Clara merenung di atas ranjang dengan menekuk lutut sebagai tumpuan kepalanya yang semakin terasa berat. Ares sudah tak datang lagi sejak dua Minggu yang lalu. Dia izin untuk berangkat ke kantor tapi, sampai detik ini dia tak pernah kembali."Pembohong." Clara terus menyerukan kata-kata itu. Padahal Ares berjanji akan menghabiskan waktu satu Minggu bersamanya sebagai sepasang suami istri yang sesungguhnya tapi nyatanya dia ingkar janji.Clara tersenyum miris, ia merasa bodoh, harusnya ia tak percaya dengan kata-kata manis Ares. Memang siapa dirinya? Mily, istri yang sudah tujuh tahun bersamanya saja dia bohongi mentah-mentah.Suara bel terdengar. Clara bergegas bangkit dari tempat tidur dan membukakan pintunya. Ia berharap Ares yang datang hingga tak sadar ia tersenyum sendiri. Ia benar-benar berharap kedatangan Ares. Ia menyukai Ares hingga ia merindukannya setengah mati selama dua minggu ini."Hai apa kabar?"Senyum Clara berubah kaku ketika yang muncul bukanlah Ares."Sepertinya ka
Ares rasanya ingin berlari mengejar Clara tapi ia urungkan karena ada Mily di sisinya."Bukankah itu Clara? Kenapa dia?" Mily bertanya pada Jerry."Dia lupa kalau hari ini ada janji." Jerry menjawab asal dan menatap sengit ke arah Ares."Ada-ada saja." Mily tertawa kecil."Mily, kamu pulang sendiri, ya? aku mendadak ada urusan." Ares berkata bohong, sebenarnya ia ingin menemui Clara. Ia juga sangat merindukan Clara tapi ia tidak bisa meninggalkan Mily."Baiklah." Mily tak keberatan."Hati-hati." Ares mengecup kening Mily singkat."Iya, Sayang." Mily tersenyum dan melambaikan tangannya.Sedangkan Jerry merasa jijik bahkan mual melihat adegan sok romantis di depannya."Jerry, aku akan menemui Clara. Kamu urus pekerjaanku." Ares ingin pergi sekarang juga. Ia harus minta maaf pada Clara."Ternyata kamu lebih breng*ek dariku." Jerry mencibir Ares lalu pergi meninggalkannya begitu saja.Ares tak peduli dengan sikap Jerry, ia tidak mampu berfikir saat ini. Ia hanya perlu secepat mungkin mene
Clara pergi bersama Raga ke suatu daerah terpencil. Raga sengaja memilih pindah bekerja dengan alasan ingin mengabdikan diri.Sebelum pergi mereka menemui Jerry terlebih dahulu untuk memberitahunya dan meminta tolong untuk mengawasi Ares."Baiklah kalian pergilah." Jerry lebih mempercayakan Clara dengan Raga daripada Ares."Jangan pernah beritahu keberadaan kami." Raga menggenggam tangan Jerry sebagai tanda minta tolong."Tentu saja, apa lagi kamu sudah mengorbankan karirmu. Berbahagialah." Jerry tersenyum tulus. Ia memang menyukai Clara tapi ia sadar, ia tak mampu membahagiakannya. Ia akan membiarkan Clara pergi bersama Raga dan dia akan menahan Ares seperti permintaan mereka."Terima kasih.""Cepat pergi." Raga dan Clara mengangguk dan segera pergi. Mereka tidak mau ketahuan oleh Ares.Sepanjang perjalanan Raga menggenggam tangan Clara seolah takut terlepas. Ia sangat mencintai Clara sehingga ia rela melakukan hal sejauh ini.Karirnya sebagai dokter sangat bagus di kota tapi rela p
Semua mata tertuju pada suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai, sehingga menimbulkan dentingan seolah nada merdu pengantar sang Dewi berjalan.Kaki jenjangnya yang mulus menggiurkan bagi kaum adam, rambut indah bergelombang bergerak-gerak seirama dengan langkahnya. Bibirnya merah menyala, kulit putihnya kontras dengan baju hitam ketat yang dia gunakan.Banyak pria yang harus menutup mulutnya rapat-rapat supaya air liurnya tidak menetes saat melihat sang Dewi malam berjalan diantara pengunjung hiburan malam."Tak salah bukan? Kita datang kemari? Lihatlah dia, Ar.""Biasa saja.""Ares sahabatku, ayolah tersenyum sedikit, nikmatilah keindahan ini.""Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan, aku akan pulang sekarang."Pria bernama Ares berdiri tepat saat sang Dewi berjalan di sampingnya membuat langkahnya terhenti.Mata mereka saling beradu. Namun, dengan cepat Ares mengalihkan pandangannya seolah ia jijik dan tak sudi walaupun hanya melihatnya saja.Sang Dewi sendiri tak peduli,
Wajah tampan Ares beberapa minggu ini terlihat kusut, ia tidak bersemangat dalam hal apa pun saat ini. Pikirannya kacau karena orang tuanya terus menekan dirinya untuk segera memiliki momongan. Ares sudah berkali-kali melakukan program kehamilan dengan dokter terkenal. Namun, hasilnya masih saja nihil.Penampilan Ares yang kusut itu, tak lepas dari pengamatan Jerry. "Ada apa? Kamu nampak kusut dan tak bersemangat." Jerry duduk di depan Ares."Hmm.""Kamu bisa ceritakan masalahmu padaku.""Kamu tidak akan bisa membantu masalahku.""Ah...aku tahu, pasti tentang kamu yang belum juga memiliki keturunan." Hal ini bukan hal baru, Jerry sangat hafal dengan masalah sahabatnya itu karena beberapa tahun belakangan ini, cuma masalah itu yang mampu mengusik ketenangan Ares."Lalu sekarang kamu masih mau bilang bisa bantu aku?""Aku penasaran, apa di antara kalian ada yang tidak sehat?" "Mungkin aku," gumam Ares pelan dan sedikit tak yakin. Namun, hasil lab menunjukan dirinya yang tidak sehat kat
Clara tidak bisa tidur pagi ini, ucapan pria gila semalam, terus terngiang di otaknya. Ucapan pria itu sungguh tidak masuk akal. "Pria memang gila." Clara bergumam sambil terus berusaha untuk memejamkan matanya karena ia harus kembali bekerja nanti malam.Di tempat lain, Ares sedang berfikir bagaimana ia bisa segila itu semalam. Seharusnya ia mencari wanita baik-baik sebagai partnernya tapi kenapa ia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri dengan bertindak bodoh mengajak seorang wanita penghibur untuk menjadi ibu dari calon anaknya kelak. Padahal jelas-jelas ia membenci tipe wanita rendahan seperti itu. Namun, kenapa ia bisa lepas kendali semalam."Aku sudah menyiapkan perjanjiannya." Ucapan Jerry membuyarkan lamunan Ares. "Maksud kamu?" Ia mengernyitkan keningnya bingung."Aku sudah mempersiapkan perjanjian sebelum kamu melakukan rencana itu, tapi aku tidak ingin jika wanita yang kamu pilih adalah Clara." Jerry berbicara jujur, ia memang tidak setuju jika Ares memilih Clara karena ia
Clara mengerjapkan matanya beberapa kali, ia menggeliat dan meregangkan otot-ototnya yang kaku. Tidurnya kali ini terasa sangat nyenyak tidak seperti biasanya.Tidur?' gumamnya dalam hati. Namun, sedetik kemudian ia refleks membuka matanya lebar-lebar. Rasanya Clara ingin mengumpat. Bisa-bisanya ia tidur di mobil pria gila itu."Ini dimana?" Clara kebingungan, ia tidak berada di mobil saat ini. Padahal jelas-jelas tadi ia tertidur di dalam mobil. Bukan kamar."Sudah puas tidurnya, Nona?" Ares keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melingkar di pinggangnya. Air juga masih menetes dari rambut menambah keseksiannya.Seketika wajah Clara merah merona melihat pria yang ada dihadapannya. Ia segera memalingkan wajahnya untuk mengurangi rasa malunya."Lucu sekali." Ares berucap sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk lain yang ia bawa."Apa maksudmu?""Kamu sangat lucu atau pura-pura polos? Bukankah kamu sering melihat lebih dari ini." Ares meremehkan Clara. Ia akui, akti
Clara memijat pelipisnya yang terasa pening. Sudah beberapa gelas minuman beralkohol ia habiskan, berharap rasa pening di kepalanya menghilang. Namun, bukannya menghilang, ia justru merasa semakin pening. Ditambah lagi, pria gila yang tidak ingin ia lihat, muncul dihadapannya."Jangan minum seperti ini, aku tidak mau rahimu bermasalah." Ares merebut gelas Clara dan membuang isinya ke lantai."Hai, Tuan!! Apa Anda sudah gila?!" Clara kesal, ia sengaja meninggikan suaranya."Cepatlah ikut denganku. Aku memiliki waktu satu minggu penuh untuk menghabiskan malam denganmu." Ares tidak peduli dengan Clara yang terlihat kesal."Gila!!" Clara rasanya kesal setengah mati. Pria itu benar-benar mengusik kehidupannya yang tenang."Aku tidak peduli." Ares menarik Clara secara paksa supaya mau ikut bersamanya meski wanita itu belum menyetujui kontrak yang ia usulkan."Anda jangan sembarangan atau saya teriak." Clara mencoba mengancam pria itu, berharap dia akan berhenti mengganggunya."Teriaklah sam