Hingga larut malam sekitar pukul 9, Clarissa baru memutuskan pergi meninggalkan rumah sakit dengan diantarkan oleh Leo menuju ke restoran untuk mengambil mobilnya terlebih dulu sebelum pulang ke rumah. Mereka berdua tak banyak bicara untuk dibahas selama berada di dalam mobil. Justru Clarissa sangat pendiam tanpa peduli jika Leo berada di sisinya karena sibuk menyetir. "Mulai sekarang, balas pesan atau angkat telepon dari saya lagi." Clarissa menoleh ke arah Leo setelah mendengar ucapannya barusan. Memang beberapa hari terakhir, lebih tepatnya saat pertemuan mereka di restoran untuk makan malam waktu itu Clarissa sudah tak lagi ingin berkomunikasi dengan Leo. Bahkan ia sengaja mengabaikan semua pesan yang dikirim oleh pria itu, seolah tak ingin lagi berurusan dengannya. "Hmmm." "Terima kasih.""Buat apa?" "Untuk usahamu yang sudah menenangkan mama saya tadi. Terima kasih karena sudah bisa mengertikan perasaannya di saat kami tidak bisa melakukan itu," perjelas Leo membuat Clariss
Selama waktu 1 minggu yang diberikan oleh kedua orang tua mereka sebagai kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain membuat Leo berinisiatif lebih dulu guna memulai semuanya. Meskipun awalnya ia juga sama terpaksanya, ia tetap berusaha mencoba dan berharap jika semua yang terjadi akan selalu menghasilkan yang terbaik. Tampaknya hal yang sama juga dilakukan oleh Clarissa, perempuan itu benar-benar pasrah dan meyakinkan diri sendiri untuk bisa menerima kenyataan itu. "Sa?""Hmmm?" "Kita keluar sebentar, dari tadi siang kamu belum makan." Tanpa Clarissa sadari jika saat ini sudah menjelang sore hari, dan ia juga sudah melupakan waktu makannya karena memang perutnya tidak merasa lapar sampai saat ini. Mungkin karena terlalu asyik berbincang dengan Rani tadi mengenai banyak hal membuatnya lupa waktu. "Om laper ya?" "Memang kamu tidak?" tanya Leo balik. "Ya udah tunggu dulu, aku mau ke kamar mandi sebentar." Leo menganggukkan kepala dan menunggunya di kursi depan ruangan ICU tem
"Istri? Nggak, nggak mungkin." Seakan ingin pendengarannya salah, Hani mengulang peryataan dari Clarissa barusan. Bahkan dengan raut wajahnya yang pongah dari perempuan di depannya itu membuat Hani semakin tersulut emosi. "Iya, kenapa? Nggak terima?" Leo pun langsung menarik lengan Clarissa agar bisa menjauh dari Hani. Ia tak akan membiarkan perempuannya harus berurusan dengan wanita tak tau diri itu. Mereka berdua benar-benar sangat jauh berbeda. "Leo, dia bohong kan? Kamu udah nikah? Kenapa aku nggak tahu?" "Emang kenapa kamu harus tahu? Aku udah nikah atau belum juga bukan urusanmu." "Aku nggak percaya, perempuan itu pembohong kan? Dia cuman ngaku-ngaku kalau dia istri-""Iya, dia emang istriku. Clarissa itu istriku. Jadi mulai sekarang kamu jangan pernah ganggu hidupku lagi," potong Leo cepat sebelum Hani menyelesaikan kalimatnya. Tanpa ingin memperpanjang urusan, Leo langsung mengajak Clarissa pergi dari sana dengan sengaja mengabaikan Hani. Mereka berdua melenggang pergi
Di hari keempat setelah tragedi kecelakaan tunggal yang dialami oleh William sampai membuatnya cedera parah dan tak sadarkan diri itu akhirnya ia siuman sejak beberapa jam lalu. Beberapa anggota keluarga dari pihak Bagas pun juga turut datang menjenguk meskipun tak dapat langsung melihat kondisinya sekarang. Termasuk Leo yang sejak kemarin absen datang karena kejadian di kantin saat bertemu dengan Hani yang membuatnya tak datang sementara waktu. Meskipun tak banyak keluarga lain yang datang, namun untuk ukuran penjenguk pasien ICU sudah termasuk over limit. Kedua orang tuanya juga sudah mengatakan jika tak perlu repot datang ke rumah sakit sebelum bisa dipindahkan ke ruang rawat terlebih dahulu, namun William ternyata adalah anak emas dari keluarga pihak Bagas. Sebab ia menjadi cucu ataupun sepupu yang paling akhir alias primadona perhatian semua orang di keluarganya. "Clarissa nggak datang lagi hari ini, Nak?" "Nggak Ma. Lagi pula aku juga larang dia datang kalau urusannya sendiri
Setelah pulang dari rumah Fira beberapa waktu lalu, Clarissa jadi banyak pikiran karena sebuah fakta yang sulit ia terima. Meskipun Leo bukan seperti prasangka duganya yang senang berganti pasangan, ia tetap tak senang dan kecewa berat setelah tahu pria itu memiliki kebiasaan yang buruk. "Ca? Kenapa kamu ngelamun aja sejak pulang dari rumah Fira? Ada apa?" Sania mengambil duduk di sofa ruang tengah, sebelah kanan putri semata wayangnya itu dengan membawa teh hangat miliknya di tangan. "Nggak apa-apa kok, Ma. Lagi capek aja, aku mau ke kamar dulu kalau gitu." "Oh ya, tadi Leo hubungin mama. Dia nyariin kamu dan tanya kenapa kamu nggak balas pesan sama sekali dari tadi pagi?" Clarissa terus berjalan tak berniat untuk menghentikan langkah kakinya apalagi berbalik arah pada ibunya lagi. "Kelupaan nggak lihat HP, Ma."Hanya itu jawaban yang dilontarkan oleh Clarissa sebelum makin menjauh dari ruang tengah. "Baik-baik sama dia, jangan dicuekin ya, Caa!" *** Karena khawatir Clarissa
"Kenapa diam sekarang? Jadi benar? Kamu tiba-tiba bersikap acuh tak acuh dengan saya begini karena ucapan Hani kemarin lusa kan, Sa?" tanya Leo lagi untuk mempertegas kalimatnya. "Nggak, ngapain juga dengerin perempuan gila itu," bantah Clarissa menyangkal yang sebenarnya. "Terus kenapa tadi kamu pergi ke rumah Kenan?""Ya emangnya kenapa? Orang aku dateng karena mau liat Fina aja kok."Ternyata Clarissa masih enggan mengakuinya dan terus mencari alibi terhadap Leo. Ia sama sekali tak berniat untuk mengatakan hal apa pun yang kini sudah diketahuinya. "Tapi Om tau darimana kalau aku habis dari rumah Kenan?" tanyanya balik. "Memangnya siapa lagi kalau bukan dari dia sendiri?" Dalam hati Clarissa berdecak sebal karena menduga jika Fira telah mengadu kepada Kenan yang berujung diketahui oleh Leo seperti sekarang ini. Padahal tadinya ia sudah mewanti-wanti Fira agar tetap tutup mulut dan tak mengatakan barang satu kata pun terhadap suaminya. "Kalau kamu memang ingin tau sesuatu tentan
Leo langsung terdiam dan tak bisa berkata-kata lagi saat mendengar penuturan Clarissa barusan. Seperti terpojok kan di jalan buntu, ia kesulitan untuk mencari jalan keluar sekarang ini. Di saat perempuan itu pergi menuju kamarnya yang ada di lantai 2, Sania juga baru saja datang menghampirinya di ruang tamu. Beliau tak tahu sama sekali dengan permasalahan yang sedang terjadi di antara mereka berdua, terlebih lagi saat kepergian putrinya yang tanpa sepatah kata pun itu ketika beliau panggil. "Clarissa kenapa, Nak? Kalian berantem?" tanya Sania bingung terhadap Leo. Namun Leo hanya menggelengkan kepala dan tersenyum tipis untuk respon tak setuju dengan pertanyaan itu. "Clarissa bilang dia sangat mengantuk, Tante. Jadi dia ingin pergi tidur," alasannya agar tak membuat konflik baru dan juga takut beliau tahu dengan permasalahan yang terjadi di antara mereka. "Itu anak, udah dibilang jangan biarin kamu sendirian juga masih tetep aja nggak didengerin. Sekarang malah pergi tidur. Maaf y
"Ma, ayo pulang. Daritadi geluduk terus, sebentar lagi pasti mau hujan." Clarissa merengek dengan suara lirih pada ibunya setiap kali situasi yang tak nyaman untuknya. Ia ingin bergegas pulang ke rumah dan meminta Sania agar bisa segera berpamitan dari sana. Namun tanggapan Sania barusan malah membuat mood sang puan semakin buruk. "Kita baru juga dateng setengah jam yang lalu masak udah buru-buru pulang aja? Tunggu sebentar lagi, nggak enak sama orang tuanya Leo yang udah repot-repot jamu kita di sini," jawabnya pelan agar tak terdengar jelas oleh mereka yang ada di ruangan William saat ini. Tentu saja beliau segan jika tiba-tiba harus pamit pulang begitu saja di saat Bagas dan juga Rani baru menyediakan beberapa suguhan untuknya. Apa lagi mereka tadinya juga datang bersama Leo, tentu akan membuat Sania semakin segan jika harus merepotkannya untuk memenuhi ego putrinya sendiri. Padahal niat kedatangan mereka di sana hanyalah untuk berkunjung pasien, namun mereka malah memperlakuka