Hingga beberapa detik kemudian Clarissa langsung memundurkan langkahnya dan mengalihkan pandangannya ke lain arah untuk bisa menghindari kontak mata dengan Leo. Ia juga berdeham pelan berupaya untuk menetralkan degub jantungnya yang tiba-tiba berdebar cepat dari biasanya. "Satu hal lagi yang perlu kamu tahu tentang saya yaitu saya orangnya pencemburu. Saya sangat tidak suka milik saya diganggu orang lain apapalagi sampai direbutnya." Clarissa melirik sekilas ke arahnya dengan menelan salivanya getir. Ia berusaha untuk tidak terintimidasi tatapan Leo meskipun jantungnya berdebar sangat cepat karena posisi di antara mereka yang begitu dekat. "Lagian siapa yang bakal ganggu dan ngerebutin aku sih? Orang dia cuman ngeliatin aku doang-""Jadi kamu sudah mengaku jika milik saya?" potong Leo membuat Clarissa terdiam dan skak mat. Ia benar-benar terjebak dengan pernyataannya sendiri. "Siapa-siapa bilang?" sangkalnya sedikit terbata malah membuat pria itu tersenyum miring. "Padahal saya b
Leo sengaja melepaskan jaket kulitnya dan hanya menyisakan kaos oblong berlengan pendek itu agar bisa diberikan kepada Clarissa. Ia juga memasangkannya di tubuh perempuan tersebut untuk menghangatkannya karena sang empu hanya mengenakan kaos pendek dengan celana yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Di tengah malam dan hujan deras seperti ini tentulah membuatnya menggigil kedinginan dengan pakaian seperti itu. "Lain kali jangan berpakaian pendek seperti ini. Apalagi di malam hari," ujar Leo setelah selesai membantunya untuk memasangkan jaket tersebut. Clarissa tak menjawab karena ia sendiri baru saja bisa menetralkan rasa takut yang baru saja dialaminya. Bersyukur jika suara petir itu tak berlangsung lama hingga membuatnya sedikit lega meskipun masih turun hujan deras malam ini. "Ayo masuk, hujannya makin deras," ajak Leo kemudian karena Clarissa tak bergeming sama sekali dari tempatnya. "Kenapa?" "Aku mau pulang," akunya. "Ya sudah, kalau begitu ajak Tante Sania juga. Bi
"Kenapa ambisi banget sama perjodohan ini sih, Om?" tanya Clarissa heran karena Leo terus saja tak menyerah dan kerap kali membuatnya jadi kegeeran. "Bukankah dari awal memang saya yang mengajakmu menikah lebih dulu sebelum tahu jika kita akan dijodohkan?"Clarissa terdiam karena pernyataan itu memang benar adanya. "Itu berarti saya memang berambisi dengan kamu, bukan hanya karena perjodohan ini saja.""Tapi waktu itu aku cuman dijadiin pilihan dadakan karena tahu om bakal dijodohin kan? Nyatanya Om gak pernah ajak aku nikah karena ketulusan sendiri. Jadi buat apa diseriusin? Lagian perjodohan ini juga terpaksa." "Memang kalau saya serius ingin menikah denganmu, kamu percaya?" Lagi lagi ia dibuat bungkam suara karena pria tersebut selalu membuatnya terpojok dengan pernyataan dan juga pertanyaannya. "Justru saya mengajakmu menikah saat itu karena saya yakin kamu adalah pilihan saya sendiri, Sa. Meskipun waktunya yang terlalu cepat, tapi keputusan saya itu sudah saya pikirkan matan
Seperti yang dikatakan oleh Leo kemarin malam, ia akan datang menjemput Clarissa di rumahnya sore ini selepas pulang bekerja. Ia juga langsung menuju ke rumahnya tanpa sempat pulang terlebih dahulu meski untuk mengganti pakaian saja. Walaupun perempuan itu awalnya tak setuju dan sempat menolak, akhirnya Leo tetap yang menang karena ancaman kemarin yang ia jadikan sebagai pendukung atas keberhasilannya itu. "Mau kemana sih?" "Saya sudah bilang kemarin, nanti kamu juga akan tahu." Dengan terpaksa dan langkah malas, Clarissa berjalan di belakang Leo untuk mengikutinya menuju ke mobil. Karena pria itu tak mengatakan tujuan yang akan didatangi, ia sengaja untuk memakai pakaian ala kadarnya dan juga tanpa make up lengkap selain lipstik berwarna pink dan juga bedak tabur sebagai covernya. "Kamu yakin pergi dengan pakaian seperti itu?" tanya Leo saat keduanya sudah berada di dalam mobil. Bukannya ia protes mengenai apa yang dikenakan oleh Clarissa saat ini, hanya saja ia ingin memastikan
Setibanya di dalam Gedung, Clarissa langsung diajak ke sebuah ruangan yang ternyata adalah sebuah settingan Leo yang telah mempersiapkan semua ini untuknya. Seorang wanita muda yang usianya tak jauh dari sang puan itu pun menggandeng tangannya dan mengarahkan ke sebuah kursi agar ia bisa duduk di depan cermin yang letaknya tak jauh dari sana. Dan ya, wanita itu adalah seorang make up artist pesanan Leo agar bisa mendadani Clarissa tidak hanya dari wajahnya saja. Melainkan seluruh penampilan gadis itu sesuai dengan keinginannya seperti apa. “Om mau kemana?” tanya Clarissa dengan menarik ujung jas Leo saat pria itu hendak berlalu pergi meninggalkannya di sana. “Saya ingin mengganti pakaian juga sebentar, kamu di sini saja. Untuk make up dan dress apapun yang kamu inginkan bisa kamu pilih sendiri nanti.” Setelah mendapat jawaban seperti itu, akhirnya Clarissa merelakan Leo pergi dari ruangan sana. Dan ia sendiri juga bersiap untuk didandani oleh sang MUA tersebut. Tentu saja ia benar-
Seperti dihantam bebatuan besar dari ketinggian, Leo merasa sakit luar biasa dan hatinya mencelos mendengar pernyataan itu. Apalagi Clarissa yang menyebut namanya dengan lantang tanpa embel-embel 'Om' seperti biasanya. Bahkan dari sorotan matanya ia tahu jika Clarissa ingin marah saat ini. "Jadi aku sengaja dibohongi daritadi karena uuntuk ini? Dan sekarang? Tiba-tiba ngumpulin banyak orang tanpa sepengetahuanku buat acara ini?" tanya Clarissa beruntun. Tentunya Leo merasa sungkan dan juga malu kepada semua orang yang saat ini menyaksikan mereka berdua dalam kondisi yang tak baik ini. Suasana yang seharusnya menjadi kebahagiaan dan dipenuhi keharuan atas lamaran yang terjadi, namun kini malah sebaliknya. Semua orang mendadak terdiam dan kompak saling melunturkan senyuman lebar di wajahnya masing-masing. Termasuk kedua orang tua Clarissa sendiri yang begitu sangat kecewa mengetahui putrinya bersikap demikian di depan banyak keluarga. "Maaf jika kamu merasa dibohongi, tapi sebenarnya
Tampilan Clarissa terlihat sangat kacau. Gaun yang tadinya cantik dan anggun pun menjadi berantakan dengan banyak noda darah di sana. Namun ia sama sekali tak peduli, justru yang menjadi beban pikirannya saat ini adalah kondisi Leo. Ia berharap jika tak akan ada hal buruk yang terjadi padanya. Saat Leo sedang ditangani oleh dokter, ia terduduk di kursi tunggu bersama dengan orang tua pria itu, lebih tepatnya bersama Rani di sana. Sedangkan keluarga yang lainnya sebagian mengurus administrasi dan juga dititah Rani untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat tragedi ini di gedung hotel tadi. "Clarissa, kamu bisa pulang dulu ke rumah ya? Tante tahu kalau kamu shock, jadi sebaiknya kamu istirahat dulu di rumah. Dan kamu juga perlu mengganti pakaian kan? Karena gaunmu sudah banyak darah. Kamu jangan khawatir, nanti biar tante dan keluarga lainnya yang akan menunggu Leo di sini." Ucapan Rani sama sekali tak akan pernah disetujui olehnya. Bagaimana bisa ia bisa kembali pulang den
Sekitar pukul 9 pagi Clarissa sudah bersiap-siap untuk segera pergi ke rumah sakit hari ini. Setelah mendapatkan kabar jika Leo sudah sadar sejak 1 jam yang lalu membuatnya bisa bernapas lega dan bersyukur. Karena inilah saat saat yang ia tunggu. Dengan begitu, rasa bersalahnya tak akan terus hinggap di hati sampai membuatnya stress dan kesulitan tidur seperti tadi malam. "Mama aku berangkat ke rumah sakit duluan ya?" "Loh, mama jjuga mau ikut. Tapi belum siap-siap, Ca." Sania yang masih sibuk berada di dapur itu jadi terdistraksi karena melihat Clarissa yang sudah berpamitan ingin pergi lebih dulu. "Mama jangan buru-buru. Nanti dateng ke rumah sakitnya pas sore atau malam aja nggak apa-apa kok. Barangkali papa juga pengen ikut." "Tapi kamu pergi sendirian nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa kok, Ma. Aku bisa sendiri." "Ya udah kalau gitu, nanti mama nyusul sama papa kalau udah pulang dari kantor.""Iya, Ma. Jadi aku pergi duluan ya.""Eh tunggu, kamu belum makan. Sarapan dulu baru
"Biar saya antar pulang, sekarang sudah larut malam, Sa.""Nggak usah, aku bisa pulang sendiri. Lagian juga rumahku nggak terlalu jauh dari sini," tolak Clarissa mentah-mentah atas tawaran yang diberikan oleh Leo barusan. "Tapi kamu-""Udah lah, Om. Aku bisa sendiri. Lagian Om juga lagi sakit kan? Mending tidur aja sekarang, daripada nganterin aku, aku udah bawa mobil sendiri," potong Clarissa cepat sebelum Leo menyelesaikan kalimatnya. "Kamu yakin?"Sang puan menganggukkan kepalanya cepat. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya. Tolong kabari saya kalau sudah sampai di rumah." "Emang harus ya?""Harus, kalau tidak lebih baik saya yang antar." "Ck, iya iya nanti aku kabarin. Udah deh, aku pulang sekarang. Sana masuk aja." Ya, daripada Clarissa harus dibuntuti oleh Leo hingga sampai ke rumah, lebih baik ia menyetujui untuk memberikan kabar jika ia sudah tiba di rumah. "Saya tunggu kamu sampai keluar dulu, baru saya masuk." Tak ada pilihan lagi, Clarissa juga tak berniat
Setibanya di rumah Leo, Clarissa menghentikan mobil di teras rumah setelah dibukakan pintu gerbang oleh Pak Damar sebagai satpam di kediaman keluarga Adinata itu. Segera ia bergegas turun lebih dulu dan membantu pria itu keluar dari sana. Tanpa ia sadari jika perlakuannya saat ini terhadap Leo begitu kentara perbedaannya dari biasanya karena ia terlalu khawatir dengan kondisinya. "Saya hanya sedikit pusing saja, Sa." "Ya emang salah kalau aku cuman mau bantuin?" tanya Clarissa balik. "Saya hanya takut salah paham untuk menilai tindakanmu ini."Clarissa sendiri menghela napas panjang dan menutup pintu mobil setelah Leo keluar dari sana. "Terserah, aku cuman mau bantuin. Yang jelas sekarang cepetan istirahat dan jangan lakuin aktivitas apa-apa lagi." Pria itu tersenyum tipis karena mengetahui tingkah Clarissa yang begitu peduli terhadapnya. Meskipun tak diucapkan olehnya secara gamblang, tetap begitu jelas baginya. "Tunggu.""Apa lagi?""Mana?" Sang puan mengerutkan dahinya bingu
Setelah melewati serangkaian proses hukum yang berlaku, Hani dinyatakan bersalah. Dan ia mendapatkan sanksi berupa kurungan penjara sesuai kurun waktu yang sudah ditetapkan berdasarkan kesalahan yang diperbuat. Tentu saja Leo merasa puas dan juga lega karena perempuan itu mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya yang nyaris mencelakai Clarissa. Setidaknya dalam beberapa tahun ke depan hidupnya akan tenang karena tak ada lagi siapapun yang mengusik hidupnya dan juga Clarissa. "Kenapa lo tega banget biarin dia di penjara sih, Kak?" "Tega? Setelah perbuatan dia yang nyaris melukai Clarissa lo bilang gue tega? Harusnya gue yang tanya sama lo, kenapa lo selalu bela dia dari dulu, hah?" "Gue gak belain dia. Gue cuman kasihan, dari dulu dia selalu-""Selalu apa? Selalu pengen dapet perhatian dari lo kan? Udah lah, gue muak denger alasan apapun dari lo. Jangan bahas dia lagi di depan gue, karena gue gak peduli." William menghela napas berat. Leo memang susah sekali untuk memaafk
Clarissa tak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Leo sampai ia bisa berpikiran seperti itu. Padahal tak ada sekalipun niatnya untuk berpikir sejauh yang pria itu duga. Apalagi dengan calon adik iparnya sendiri. Ia tak serendah dan semudah itu. Bahkan sejak pertama kali pertemuan dan perkenalannya dengan William, Leo selalu over protect dan sinis setiap kali ia berbicara atau sekedar menyapanya saja waktu sang empu menjenguk Liam setelah mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu. Awalnya ia pikir Leo memang sifat yang mudah cemburu, namun semakin diperhatikan ternyata ada sesuatu yang sedang ditutupi olehnya, mungkin. "Kamu pulang aja kalau ngantuk. Istirahat di rumah, biar besok interview nya maksimal." Leo tahu jika Clarissa sudah sangat lelah karena sudah menemaninya di rumah sakit sejak tadi siang hingga menjelang malam seperti ini. Padahal pria itu sudah melarangnya untuk sering datang karena tak ingin membuatnya kerepotan dan kelelahan, namun Clarissa sendiri tetap bersike
Clarissa jadi banyak perbedaan di mata Leo sejak perempuan itu menyatakan persetujuannya kemarin lusa untuk bisa menerima lamarannya. Iya, dia jadi lebih perhatian dan tak segan membantu apa saja yang dibutuhkan juga diinginkan oleh Leo saat berada di rumah sakit. Ia juga selalu rutin menjenguknya di sana setiap hari meskipun tak sampai menginap. Namun hal itu saja sudah membuat Leo senang karena sangat dipedulikan olehnya. Bahkan tanpa harus dipaksa atau dikode sama sekali, Clarissa sudah berinisiatif melakukan semua hal yang dulu selalu ia tolak mentah-mentah. Yaitu peduli dan selalu menanyakan bagaimana kabarnya terhadap Leo lebih dulu. "Besok aku ada interview pagi, jadi kalau belum sempet ke sini gak usah nyariin." "Interview? Kamu yakin?" "Kenapa tanyanya begitu? Ya yakin lah, aku pengen kerja. Pengen punya kesibukan dan hasilin uang sendiri.""Maksud saya yakin kamu interview? Atau mau langsung diterima jadi karyawan tetap? Biar saya yang atur semuanya untuk kamu." "Nggak
Clarissa tertunduk beberapa waktu, tangannya merogoh ke dalam tas untuk mengambil sesuatu dari dalam sana. Dan ia membuka sebuah kotak beludru berwarna merah pekat itu guna mengambil cincin permata indah yang ia simpan sejak kemarin untuk disematkan sendiri pada jari manis di tangan kirinya. Tanpa kata apapun, ia mengangkat tangannya untuk ditunjukkan pada Leo yang sejak tadi sudah melihat perbuatannya itu. "Sa, itu-" "Iya, aku setuju. Ayo kita menikah," selat Clarissa dengan tegas dan yakin saat mengucapkan kalimatnya. Tentu saja Leo terkejut dengan sikap perempuan itu yang tiba-tiba. Padahal kemarin ia sudah menolak dengan percuma, namun sekarang malah sebaliknya dengan inisiatif sendiri sebelum Leo kembali beraksi. "Kamu serius? Kamu tidak bercanda kan?" tanya pria itu masih belum percaya. "Nggak. Bukannya dari awal aku emang setuju untuk menikah sama om? Dan ini bakal aku anggap sebagai cincin lamaran kita."Leo mulai menerbitkan senyuman manis di wajah pucatnya itu. Ia begit
Setelah bergelut dengan pikirannya sejak tadi, akhirnya Clarissa memberanikan diri lagi untuk datang ke ruangan Leo meski tahu hubungan di antara mereka semakin abu-abu dan tak jelas akan kemana arahnya. Untuk saat ini ia masih segan dan ingin membalas budi atas semua pengorbanan yang dilakukan pria itu akhir-akhir ini. Walau pun berulang kali ia menolak pernyataan dan juga ajakan menikah darinya, Clarissa tetap mencoba berdamai dengan keadaan dan berusaha keras untuk menerima semua kenyataan itu. "Clarissa?" Saat baru saja masuk ke dalam ruang inapnya, ia sudah disambut oleh banyak orang yang kebetulan sedang membesuk Leo di sana. Termasuk Kenan. "Tante." "Gimana kondisi kamu sekarang, Nak? Masih sakit?" tanya Rani khawatir dengan meneliti tubuh Clarissa dari atas rambut hingga ke ujung kakinya. "Sekarang udah baik-baik aja kok, Tan. Maaf karena udah banyak ngerepotin." Leo yang terbaring di atas ranjangnya itu merasa sangat lega saat tahu Clarissa sudah lebih baik sekarang, wa
Meskipun Clarissa mengatakan yang sebenarnya jika ia sempat membasuh wajah dan mengakibatkan bibirnya pucat lantaran lipsticknya luntur itu pun, Leo masih kurang yakin dan berpikir jika ada hal lain yang sengaja ia tutupi. Namun ia sendiri tidak tahu hal apa itu. "Kamu hati-hati di jalan ya, Nak." "Iya, Tante." Leo pun tak bisa mencegahnya pergi dan terpaksa membiarkan Clarissa ingin meninggalkan ruang inapnya. Meski perasaannya sedikit tak enak karena memikirkan kondisi gadis itu juga tak membuat sang empu berubah pikiran. Sampai tak lama kemudian, Clarissa ambruk di lantai rumah sakit itu saat baru saja melangkah hendak keluar dari sana. Sontak saja hal tersebut membuat Rani dan juta Leo terkejut melihatnya. "Clarissa!" Rani pun bergegas menghampiri Clarissa yang sudah tak sadarkan diri itu untuk mendahului Leo yang nekat untuk mencabut selang infusnya dengan kasar karena terlalu buru-buru. Bahkan ia harus rela menahan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya yang belum
"Maksud kamu Matthew?" Mendengar nama itu disebut, Clarissa terkejut bukan main. Pasalnya ia sama sekali tak pernah menceritakan tentang mantan kekasihnya itu terhadap Leo. Dan tentulah ia shock saat tahu bahwa Leo lebih dulu mengetahuinya. Jari-jemarinya pun sampai mencengkram kuat kain celananya tanpa sadar. "Om kenal Matthew?"Leo menggelengkan kepala pelan. Gadis itu merutuki diri karena sudah melayangkan pertanyaan bodoh, tentu saja pria itu tak mengenalnya karena memang mereka tak pernah bertemu sama sekali. Namun Clarissa hanya spontan bertanya karena saking penasaran dan kagetnya. "Saya tidak mengenalinya, selain tahu jika dia adalah mantan kekasihmu kan?" "Dan saya juga tahu kalau dia adalah penyebab kamu memiliki ketakutan saat petir datang. Karena semua trauma yang kamu alami itu berasal dari masa lalumu yang belum selesai," lanjut Leo kemudian. "Om tau darimana soal itu?" Clarissa masih mengejar jawaban yang masih ingin ia ketahuai kebenarannya. Sama sekali tak menggu