"Gak usah ngaco! Mulut lo sembarangan banget kalau ngomong!"
Kenan menghempaskan tangan Leo dari mulutnya cepat setelah itu."Ya lagian lo tumbenan bahas soal nikah. Biasanya aja lo paling anti diskusi soal itu, gue juga penasaran lah alesannya. Emang salah?""Gue juga terpaksa. Kalau bukan karena bokap gue, gak akan sudi gue bahas soal pernikahan apalagi perjodohan konyol ini.""Perjodohan? Lo mau dijodohin?"Leo menyipitkan kedua matanya menatap sengit ke arah Kenan saat pria itu tiba-tiba tampak bersemangat setelah mendengar kata perjodohan darinya barusan."Kenapa jadi lo yang antusias sekarang?""Ck, jawab dulu pertanyaan gue. Emang lo beneran mau dijodohin? Sama siapa?"Sang empu mengedikkan kedua bahunya tak tahu."Mangkanya itu gue stress dari kemarin. Bokap gue maksa buat gue cepetan nikah dengan pilihan sendiri, karena kalau nggak gue bakal dijodohin sama perempuan pilihan dia."Barulah sekarang Leo menjelaskan segala kronologi dan asal muasal ia bisa terjerat ke dalam persoalan ini."Terus rencana lo sekarang apa? Lo kan jomblo abadi.""Gue juga gak tahu, Ken."Kenan berpikir sejenak sebelum kembali membuka suara untuk menyampaikan idenya pada Leo."Kenapa lo gak coba buka hati aja buat nerima perempuan baru? Di luar sana banyak yang suka dan jadiin lo sebagai idaman mereka. Selama ini lo pasti juga tahu kan kalau banyak perempuan yang berusaha buat deketin lo?""Iya gue tahu. Tapi gue gak suka, gak ada yang cocok. Semuanya cuman ngincer harta dan tahta yang gue punya doang.""Tau darimana lo bisa judge begitu?"Leo sontak mencondongkan tubuhnya ke depan tepat di hadapan Kenan sembari menatap manik matanya lekat."Lo lupa kalau Hani udah habisin hampir seperempat harta yang gue punya, hah?""Itu karena emang lo yang bego aja sih kata gue.""Kok lo malah ngatain gue?""Ya lagian lo mau-maunya aja diporotin sama perempuan gak tahu diri kayak mantan lo itu. Udah dikasih ati malah minta jantung. Dulu gue udah sering peringatin lo buat lebih aware kalau dia bukan perempuan baik-baik. Tapi lo yang selalu gak peduli dan anggep ucapan gue cuman omong kosong doang.""Emang lo ada sedikit hikmahnya juga sih jomblo sampe sekarang.""Maksud lo apaan?""Maksud gue dengan status jomblo lo ini paling gak masih bisa nyelametin harta dan tahta yang selama ini lo pegang. Buktinya setelah putus dari Hani, lo lebih jaya kan?"Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Kenan barusan. Semenjak Leo putus hubungan dengan Hani 5 tahun lalu membuatnya lebih fokus pada karir dan hobi bekerja keras yang tentunya dapat menjayakan perusahaan keluarganya. Seakan hidupnya lebih didedikasikan untuk perusahaan yang ia pimpin sekarang.Karena Leo pikir cinta atau soal asmara itu hanya dapat menghambat pekerjaan dan mengganggu kehidupannya yang bebas seperti sekarang ini."Terus sekarang gue harus gimana? Gue males kalau harus pura-pura cari perempuan buat dikenalin ke mereka sebagai calon yang gue pilih. Tapi gue juga lebih males lagi kalau harus dijodohin sama perempuan yang bahkan gak gue gue kenal.""Kalau soal itu gue gak bisa berbuat banyak. Karena keputusannya juga tetep ada pada diri lo sendiri, Le. Mau gak mau dan cepat atau lambat lo juga harus mikirin soal ini. Inget bro, lo udah kepala 3 sekarang. Mau sampe kapan hidup sendiri? Emang lo gak pengen gitu pulang kerja capek disambut anak dan istri di rumah? Kalau gue sih ngebayanginnya aja bakalan seneng banget ya.""Tapi gue lebih bahagia kalau hidup bebas sendirian, Ken.""Wah emang susah kalau udah urusan sama mindset lo yang terlalu sulit buat gue sentuh. Terserah lo deh."Padahal tujuannya untuk mengajak Kenan datang kemari adalah untuk menemukan solusi bagi dirinya, namun yang ia dapat malah ceramah dan titahan darinya yang malas ia lakukan."Tapi kayaknya gue punya solusi deh, Le."Mendengar kalimat barusan barulah Leo tertarik."Solusi apaan?""Gimana kalau lo gue kenalin sana perempuan cantik nan kaya raya? Kayaknya dia bakal sebanding dan cocok deh sama lo. Karena kalian sama-sama sederajat.""Ck, gue pikir lo bakalan nolongin gue buat cari cara bisa lepas dari persoalan ini.""Tapi kali ini gue beneran serius. Udah cantik, pinter, baik, anak orang kaya lagi. Pasti lo suka. Apalagi orang tua lo.""Yakin lo orang tua gue bakalan suka?""Ya yakin lah, buktinya mereka masih kasih kesempatan buat lo nentuin pilihan sendiri dulu kan? Jadi itu tandanya mereka pasti bakal setuju sama pilihan lo selama lo suka."Dari percakapan panjang lebar yang telah mereka lalui sejak tadi, akhirnya Leo mulai menentukan titik terang. Walaupun belum sepenuhnya ia putuskan apakah iya atau tidak pada akhirnya.***Sudah sejak tadi pagi Clarissa merajuk dengan orang tuanya, terutama ayahnya ketika tahu ia akan dijodohkan dengan pria yang tidak ia kenal. Perempuan itu sangat kesal dan juga sebal jika rencana mereka sama sekali tak diketahui olehnya lebih dulu.Ditambah lagi ia terpaksa harus pulang ke tanah air setelah hampir 7 tahun menetap di negeri orang untuk mengenyam pendidikan di sana hanya untuk dijodohkan seperti ini."Sayang buka pintunya dulu dong, mama bawain makanan kesukaan kamu nih. Kamu makan dulu sebentar ya?"Sang empu sama sekali tak tertarik dengan tawaran dari ibunya sedikitpun. Walaupun ia sudah merasa sangat lapar sejak tadi tak akan ia gubris."Aku nggak laper, Ma. Mama bawa balik aja makanannya," jawab Clarissa berbohong tanpa beranjak dari tempat tidurnya sama sekali."Tapi kamu belum makan dari pagi, Ca. Nanti maag kamu kambuh lagi. Ayo makan dulu. Atau mau mama bilang ke papa sekarang biar kamu mau makan?"Clarissa mendengkus sebal saat mendengar kalimat dari ibunya yang lebih seperti sebuah ancaman itu. Mau tak mau ia harus membukakan pintu dan makan walau sedikit daripada harus terkena omelan ayahnya nanti.Sania langsung tersenyum lega ketika Clarissa sudah membukakan pintu untuknya."Nanti setelah makan mama mau bicara berdua sama kamu bisa kan?""Bicara soal apa, Ma? Kalau soal perjodohan itu lagi, maaf aku nggak mau.""Mama cuman mau jelasin alasannya aja, Sayang. Kamu jangan ambil kesimpulan yang buruk dulu, karena perjodohan itu papa lakukan karena ada sebabnya.""Tapi aku nggak mau dijodohin, Ma. Aku kuliah di luar negeri dan udah terbiasa hidup mandiri di sana sekarang malah tiba-tiba mau dijodohin yang bahkan sama laki-laki yang nggak aku kenal. Aku masih belum siap soal pernikahan, aku masih pengen nikmati masa mudaku dulu.""Mama tahu, tapi kamu juga harus tahu kalau kami terpaksa melakukan ini agar-""Agar tujuan mama dan papa segera tercapai kan?" potong Clarissa cepat.Sontak Sania menggelengkan kepalanya cepat dengan menatap lekat ke arah putri semata wayangnya itu."Nanti setelah kamu tahu alasan yang sebenarnya dan masih tetap ingin menolak perjodohan ini, maka mama dan papa akan beri kamu kebebasan memilih. Tapi untuk sebentar saja tolong dengarkan alasan mama dulu ya?"Clarissa terdiam cukup lama setelah ia selesai mendengarkan semua alasan perjodohan yang direncanakan oleh orang tuanya barusan. Sania menjelaskan sebab dan dampak dari persoalan perjodohan itu padanya membuat Clarissa kebingungan untuk menentukan keputusannya sendiri. Di satu sisi ia memang sangat sayang terhadap kedua orang tuanya, bahkan ia rela untuk melakukan apapun agar bisa membuat mereka bahagia. Namun di sisi yang lain itu juga ia tak ingin memaksakan kehendak yang tidak bisa ia lakukan, karena dirasa tidak ia senangi. Lantas bagaimana kedepannya? "Setelah ini mama harap kamu bisa memikirkan soal perjodohan ini baik-baik lagi ya, Ca. Jangan gegabah mengambil keputusan, karena kami sebagai orang tua kamu juga ingin yang terbaik untuk kamu." "Tapi kalau aku masih nolak gimana, Ma? Aku bener-bener nggak bisa kalau harus dijodohin. Karena pernikahan itu bukan hal yang main-main, aku cuman mau nikah sekali seumur hidupku. Dan itupun juga ingin aku lakuin sama orang yang benar
Setelah pekerjaannya selesai hari ini, Leo sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah karena sang empu ingin berkunjung ke rumah Kenan sebentar terlebih dahulu. Berhubung jika pria itu tidak bisa ia ajak bertemu di luar kali ini lantaran anaknya sedang sakit, maka Leo lah yang memutuskan untuk datang ke sana sekaligus menjenguk putri Kenan. Saat baru saja tiba di sana, ia melihat halaman rumah sahabatnya itu sudah penuh dengan 2 mobil di dalamnya yang membuat Leo mau tak mau harus memarkirkan mobilnya di depan rumah Kenan. Tidak biasanya rumah Kenan kedatangan tamu seperti ini tanpa ia memberitahu terlebih dahulu, padahal Kenan juga tahu jika dirinya akan datang berkunjung sore ini. "Di dalem ada tamu ya, Pak?" tanya Leo pada seorang satpam di rumah Kenan itu. "Iya, Pak. Ada adik sepupunya nyonya. Tadi tuan bilang kalau Pak Leo dateng disuruh langsung masuk saja," jawab beliau. "Oh iya, Pak. Terima kasih." "Sama-sama, Pak." Langkah Leo kembali berjalan menuju ke pintu utama ru
"Jadi gimana? Masih belum cocok juga?" tanya Kenan pada Leo ketika mereka sudah duduk bersama di ruang tengah. Seperti yang sudah diduga oleh sang empu, Leo menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. Dari reaksi itu saja Kenan sudah bisa tahu akan maksudnya. Dan lagi-lagi ia turut merasakan pusing juga stress yang dialami oleh Leo saat ia tak mendapatkan solusinya, seperti sekarang ini. "Terus sekarang lo maunya gimana? Mau gue cariin kandidat lagi?""Nggak usah. Lagian gue juga males kalau harus ketemu, ngobrol, dan ujung-ujungnya juga cuman buang-buang waktu gue," tolaknya mentah-mentah. "Ya kalau gitu lo harus bisa cepetan cari sendiri dong. Daripada lo dijodohin, mending milih sendiri kalau gue mah." "Tau lah, pusing gue." Kenan memutar bola matanya malas karena Leo benar-benar tak ada usaha sama sekali. Padahal di sini yang terlibat masalah bukan dirinya, namun Kenan malah yang terus pusing dan memikirkan agar bisa segera menemukan jalan keluarnya. Sangat jauh berb
Clarissa menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya sedikit terkejut saat mendengar suara guntur yang dahsyat barusan. Ditambah lagi kilatan petir di langit tadi juga tak sengaja terlihat olehnya membuat sang empu teringat akan sesuatu. "Kamu baik-baik saja kan?" Mendengar pertanyaan dari pria di sampingnya itu Clarissa menganggukkan kepala pelan. Perlahan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Leo saat menyadari jika ia sudah terlalu erat mencengkram hingga tak sengaja menyakitinya. "Iyaa, maaf nggak sengaja," jawab Clarissa kemudian dengan menyapu air matanya cepat dari kedua pipinya. Sedangkan Leo hanya menganggukkan kepala dan kembali mengalihkan perhatiannya ke arah depan. Meski sebenarnya ia tak tahu apa penyebab pastinya Clarissa menangis saat mendengar suara guntur seperti tadi, ia mencoba untuk tak mengusik dengan banyak pertanyaan padanya sedikitpun. Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, kini kondisi jalanan sudah mulai
"Maksudnya 'Amin' tadi apa ya? Kenapa nggak nyangkal kalau kita emang bukan suami istri sih, Om?" tanya Clarissa menentang jawaban Leo tadinya. "Saya bukan Om mu, jadi stop panggil seperti itu." Bukannya menjawab masalah tadi, Leo malah mempermasalahkan panggilan yang disematkan Clarissa untuknya itu. "Emang itu penting sekarang? Maksudnya apaan sih-""Rumahmu yang mana?" lagi-lagi Leo sengaja memotong ucapan Clarissa karena memang tak ingin memperdebatkan hal itu lagi. "Blok L-14," ujarnya malas. Sebenarnya Clarissa tak ingin menedebatkan hal apapun yang tidak bersangkutan dengannya. Namun persoalan tadi benar-benar membuatnya tak bisa tinggal diam karena sudah melewati batas yang seharusnya. Ditambah lagi Leo yang tidak menyangkal sama sekali membuat gadis 24 tahun itu sebal terhadapnya. Tepat di depan rumah elit milik orang tua Clarissa itu Leo menghentikan mobilnya. Ternyata dari kejauhan ia bisa melihat jika di dalam sana ada seorang pria juga wanita paruh baya sedang duduk
Leo keluar dari kamar Bagas dengan raut wajahnya yang datar. Setelah melihat kondisi ayahnya barusan di sana membuat pria itu lagi lagi jadi kepikiran. Namun kali ini bukan hanya sekadar tuntutan untuk dirinya agar bisa segera menikah, melainkan kondisi Bagas yang memang mengkhawatirkan saat ini. Belum lagi beliau juga selalu menolak diajak berobat dan selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Tentu saja Leo merasa tak tenang dan terus terpikirkan akan hal tersebut. Walaupun sebenarnya ia tak ingin memaksakan kehendak dengan terburu-buru untuk menikah, di lain sisi ia masih memikirkan kedua orang tuanya. Terutama Bagas yang akhir-akhir ini kesehatannya terus menurun. Ia takut jika suatu saat nanti akan menyesal jika di masa kini tak bisa memenuhi keinginan beliau. "Gimana, Kak? Papa mau diajak ke rumah sakit kan?" tanya Rani dengan harap ketika melihat Leo sudah keluar dari kamarnya. "Papa nolak pergi ke rumah sakit, Ma. Tapi papa masih mau kalau dokter yang dateng ke rumah,"
Setelah mendapatkan kembali mobilnya dari rumah Kenan, Clarissa langsung menuju ke kantor Leo tepat pada saat jam makan siang. Ia pikir itu adalah waktu yang tepat untuk datang menemuinya karena sudah memasuki waktu istirahat bekerja. Saat tiba di area lobby, tak sedikit orang yang melihat ke arahnya seperti tatapan orang asing yang belum pernah bertemu. Canggung dan segan. Walaupun tak dikenal di sana sama sekali, ternyata mayoritas orang yang ia temui tetap bersikap ramah padanya dengan tersenyum tipis ketika tatap mata mereka bertemu. Clarissa sempat terheran karena sudah terbiasa acuh tak acuh dengan orang lain sejak tinggal bertahun-tahun di luar negeri sampai lupa dengan kebiasaan budaya tak tertulis di negaranya sendiri itu. "Ck, mana dari tadi pagi perut gue sakit banget," keluh Clarissa yang semakin merasa kurang nyaman pada kondisi perutnya itu. Ia terus mendumel dalam hati di sepanjang langkahnya memasuki perusahaan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang perempua
"Om, please jangan kemana-mana ya," cegah Clarissa menahan lengan Leo agar pria itu tidak pergi kemanapun dan tetap berada di sisinya. "Tapi yang mengobati kamu dokter, bukan saya." Perempuan itu memasang wajah melas dengan gelengan kepalanya tak setuju dengan pernyataan Leo barusan. Walaupun memang bukan Leo yang mengobati lukanya, namun Clarissa membutuhkan pria itu untuk menemaninya dari rasa takut. Terutama saat menghadapi jarum suntik, iya, Clarissa sangat takut dengan jarum suntik sejak ia kecil. Bahkan setiap kali ia sakit dan mengharuskan dirawat di rumah sakit, ia pasti membutuhkan Sania selalu berada di sisinya saat pemasangan infus dengan jarum suntik yang menusuk kulit tangannya itu. "Aku takut, sumpah," akunya tak main-main. Dan akhirnya mau tak mau Leo tetap tinggal di sisinya karena Clarissa benar-benar menahannya untuk pergi meski sekadar menunggu di luar ruangan. Bahkan ia harus menahan rasa sungkannya terhadap dokter dan 1 orang perawat yang menangani luka Clari
"Biar saya antar pulang, sekarang sudah larut malam, Sa.""Nggak usah, aku bisa pulang sendiri. Lagian juga rumahku nggak terlalu jauh dari sini," tolak Clarissa mentah-mentah atas tawaran yang diberikan oleh Leo barusan. "Tapi kamu-""Udah lah, Om. Aku bisa sendiri. Lagian Om juga lagi sakit kan? Mending tidur aja sekarang, daripada nganterin aku, aku udah bawa mobil sendiri," potong Clarissa cepat sebelum Leo menyelesaikan kalimatnya. "Kamu yakin?"Sang puan menganggukkan kepalanya cepat. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya. Tolong kabari saya kalau sudah sampai di rumah." "Emang harus ya?""Harus, kalau tidak lebih baik saya yang antar." "Ck, iya iya nanti aku kabarin. Udah deh, aku pulang sekarang. Sana masuk aja." Ya, daripada Clarissa harus dibuntuti oleh Leo hingga sampai ke rumah, lebih baik ia menyetujui untuk memberikan kabar jika ia sudah tiba di rumah. "Saya tunggu kamu sampai keluar dulu, baru saya masuk." Tak ada pilihan lagi, Clarissa juga tak berniat
Setibanya di rumah Leo, Clarissa menghentikan mobil di teras rumah setelah dibukakan pintu gerbang oleh Pak Damar sebagai satpam di kediaman keluarga Adinata itu. Segera ia bergegas turun lebih dulu dan membantu pria itu keluar dari sana. Tanpa ia sadari jika perlakuannya saat ini terhadap Leo begitu kentara perbedaannya dari biasanya karena ia terlalu khawatir dengan kondisinya. "Saya hanya sedikit pusing saja, Sa." "Ya emang salah kalau aku cuman mau bantuin?" tanya Clarissa balik. "Saya hanya takut salah paham untuk menilai tindakanmu ini."Clarissa sendiri menghela napas panjang dan menutup pintu mobil setelah Leo keluar dari sana. "Terserah, aku cuman mau bantuin. Yang jelas sekarang cepetan istirahat dan jangan lakuin aktivitas apa-apa lagi." Pria itu tersenyum tipis karena mengetahui tingkah Clarissa yang begitu peduli terhadapnya. Meskipun tak diucapkan olehnya secara gamblang, tetap begitu jelas baginya. "Tunggu.""Apa lagi?""Mana?" Sang puan mengerutkan dahinya bingu
Setelah melewati serangkaian proses hukum yang berlaku, Hani dinyatakan bersalah. Dan ia mendapatkan sanksi berupa kurungan penjara sesuai kurun waktu yang sudah ditetapkan berdasarkan kesalahan yang diperbuat. Tentu saja Leo merasa puas dan juga lega karena perempuan itu mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya yang nyaris mencelakai Clarissa. Setidaknya dalam beberapa tahun ke depan hidupnya akan tenang karena tak ada lagi siapapun yang mengusik hidupnya dan juga Clarissa. "Kenapa lo tega banget biarin dia di penjara sih, Kak?" "Tega? Setelah perbuatan dia yang nyaris melukai Clarissa lo bilang gue tega? Harusnya gue yang tanya sama lo, kenapa lo selalu bela dia dari dulu, hah?" "Gue gak belain dia. Gue cuman kasihan, dari dulu dia selalu-""Selalu apa? Selalu pengen dapet perhatian dari lo kan? Udah lah, gue muak denger alasan apapun dari lo. Jangan bahas dia lagi di depan gue, karena gue gak peduli." William menghela napas berat. Leo memang susah sekali untuk memaafk
Clarissa tak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Leo sampai ia bisa berpikiran seperti itu. Padahal tak ada sekalipun niatnya untuk berpikir sejauh yang pria itu duga. Apalagi dengan calon adik iparnya sendiri. Ia tak serendah dan semudah itu. Bahkan sejak pertama kali pertemuan dan perkenalannya dengan William, Leo selalu over protect dan sinis setiap kali ia berbicara atau sekedar menyapanya saja waktu sang empu menjenguk Liam setelah mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu. Awalnya ia pikir Leo memang sifat yang mudah cemburu, namun semakin diperhatikan ternyata ada sesuatu yang sedang ditutupi olehnya, mungkin. "Kamu pulang aja kalau ngantuk. Istirahat di rumah, biar besok interview nya maksimal." Leo tahu jika Clarissa sudah sangat lelah karena sudah menemaninya di rumah sakit sejak tadi siang hingga menjelang malam seperti ini. Padahal pria itu sudah melarangnya untuk sering datang karena tak ingin membuatnya kerepotan dan kelelahan, namun Clarissa sendiri tetap bersike
Clarissa jadi banyak perbedaan di mata Leo sejak perempuan itu menyatakan persetujuannya kemarin lusa untuk bisa menerima lamarannya. Iya, dia jadi lebih perhatian dan tak segan membantu apa saja yang dibutuhkan juga diinginkan oleh Leo saat berada di rumah sakit. Ia juga selalu rutin menjenguknya di sana setiap hari meskipun tak sampai menginap. Namun hal itu saja sudah membuat Leo senang karena sangat dipedulikan olehnya. Bahkan tanpa harus dipaksa atau dikode sama sekali, Clarissa sudah berinisiatif melakukan semua hal yang dulu selalu ia tolak mentah-mentah. Yaitu peduli dan selalu menanyakan bagaimana kabarnya terhadap Leo lebih dulu. "Besok aku ada interview pagi, jadi kalau belum sempet ke sini gak usah nyariin." "Interview? Kamu yakin?" "Kenapa tanyanya begitu? Ya yakin lah, aku pengen kerja. Pengen punya kesibukan dan hasilin uang sendiri.""Maksud saya yakin kamu interview? Atau mau langsung diterima jadi karyawan tetap? Biar saya yang atur semuanya untuk kamu." "Nggak
Clarissa tertunduk beberapa waktu, tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil sesuatu dari dalam sana. Dan ia membuka sebuah kotak beludru berwarna merah pekat itu guna mengambil cincin permata indah yang ia simpan sejak kemarin untuk disematkan sendiri pada jari manis di tangan kirinya. Tanpa kata apapun, ia mengangkat tangannya untuk ditunjukkan pada Leo yang sejak tadi sudah melihat perbuatannya itu. "Sa, itu-" "Iya, aku setuju. Ayo kita menikah," selat Clarissa dengan tegas dan yakin saat mengucapkan kalimatnya. Tentu saja Leo terkejut dengan sikap perempuan itu yang tiba-tiba. Padahal kemarin ia sudah menolak dengan percuma, namun sekarang malah sebaliknya dengan inisiatif sendiri sebelum Leo kembali beraksi. "Kamu serius? Kamu tidak bercanda kan?" tanya pria itu masih belum percaya. "Nggak. Bukannya dari awal aku emang setuju untuk menikah sama om? Dan ini bakal aku anggap sebagai cincin lamaran kita."Leo mulai menerbitkan senyuman manis di wajah pucatnya itu. Ia begit
Setelah bergelut dengan pikirannya sejak tadi, akhirnya Clarissa memberanikan diri lagi untuk datang ke ruangan Leo meski tahu hubungan di antara mereka semakin abu-abu dan tak jelas akan kemana arahnya. Untuk saat ini ia masih segan dan ingin membalas budi atas semua pengorbanan yang dilakukan pria itu akhir-akhir ini. Walau pun berulang kali ia menolak pernyataan dan juga ajakan menikah darinya, Clarissa tetap mencoba berdamai dengan keadaan dan berusaha keras untuk menerima semua kenyataan itu. "Clarissa?" Saat baru saja masuk ke dalam ruang inapnya, ia sudah disambut oleh banyak orang yang kebetulan sedang membesuk Leo di sana. Termasuk Kenan. "Tante." "Gimana kondisi kamu sekarang, Nak? Masih sakit?" tanya Rani khawatir dengan meneliti tubuh Clarissa dari atas rambut hingga ke ujung kakinya. "Sekarang udah baik-baik aja kok, Tan. Maaf karena udah banyak ngerepotin." Leo yang terbaring di atas ranjangnya itu merasa sangat lega saat tahu Clarissa sudah lebih baik sekarang, wa
Meskipun Clarissa mengatakan yang sebenarnya jika ia sempat membasuh wajah dan mengakibatkan bibirnya pucat lantaran lipsticknya luntur itu pun, Leo masih kurang yakin dan berpikir jika ada hal lain yang sengaja ia tutupi. Namun ia sendiri tidak tahu hal apa itu. "Kamu hati-hati di jalan ya, Nak." "Iya, Tante." Leo pun tak bisa mencegahnya pergi dan terpaksa membiarkan Clarissa ingin meninggalkan ruang inapnya. Meski perasaannya sedikit tak enak karena memikirkan kondisi gadis itu juga tak membuat sang empu berubah pikiran. Sampai tak lama kemudian, Clarissa ambruk di lantai rumah sakit itu saat baru saja melangkah hendak keluar dari sana. Sontak saja hal tersebut membuat Rani dan juta Leo terkejut melihatnya. "Clarissa!" Rani pun bergegas menghampiri Clarissa yang sudah tak sadarkan diri itu untuk mendahului Leo yang nekat untuk mencabut selang infusnya dengan kasar karena terlalu buru-buru. Bahkan ia harus rela menahan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya yang belum
"Maksud kamu Matthew?" Mendengar nama itu disebut, Clarissa terkejut bukan main. Pasalnya ia sama sekali tak pernah menceritakan tentang mantan kekasihnya itu terhadap Leo. Dan tentulah ia shock saat tahu bahwa Leo lebih dulu mengetahuinya. Jari-jemarinya pun sampai mencengkram kuat kain celananya tanpa sadar. "Om kenal Matthew?"Leo menggelengkan kepala pelan. Gadis itu merutuki diri karena sudah melayangkan pertanyaan bodoh, tentu saja pria itu tak mengenalnya karena memang mereka tak pernah bertemu sama sekali. Namun Clarissa hanya spontan bertanya karena saking penasaran dan kagetnya. "Saya tidak mengenalinya, selain tahu jika dia adalah mantan kekasihmu kan?" "Dan saya juga tahu kalau dia adalah penyebab kamu memiliki ketakutan saat petir datang. Karena semua trauma yang kamu alami itu berasal dari masa lalumu yang belum selesai," lanjut Leo kemudian. "Om tau darimana soal itu?" Clarissa masih mengejar jawaban yang masih ingin ia ketahuai kebenarannya. Sama sekali tak menggu