Clarissa terdiam cukup lama setelah ia selesai mendengarkan semua alasan perjodohan yang direncanakan oleh orang tuanya barusan. Sania menjelaskan sebab dan dampak dari persoalan perjodohan itu padanya membuat Clarissa kebingungan untuk menentukan keputusannya sendiri.
Di satu sisi ia memang sangat sayang terhadap kedua orang tuanya, bahkan ia rela untuk melakukan apapun agar bisa membuat mereka bahagia. Namun di sisi yang lain itu juga ia tak ingin memaksakan kehendak yang tidak bisa ia lakukan, karena dirasa tidak ia senangi.Lantas bagaimana kedepannya?"Setelah ini mama harap kamu bisa memikirkan soal perjodohan ini baik-baik lagi ya, Ca. Jangan gegabah mengambil keputusan, karena kami sebagai orang tua kamu juga ingin yang terbaik untuk kamu.""Tapi kalau aku masih nolak gimana, Ma? Aku bener-bener nggak bisa kalau harus dijodohin. Karena pernikahan itu bukan hal yang main-main, aku cuman mau nikah sekali seumur hidupku. Dan itupun juga ingin aku lakuin sama orang yang benar aku cintai, Ma."Meskipun tampak mustahil untuk ditawar, Clarissa tetap berusaha bernegosiasi kepada Sania. Barangkali jika ia merayunya akan mendapatkan perbedaan hasil seperti yang ia inginkan."Seperti yang udah mama bilang sama kamu tadi, setelah mama jelasin semua alasan kenapa kamu dijodohkan itu akan jadi pilihan dan keputusan kamu sendiri. Tapi, mama juga berharap kalau kamu bisa memikirkan ulang jika harus menolak. Karena kamu juga belum mencoba dan mengenalnya lebih dulu, Nak."Lihat, Clarissa pasti akan lemah jika harus melihat permohonan ibunya seperti ini. Ia benar-benar tak tega untuk menolak dan mengabaikan apa yang bisa membuat beliau bahagia."Tujuan sebenarnya dari perjodohan ini bukan karena sekedar bisnis kan, Ma?" tanya Clarissa untuk memastikan lagi.Sania langsung menggelengkan kepalanya cepat menolak pertanyaan itu."Mama sama papa hanya ingin melihat kamu bahagia dengan keluarga kecil kamu sendiri. Kamu anak semata wayang kami, Ca. Tentunya kami ingin melihat kamu menikah dan bahagia sebelum kami pergi meninggalkan kamu. Hanya kamu satu-satunya harapan kami."Perempuan itu menghela napas besar dengan menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa."Jadi kalau semisal aku setuju untuk nikah, tapi bukan dengan jodoh pilihan kalian boleh kan?"Mendengar hal tersebut Sania sempat terdiam sejenak dan menatap lekat ke arah putrinya."Kamu punya calon sekarang?""Iy-iya nanti aku bisa memilih keputusanku sendiri dengan orang yang aku cintai. Yang jelas aku nggak mau kalau harus dijodohin, Ma."Memang Clarissa sangat keras kepala, sama persis seperti ayahnya. Apapun yang sudah menjadi keputusannya pasti akan sulit untuk ditentang. Sekali tidak akan tetap berkata tidak."Baiklah, mama kasih kamu kebebasan untuk memilih soal itu sekarang. Tapi ada syaratnya.""Apa?""Cari dia yang baik dan bisa menjaga kamu. Bukan sebaliknya. Jika dirasa belum menemukannya, lebih baik kamu mau coba dulu untuk berkenalan dengan-""Nggak nggak, iya iya aku nanti pasti bakal cari laki-laki yang paling baik dan juga sayang sama aku. Mama nggak usah khawatirin soal itu lagi ya. Tolong percaya sama aku, karena bagaimanapun juga aku pengen kayak yang mama dan papa mau, yaitu bahagia," ucap Clarissa memotong kalimat Sania barusan.Walaupun ia tidak memiliki rencana apapun soal pernikahan sebelumnya, setelah ini Clarissa harus merubah mindsetnya lebih dulu demi kebaikan bersama. Dan tentunya juga demi kedua orang tuanya, karena mereka adalah seseorang yang benar-benar Clarissa sayangi. Bahkan melebihi dari dirinya sendiri.***"Lo kemana aja sih, Le? Kenapa lama banget?"Baru saja Leo duduk di kursi depan Kenan saat ini ia sudah menerima omelan darinya. Kali ini bukan rencana dari Leo untuk mengajak bertemu di tempat biasa mereka datangi. Melainkan rencana dari Kenan yang sengaja ingin mengenalkan seorang perempuan kenalannya pada sahabatnya, Leo."Sorry, gue banyak kerjaan hari ini. Lo tahu sendiri gue paling gak bisa seenaknya ninggalin kerjaan gitu aja.""Ck, iya deh iya bos muda kita yang paling sibuk.""Terus mau apa sekarang?""Masih nanya lagi lo, ya mau kencan buta lah. Lo udah tahu kan apa yang harus lo lakuin nanti?""Emang apa?""Astaga, susah bener ngajarin lo. Masa gitu aja harus dikasih tahu dulu?""Langsung ke intinya aja kenapa sih, gak usah bertele-tele. Gue gak ada waktu.""Jadi sebentar lagi cewek yang mau gue kenalin sama lo nanti bakal dateng ke sini. Lo harus coba buat deket dan akrab sama dia, barangkali lo bisa cocok dan-""Kalau gak cocok gimana?""Aelah, belum juga dicoba udah narik kesimpulan aja.""Gue cuman nanya. Karena gak segampang yang lo bicarain buat bisa cocok sama orang baru, apalagi ini soal pasangan.""Ya udah, nanti lo coba dulu aja deh. Kalau emang sekiranya belum cocok ya gak apa-apa sih. Gue masih bisa kenalin ke temen-temen gue yang lain.""Dih, lo kira gue cowok apaan?""Lo mau gue bantuin gak sih? Kalau gak ya udah, sana terima perjodohan yang dipilih sama bokap lo aja. Gue gak ikutan."Leo menghela napas besar dan memutar bola matanya malas."Oke. Gue bakal coba.""Nah gitu dong. Gak usah cerewet banget jadi cowok."Sontak Leo langsung membelalakkan kedua matanya saat mendengar Kenan berkata demikian. Namun sang empu yang menyadari hal tersebut langsung tersenyum getir dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Bercanda kali bos, serius amat."Dan persis seperti yang diucapkan oleh Kenan tadinya, tak lama setelah itu datanglah seorang perempuan asing bagi Leo ke meja mereka.Cantik, adalah kesan pertama yang dirasakan oleh Leo saat baru saja melihatnya. Namun entah apakah kedepannya ia akan tetap konsisten memberi kesan yang baik padanya, tunggu saja.Kenan langsung pamit pergi meninggalkan cafe setelah perempuan itu datang, ia sengaja untuk memberikan waktu bagi keduanya saling mengenal dan akrab satu sama lain. Dan ia juga berharap jika Leo akan merasa cocok begitu pula sebaliknya agar mereka bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.Selama hampir 1 jam bersama, sejauh ini Leo masih merasa biasa dan tak ada yang salah di antara mereka. Dari segi tipe kesukaan dan komunikasinya membuat Leo lumayan nyaman saat itu.Namun tidak menutup kemungkinan juga jika Leo akan merasakan ada satu hal yang tak dapat dihindari olehnya sendiri. Seperti contohnya sekarang ini, walaupun sejak pertama kali bertemu dan mengobrol lumayan lama ternyata Leo masih belum menemukan kecocokan di dalam dirinya. Justru sebaliknya, ia merasa hampa dan tak bisa menemukan gairah di saat bersamanya. Padahal secara garis besar perempuan itu sangat baik dan terlihat memukau dari segi manapun, namun Leo masih tak dapat menemukan ketertarikan dalam dirinya untuk bisa disesuaikan dengan perasaannya.Sepertinya pilihan Kenan saat ini belum membuahkan hasil baginya. Mau bagaimanapun juga jika dipaksakan tetap terasa tidak nyaman sama sekali.Setelah pekerjaannya selesai hari ini, Leo sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah karena sang empu ingin berkunjung ke rumah Kenan sebentar terlebih dahulu. Berhubung jika pria itu tidak bisa ia ajak bertemu di luar kali ini lantaran anaknya sedang sakit, maka Leo lah yang memutuskan untuk datang ke sana sekaligus menjenguk putri Kenan. Saat baru saja tiba di sana, ia melihat halaman rumah sahabatnya itu sudah penuh dengan 2 mobil di dalamnya yang membuat Leo mau tak mau harus memarkirkan mobilnya di depan rumah Kenan. Tidak biasanya rumah Kenan kedatangan tamu seperti ini tanpa ia memberitahu terlebih dahulu, padahal Kenan juga tahu jika dirinya akan datang berkunjung sore ini. "Di dalem ada tamu ya, Pak?" tanya Leo pada seorang satpam di rumah Kenan itu. "Iya, Pak. Ada adik sepupunya nyonya. Tadi tuan bilang kalau Pak Leo dateng disuruh langsung masuk saja," jawab beliau. "Oh iya, Pak. Terima kasih." "Sama-sama, Pak." Langkah Leo kembali berjalan menuju ke pintu utama ru
"Jadi gimana? Masih belum cocok juga?" tanya Kenan pada Leo ketika mereka sudah duduk bersama di ruang tengah. Seperti yang sudah diduga oleh sang empu, Leo menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. Dari reaksi itu saja Kenan sudah bisa tahu akan maksudnya. Dan lagi-lagi ia turut merasakan pusing juga stress yang dialami oleh Leo saat ia tak mendapatkan solusinya, seperti sekarang ini. "Terus sekarang lo maunya gimana? Mau gue cariin kandidat lagi?""Nggak usah. Lagian gue juga males kalau harus ketemu, ngobrol, dan ujung-ujungnya juga cuman buang-buang waktu gue," tolaknya mentah-mentah. "Ya kalau gitu lo harus bisa cepetan cari sendiri dong. Daripada lo dijodohin, mending milih sendiri kalau gue mah." "Tau lah, pusing gue." Kenan memutar bola matanya malas karena Leo benar-benar tak ada usaha sama sekali. Padahal di sini yang terlibat masalah bukan dirinya, namun Kenan malah yang terus pusing dan memikirkan agar bisa segera menemukan jalan keluarnya. Sangat jauh berb
Clarissa menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya sedikit terkejut saat mendengar suara guntur yang dahsyat barusan. Ditambah lagi kilatan petir di langit tadi juga tak sengaja terlihat olehnya membuat sang empu teringat akan sesuatu. "Kamu baik-baik saja kan?" Mendengar pertanyaan dari pria di sampingnya itu Clarissa menganggukkan kepala pelan. Perlahan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Leo saat menyadari jika ia sudah terlalu erat mencengkram hingga tak sengaja menyakitinya. "Iyaa, maaf nggak sengaja," jawab Clarissa kemudian dengan menyapu air matanya cepat dari kedua pipinya. Sedangkan Leo hanya menganggukkan kepala dan kembali mengalihkan perhatiannya ke arah depan. Meski sebenarnya ia tak tahu apa penyebab pastinya Clarissa menangis saat mendengar suara guntur seperti tadi, ia mencoba untuk tak mengusik dengan banyak pertanyaan padanya sedikitpun. Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, kini kondisi jalanan sudah mulai
"Maksudnya 'Amin' tadi apa ya? Kenapa nggak nyangkal kalau kita emang bukan suami istri sih, Om?" tanya Clarissa menentang jawaban Leo tadinya. "Saya bukan Om mu, jadi stop panggil seperti itu." Bukannya menjawab masalah tadi, Leo malah mempermasalahkan panggilan yang disematkan Clarissa untuknya itu. "Emang itu penting sekarang? Maksudnya apaan sih-""Rumahmu yang mana?" lagi-lagi Leo sengaja memotong ucapan Clarissa karena memang tak ingin memperdebatkan hal itu lagi. "Blok L-14," ujarnya malas. Sebenarnya Clarissa tak ingin menedebatkan hal apapun yang tidak bersangkutan dengannya. Namun persoalan tadi benar-benar membuatnya tak bisa tinggal diam karena sudah melewati batas yang seharusnya. Ditambah lagi Leo yang tidak menyangkal sama sekali membuat gadis 24 tahun itu sebal terhadapnya. Tepat di depan rumah elit milik orang tua Clarissa itu Leo menghentikan mobilnya. Ternyata dari kejauhan ia bisa melihat jika di dalam sana ada seorang pria juga wanita paruh baya sedang duduk
Leo keluar dari kamar Bagas dengan raut wajahnya yang datar. Setelah melihat kondisi ayahnya barusan di sana membuat pria itu lagi lagi jadi kepikiran. Namun kali ini bukan hanya sekadar tuntutan untuk dirinya agar bisa segera menikah, melainkan kondisi Bagas yang memang mengkhawatirkan saat ini. Belum lagi beliau juga selalu menolak diajak berobat dan selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Tentu saja Leo merasa tak tenang dan terus terpikirkan akan hal tersebut. Walaupun sebenarnya ia tak ingin memaksakan kehendak dengan terburu-buru untuk menikah, di lain sisi ia masih memikirkan kedua orang tuanya. Terutama Bagas yang akhir-akhir ini kesehatannya terus menurun. Ia takut jika suatu saat nanti akan menyesal jika di masa kini tak bisa memenuhi keinginan beliau. "Gimana, Kak? Papa mau diajak ke rumah sakit kan?" tanya Rani dengan harap ketika melihat Leo sudah keluar dari kamarnya. "Papa nolak pergi ke rumah sakit, Ma. Tapi papa masih mau kalau dokter yang dateng ke rumah,"
Setelah mendapatkan kembali mobilnya dari rumah Kenan, Clarissa langsung menuju ke kantor Leo tepat pada saat jam makan siang. Ia pikir itu adalah waktu yang tepat untuk datang menemuinya karena sudah memasuki waktu istirahat bekerja. Saat tiba di area lobby, tak sedikit orang yang melihat ke arahnya seperti tatapan orang asing yang belum pernah bertemu. Canggung dan segan. Walaupun tak dikenal di sana sama sekali, ternyata mayoritas orang yang ia temui tetap bersikap ramah padanya dengan tersenyum tipis ketika tatap mata mereka bertemu. Clarissa sempat terheran karena sudah terbiasa acuh tak acuh dengan orang lain sejak tinggal bertahun-tahun di luar negeri sampai lupa dengan kebiasaan budaya tak tertulis di negaranya sendiri itu. "Ck, mana dari tadi pagi perut gue sakit banget," keluh Clarissa yang semakin merasa kurang nyaman pada kondisi perutnya itu. Ia terus mendumel dalam hati di sepanjang langkahnya memasuki perusahaan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang perempua
"Om, please jangan kemana-mana ya," cegah Clarissa menahan lengan Leo agar pria itu tidak pergi kemanapun dan tetap berada di sisinya. "Tapi yang mengobati kamu dokter, bukan saya." Perempuan itu memasang wajah melas dengan gelengan kepalanya tak setuju dengan pernyataan Leo barusan. Walaupun memang bukan Leo yang mengobati lukanya, namun Clarissa membutuhkan pria itu untuk menemaninya dari rasa takut. Terutama saat menghadapi jarum suntik, iya, Clarissa sangat takut dengan jarum suntik sejak ia kecil. Bahkan setiap kali ia sakit dan mengharuskan dirawat di rumah sakit, ia pasti membutuhkan Sania selalu berada di sisinya saat pemasangan infus dengan jarum suntik yang menusuk kulit tangannya itu. "Aku takut, sumpah," akunya tak main-main. Dan akhirnya mau tak mau Leo tetap tinggal di sisinya karena Clarissa benar-benar menahannya untuk pergi meski sekadar menunggu di luar ruangan. Bahkan ia harus menahan rasa sungkannya terhadap dokter dan 1 orang perawat yang menangani luka Clari
Sekitar pukul setengah tujuh malam, Clarissa sudah bersiap dan bergegas untuk menuju ke tempat makan yang sudah dijanjikan bertemu dengan Leo di sana. Dan ia juga sudah membawa serta jas milik Leo di dalam mobilnya untuk dikembalikan pada sang empu hari ini setelah bersusah payah mencucinya dengan bantuan Bi Santi semalam. Mobilnya dilajukan meninggalkan pelataran rumah dengan tenang dan santai. Selama Clarissa perjalanan menuju ke tempat makan, Leo ternyata sudah datang lebih dulu sejak tadi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini dengan cepat. Tiba-tiba saja ia gugup dan kepikiran dengan apa yang seharusnya dikatakan nanti di hadapan Clarissa. Padahal semalam ia sudah banyak menyusun rencana untuk bisa dinegosiasikan dengan perempuan itu. "Tapi gimana kalau dia nolak bantuin gue?" monolog Leo frustasi. Ia benar-benar buntu dan tak menemukan jalan keluar untuk permasalahannya sendiri hingga saat ini. Awalnya ia memang tak ingin melibatkan orang lain ke dalam permasalahan