Setelah pekerjaannya selesai hari ini, Leo sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah karena sang empu ingin berkunjung ke rumah Kenan sebentar terlebih dahulu. Berhubung jika pria itu tidak bisa ia ajak bertemu di luar kali ini lantaran anaknya sedang sakit, maka Leo lah yang memutuskan untuk datang ke sana sekaligus menjenguk putri Kenan.
Saat baru saja tiba di sana, ia melihat halaman rumah sahabatnya itu sudah penuh dengan 2 mobil di dalamnya yang membuat Leo mau tak mau harus memarkirkan mobilnya di depan rumah Kenan. Tidak biasanya rumah Kenan kedatangan tamu seperti ini tanpa ia memberitahu terlebih dahulu, padahal Kenan juga tahu jika dirinya akan datang berkunjung sore ini."Di dalem ada tamu ya, Pak?" tanya Leo pada seorang satpam di rumah Kenan itu."Iya, Pak. Ada adik sepupunya nyonya. Tadi tuan bilang kalau Pak Leo dateng disuruh langsung masuk saja," jawab beliau."Oh iya, Pak. Terima kasih.""Sama-sama, Pak."Langkah Leo kembali berjalan menuju ke pintu utama rumah itu. Ternyata tamu yang datang kali ini adalah adik sepupu dari Fira, istrinya Kenan. Pantas saja Kenan tak memberitahu padanya lebih dulu, mungkin karena bukan tamu formal.Setelah menekan tombol bel rumah sebanyak 2 kali, Leo menunggu tepat di depan pintu sana sembari melihat ke arah sekeliling rumah itu. Suasana yang ada di halaman hingga ke taman rumahnya sedikit mengalami perubahan dari terakhir kali ia datang ke sana, mungkin sekitar 3 bbulan yang lalu."Iya sebentar."Suara pintu terdengar jelas saat baru saja dibuka seseorang dari dalam membuat Leo kembali memalingkan wajahnya ke arah depan."Mau cari siapa?""Oh-Kenan, dia di rumah?"Tiba-tiba saja Leo mendadak salah fokus setelah melihat siapakah yang membukakan pintunya barusan. Wajah asing dan tak pernah ia lihat sama sekali sebelumnya."Ada, dia masih mandi. Tapi kalau mau masuk, tunggu sebentar."Perempuan itu langsung berbalik badan dan kembali masuk ke dalam meninggalkan Leo sendiri yang masih ada di depan pintu rumah. Ia sengaja untuk tidak mempersilahkannya masuk dan duduk di sofa ruang tamu sebelum meminta izin kepada sang tuan rumahnya lebih dulu.Sampai tak lama kemudian terlihat Fira datang menghampiri Leo yang masih setia berdiri di depan pintu karena memang belum dipersilahkan masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Ia disambut hangat oleh istri sahabatnya itu dan langsung menitahnya duduk selagi menunggu Kenan yang masih belum selesai mandi."Kenapa repot-repot," Fira menerima sebuah parsel buah yang dibawa Leo untuk putrinya."Bukan masalah.""Kalau gitu tunggu sebentar ya, biar aku panggilkan Kenan lagi sekarang."Leo menganggukkan kepalanya dan membiarkan Fira pergi meninggalkan ruang tamu sana.Selagi menunggu sang tuan rumah datang menemuinya, Leo memutuskan duduk di sofa ruang tamu sana dengan mengedarkan pandangannya ke sekeliling arah rumah Kenan saat ini."Maaf cuman adanya teh."Sang empu langsung teralihkan pandangannya ke seorang gadis yang saat ini ada di depannya tengah menyuguhkan segelas teh hangat untuknya."Terima kasih."Perempuan itu tak menjawab selain anggukan kepalanya dan langsung pergi meninggalkan Leo sendirian lagi. Ini pertama kalinya ia melihat perempuan itu setelah sekian lama mengenal istri Kenan beberapa tahun lalu.Mengetahui sikap cuek dan acuh tak acuh padanya itu sempat membuat Leo tertarik. Tertarik untuk mengetahui alasan mengapa sang empu bisa bersikap secuek itu di saat Leo yang tak pernah mendapatkan sikap demikian dari wanita manapun meski baru mengenalnya pertama kali.Sedikit narsistik, namun memang begitulah adanya."Woi, sorry banget gue baru kelar mandi."Tak lama kemudian tiba-tiba suara Kenan yang terdengar dari dalam rumah membuat Leo menoleh cepat."Santai.""Lo udah makan belum? Makan bareng sekalian yuk, istri gue udah masak banyak hari ini karena tau lo bakal dateng.""Ngapain lo bilang sih? Ngerepotin aja.""Dih gaya lo, kayak sama siapa aja. Ayo buru makan, mumpung anak gue udah tidur."Kenan menarik tangan Leo paksa agar bisa segera bangkit dari duduknya dan ikut menuju ke ruang makan. Pria itu memang sudah tak pernah mengenal jaim atau canggung sama sekali untuk mengajak dan menjadikan Leo sebagai tamu yang berharga walaupun sahabatnya sendiri."Sayang, kita makan sekarang ya?""Oh iya ayo ayo. Aku siapin piring sama nasinya dulu. Kalian duduk dulu aja."Fira langsung bergegas menyuguhkan semua perlengkapan makan bersama mereka selagi kedua pria itu menunggu."Si Ica gak diajak makan juga? Lagian Fina udah tidur kan.""Iya habis ini aku panggil dia buat makan bareng."Setelah semuanya telah siap dan tinggal disantap, kini ganti Fira yang memanggil adik sepupunya itu lebih dulu agar bisa bergabung makan bersama mereka sekarang. Sedangkan Kenan dan juga Leo memang sengaja untuk tidak mendahului di saat kedua perempuan itu belum tiba."Ngomong-ngomong gimana kondisi anak lo sekarang? Kenapa nggak dirawat di rumah sakit aja?" tanya Leo memecah kebisuan di antara mereka."Dia udah lebih baik kok sekarang. Kemarin udah gue bawa ke rumah sakit, kata dokter dia cuman demam dan dikasih obat-obatan aja sama disuruh istirahat dulu.""Terus kalau lo sendiri gimana?" tanya Kenan balik."Gue? Gimana apanya?""Ck, masalah waktu itu.""Gak deh, gue kurang cocok sama dia.""Tapi belum juga dicoba-""Emang lo kira apaan buat coba-coba? Gue rasa emang bukan dia aja. Dan lebih baik mulai sekarang lo stop aja deh cariin gue kenalan lagi. Males banget ladeninnya."Kenan menghela napas panjang dengan menatap lekat ke arah Leo. Memang seharusnya ia tak berharap banyak pada sahabatnya itu, karena ia tahu betul jika sang empu sangat sulit untuk dibuat luluh jika soal asmara."Terus sekarang rencana lo apa? Bakal nerima perjodohan yang dirancang sama orang tua lo?"Leo tak menjawab selain hanya kedikan kedua bahunya itu sebagai respon."Nggak usah deh, Kak. Gue belum laper."Mendengar suara yang berasal dari arah belakang membuat Leo serta Kenan menoleh bersamaan. Mereka mendapati Fira tengah menarik tangan adik sepupunya itu agar bisa turut bergabung makan bersama mereka."Jangan kebiasaan nunda makan mulu. Nanti sakit baru tau rasa lo," ancam Fira yang tak lagi digubris olehnya setelah itu."Iya nih si Ica, kebiasaan banget susah makan. Udah tau punya maag, masih aja lalai," imbuh Kenan kemudian."Tuh dengerin.""Iya iya. Kalian berdua kenapa makin bawel aja? Perasaan tahun lalu nggak kayak gini deh.""Mangkanya jangan tinggal di negeri orang mulu. Ketinggalan banyak hal dan berita lo di sini."Melihat interaksi dan juga percakapan dari mereka membuat Leo gagal fokus dan tanpa sadar mengamati perempuan asing itu sejak tadi. Tampaknya sang empu berusia jauh di bawahnya karena terlihat sangat muda. Pantas saja jika lebih banyak membantah dan suka mengomel seperti tadi."Woi, Le? Malah bengong."Barulah setelah Kenan menyenggol lengannya membuat sang empu langsung tersadar dan mengalihkan pandangan ke lain arah."Kenalin dulu, ini adik sepupunya istri gue. Gue rasa ini pertama kalinya kalian ketemu kan?"Leo menganggukkan kepalanya."Ca, cepetan salamin," peringat Fira karena adik sepupunya itu tak kunjung memberi Leo salam."Hallo, gue Clarissa," ucapnya sembari mengulurkan tangannya ke arah Leo."Gue? Gak sopan banget lo sama orang tua.""Orang tua? Maksud lo gue?" jawab Leo cepat setelah mendengar kalimat Kenan barusan."Eh maksud gue bukan gitu- iya udah deh ini kenalin aja dulu," kata Kenan yang alih-alih takut Leo sensitif karena kalimatnya barusan.Leo tersentak kaget ketika Kenan tiba-tiba menarik tangan kanannya paksa untuk dijabatkan pada Clarissa yang sudah lama menunggu."Leo."Singkat padat dan jelas, begitulah tutur pria itu saat mengenalkan dirinya kepada Clarissa."Jadi gimana? Masih belum cocok juga?" tanya Kenan pada Leo ketika mereka sudah duduk bersama di ruang tengah. Seperti yang sudah diduga oleh sang empu, Leo menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. Dari reaksi itu saja Kenan sudah bisa tahu akan maksudnya. Dan lagi-lagi ia turut merasakan pusing juga stress yang dialami oleh Leo saat ia tak mendapatkan solusinya, seperti sekarang ini. "Terus sekarang lo maunya gimana? Mau gue cariin kandidat lagi?""Nggak usah. Lagian gue juga males kalau harus ketemu, ngobrol, dan ujung-ujungnya juga cuman buang-buang waktu gue," tolaknya mentah-mentah. "Ya kalau gitu lo harus bisa cepetan cari sendiri dong. Daripada lo dijodohin, mending milih sendiri kalau gue mah." "Tau lah, pusing gue." Kenan memutar bola matanya malas karena Leo benar-benar tak ada usaha sama sekali. Padahal di sini yang terlibat masalah bukan dirinya, namun Kenan malah yang terus pusing dan memikirkan agar bisa segera menemukan jalan keluarnya. Sangat jauh berb
Clarissa menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya sedikit terkejut saat mendengar suara guntur yang dahsyat barusan. Ditambah lagi kilatan petir di langit tadi juga tak sengaja terlihat olehnya membuat sang empu teringat akan sesuatu. "Kamu baik-baik saja kan?" Mendengar pertanyaan dari pria di sampingnya itu Clarissa menganggukkan kepala pelan. Perlahan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Leo saat menyadari jika ia sudah terlalu erat mencengkram hingga tak sengaja menyakitinya. "Iyaa, maaf nggak sengaja," jawab Clarissa kemudian dengan menyapu air matanya cepat dari kedua pipinya. Sedangkan Leo hanya menganggukkan kepala dan kembali mengalihkan perhatiannya ke arah depan. Meski sebenarnya ia tak tahu apa penyebab pastinya Clarissa menangis saat mendengar suara guntur seperti tadi, ia mencoba untuk tak mengusik dengan banyak pertanyaan padanya sedikitpun. Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, kini kondisi jalanan sudah mulai
"Maksudnya 'Amin' tadi apa ya? Kenapa nggak nyangkal kalau kita emang bukan suami istri sih, Om?" tanya Clarissa menentang jawaban Leo tadinya. "Saya bukan Om mu, jadi stop panggil seperti itu." Bukannya menjawab masalah tadi, Leo malah mempermasalahkan panggilan yang disematkan Clarissa untuknya itu. "Emang itu penting sekarang? Maksudnya apaan sih-""Rumahmu yang mana?" lagi-lagi Leo sengaja memotong ucapan Clarissa karena memang tak ingin memperdebatkan hal itu lagi. "Blok L-14," ujarnya malas. Sebenarnya Clarissa tak ingin menedebatkan hal apapun yang tidak bersangkutan dengannya. Namun persoalan tadi benar-benar membuatnya tak bisa tinggal diam karena sudah melewati batas yang seharusnya. Ditambah lagi Leo yang tidak menyangkal sama sekali membuat gadis 24 tahun itu sebal terhadapnya. Tepat di depan rumah elit milik orang tua Clarissa itu Leo menghentikan mobilnya. Ternyata dari kejauhan ia bisa melihat jika di dalam sana ada seorang pria juga wanita paruh baya sedang duduk
Leo keluar dari kamar Bagas dengan raut wajahnya yang datar. Setelah melihat kondisi ayahnya barusan di sana membuat pria itu lagi lagi jadi kepikiran. Namun kali ini bukan hanya sekadar tuntutan untuk dirinya agar bisa segera menikah, melainkan kondisi Bagas yang memang mengkhawatirkan saat ini. Belum lagi beliau juga selalu menolak diajak berobat dan selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Tentu saja Leo merasa tak tenang dan terus terpikirkan akan hal tersebut. Walaupun sebenarnya ia tak ingin memaksakan kehendak dengan terburu-buru untuk menikah, di lain sisi ia masih memikirkan kedua orang tuanya. Terutama Bagas yang akhir-akhir ini kesehatannya terus menurun. Ia takut jika suatu saat nanti akan menyesal jika di masa kini tak bisa memenuhi keinginan beliau. "Gimana, Kak? Papa mau diajak ke rumah sakit kan?" tanya Rani dengan harap ketika melihat Leo sudah keluar dari kamarnya. "Papa nolak pergi ke rumah sakit, Ma. Tapi papa masih mau kalau dokter yang dateng ke rumah,"
Setelah mendapatkan kembali mobilnya dari rumah Kenan, Clarissa langsung menuju ke kantor Leo tepat pada saat jam makan siang. Ia pikir itu adalah waktu yang tepat untuk datang menemuinya karena sudah memasuki waktu istirahat bekerja. Saat tiba di area lobby, tak sedikit orang yang melihat ke arahnya seperti tatapan orang asing yang belum pernah bertemu. Canggung dan segan. Walaupun tak dikenal di sana sama sekali, ternyata mayoritas orang yang ia temui tetap bersikap ramah padanya dengan tersenyum tipis ketika tatap mata mereka bertemu. Clarissa sempat terheran karena sudah terbiasa acuh tak acuh dengan orang lain sejak tinggal bertahun-tahun di luar negeri sampai lupa dengan kebiasaan budaya tak tertulis di negaranya sendiri itu. "Ck, mana dari tadi pagi perut gue sakit banget," keluh Clarissa yang semakin merasa kurang nyaman pada kondisi perutnya itu. Ia terus mendumel dalam hati di sepanjang langkahnya memasuki perusahaan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang perempua
"Om, please jangan kemana-mana ya," cegah Clarissa menahan lengan Leo agar pria itu tidak pergi kemanapun dan tetap berada di sisinya. "Tapi yang mengobati kamu dokter, bukan saya." Perempuan itu memasang wajah melas dengan gelengan kepalanya tak setuju dengan pernyataan Leo barusan. Walaupun memang bukan Leo yang mengobati lukanya, namun Clarissa membutuhkan pria itu untuk menemaninya dari rasa takut. Terutama saat menghadapi jarum suntik, iya, Clarissa sangat takut dengan jarum suntik sejak ia kecil. Bahkan setiap kali ia sakit dan mengharuskan dirawat di rumah sakit, ia pasti membutuhkan Sania selalu berada di sisinya saat pemasangan infus dengan jarum suntik yang menusuk kulit tangannya itu. "Aku takut, sumpah," akunya tak main-main. Dan akhirnya mau tak mau Leo tetap tinggal di sisinya karena Clarissa benar-benar menahannya untuk pergi meski sekadar menunggu di luar ruangan. Bahkan ia harus menahan rasa sungkannya terhadap dokter dan 1 orang perawat yang menangani luka Clari
Sekitar pukul setengah tujuh malam, Clarissa sudah bersiap dan bergegas untuk menuju ke tempat makan yang sudah dijanjikan bertemu dengan Leo di sana. Dan ia juga sudah membawa serta jas milik Leo di dalam mobilnya untuk dikembalikan pada sang empu hari ini setelah bersusah payah mencucinya dengan bantuan Bi Santi semalam. Mobilnya dilajukan meninggalkan pelataran rumah dengan tenang dan santai. Selama Clarissa perjalanan menuju ke tempat makan, Leo ternyata sudah datang lebih dulu sejak tadi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini dengan cepat. Tiba-tiba saja ia gugup dan kepikiran dengan apa yang seharusnya dikatakan nanti di hadapan Clarissa. Padahal semalam ia sudah banyak menyusun rencana untuk bisa dinegosiasikan dengan perempuan itu. "Tapi gimana kalau dia nolak bantuin gue?" monolog Leo frustasi. Ia benar-benar buntu dan tak menemukan jalan keluar untuk permasalahannya sendiri hingga saat ini. Awalnya ia memang tak ingin melibatkan orang lain ke dalam permasalahan
Clarissa berdecak sebal dengan meraup wajahnya frustasi setelah melihat ke arah kursi penumpang di sampingnya. Ia benar-benar merutuki dirinya sendiri saat tersadar jika jas kerja milik Leo belum sempat ia kembalikan. Padahal tujuan utamanya ke sini salah satunya adalah ingin mengembalikan jas tersebut pada sang empunya. "Bego banget sih lo, Ca? Kenapa pake acara lupa segala?" monolognya geram. Niat hati ingin melarikan diri dari Leo agar bisa terbebas dari urusannya, malah mengharuskan perempuan itu lagi dan lagi untuk bisa bertemu dengannya. Jika sudah begini tampaknya Clarissa memang tak diizinkan lari dari kenyataan sebelum bisa menghadapinya lebih dulu. "Ck, bodoh amat gue. Kapan-kapan aja balikinnya. Masih bisa dititip sama temennya aja," batin Clarissa yang teringat jika masih ada sosok Kenan yang bisa membantunya untuk mengembalikan jas kerja itu. Dan alhasil ia segera menyalakan mesin mobilnya dan bergegas pergi meninggalkan area restoran tersebut. Tanpa pamit dan salam,
"Biar saya antar pulang, sekarang sudah larut malam, Sa.""Nggak usah, aku bisa pulang sendiri. Lagian juga rumahku nggak terlalu jauh dari sini," tolak Clarissa mentah-mentah atas tawaran yang diberikan oleh Leo barusan. "Tapi kamu-""Udah lah, Om. Aku bisa sendiri. Lagian Om juga lagi sakit kan? Mending tidur aja sekarang, daripada nganterin aku, aku udah bawa mobil sendiri," potong Clarissa cepat sebelum Leo menyelesaikan kalimatnya. "Kamu yakin?"Sang puan menganggukkan kepalanya cepat. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya. Tolong kabari saya kalau sudah sampai di rumah." "Emang harus ya?""Harus, kalau tidak lebih baik saya yang antar." "Ck, iya iya nanti aku kabarin. Udah deh, aku pulang sekarang. Sana masuk aja." Ya, daripada Clarissa harus dibuntuti oleh Leo hingga sampai ke rumah, lebih baik ia menyetujui untuk memberikan kabar jika ia sudah tiba di rumah. "Saya tunggu kamu sampai keluar dulu, baru saya masuk." Tak ada pilihan lagi, Clarissa juga tak berniat
Setibanya di rumah Leo, Clarissa menghentikan mobil di teras rumah setelah dibukakan pintu gerbang oleh Pak Damar sebagai satpam di kediaman keluarga Adinata itu. Segera ia bergegas turun lebih dulu dan membantu pria itu keluar dari sana. Tanpa ia sadari jika perlakuannya saat ini terhadap Leo begitu kentara perbedaannya dari biasanya karena ia terlalu khawatir dengan kondisinya. "Saya hanya sedikit pusing saja, Sa." "Ya emang salah kalau aku cuman mau bantuin?" tanya Clarissa balik. "Saya hanya takut salah paham untuk menilai tindakanmu ini."Clarissa sendiri menghela napas panjang dan menutup pintu mobil setelah Leo keluar dari sana. "Terserah, aku cuman mau bantuin. Yang jelas sekarang cepetan istirahat dan jangan lakuin aktivitas apa-apa lagi." Pria itu tersenyum tipis karena mengetahui tingkah Clarissa yang begitu peduli terhadapnya. Meskipun tak diucapkan olehnya secara gamblang, tetap begitu jelas baginya. "Tunggu.""Apa lagi?""Mana?" Sang puan mengerutkan dahinya bingu
Setelah melewati serangkaian proses hukum yang berlaku, Hani dinyatakan bersalah. Dan ia mendapatkan sanksi berupa kurungan penjara sesuai kurun waktu yang sudah ditetapkan berdasarkan kesalahan yang diperbuat. Tentu saja Leo merasa puas dan juga lega karena perempuan itu mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya yang nyaris mencelakai Clarissa. Setidaknya dalam beberapa tahun ke depan hidupnya akan tenang karena tak ada lagi siapapun yang mengusik hidupnya dan juga Clarissa. "Kenapa lo tega banget biarin dia di penjara sih, Kak?" "Tega? Setelah perbuatan dia yang nyaris melukai Clarissa lo bilang gue tega? Harusnya gue yang tanya sama lo, kenapa lo selalu bela dia dari dulu, hah?" "Gue gak belain dia. Gue cuman kasihan, dari dulu dia selalu-""Selalu apa? Selalu pengen dapet perhatian dari lo kan? Udah lah, gue muak denger alasan apapun dari lo. Jangan bahas dia lagi di depan gue, karena gue gak peduli." William menghela napas berat. Leo memang susah sekali untuk memaafk
Clarissa tak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Leo sampai ia bisa berpikiran seperti itu. Padahal tak ada sekalipun niatnya untuk berpikir sejauh yang pria itu duga. Apalagi dengan calon adik iparnya sendiri. Ia tak serendah dan semudah itu. Bahkan sejak pertama kali pertemuan dan perkenalannya dengan William, Leo selalu over protect dan sinis setiap kali ia berbicara atau sekedar menyapanya saja waktu sang empu menjenguk Liam setelah mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu. Awalnya ia pikir Leo memang sifat yang mudah cemburu, namun semakin diperhatikan ternyata ada sesuatu yang sedang ditutupi olehnya, mungkin. "Kamu pulang aja kalau ngantuk. Istirahat di rumah, biar besok interview nya maksimal." Leo tahu jika Clarissa sudah sangat lelah karena sudah menemaninya di rumah sakit sejak tadi siang hingga menjelang malam seperti ini. Padahal pria itu sudah melarangnya untuk sering datang karena tak ingin membuatnya kerepotan dan kelelahan, namun Clarissa sendiri tetap bersike
Clarissa jadi banyak perbedaan di mata Leo sejak perempuan itu menyatakan persetujuannya kemarin lusa untuk bisa menerima lamarannya. Iya, dia jadi lebih perhatian dan tak segan membantu apa saja yang dibutuhkan juga diinginkan oleh Leo saat berada di rumah sakit. Ia juga selalu rutin menjenguknya di sana setiap hari meskipun tak sampai menginap. Namun hal itu saja sudah membuat Leo senang karena sangat dipedulikan olehnya. Bahkan tanpa harus dipaksa atau dikode sama sekali, Clarissa sudah berinisiatif melakukan semua hal yang dulu selalu ia tolak mentah-mentah. Yaitu peduli dan selalu menanyakan bagaimana kabarnya terhadap Leo lebih dulu. "Besok aku ada interview pagi, jadi kalau belum sempet ke sini gak usah nyariin." "Interview? Kamu yakin?" "Kenapa tanyanya begitu? Ya yakin lah, aku pengen kerja. Pengen punya kesibukan dan hasilin uang sendiri.""Maksud saya yakin kamu interview? Atau mau langsung diterima jadi karyawan tetap? Biar saya yang atur semuanya untuk kamu." "Nggak
Clarissa tertunduk beberapa waktu, tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil sesuatu dari dalam sana. Dan ia membuka sebuah kotak beludru berwarna merah pekat itu guna mengambil cincin permata indah yang ia simpan sejak kemarin untuk disematkan sendiri pada jari manis di tangan kirinya. Tanpa kata apapun, ia mengangkat tangannya untuk ditunjukkan pada Leo yang sejak tadi sudah melihat perbuatannya itu. "Sa, itu-" "Iya, aku setuju. Ayo kita menikah," selat Clarissa dengan tegas dan yakin saat mengucapkan kalimatnya. Tentu saja Leo terkejut dengan sikap perempuan itu yang tiba-tiba. Padahal kemarin ia sudah menolak dengan percuma, namun sekarang malah sebaliknya dengan inisiatif sendiri sebelum Leo kembali beraksi. "Kamu serius? Kamu tidak bercanda kan?" tanya pria itu masih belum percaya. "Nggak. Bukannya dari awal aku emang setuju untuk menikah sama om? Dan ini bakal aku anggap sebagai cincin lamaran kita."Leo mulai menerbitkan senyuman manis di wajah pucatnya itu. Ia begit
Setelah bergelut dengan pikirannya sejak tadi, akhirnya Clarissa memberanikan diri lagi untuk datang ke ruangan Leo meski tahu hubungan di antara mereka semakin abu-abu dan tak jelas akan kemana arahnya. Untuk saat ini ia masih segan dan ingin membalas budi atas semua pengorbanan yang dilakukan pria itu akhir-akhir ini. Walau pun berulang kali ia menolak pernyataan dan juga ajakan menikah darinya, Clarissa tetap mencoba berdamai dengan keadaan dan berusaha keras untuk menerima semua kenyataan itu. "Clarissa?" Saat baru saja masuk ke dalam ruang inapnya, ia sudah disambut oleh banyak orang yang kebetulan sedang membesuk Leo di sana. Termasuk Kenan. "Tante." "Gimana kondisi kamu sekarang, Nak? Masih sakit?" tanya Rani khawatir dengan meneliti tubuh Clarissa dari atas rambut hingga ke ujung kakinya. "Sekarang udah baik-baik aja kok, Tan. Maaf karena udah banyak ngerepotin." Leo yang terbaring di atas ranjangnya itu merasa sangat lega saat tahu Clarissa sudah lebih baik sekarang, wa
Meskipun Clarissa mengatakan yang sebenarnya jika ia sempat membasuh wajah dan mengakibatkan bibirnya pucat lantaran lipsticknya luntur itu pun, Leo masih kurang yakin dan berpikir jika ada hal lain yang sengaja ia tutupi. Namun ia sendiri tidak tahu hal apa itu. "Kamu hati-hati di jalan ya, Nak." "Iya, Tante." Leo pun tak bisa mencegahnya pergi dan terpaksa membiarkan Clarissa ingin meninggalkan ruang inapnya. Meski perasaannya sedikit tak enak karena memikirkan kondisi gadis itu juga tak membuat sang empu berubah pikiran. Sampai tak lama kemudian, Clarissa ambruk di lantai rumah sakit itu saat baru saja melangkah hendak keluar dari sana. Sontak saja hal tersebut membuat Rani dan juta Leo terkejut melihatnya. "Clarissa!" Rani pun bergegas menghampiri Clarissa yang sudah tak sadarkan diri itu untuk mendahului Leo yang nekat untuk mencabut selang infusnya dengan kasar karena terlalu buru-buru. Bahkan ia harus rela menahan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya yang belum
"Maksud kamu Matthew?" Mendengar nama itu disebut, Clarissa terkejut bukan main. Pasalnya ia sama sekali tak pernah menceritakan tentang mantan kekasihnya itu terhadap Leo. Dan tentulah ia shock saat tahu bahwa Leo lebih dulu mengetahuinya. Jari-jemarinya pun sampai mencengkram kuat kain celananya tanpa sadar. "Om kenal Matthew?"Leo menggelengkan kepala pelan. Gadis itu merutuki diri karena sudah melayangkan pertanyaan bodoh, tentu saja pria itu tak mengenalnya karena memang mereka tak pernah bertemu sama sekali. Namun Clarissa hanya spontan bertanya karena saking penasaran dan kagetnya. "Saya tidak mengenalinya, selain tahu jika dia adalah mantan kekasihmu kan?" "Dan saya juga tahu kalau dia adalah penyebab kamu memiliki ketakutan saat petir datang. Karena semua trauma yang kamu alami itu berasal dari masa lalumu yang belum selesai," lanjut Leo kemudian. "Om tau darimana soal itu?" Clarissa masih mengejar jawaban yang masih ingin ia ketahuai kebenarannya. Sama sekali tak menggu