sambil tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa cemas. “Sore ini, Nak. Kamu senang Ayah pulang, k

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 125: Foto yang Menghancurkan

    Pagi itu, Alea terbangun lebih awal dari biasanya. Arka sudah pergi ke kantor sebelum matahari terbit, meninggalkan keheningan yang terasa begitu asing. Ia berjalan menuju dapur untuk membuat teh, berharap bisa menghalau rasa cemas yang terus menghantuinya sejak Arka pulang dari perjalanan dinas. Setelah menyiapkan secangkir teh, ia duduk di meja makan dengan ponsel di tangan. Saat ia membuka layar ponselnya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Hatinya berdebar kencang saat ia membaca teks singkat itu: “Apa kamu benar-benar percaya Arka jujur?” Alea mengerutkan kening, merasa déjà vu. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat pesan seperti ini dari nomor yang sama. Sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini disertai lampiran foto. Dengan tangan gemetar, ia membuka foto itu. Pandangannya langsung membeku. Foto itu menampilkan Arka dan Dina terbaring di ranjang yang sama. Dina bersandar dengan rambut acak-acakan, selimut hanya menutupi sebagian tubuhnya, sem

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 126: Langkah Awal Mencari Kebenaran

    Randy berjalan keluar dari kedai kopi dengan langkah berat. Udara sore yang seharusnya sejuk justru terasa menyesakkan baginya. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, sementara pikirannya terus berputar. Ia memikirkan Alea yang duduk di dalam sana, terluka, tetapi tetap berusaha tegar. Ia merasa gagal, tidak hanya sebagai teman tetapi juga sebagai seseorang yang peduli pada Alea lebih dari yang seharusnya. Randy mendesah panjang, menatap jalan di depannya. "Dina," gumamnya. Nama itu diucapkannya dengan nada penuh kebencian. Jika Dina benar-benar berada di balik semua ini, ia tidak bisa membiarkannya lolos begitu saja. Tapi bagaimana caranya ia bisa membuktikan hal ini tanpa membuat segalanya semakin rumit untuk Alea? "Aku harus hati-hati," pikirnya. Randy tahu bahwa langkah gegabah hanya akan membuat situasi semakin buruk. Ia tidak ingin membuat Alea semakin terluka, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kebenaran ini terkubur. --- Di rumah, Alea duduk di tepi tempa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 127: Dina dan Kebingungan yang Meningkat

    Dina duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Cangkir kopi di mejanya sudah dingin, isinya hampir tidak tersentuh. Jemarinya mengetuk meja kayu dengan ritme pelan, mencerminkan kegelisahan yang tak ia ungkapkan secara langsung. Sudah sebulan sejak ia mengirim foto itu kepada Alea, foto yang seharusnya menjadi pemicu kehancuran rumah tangga Arka. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda kehancuran seperti yang ia harapkan."Kenapa mereka tetap tenang?" gumam Dina, nada frustrasi terdengar jelas. Ia mencoba memutar ulang skenario di kepalanya, mencari tahu di mana rencananya meleset. Foto itu sudah cukup jelas, bukti yang seharusnya membuat Alea kehilangan kepercayaan pada Arka. Tetapi Alea dan Arka tetap seperti biasa atau setidaknya, tidak ada tanda-tanda besar bahwa hubungan mereka terguncang.Dina meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Foto yang sama, yang ia ambil secara diam-diam malam itu, terpampang di layar. Wajahnya mengeras saat melihatnya. "Tidak mungkin dia tidak b

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 128: Pertarungan di Balik Gaun Malam

    Hari makan malam perusahaan pun tiba. Pagi itu, Alea sudah memutuskan bahwa ia akan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk acara ini. Ia tahu, ini bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah panggung di mana ia akan menunjukkan bahwa dirinya lebih dari apa yang Dina bayangkan.Siang harinya, Alea pergi ke salon langganannya. Ia duduk di kursi salon dengan tenang, membiarkan stylist menata rambut coklat panjang bergelombangnya menjadi lebih indah dan teratur. Wajahnya dipoles dengan riasan sederhana tetapi menonjolkan kecantikannya, memberikan kesan anggun dan mempesona.“Gaun merah, ya? Berani sekali,” komentar stylist itu sambil tersenyum.Alea membalas senyumnya melalui cermin. "Hari ini, aku butuh sesuatu yang berbeda," jawabnya.--- Malam yang dinantikan akhirnya tiba. Alea berdiri di depan cermin panjang di kamarnya, memandang penampilannya sendiri.Gaun merah panjang yang membalut tubuhnya begitu pas, memperlihatkan sisi elegan dan berani yang selama ini jarang ia tampilk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 129: Kepulangan yang Membingungkan

    Dina melangkah keluar dari ballroom hotel dengan langkah cepat, high heels hitamnya beradu dengan lantai marmer yang dingin. Setiap langkah terasa seperti tamparan bagi dirinya sendiri, menghancurkan kepercayaan yang tadi ia bawa masuk ke ruangan itu. "Dia berani menantangku," pikir Dina sambil mengatur napasnya yang mulai memburu. Tangannya mencengkeram clutch hitamnya begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Saat pintu otomatis terbuka, udara malam yang dingin menyambutnya. Dina mendongak menatap langit yang gelap, hanya dihiasi beberapa bintang samar. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Bagaimana dia bisa terlihat begitu ... sombong?” bisiknya, matanya menatap kosong ke jalan raya yang ramai. Dina memikirkan setiap detik percakapan mereka di dalam ballroom. Senyum Alea, sorot mata yang tajam, cara bicara yang tenang namun mematikan. Semuanya seperti duri yang menusuk egonya. --- Di dalam mobilnya, Dina duduk dengan tubuh tegak, tetapi hatinya masih bergolak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 130: Panggilan yang Mengguncang

    Malam setelah kejadian makan malam hari itu, Alea duduk di ruang tamu dengan buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil yang digenggamnya berhenti bergerak, garis-garis di kertas itu setengah jadi, mencerminkan pikirannya yang penuh kekacauan. Selama sebulan terakhir, ia memilih untuk menunggu. Tidak ada konfrontasi, tidak ada tuduhan hanya keheningan yang menjadi perisai sekaligus senjatanya. Ia tahu, kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat, salah satu dari mereka, entah Dina atau Arka akan buka suara. Yang ia butuhkan hanyalah kesabaran, meskipun setiap harinya terasa seperti peperangan dengan dirinya sendiri. Ponselnya bergetar di meja, memecah keheningan. Nama "Nomor Tidak Dikenal" muncul di layar, membuat Alea terdiam. Ia tahu siapa itu. Ia menatap layar untuk beberapa saat, mencoba menenangkan napasnya sebelum akhirnya menggeser ikon hijau. “Halo?” Alea membuka percakapan dengan nada datar, tanpa emosi. Suara di seberang terdengar lembut, seperti

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21

Bab terbaru

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti.

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, e

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 137: Jejak Pengkhianatan

    Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak.“Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.”Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima.“Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?”Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan cu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 136: Langit yang Kacau

    Alea menelan ludah, mencoba menahan tangis yang mendesak keluar. “Aku pergi, Ran. Aku sudah memutuskan.”“Pergi?” Nada suara Randy berubah, antara terkejut dan prihatin. “Kamu sendirian dengan Raka? Mau ke mana?”“Aku belum tahu,” jawab Alea jujur, suaranya hampir pecah. “Tapi aku harus menjauh. Aku nggak bisa lagi tinggal di rumah itu.”Di ujung telepon, Randy menghela napas panjang. “Alea, aku tahu kamu merasa ini keputusan yang benar. Tapi kamu nggak harus melewati ini sendirian. Kamu selalu punya aku.”Alea tersenyum kecil meskipun air mata mulai mengalir. “Terima kasih, Ran. Tapi aku nggak mau merepotkanmu. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri.”“Kalau begitu, kabari aku. Setiap saat,” kata Randy dengan nada tegas namun lembut. “Jangan ragu, oke? Aku akan selalu ada.”Alea mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. “Aku akan kabari. Terima kasih, Ran. Aku ... aku sangat menghargai kamu.”“Alea,” suara Randy berubah menjadi lebih lembut, hampir seperti

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 135: Langkah Menuju Akhir

    Kata itu membuat Arka seperti kehilangan keseimbangan. Ia terdiam, tubuhnya hampir lemas karena shock. Air mata mengalir di wajahnya, tetapi Alea tetap berdiri tegak, meskipun hatinya seperti dipotong-potong.Arka berkata dengan suara pelan, hampir putus asa. “Alea, jangan tinggalkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku akan berubah. Aku tidak bisa hidup tanpamu … ”Alea menutup matanya sejenak, membiarkan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Ketika ia membuka matanya lagi, tatapannya penuh dengan kepastian yang tidak bisa digoyahkan.“Aku mencintaimu, Arka. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi itu tidak cukup lagi. Cinta saja tidak cukup untuk memperbaiki ini.”Dengan suara yang hampir berbisik, ia mengakhiri, “Aku melepaskanmu. Untuk dia, untuk anak itu, untuk Raka dan untuk diriku sendiri.”Arka hanya bisa berdiri diam, matanya penuh penyesalan dan rasa sakit yang dalam. Ia tidak bisa mengejar, karena semuanya sudah terlambat. Keheningan menyelimuti rumah itu, se

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 134: Akhir Sebuah Kepercayaan

    Kalimat itu menggema di antara mereka, membekukan waktu seperti sebuah kutukan yang mengikat mereka dalam kehampaan. Arka hanya bisa menatap Alea dengan mata yang melebar, terkejut dan tak mampu berkata apa-apa. Di hadapannya, Alea berdiri seperti sosok yang rapuh, tetapi sorot matanya membawa luka yang membara—luka yang tak pernah sepenuhnya disembuhkan. Wajah Arka memucat. Kata-kata Alea seperti badai yang menghantam dinding pertahanan terakhirnya, menghancurkan semua pembelaan diri yang ingin ia ucapkan. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Napasnya berat, seperti tertahan oleh rasa bersalah yang menyesakkan. Akhirnya, dengan suara bergetar, Arka berkata, “Apa? Itu ... itu tidak mungkin …” Alea menatapnya, air mata menetes perlahan di pipinya yang memerah karena emosi. Namun, ia tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa goyah oleh kenyataan yang menghimpitnya. “Kenapa kamu terus berbohong padaku?” tanyanya, suaranya pecah tetapi penuh ketegasan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 133: Perjalanan dalam Diam

    Randy duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir mobil dengan erat. Memutuskan untuk meninggalkan mobil Alea di kafe, karena Randy takut terjadi apa-apa kalau Alea menyetir mobil sendiri. Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai diselimuti gelap malam. Di kursi penumpang, Alea duduk diam sambil menatap ke luar jendela. Namun, air mata yang terus mengalir di pipinya tidak bisa disembunyikan. Tangannya memeluk tas kecil di pangkuannya, seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini. Randy melirik Alea sesekali, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu Alea butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi setiap isakan pelan yang terdengar darinya membuat hatinya terasa semakin berat. Randy akhirnya mengambil napas panjang, mencoba membuka percakapan dengan lembut. “Alea,” panggilnya pelan, suaranya penuh perhatian. “Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak boleh menyimpan semuanya sendiri. Kalau kamu mau bicara, aku di sini.” Alea tidak langsung menjawab. Matanya masih tertu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 132: Rahasia

    Alea menatap amplop yang diletakkan Dina di atas meja. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Wajahnya memerah, tetapi bukan karena malu, melainkan karena kemarahan yang ia coba tahan sekuat tenaga. “Jadi, kamu pikir kamu bisa datang ke sini dan memberitahuku begitu saja? Bahwa kamu hamil?” tanya Alea dengan suara rendah namun penuh ketegangan. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Dina menatapnya dengan sorot mata angkuh, bibirnya melengkung membentuk senyum yang tampak penuh kepuasan. “Kenapa? Kamu merasa terancam?” tanyanya, nadanya sengaja dibuat ringan, hampir menghina. “Jangan khawatir, Alea. Aku sudah cukup mengenalmu. Aku tahu betul siapa kamu. Kamu akan menerima kenyataan ini, meskipun berat. Lagipula, ini sudah seharusnya terjadi. Kalau dia akhirnya memilihku, berarti kita memang ditakdirkan bersama.” Alea menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tersenyum pahit, meskipun matanya mulai berair. “Jadi, kamu data

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 131: Pertemuan yang Dinantikan

    Langit berwarna abu-abu, awan tebal menggantung rendah seolah menjadi cerminan kegelisahan hati Alea. Hari itu, ia memutuskan untuk bertemu Dina di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu jauh dari keramaian, memberi ruang untuk percakapan yang penuh ketegangan.Alea mempersiapkan dirinya dengan hati-hati. Pakaian sederhana yang ia kenakan memberikan kesan netral, tetapi sorot matanya penuh keteguhan. Ia memberitahu Randy tentang tempat dan waktu pertemuan tersebut, namun dengan tegas meminta pria itu untuk tidak datang."Aku harus menghadapi ini sendiri," kata Alea sebelumnya.Alea duduk di salah satu sudut ruangan, punggungnya tegak, matanya terus mengamati pintu masuk. Di tangannya, ponsel bergetar. Pesan dari Randy muncul di layar:Randy: "Kalau ada apa-apa, kabari aku. Aku nggak akan jauh."Alea menarik napas panjang, mengetik balasan singkat.Alea: "Aku baik-baik saja, Ran. Jangan khawatir."Ia tahu Randy tidak akan tinggal diam sepenuhnya. Pria itu memiliki

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status