"Biar saya antar pulang, sekarang sudah larut malam, Sa.""Nggak usah, aku bisa pulang sendiri. Lagian juga rumahku nggak terlalu jauh dari sini," tolak Clarissa mentah-mentah atas tawaran yang diberikan oleh Leo barusan. "Tapi kamu-""Udah lah, Om. Aku bisa sendiri. Lagian Om juga lagi sakit kan? Mending tidur aja sekarang, daripada nganterin aku, aku udah bawa mobil sendiri," potong Clarissa cepat sebelum Leo menyelesaikan kalimatnya. "Kamu yakin?"Sang puan menganggukkan kepalanya cepat. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya. Tolong kabari saya kalau sudah sampai di rumah." "Emang harus ya?""Harus, kalau tidak lebih baik saya yang antar." "Ck, iya iya nanti aku kabarin. Udah deh, aku pulang sekarang. Sana masuk aja." Ya, daripada Clarissa harus dibuntuti oleh Leo hingga sampai ke rumah, lebih baik ia menyetujui untuk memberikan kabar jika ia sudah tiba di rumah. "Saya tunggu kamu sampai keluar dulu, baru saya masuk." Tak ada pilihan lagi, Clarissa juga tak berniat
Lampu gemerlap diskotik dengan dentuman suara musik yang keras sudah membuat pria dewasa berusia 30 tahun itu semakin merasa pusing. Kepalanya berdenyut sejak tadi setelah meneguk hampir 1 botol alkohol yang dipesannya pada seorang bartender kenalannya. Leovandra Adinata. Pria 30 tahun pemilik paras tampan dan tubuh tinggi tegap dengan segala kelebihan yang dimilikinya pasti akan mampu membuat perempuan yang baru melihatnya takjub senang. Ditambah lagi ia juga baru saja menjabat sebagai seorang CEO di perusahaan milik kakeknya yang diwariskan kepada ayahnya itu sekarang nyaris resmi menjadi miliknya yang menambah nilai plus baginya. Apapun bisa ia miliki dengan mudah dan cepat jika Leo mau. Meskipun dilihat dari segala bentuk sisi manapun tak membuatnya tampak kekurangan segala hal. Namun perangainya yang terkenal galak dan juga tega saat di kantor sama sekali tak akan berlaku jika saat ia berada di rumah. Apalagi jika harus dihadapkan dengan Bagas Laksana Adinata, ayahnya sendiri y
Sekitar pukul 6 pagi Leo baru saja terbangun dari tidurnya yang lelap dengan kepala yang masih berdenyut pusing. Ia tak langsung pergi ke kamar mandi walaupun ia tahu jika hari ini pasti akan kesiangan untuk pergi ke kantor, karena kondisi tubuhnya sendiri memang benar-benar sulit diajak kompromi dengan cekatan. "Aishh, kenapa sampe mabok lagi sih?" gumamnya sendiri setelah menyadari jika semalam ia sudah mabuk berat. Padahal sebelum memutuskan untuk meminum alkoholnya, Leo berjanji jika hanya akan menenggak sedikit saja agar tidak sampai mabuk. Namun ternyata itu salah, justru ia membabi buta dan berakhir seperti demikian. Sudah dapat dipastikan jika ia keluar kamar nanti dan bertemu dengan Bagas pasti akan terus diungkit lagi dan lagi. Dan itu benar-benar membuatnya sangat muak. Leo mendengkus napas besar dengan menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari arah luar. Ia yang tadinya ingin pergi ke kamar mandi jadi urung dan berbalik arah untuk membukakan pintu di sana. "Leo,
"Gak usah ngaco! Mulut lo sembarangan banget kalau ngomong!"Kenan menghempaskan tangan Leo dari mulutnya cepat setelah itu. "Ya lagian lo tumbenan bahas soal nikah. Biasanya aja lo paling anti diskusi soal itu, gue juga penasaran lah alesannya. Emang salah?" "Gue juga terpaksa. Kalau bukan karena bokap gue, gak akan sudi gue bahas soal pernikahan apalagi perjodohan konyol ini." "Perjodohan? Lo mau dijodohin?"Leo menyipitkan kedua matanya menatap sengit ke arah Kenan saat pria itu tiba-tiba tampak bersemangat setelah mendengar kata perjodohan darinya barusan. "Kenapa jadi lo yang antusias sekarang?" "Ck, jawab dulu pertanyaan gue. Emang lo beneran mau dijodohin? Sama siapa?" Sang empu mengedikkan kedua bahunya tak tahu. "Mangkanya itu gue stress dari kemarin. Bokap gue maksa buat gue cepetan nikah dengan pilihan sendiri, karena kalau nggak gue bakal dijodohin sama perempuan pilihan dia." Barulah sekarang Leo menjelaskan segala kronologi dan asal muasal ia bisa terjerat ke dal
Clarissa terdiam cukup lama setelah ia selesai mendengarkan semua alasan perjodohan yang direncanakan oleh orang tuanya barusan. Sania menjelaskan sebab dan dampak dari persoalan perjodohan itu padanya membuat Clarissa kebingungan untuk menentukan keputusannya sendiri. Di satu sisi ia memang sangat sayang terhadap kedua orang tuanya, bahkan ia rela untuk melakukan apapun agar bisa membuat mereka bahagia. Namun di sisi yang lain itu juga ia tak ingin memaksakan kehendak yang tidak bisa ia lakukan, karena dirasa tidak ia senangi. Lantas bagaimana kedepannya? "Setelah ini mama harap kamu bisa memikirkan soal perjodohan ini baik-baik lagi ya, Ca. Jangan gegabah mengambil keputusan, karena kami sebagai orang tua kamu juga ingin yang terbaik untuk kamu." "Tapi kalau aku masih nolak gimana, Ma? Aku bener-bener nggak bisa kalau harus dijodohin. Karena pernikahan itu bukan hal yang main-main, aku cuman mau nikah sekali seumur hidupku. Dan itupun juga ingin aku lakuin sama orang yang benar
Setelah pekerjaannya selesai hari ini, Leo sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah karena sang empu ingin berkunjung ke rumah Kenan sebentar terlebih dahulu. Berhubung jika pria itu tidak bisa ia ajak bertemu di luar kali ini lantaran anaknya sedang sakit, maka Leo lah yang memutuskan untuk datang ke sana sekaligus menjenguk putri Kenan. Saat baru saja tiba di sana, ia melihat halaman rumah sahabatnya itu sudah penuh dengan 2 mobil di dalamnya yang membuat Leo mau tak mau harus memarkirkan mobilnya di depan rumah Kenan. Tidak biasanya rumah Kenan kedatangan tamu seperti ini tanpa ia memberitahu terlebih dahulu, padahal Kenan juga tahu jika dirinya akan datang berkunjung sore ini. "Di dalem ada tamu ya, Pak?" tanya Leo pada seorang satpam di rumah Kenan itu. "Iya, Pak. Ada adik sepupunya nyonya. Tadi tuan bilang kalau Pak Leo dateng disuruh langsung masuk saja," jawab beliau. "Oh iya, Pak. Terima kasih." "Sama-sama, Pak." Langkah Leo kembali berjalan menuju ke pintu utama ru
"Jadi gimana? Masih belum cocok juga?" tanya Kenan pada Leo ketika mereka sudah duduk bersama di ruang tengah. Seperti yang sudah diduga oleh sang empu, Leo menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. Dari reaksi itu saja Kenan sudah bisa tahu akan maksudnya. Dan lagi-lagi ia turut merasakan pusing juga stress yang dialami oleh Leo saat ia tak mendapatkan solusinya, seperti sekarang ini. "Terus sekarang lo maunya gimana? Mau gue cariin kandidat lagi?""Nggak usah. Lagian gue juga males kalau harus ketemu, ngobrol, dan ujung-ujungnya juga cuman buang-buang waktu gue," tolaknya mentah-mentah. "Ya kalau gitu lo harus bisa cepetan cari sendiri dong. Daripada lo dijodohin, mending milih sendiri kalau gue mah." "Tau lah, pusing gue." Kenan memutar bola matanya malas karena Leo benar-benar tak ada usaha sama sekali. Padahal di sini yang terlibat masalah bukan dirinya, namun Kenan malah yang terus pusing dan memikirkan agar bisa segera menemukan jalan keluarnya. Sangat jauh berb
Clarissa menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya sedikit terkejut saat mendengar suara guntur yang dahsyat barusan. Ditambah lagi kilatan petir di langit tadi juga tak sengaja terlihat olehnya membuat sang empu teringat akan sesuatu. "Kamu baik-baik saja kan?" Mendengar pertanyaan dari pria di sampingnya itu Clarissa menganggukkan kepala pelan. Perlahan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Leo saat menyadari jika ia sudah terlalu erat mencengkram hingga tak sengaja menyakitinya. "Iyaa, maaf nggak sengaja," jawab Clarissa kemudian dengan menyapu air matanya cepat dari kedua pipinya. Sedangkan Leo hanya menganggukkan kepala dan kembali mengalihkan perhatiannya ke arah depan. Meski sebenarnya ia tak tahu apa penyebab pastinya Clarissa menangis saat mendengar suara guntur seperti tadi, ia mencoba untuk tak mengusik dengan banyak pertanyaan padanya sedikitpun. Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, kini kondisi jalanan sudah mulai