Setelah mendapatkan kembali mobilnya dari rumah Kenan, Clarissa langsung menuju ke kantor Leo tepat pada saat jam makan siang. Ia pikir itu adalah waktu yang tepat untuk datang menemuinya karena sudah memasuki waktu istirahat bekerja. Saat tiba di area lobby, tak sedikit orang yang melihat ke arahnya seperti tatapan orang asing yang belum pernah bertemu. Canggung dan segan. Walaupun tak dikenal di sana sama sekali, ternyata mayoritas orang yang ia temui tetap bersikap ramah padanya dengan tersenyum tipis ketika tatap mata mereka bertemu. Clarissa sempat terheran karena sudah terbiasa acuh tak acuh dengan orang lain sejak tinggal bertahun-tahun di luar negeri sampai lupa dengan kebiasaan budaya tak tertulis di negaranya sendiri itu. "Ck, mana dari tadi pagi perut gue sakit banget," keluh Clarissa yang semakin merasa kurang nyaman pada kondisi perutnya itu. Ia terus mendumel dalam hati di sepanjang langkahnya memasuki perusahaan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang perempua
"Om, please jangan kemana-mana ya," cegah Clarissa menahan lengan Leo agar pria itu tidak pergi kemanapun dan tetap berada di sisinya. "Tapi yang mengobati kamu dokter, bukan saya." Perempuan itu memasang wajah melas dengan gelengan kepalanya tak setuju dengan pernyataan Leo barusan. Walaupun memang bukan Leo yang mengobati lukanya, namun Clarissa membutuhkan pria itu untuk menemaninya dari rasa takut. Terutama saat menghadapi jarum suntik, iya, Clarissa sangat takut dengan jarum suntik sejak ia kecil. Bahkan setiap kali ia sakit dan mengharuskan dirawat di rumah sakit, ia pasti membutuhkan Sania selalu berada di sisinya saat pemasangan infus dengan jarum suntik yang menusuk kulit tangannya itu. "Aku takut, sumpah," akunya tak main-main. Dan akhirnya mau tak mau Leo tetap tinggal di sisinya karena Clarissa benar-benar menahannya untuk pergi meski sekadar menunggu di luar ruangan. Bahkan ia harus menahan rasa sungkannya terhadap dokter dan 1 orang perawat yang menangani luka Clari
Sekitar pukul setengah tujuh malam, Clarissa sudah bersiap dan bergegas untuk menuju ke tempat makan yang sudah dijanjikan bertemu dengan Leo di sana. Dan ia juga sudah membawa serta jas milik Leo di dalam mobilnya untuk dikembalikan pada sang empu hari ini setelah bersusah payah mencucinya dengan bantuan Bi Santi semalam. Mobilnya dilajukan meninggalkan pelataran rumah dengan tenang dan santai. Selama Clarissa perjalanan menuju ke tempat makan, Leo ternyata sudah datang lebih dulu sejak tadi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini dengan cepat. Tiba-tiba saja ia gugup dan kepikiran dengan apa yang seharusnya dikatakan nanti di hadapan Clarissa. Padahal semalam ia sudah banyak menyusun rencana untuk bisa dinegosiasikan dengan perempuan itu. "Tapi gimana kalau dia nolak bantuin gue?" monolog Leo frustasi. Ia benar-benar buntu dan tak menemukan jalan keluar untuk permasalahannya sendiri hingga saat ini. Awalnya ia memang tak ingin melibatkan orang lain ke dalam permasalahan
Clarissa berdecak sebal dengan meraup wajahnya frustasi setelah melihat ke arah kursi penumpang di sampingnya. Ia benar-benar merutuki dirinya sendiri saat tersadar jika jas kerja milik Leo belum sempat ia kembalikan. Padahal tujuan utamanya ke sini salah satunya adalah ingin mengembalikan jas tersebut pada sang empunya. "Bego banget sih lo, Ca? Kenapa pake acara lupa segala?" monolognya geram. Niat hati ingin melarikan diri dari Leo agar bisa terbebas dari urusannya, malah mengharuskan perempuan itu lagi dan lagi untuk bisa bertemu dengannya. Jika sudah begini tampaknya Clarissa memang tak diizinkan lari dari kenyataan sebelum bisa menghadapinya lebih dulu. "Ck, bodoh amat gue. Kapan-kapan aja balikinnya. Masih bisa dititip sama temennya aja," batin Clarissa yang teringat jika masih ada sosok Kenan yang bisa membantunya untuk mengembalikan jas kerja itu. Dan alhasil ia segera menyalakan mesin mobilnya dan bergegas pergi meninggalkan area restoran tersebut. Tanpa pamit dan salam,
Hari demi hari terus berlalu, semenjak pertemuan terakhirnya dengan Clarissa di restoran malam itu Leo sudah tidak melihat sosoknya lagi hingga saat ini. Bahkan jas kerja miliknya pun dikembalikan sang puan melalui Kenan. Sangat kentara dan jelas sekali jika Clarissa benar-benar ingin menjauh dan tak lagi terlihat apalagi sampai terlibat dengannya. Sungguh kenyataan yang benar-benar membuat pria itu harus tersadar dan berlapang dada jika pada akhirnya ia menerima sebuah perjodohan yang telah diatur orang tuanya untuknya. Ya, Leo akhirnya setuju untuk dijodohkan walau berat hatinya. Ia sudah tak memiliki jalan lain untuk menolak karena kesempatan yang ia dapatkan sudah terbuang sia-sia. Dan sekarang ia hanya mengikuti alur yang sudah berjalan sebagaimana mestinya. "Kamu dimana? Kenapa belum dateng juga?" Pria bertubuh tinggi tegap dengan style baju yang sedikit berantakan karena dasi melonggar hingga dua lengan kemejanya yang digulung sampai sikut itu menjepit ponselnya di antara te
Setibanya di tempat restoran di mana orang tuanya berada, Leo membenarkan setelan bajunya lebih dulu sebelum turun dari mobil dan melenggang masuk ke dalam sana. Ia juga sempat menatap dirinya di pantulan spion depan dengan menata rambutnya agar rapi. Barulah sang empu langsung turun dan melangkah panjang meninggalkan mobil. Meskipun sudah malam hari, restoran tersebut masih tetap ramai pengunjung. Bahkan sepertinya di waktu-waktu seperti inilah yang menjadi daya tarik semua orang untuk bisa datang ke sana karena suasana yang bagus dengan pemandangan alam yang indah di sebelah utara restoran tersebut karena menyuguhkan bentangan luas pantai yang terletak beberapa kilometer saja dari belakang restoran berada. Saat memasuki area pintu utama, dari kejauhan Leo sudah dapat melihat keberadaan Rani yang tampak asyik mengobrol dengan orang-orang di sekelilingnya. Leo sudah mengira jika itu adalah dari pihak perempuan yang sudah lebih dulu datang dibandingkan dirinya. "Selamat malam semua.
Waktu 1 minggu untuk saling mengenal lebih jauh dan membangun chemistry yang baik di antara mereka tidaklah gampang. Baik Leo dan juga Clarissa sama-sama orang baru yang belum lama ini bertemu namun sudah dijodohkan tiba-tiba dengan waktu yang singkat sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan. Sangat tak mudah, namun kenyataan itulah yang harus mereka hadapi saat ini. "Wah gila sih, gue gak nyangka sama sekali kalau cewek yang bakalan dijodohin sama lo itu si Ica, adik sepupu istri gue sendiri." Kenan langsung ingin bertemu dengan Leo di tempat mereka biasa berada setelah pulang bekerja masing-masing saat tahu jika sahabatnya itu dijodohkan dengan Clarissa. Tampaknya memang bukan sebuah kebetulan, namun sebuah takdir kehidupan. "Diem deh lo. Gue lagi pusing," keluh Leo tak ingin diajak membahas hal itu sementara. Raut wajahnya yang tampak lesu dengan kondisi pikirannya yang kacau balau sejak beberapa hari yang lalu benar-benar menggambarkan jika sang empu sangat stress sekarang in
Setelah menyelesaikan makanannya masing-masing, mereka berdua terdiam beberapa saat karena memang tak ada topik yang ingin dibicarakan lebih dulu di antara keduanya. Sampai akhirnya Leo mengalah dan menurunkan ego untuk menyudahi keheningan itu. "Bagaimana menurutmu?" "Ha? Maksudnya? Soal apa?" "Perjodohan kita." Clarissa segera memutar otak untuk segera mencari jawaban yang tepat padanya. Di balik rasa bingungnya itu sang puan juga takut jika akan membuat Leo tersinggung apabila jawabannya ada salah kata. "Ya udah, mau gimana lagi." "Kamu yakin ingin melanjutkan perjodohan ini?" tanya Leo ingin memastikan. Clarissa menatap mata pria tersebut beberapa detik tanpa berkedip hingga membuatnya salah fokus karena ditatap lekat seperti itu. "Mau nolak pun juga percuma. Lagipula semuanya udah terlanjur, nggak ada cara lain selain setuju," jawabnya kemudian secara gamblang sesuai isi pikiran. "Kalau Om sendiri gimana? Yakin buat nerima perjodohan ini?" "Jawaban saya hampir sama sep