"Gak usah ngaco! Mulut lo sembarangan banget kalau ngomong!"
Kenan menghempaskan tangan Leo dari mulutnya cepat setelah itu."Ya lagian lo tumbenan bahas soal nikah. Biasanya aja lo paling anti diskusi soal itu, gue juga penasaran lah alesannya. Emang salah?""Gue juga terpaksa. Kalau bukan karena bokap gue, gak akan sudi gue bahas soal pernikahan apalagi perjodohan konyol ini.""Perjodohan? Lo mau dijodohin?"Leo menyipitkan kedua matanya menatap sengit ke arah Kenan saat pria itu tiba-tiba tampak bersemangat setelah mendengar kata perjodohan darinya barusan."Kenapa jadi lo yang antusias sekarang?""Ck, jawab dulu pertanyaan gue. Emang lo beneran mau dijodohin? Sama siapa?"Sang empu mengedikkan kedua bahunya tak tahu."Mangkanya itu gue stress dari kemarin. Bokap gue maksa buat gue cepetan nikah dengan pilihan sendiri, karena kalau nggak gue bakal dijodohin sama perempuan pilihan dia."Barulah sekarang Leo menjelaskan segala kronologi dan asal muasal ia bisa terjerat ke dalam persoalan ini."Terus rencana lo sekarang apa? Lo kan jomblo abadi.""Gue juga gak tahu, Ken."Kenan berpikir sejenak sebelum kembali membuka suara untuk menyampaikan idenya pada Leo."Kenapa lo gak coba buka hati aja buat nerima perempuan baru? Di luar sana banyak yang suka dan jadiin lo sebagai idaman mereka. Selama ini lo pasti juga tahu kan kalau banyak perempuan yang berusaha buat deketin lo?""Iya gue tahu. Tapi gue gak suka, gak ada yang cocok. Semuanya cuman ngincer harta dan tahta yang gue punya doang.""Tau darimana lo bisa judge begitu?"Leo sontak mencondongkan tubuhnya ke depan tepat di hadapan Kenan sembari menatap manik matanya lekat."Lo lupa kalau Hani udah habisin hampir seperempat harta yang gue punya, hah?""Itu karena emang lo yang bego aja sih kata gue.""Kok lo malah ngatain gue?""Ya lagian lo mau-maunya aja diporotin sama perempuan gak tahu diri kayak mantan lo itu. Udah dikasih ati malah minta jantung. Dulu gue udah sering peringatin lo buat lebih aware kalau dia bukan perempuan baik-baik. Tapi lo yang selalu gak peduli dan anggep ucapan gue cuman omong kosong doang.""Emang lo ada sedikit hikmahnya juga sih jomblo sampe sekarang.""Maksud lo apaan?""Maksud gue dengan status jomblo lo ini paling gak masih bisa nyelametin harta dan tahta yang selama ini lo pegang. Buktinya setelah putus dari Hani, lo lebih jaya kan?"Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Kenan barusan. Semenjak Leo putus hubungan dengan Hani 5 tahun lalu membuatnya lebih fokus pada karir dan hobi bekerja keras yang tentunya dapat menjayakan perusahaan keluarganya. Seakan hidupnya lebih didedikasikan untuk perusahaan yang ia pimpin sekarang.Karena Leo pikir cinta atau soal asmara itu hanya dapat menghambat pekerjaan dan mengganggu kehidupannya yang bebas seperti sekarang ini."Terus sekarang gue harus gimana? Gue males kalau harus pura-pura cari perempuan buat dikenalin ke mereka sebagai calon yang gue pilih. Tapi gue juga lebih males lagi kalau harus dijodohin sama perempuan yang bahkan gak gue gue kenal.""Kalau soal itu gue gak bisa berbuat banyak. Karena keputusannya juga tetep ada pada diri lo sendiri, Le. Mau gak mau dan cepat atau lambat lo juga harus mikirin soal ini. Inget bro, lo udah kepala 3 sekarang. Mau sampe kapan hidup sendiri? Emang lo gak pengen gitu pulang kerja capek disambut anak dan istri di rumah? Kalau gue sih ngebayanginnya aja bakalan seneng banget ya.""Tapi gue lebih bahagia kalau hidup bebas sendirian, Ken.""Wah emang susah kalau udah urusan sama mindset lo yang terlalu sulit buat gue sentuh. Terserah lo deh."Padahal tujuannya untuk mengajak Kenan datang kemari adalah untuk menemukan solusi bagi dirinya, namun yang ia dapat malah ceramah dan titahan darinya yang malas ia lakukan."Tapi kayaknya gue punya solusi deh, Le."Mendengar kalimat barusan barulah Leo tertarik."Solusi apaan?""Gimana kalau lo gue kenalin sana perempuan cantik nan kaya raya? Kayaknya dia bakal sebanding dan cocok deh sama lo. Karena kalian sama-sama sederajat.""Ck, gue pikir lo bakalan nolongin gue buat cari cara bisa lepas dari persoalan ini.""Tapi kali ini gue beneran serius. Udah cantik, pinter, baik, anak orang kaya lagi. Pasti lo suka. Apalagi orang tua lo.""Yakin lo orang tua gue bakalan suka?""Ya yakin lah, buktinya mereka masih kasih kesempatan buat lo nentuin pilihan sendiri dulu kan? Jadi itu tandanya mereka pasti bakal setuju sama pilihan lo selama lo suka."Dari percakapan panjang lebar yang telah mereka lalui sejak tadi, akhirnya Leo mulai menentukan titik terang. Walaupun belum sepenuhnya ia putuskan apakah iya atau tidak pada akhirnya.***Sudah sejak tadi pagi Clarissa merajuk dengan orang tuanya, terutama ayahnya ketika tahu ia akan dijodohkan dengan pria yang tidak ia kenal. Perempuan itu sangat kesal dan juga sebal jika rencana mereka sama sekali tak diketahui olehnya lebih dulu.Ditambah lagi ia terpaksa harus pulang ke tanah air setelah hampir 7 tahun menetap di negeri orang untuk mengenyam pendidikan di sana hanya untuk dijodohkan seperti ini."Sayang buka pintunya dulu dong, mama bawain makanan kesukaan kamu nih. Kamu makan dulu sebentar ya?"Sang empu sama sekali tak tertarik dengan tawaran dari ibunya sedikitpun. Walaupun ia sudah merasa sangat lapar sejak tadi tak akan ia gubris."Aku nggak laper, Ma. Mama bawa balik aja makanannya," jawab Clarissa berbohong tanpa beranjak dari tempat tidurnya sama sekali."Tapi kamu belum makan dari pagi, Ca. Nanti maag kamu kambuh lagi. Ayo makan dulu. Atau mau mama bilang ke papa sekarang biar kamu mau makan?"Clarissa mendengkus sebal saat mendengar kalimat dari ibunya yang lebih seperti sebuah ancaman itu. Mau tak mau ia harus membukakan pintu dan makan walau sedikit daripada harus terkena omelan ayahnya nanti.Sania langsung tersenyum lega ketika Clarissa sudah membukakan pintu untuknya."Nanti setelah makan mama mau bicara berdua sama kamu bisa kan?""Bicara soal apa, Ma? Kalau soal perjodohan itu lagi, maaf aku nggak mau.""Mama cuman mau jelasin alasannya aja, Sayang. Kamu jangan ambil kesimpulan yang buruk dulu, karena perjodohan itu papa lakukan karena ada sebabnya.""Tapi aku nggak mau dijodohin, Ma. Aku kuliah di luar negeri dan udah terbiasa hidup mandiri di sana sekarang malah tiba-tiba mau dijodohin yang bahkan sama laki-laki yang nggak aku kenal. Aku masih belum siap soal pernikahan, aku masih pengen nikmati masa mudaku dulu.""Mama tahu, tapi kamu juga harus tahu kalau kami terpaksa melakukan ini agar-""Agar tujuan mama dan papa segera tercapai kan?" potong Clarissa cepat.Sontak Sania menggelengkan kepalanya cepat dengan menatap lekat ke arah putri semata wayangnya itu."Nanti setelah kamu tahu alasan yang sebenarnya dan masih tetap ingin menolak perjodohan ini, maka mama dan papa akan beri kamu kebebasan memilih. Tapi untuk sebentar saja tolong dengarkan alasan mama dulu ya?"Clarissa terdiam cukup lama setelah ia selesai mendengarkan semua alasan perjodohan yang direncanakan oleh orang tuanya barusan. Sania menjelaskan sebab dan dampak dari persoalan perjodohan itu padanya membuat Clarissa kebingungan untuk menentukan keputusannya sendiri. Di satu sisi ia memang sangat sayang terhadap kedua orang tuanya, bahkan ia rela untuk melakukan apapun agar bisa membuat mereka bahagia. Namun di sisi yang lain itu juga ia tak ingin memaksakan kehendak yang tidak bisa ia lakukan, karena dirasa tidak ia senangi. Lantas bagaimana kedepannya? "Setelah ini mama harap kamu bisa memikirkan soal perjodohan ini baik-baik lagi ya, Ca. Jangan gegabah mengambil keputusan, karena kami sebagai orang tua kamu juga ingin yang terbaik untuk kamu." "Tapi kalau aku masih nolak gimana, Ma? Aku bener-bener nggak bisa kalau harus dijodohin. Karena pernikahan itu bukan hal yang main-main, aku cuman mau nikah sekali seumur hidupku. Dan itupun juga ingin aku lakuin sama orang yang benar
Setelah pekerjaannya selesai hari ini, Leo sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah karena sang empu ingin berkunjung ke rumah Kenan sebentar terlebih dahulu. Berhubung jika pria itu tidak bisa ia ajak bertemu di luar kali ini lantaran anaknya sedang sakit, maka Leo lah yang memutuskan untuk datang ke sana sekaligus menjenguk putri Kenan. Saat baru saja tiba di sana, ia melihat halaman rumah sahabatnya itu sudah penuh dengan 2 mobil di dalamnya yang membuat Leo mau tak mau harus memarkirkan mobilnya di depan rumah Kenan. Tidak biasanya rumah Kenan kedatangan tamu seperti ini tanpa ia memberitahu terlebih dahulu, padahal Kenan juga tahu jika dirinya akan datang berkunjung sore ini. "Di dalem ada tamu ya, Pak?" tanya Leo pada seorang satpam di rumah Kenan itu. "Iya, Pak. Ada adik sepupunya nyonya. Tadi tuan bilang kalau Pak Leo dateng disuruh langsung masuk saja," jawab beliau. "Oh iya, Pak. Terima kasih." "Sama-sama, Pak." Langkah Leo kembali berjalan menuju ke pintu utama ru
"Jadi gimana? Masih belum cocok juga?" tanya Kenan pada Leo ketika mereka sudah duduk bersama di ruang tengah. Seperti yang sudah diduga oleh sang empu, Leo menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. Dari reaksi itu saja Kenan sudah bisa tahu akan maksudnya. Dan lagi-lagi ia turut merasakan pusing juga stress yang dialami oleh Leo saat ia tak mendapatkan solusinya, seperti sekarang ini. "Terus sekarang lo maunya gimana? Mau gue cariin kandidat lagi?""Nggak usah. Lagian gue juga males kalau harus ketemu, ngobrol, dan ujung-ujungnya juga cuman buang-buang waktu gue," tolaknya mentah-mentah. "Ya kalau gitu lo harus bisa cepetan cari sendiri dong. Daripada lo dijodohin, mending milih sendiri kalau gue mah." "Tau lah, pusing gue." Kenan memutar bola matanya malas karena Leo benar-benar tak ada usaha sama sekali. Padahal di sini yang terlibat masalah bukan dirinya, namun Kenan malah yang terus pusing dan memikirkan agar bisa segera menemukan jalan keluarnya. Sangat jauh berb
Clarissa menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya sedikit terkejut saat mendengar suara guntur yang dahsyat barusan. Ditambah lagi kilatan petir di langit tadi juga tak sengaja terlihat olehnya membuat sang empu teringat akan sesuatu. "Kamu baik-baik saja kan?" Mendengar pertanyaan dari pria di sampingnya itu Clarissa menganggukkan kepala pelan. Perlahan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Leo saat menyadari jika ia sudah terlalu erat mencengkram hingga tak sengaja menyakitinya. "Iyaa, maaf nggak sengaja," jawab Clarissa kemudian dengan menyapu air matanya cepat dari kedua pipinya. Sedangkan Leo hanya menganggukkan kepala dan kembali mengalihkan perhatiannya ke arah depan. Meski sebenarnya ia tak tahu apa penyebab pastinya Clarissa menangis saat mendengar suara guntur seperti tadi, ia mencoba untuk tak mengusik dengan banyak pertanyaan padanya sedikitpun. Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, kini kondisi jalanan sudah mulai
"Maksudnya 'Amin' tadi apa ya? Kenapa nggak nyangkal kalau kita emang bukan suami istri sih, Om?" tanya Clarissa menentang jawaban Leo tadinya. "Saya bukan Om mu, jadi stop panggil seperti itu." Bukannya menjawab masalah tadi, Leo malah mempermasalahkan panggilan yang disematkan Clarissa untuknya itu. "Emang itu penting sekarang? Maksudnya apaan sih-""Rumahmu yang mana?" lagi-lagi Leo sengaja memotong ucapan Clarissa karena memang tak ingin memperdebatkan hal itu lagi. "Blok L-14," ujarnya malas. Sebenarnya Clarissa tak ingin menedebatkan hal apapun yang tidak bersangkutan dengannya. Namun persoalan tadi benar-benar membuatnya tak bisa tinggal diam karena sudah melewati batas yang seharusnya. Ditambah lagi Leo yang tidak menyangkal sama sekali membuat gadis 24 tahun itu sebal terhadapnya. Tepat di depan rumah elit milik orang tua Clarissa itu Leo menghentikan mobilnya. Ternyata dari kejauhan ia bisa melihat jika di dalam sana ada seorang pria juga wanita paruh baya sedang duduk
Leo keluar dari kamar Bagas dengan raut wajahnya yang datar. Setelah melihat kondisi ayahnya barusan di sana membuat pria itu lagi lagi jadi kepikiran. Namun kali ini bukan hanya sekadar tuntutan untuk dirinya agar bisa segera menikah, melainkan kondisi Bagas yang memang mengkhawatirkan saat ini. Belum lagi beliau juga selalu menolak diajak berobat dan selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Tentu saja Leo merasa tak tenang dan terus terpikirkan akan hal tersebut. Walaupun sebenarnya ia tak ingin memaksakan kehendak dengan terburu-buru untuk menikah, di lain sisi ia masih memikirkan kedua orang tuanya. Terutama Bagas yang akhir-akhir ini kesehatannya terus menurun. Ia takut jika suatu saat nanti akan menyesal jika di masa kini tak bisa memenuhi keinginan beliau. "Gimana, Kak? Papa mau diajak ke rumah sakit kan?" tanya Rani dengan harap ketika melihat Leo sudah keluar dari kamarnya. "Papa nolak pergi ke rumah sakit, Ma. Tapi papa masih mau kalau dokter yang dateng ke rumah,"
Setelah mendapatkan kembali mobilnya dari rumah Kenan, Clarissa langsung menuju ke kantor Leo tepat pada saat jam makan siang. Ia pikir itu adalah waktu yang tepat untuk datang menemuinya karena sudah memasuki waktu istirahat bekerja. Saat tiba di area lobby, tak sedikit orang yang melihat ke arahnya seperti tatapan orang asing yang belum pernah bertemu. Canggung dan segan. Walaupun tak dikenal di sana sama sekali, ternyata mayoritas orang yang ia temui tetap bersikap ramah padanya dengan tersenyum tipis ketika tatap mata mereka bertemu. Clarissa sempat terheran karena sudah terbiasa acuh tak acuh dengan orang lain sejak tinggal bertahun-tahun di luar negeri sampai lupa dengan kebiasaan budaya tak tertulis di negaranya sendiri itu. "Ck, mana dari tadi pagi perut gue sakit banget," keluh Clarissa yang semakin merasa kurang nyaman pada kondisi perutnya itu. Ia terus mendumel dalam hati di sepanjang langkahnya memasuki perusahaan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang perempua
"Om, please jangan kemana-mana ya," cegah Clarissa menahan lengan Leo agar pria itu tidak pergi kemanapun dan tetap berada di sisinya. "Tapi yang mengobati kamu dokter, bukan saya." Perempuan itu memasang wajah melas dengan gelengan kepalanya tak setuju dengan pernyataan Leo barusan. Walaupun memang bukan Leo yang mengobati lukanya, namun Clarissa membutuhkan pria itu untuk menemaninya dari rasa takut. Terutama saat menghadapi jarum suntik, iya, Clarissa sangat takut dengan jarum suntik sejak ia kecil. Bahkan setiap kali ia sakit dan mengharuskan dirawat di rumah sakit, ia pasti membutuhkan Sania selalu berada di sisinya saat pemasangan infus dengan jarum suntik yang menusuk kulit tangannya itu. "Aku takut, sumpah," akunya tak main-main. Dan akhirnya mau tak mau Leo tetap tinggal di sisinya karena Clarissa benar-benar menahannya untuk pergi meski sekadar menunggu di luar ruangan. Bahkan ia harus menahan rasa sungkannya terhadap dokter dan 1 orang perawat yang menangani luka Clari