Sekitar pukul 6 pagi Leo baru saja terbangun dari tidurnya yang lelap dengan kepala yang masih berdenyut pusing. Ia tak langsung pergi ke kamar mandi walaupun ia tahu jika hari ini pasti akan kesiangan untuk pergi ke kantor, karena kondisi tubuhnya sendiri memang benar-benar sulit diajak kompromi dengan cekatan.
"Aishh, kenapa sampe mabok lagi sih?" gumamnya sendiri setelah menyadari jika semalam ia sudah mabuk berat.Padahal sebelum memutuskan untuk meminum alkoholnya, Leo berjanji jika hanya akan menenggak sedikit saja agar tidak sampai mabuk. Namun ternyata itu salah, justru ia membabi buta dan berakhir seperti demikian. Sudah dapat dipastikan jika ia keluar kamar nanti dan bertemu dengan Bagas pasti akan terus diungkit lagi dan lagi. Dan itu benar-benar membuatnya sangat muak.Leo mendengkus napas besar dengan menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari arah luar. Ia yang tadinya ingin pergi ke kamar mandi jadi urung dan berbalik arah untuk membukakan pintu di sana."Leo, kamu baik-baik aja kan?" tanya Rani tampak cemas setelah putranya membukakan pintu barusan."Aku baik-baik aja kok, Ma.""Syukurlah, sekarang kamu cepetan mandi terus sarapan bareng ya. Mama tunggu di bawah."Tak ada jawaban lain kecuali anggukan pelan dan menurut dengan perintah ibunya itu. Mau tak mau dan siap tidak siap ia harus tetap menjalani hari ini dengan bertemu Bagas lebih dulu sebelum pergi ke kantor walaupun sudah nyaris kesiangan. Lagipula ia juga sudah terbiasa terkena amukan dari ayahnya itu jika tertangkap basah sedang mabuk berat.Tepat seperti dugaannya, Leo sudah mendapati Bagas telah berada lebih dulu di ruang makan saat ia sendiri baru saja tiba di sana seusai bersiap. Tatapan mata yang sengaja tak diarahkan ke arah beliau sampai dirinya duduk di kursi sebelah Liam ternyata membawakan keberuntungan baginya.Setidaknya untuk sementara saja ia bisa makan sarapannya dengan tenang tanpa harus mendengar segala amukan darinya.Selama makan bersama berlangsung, tak ada percakapan apapun di antara mereka selain keheningan yang diiringi suara dentingan pelan sendok dari piring mereka masing-masing. Sampai belasan menit kemudian, Leo menjadi orang pertama yang menyelesaikan makanan sarapannya lebih dulu sebelum disusul oleh Liam kemudian.Saat sang empu berniat untuk pergi dari ruang makan dan kembali ke kamarnya lebih dulu, tiba-tiba suara Bagas menginterupsinya untuk berhenti. Leo menghentikan langkah kakinya dan terpaksa menghadap Bagas saat ini."Hari ini jangan pulang larut malam. Apalagi mabuk berat gak jelas. Ingat, janji kamu akan selalu papa tunggu. Waktu kamu tinggal 2 minggu lagi," ujarnya untuk mengingatkan Leo akan kesepakatan mereka sebelumnya.Sedangkan sang empu menghela napas panjang dan memutar bola matanya malas. Jika ingin jujur, ia benar-benar sangat muak dengan hal itu. Leo sama sekali tak berminat untuk melakukannya. Karena kesepakatan yang mereka buat beberapa waktu lalu terpaksa ia lakukan demi menyelamatkan jabatannya sendiri serta menghindari perjodohan konyol itu."Kenapa cuman aku sih, Pa? Liam juga anak papa kan? Kenapa cuman aku yang terus didesak buat cepet nikah, hah? Kenapa bukan dia aja yang duluan?""Dia adikmu, dan kamu sebagai seorang kakak memang udah seharusnya melakukan pernikahan lebih dulu dari dia!"Leo tersenyum kecut dengan menatap lekat ke arah Bagas saat ini."Sekarang jamannya udah beda, mau kakak atau adik yang nikah lebih dulu itu nggak ada masalah sama sekali. Dan aku juga mempersilahkan itu jika emang Liam yang mau nikah duluan. Aku muak terus-terusan papa paksa, bukannya papa seneng ya kalau aku lebih fokus di perusahaan? Bahkan itu lebih menguntungkan bagi keluarga ini daripada terburu-buru memikirkan soal pernikahan. Anak dan istriku juga nggak akan ngaruh apapun buat-""Stop, Leo! Bagi kamu memang ini adalah keterpaksaan. Tapi bagi papa dan juga mama sebagai orang tua kamu adalah hal yang terbaik buat kamu," potong Bagas cepat sebelum Leo menyelesaikan kalimatnya."Hal baik buat papa tapi bukan buat aku!"Sang empu langsung berbalik badan dan berniat untuk meninggalkan ruang makan tanpa peduli lagi dengan Bagas saat ini."Jika kami pergi selamanya kamu baru akan menyesal, Leo!" seru Bagas lantang yang refleks mampu membuat pria itu seketika menghentikan langkahnya."Papa tahu kalau keinginan ini sangat memaksamu, tapi papa juga hanya ingin minta satu permintaan saja pada kalian dari sekian banyaknya pengabulan yang kalian minta selama ini. Karena papa ingin melihat kalian bahagia bersama keluarga kecil kalian sendiri, papa dan mama juga ingin menimang cucu dari darah daging kalian sebelum kami pergi selamanya. Hanya itu Leo! Karena materi dan kekuasaan yang selama ini kita miliki juga akan tetap diwariskan pada kalian. Untuk apa kalian bekerja keras pagi dan malam jika bukan untuk anak dan istri?""Maka dari itu, pikirkan lagi soal ini. Karena selamanya kamu gak akan bisa hidup sendirian!" lanjut Bagas panjang lebar mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini beliau pendam.Namun berhubungan suasana hati Leo masih keruh dan tak bisa berpikir jernih saat ini, ia lebih memilih untuk pergi dari sana dan bersiap pergi ke kantor sekarang juga. Mungkin semua ucapan yang ia dengar dari Bagas barusan akan terngiang dalam pikirannya, namun biarkan kali ini ia egois dan memilih mengabaikan hal itu sementara waktu.***"Lo kenapa sih, Le? Akhir-akhir ini gue lihat kebanyakan bengong mulu. Mikirin apa?"Kenan sampai kehabisan cara untuk membujuk Leo agar bisa bercerita padanya. Namun sang empu sendiri masih setia diam dan bungkam semua kebenaran yang sebenarnya terjadi dalam dirinya."Lo ngajak gue ketemuan cuman mau lihat lo bengong doang?"Kali ini Leo mulai mengalihkan pandangannya ke arah Kenan yang sudah lama ia abaikan sejak kedatangan mereka di sebuah cafe dekat kantornya itu."Lo bawel banget sih?""Gue? Bawel? Terus kalau gue diem juga lo mau sampe kapan bengong mulu, hah?" tanyanya balik.Namun Leo tak langsung menggubris dan malah menghela napas besar dengan menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi."Menurut lo nikah itu harus gak sih?"Tak ada angin dan tak ada hujan, tiba-tiba Leo bertanya demikian padanya yang membuat Kenan sedikit shock. Tidak biasanya."Tumbenan banget lo tanya begituan? Lagi kasmaran lo?"Leo berdecak dan menatap sengit ke arah Kenan karena sang empu tak langsung menjawabnya to the point."Gue cuman nanya, kenapa lo malah nuduh?""Dih, siapa juga yang nuduh? Orang gue juga tanya.""Jadi apa jawaban lo?""Ya menurut pengalaman ahli gue sebagai seseorang yang udah nikah lama dibanding lo yang masih bujang lapuk, nikah emang gak harus sih-""Tuh kan.""Dengerin gue dulu! Gue belum selesai ngomong."Kenan menatap tajam ke arah Leo sampai membuatnya kembali diam."Tapi itu bagi orang yang emang belum mampu, mampu di sini bukan hanya sekedar soal materia finansial aja. Tapi akal dan jiwanya yang sehat juga bisa jadi faktornya. Tapi kalau emang dirasa mampu dari segala sisi ya udah jadi kewajiban lah. Karena pernikahan itu juga salah satu ibadah sekaligus cara menyalurkan hasrat biologis seseorang dengan cara yang halal dan benar," lanjut Kenan kemudian."Tapi kalau guenya yang belum siap gimana? Meskipun gue mampu dari segala sisi, tapi gue belum siap ngejalaninnya," imbuh Leo sontak membuat Kenan menaikkan kedua alisnya."Tunggu tunggu, gak biasanya lo mau bahas soal ginian. Kenapa tiba-tiba? Jangan-jangan lo udah nidurin anak orang ya? Atau bahkan dia hamil? Dan sekarang lo mau-"Belum sempat selesai, Leo sudah membungkam mulut Kenan dengan tangannya agar sang empu tidak lagi meneruskan kalimatnya yang sembarangan."Gak usah ngaco! Mulut lo sembarangan banget kalau ngomong!"Kenan menghempaskan tangan Leo dari mulutnya cepat setelah itu. "Ya lagian lo tumbenan bahas soal nikah. Biasanya aja lo paling anti diskusi soal itu, gue juga penasaran lah alesannya. Emang salah?" "Gue juga terpaksa. Kalau bukan karena bokap gue, gak akan sudi gue bahas soal pernikahan apalagi perjodohan konyol ini." "Perjodohan? Lo mau dijodohin?"Leo menyipitkan kedua matanya menatap sengit ke arah Kenan saat pria itu tiba-tiba tampak bersemangat setelah mendengar kata perjodohan darinya barusan. "Kenapa jadi lo yang antusias sekarang?" "Ck, jawab dulu pertanyaan gue. Emang lo beneran mau dijodohin? Sama siapa?" Sang empu mengedikkan kedua bahunya tak tahu. "Mangkanya itu gue stress dari kemarin. Bokap gue maksa buat gue cepetan nikah dengan pilihan sendiri, karena kalau nggak gue bakal dijodohin sama perempuan pilihan dia." Barulah sekarang Leo menjelaskan segala kronologi dan asal muasal ia bisa terjerat ke dal
Clarissa terdiam cukup lama setelah ia selesai mendengarkan semua alasan perjodohan yang direncanakan oleh orang tuanya barusan. Sania menjelaskan sebab dan dampak dari persoalan perjodohan itu padanya membuat Clarissa kebingungan untuk menentukan keputusannya sendiri. Di satu sisi ia memang sangat sayang terhadap kedua orang tuanya, bahkan ia rela untuk melakukan apapun agar bisa membuat mereka bahagia. Namun di sisi yang lain itu juga ia tak ingin memaksakan kehendak yang tidak bisa ia lakukan, karena dirasa tidak ia senangi. Lantas bagaimana kedepannya? "Setelah ini mama harap kamu bisa memikirkan soal perjodohan ini baik-baik lagi ya, Ca. Jangan gegabah mengambil keputusan, karena kami sebagai orang tua kamu juga ingin yang terbaik untuk kamu." "Tapi kalau aku masih nolak gimana, Ma? Aku bener-bener nggak bisa kalau harus dijodohin. Karena pernikahan itu bukan hal yang main-main, aku cuman mau nikah sekali seumur hidupku. Dan itupun juga ingin aku lakuin sama orang yang benar
Setelah pekerjaannya selesai hari ini, Leo sengaja untuk tidak langsung pulang ke rumah karena sang empu ingin berkunjung ke rumah Kenan sebentar terlebih dahulu. Berhubung jika pria itu tidak bisa ia ajak bertemu di luar kali ini lantaran anaknya sedang sakit, maka Leo lah yang memutuskan untuk datang ke sana sekaligus menjenguk putri Kenan. Saat baru saja tiba di sana, ia melihat halaman rumah sahabatnya itu sudah penuh dengan 2 mobil di dalamnya yang membuat Leo mau tak mau harus memarkirkan mobilnya di depan rumah Kenan. Tidak biasanya rumah Kenan kedatangan tamu seperti ini tanpa ia memberitahu terlebih dahulu, padahal Kenan juga tahu jika dirinya akan datang berkunjung sore ini. "Di dalem ada tamu ya, Pak?" tanya Leo pada seorang satpam di rumah Kenan itu. "Iya, Pak. Ada adik sepupunya nyonya. Tadi tuan bilang kalau Pak Leo dateng disuruh langsung masuk saja," jawab beliau. "Oh iya, Pak. Terima kasih." "Sama-sama, Pak." Langkah Leo kembali berjalan menuju ke pintu utama ru
"Jadi gimana? Masih belum cocok juga?" tanya Kenan pada Leo ketika mereka sudah duduk bersama di ruang tengah. Seperti yang sudah diduga oleh sang empu, Leo menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. Dari reaksi itu saja Kenan sudah bisa tahu akan maksudnya. Dan lagi-lagi ia turut merasakan pusing juga stress yang dialami oleh Leo saat ia tak mendapatkan solusinya, seperti sekarang ini. "Terus sekarang lo maunya gimana? Mau gue cariin kandidat lagi?""Nggak usah. Lagian gue juga males kalau harus ketemu, ngobrol, dan ujung-ujungnya juga cuman buang-buang waktu gue," tolaknya mentah-mentah. "Ya kalau gitu lo harus bisa cepetan cari sendiri dong. Daripada lo dijodohin, mending milih sendiri kalau gue mah." "Tau lah, pusing gue." Kenan memutar bola matanya malas karena Leo benar-benar tak ada usaha sama sekali. Padahal di sini yang terlibat masalah bukan dirinya, namun Kenan malah yang terus pusing dan memikirkan agar bisa segera menemukan jalan keluarnya. Sangat jauh berb
Clarissa menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia hanya sedikit terkejut saat mendengar suara guntur yang dahsyat barusan. Ditambah lagi kilatan petir di langit tadi juga tak sengaja terlihat olehnya membuat sang empu teringat akan sesuatu. "Kamu baik-baik saja kan?" Mendengar pertanyaan dari pria di sampingnya itu Clarissa menganggukkan kepala pelan. Perlahan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Leo saat menyadari jika ia sudah terlalu erat mencengkram hingga tak sengaja menyakitinya. "Iyaa, maaf nggak sengaja," jawab Clarissa kemudian dengan menyapu air matanya cepat dari kedua pipinya. Sedangkan Leo hanya menganggukkan kepala dan kembali mengalihkan perhatiannya ke arah depan. Meski sebenarnya ia tak tahu apa penyebab pastinya Clarissa menangis saat mendengar suara guntur seperti tadi, ia mencoba untuk tak mengusik dengan banyak pertanyaan padanya sedikitpun. Setelah menunggu hampir setengah jam lamanya, kini kondisi jalanan sudah mulai
"Maksudnya 'Amin' tadi apa ya? Kenapa nggak nyangkal kalau kita emang bukan suami istri sih, Om?" tanya Clarissa menentang jawaban Leo tadinya. "Saya bukan Om mu, jadi stop panggil seperti itu." Bukannya menjawab masalah tadi, Leo malah mempermasalahkan panggilan yang disematkan Clarissa untuknya itu. "Emang itu penting sekarang? Maksudnya apaan sih-""Rumahmu yang mana?" lagi-lagi Leo sengaja memotong ucapan Clarissa karena memang tak ingin memperdebatkan hal itu lagi. "Blok L-14," ujarnya malas. Sebenarnya Clarissa tak ingin menedebatkan hal apapun yang tidak bersangkutan dengannya. Namun persoalan tadi benar-benar membuatnya tak bisa tinggal diam karena sudah melewati batas yang seharusnya. Ditambah lagi Leo yang tidak menyangkal sama sekali membuat gadis 24 tahun itu sebal terhadapnya. Tepat di depan rumah elit milik orang tua Clarissa itu Leo menghentikan mobilnya. Ternyata dari kejauhan ia bisa melihat jika di dalam sana ada seorang pria juga wanita paruh baya sedang duduk
Leo keluar dari kamar Bagas dengan raut wajahnya yang datar. Setelah melihat kondisi ayahnya barusan di sana membuat pria itu lagi lagi jadi kepikiran. Namun kali ini bukan hanya sekadar tuntutan untuk dirinya agar bisa segera menikah, melainkan kondisi Bagas yang memang mengkhawatirkan saat ini. Belum lagi beliau juga selalu menolak diajak berobat dan selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Tentu saja Leo merasa tak tenang dan terus terpikirkan akan hal tersebut. Walaupun sebenarnya ia tak ingin memaksakan kehendak dengan terburu-buru untuk menikah, di lain sisi ia masih memikirkan kedua orang tuanya. Terutama Bagas yang akhir-akhir ini kesehatannya terus menurun. Ia takut jika suatu saat nanti akan menyesal jika di masa kini tak bisa memenuhi keinginan beliau. "Gimana, Kak? Papa mau diajak ke rumah sakit kan?" tanya Rani dengan harap ketika melihat Leo sudah keluar dari kamarnya. "Papa nolak pergi ke rumah sakit, Ma. Tapi papa masih mau kalau dokter yang dateng ke rumah,"
Setelah mendapatkan kembali mobilnya dari rumah Kenan, Clarissa langsung menuju ke kantor Leo tepat pada saat jam makan siang. Ia pikir itu adalah waktu yang tepat untuk datang menemuinya karena sudah memasuki waktu istirahat bekerja. Saat tiba di area lobby, tak sedikit orang yang melihat ke arahnya seperti tatapan orang asing yang belum pernah bertemu. Canggung dan segan. Walaupun tak dikenal di sana sama sekali, ternyata mayoritas orang yang ia temui tetap bersikap ramah padanya dengan tersenyum tipis ketika tatap mata mereka bertemu. Clarissa sempat terheran karena sudah terbiasa acuh tak acuh dengan orang lain sejak tinggal bertahun-tahun di luar negeri sampai lupa dengan kebiasaan budaya tak tertulis di negaranya sendiri itu. "Ck, mana dari tadi pagi perut gue sakit banget," keluh Clarissa yang semakin merasa kurang nyaman pada kondisi perutnya itu. Ia terus mendumel dalam hati di sepanjang langkahnya memasuki perusahaan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang perempua