“Abah… Abah bawa apa Bah?” sambut Didin melihat abah pulang membawa plastik hitam di tangannya.
“Abah bawa beras. Nih kasih Ibu biar langsung dimasak,” kata abah memberikan sekantung plastik beras pada adik bungsu Zuzu.
“Abah bawa beras teh,” kata Didin dengan bahagianya mengumumkan.
Zuzu pun tersenyum bahagia melihat yang dibawa oleh Didin. Sedangkan Mirah langsung bergegas mengikuti Didin hendak memasak nasi membantu ibunya di dapur.
Adik kedua Zuzu bernama Amah tiba-tiba terbangun dari tidurnya, langsung terduduk di sebelah Zuzu.
“Lah ko bangun Mah?” tanya Zuzu pada Amah.
“Tidak bisa tidur lagi Teh. Mau nunggu nasi mateng aja,” katanya sambil merapikan rambutnya yang semrawut.
Seperti itulah keadaan keluarga mereka, mereka tidak pernah bersedih jika tidak ada dan berbahagia pada hal yang datang tak biasa.
Beberapa menit kemudian, nasi yang ditanak Mirah sudah mengeluarkan harum khas nasi kukus dan siap untuk dipindahkan ke wadah untuk segera disantap bersama.
“Hmmm wangiiiii…” ujar mereka.
Setelah nasi sudah berada di hadapan mereka, bu Ariah meletakkan bawang goreng sebagai lauk hari ini.
Mereka segera melahapnya tanpa jeda. Nikmat sekali rasanya sampai mereka menambah beberapa kali.
“Trisna, anter abah ke pasar yu,” kata pak Aman pada Trisna adik pertama Zuzu.
“Ayo Bah,” jawab Trisna bersemangat.
Keduanya bergegas menuju pasar hendak membeli sesuatu.
Sedangkan mereka berempat memilih bermain-main dengan anak-anak lain di pelataran masjid.
Satu jam kemudian, di Tengah keasyikan mereka bermain, tiba-tiba Pak Aman dan Trisna kembali dari pasar menaiki sebuah benda yang sangat mewah pada masa itu.
“Abah!” teriak Didin sumringah melihat benda yang mereka naiki.
“Abah beli sepeda baru Teh!” seru Didin menunjuk-nunjuk abah dan Trisna yang hampir sampai rumah.
Mereka semua berlari menuju rumah begitu juga dengan teman-teman mereka yang juga bersemangat melihat benda baru yang dibeli pak Aman.
“Wah bagus banget sepedanya Din,” kata teman Didin.
“Iya bagus banget,” timpal yang lain sambil tidak henti memperhatikan setiap inci sepeda baru pak Aman.
“Abah Didin, ini sepeda apa namanya?” tanya temannya Didin.
“Sepeda Onthel,” jawab pak Aman.
***
Keesokan hari setelah mereka puas memandangi sepeda baru di rumah, pak Aman mengajak Zuzu dan Didin untuk ikut Bersama abah mereka ke sawah menaiki sepeda.
“Gantian ya Neng, ntar Mirah sama Amah yang ikut Abah besok,” kata pak Aman pada Amah.
“Iya Bah,” jawab Mirah dan Amah.
ZuU dan Didin duduk di boncengan belakang.
Kayuhan pertama, membuat mereka bahagia tak terperi. Zuzu dan Didin tertawa-tawa di belakang menikmati indahnya pemandangan sawah.
"Jangan bercanda, nanti jatuh," tegur pak Aman pada mereka.
"Teteh tuh," tuduh Didin.
"Didin nih Bah, katanya mau diturunin disini,"
"Hahahaha," mereka kembali tertawa lepas.
"Kakinya jauh-jauh dari rante ya?" Seru abah.
"Iya Bah," jawab keduanya serempak.
Setelah sampai sawah, Zuzu dan Didin mulai bermain-main di jalanan, terkadang mereka turun ke sawah bermain diantara tumpukan Jerami. Sesekali mereka memperhatikan abah mereka yang sedang mengebatkan seikatan padi ke sebuah kayu khusus untuk meruntuhkan padi dari tangkai-tangkainya. Pak Aman melakukan itu sejak pagi hingga sore tanpa lelah bahkan hanya berjeda untuk shalat dan makan.
"Cape tidak?" Tanya pak Aman.
"Ngantuk Bah," kata Zuzu mengelipkan mata ngantuknya.
"Tunggu sebentar lagi ya. Sudah mau selesai ni," kata pak Aman.
Setelah semua padi terkumpul, pak Aman dan teman-temannya memasukkan hasil padi tersebut ke dalam karung dan menjaitnya rapat-rapat.
Sebagian petani lain membawa beberapa karung Jerami untuk membuat lumbung padi di rumah mereka, sedangkan pak Aman, bagian membawa satu karung besar padi untuk di jemur di halaman rumah.
“Bah, ini punya kita Bah padinya?” celetuk Zuzu.
“Bukan, ini masih punya orang,” jawab pak Aman.
“Tapi dibawa kerumah kita?” timpal Didin.
“Ini mau dijemur dulu abis itu didesel,” jawab pak Aman sambil menaruh karung beras itu di bagian depan sepeda.
GUBRAKKK
Tiba-tiba, karung berisi padi yang sudah pak Aman naikkan diatas sepeda jatuh. Pak Aman merapikannya kembali, untung saja tidak ada yang bocor.
***
Hari demi hari beranjak berganti tahun. Usia Zuzu kini memasuki usia 8 tahun. Ia disekolahkan oleh abah dan ibunya di sebuah Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah yang tidak jauh dari rumah mereka.
Sedangkan Mirah yang usianya sudah menginjak 9 tahun pun sudah lebih dulu masuk sekolah, di tahun berikutnya barulah Amah yang akan masuk sekolah karena usianya sudah menginjak 7 tahun.
"Zu. Ayo cepat berangkat sekolah!" Seru Mirah pada Zuzu yang masih pakai kaus kaki.
"Iya Teh. Ini sudah selesai,"
Zuzu sangat bersemangat di tahun pertamanya masuk sekolah. Pagi-pagi sekali, ia sudah terbangun untuk bersiap-siap untuk sekolah SD. Bersarapan seadanya dan berangkat tanpa membawa uang jajan.
“Tidak usah jajan ya, nanti makan saja di rumah sepulang sekolah,” kata ibunya.
Ia hanya mengiyakan perkataan bu Ariah yang sudah terbiasa terdengar setiap hari.
Waktu istirahatpun tiba, seluruh anak berhambur keluar menyerbu pedagang jajanan yang sudah terpampang di halaman sekolah, kecuali Zuzu, ia hanya berdiri di depan kelas memandangi teman-temannya yang dengan riangnya menyebutkan jajanan yang mereka inginkan.
"Bang, telur dadar satu Bang,"
"Bang, es serut satu Bang,"
Suara mereka bersahutan terdengar di telinga Zuzu.
Beberapa mereka kembali dengan membawa jajanan di tangan masing-masing. Ada yang membawa telur dadar yang dilumuri saos kecap di atasnya, dan memakannya sambil berjalan di hadapan Zuzu, ada yang menggigit es buah yang dibekukan dan menghisapnya sampai terdengar suara lezat menikmati es tersebut.
"Zu tidak jajan?" Tanya temanku yang membawa telur dadar.
"Tidak,"
"Kenapa memangnya?" Tanyanya lagi.
"Tidak apa-apa," ia menggeleng.
Ia sudah terbiasa dengan ini, ia sudah terbiasa hanya mencicipi jajanan bekas temannya yang tidak habis. Semua keadaan itu berlangsung begitu lama hingga ia tidak bisa lagi menahan keinginannya untuk jajan seperti anak-anak lainnya.
"Zu mau tidak? Aku kenyang," kata temannya.
"Mau Lin," katanya menerima jajanan dari Lina. Teman sekelasnya.
Hingga suatu ketika, ia bersiap untuk berangkat sekolah Madrasah Ibtidaiyah yang jaraknya lebih dekat dari rumahnya. Kali ini ia ingin meminta uang jajan pada ibunya, tak peduli apa yang akan dikatakan oleh ibunya, yang terpenting hanyalah ingin jajan di sekolah.
“Bu, minta uang Bu. Zuzu pengen jajan telor dadar Bu di sekolah,” katanya meringis sangat berharap bu Ariah akan memberinya uang jajan.
“Ibu tidak ada uang. Cuma ada dua ribu, nanti beli lauk pake apa?” jawab bu Ariah.
“Tidak usah makan lauk Bu, makan nasi aja,” balaanya merengek.
“Dih, emang enak makan nasi doang. Udah berangkat aja gih, nanti aja jajannya,” kata bu Ariah.
Kini air mata Zuzu tak bisa lagi terbendung. Ia sudah tak mau lagi melihat teman-temannya memakan jajanan di hadapannya, ia sudah benci memakan sisaan temannya.
“Bu, minta uang jajan seratus perak aja Bu,” katanya sambil menangis.
Bu Ariah tak menjawab, ia malah ditinggalkan oleh bu Ariah ke warung. Tangisnya semakin mengaum sampai sesenggukan, namun tetap tidak dihiraukan oleh ibunya.
"Buuuuuuu..." Ia berteriak sekuat mungkin untuk meluapkan segala kekesalannya.
Siang ini ia sudah tertinggal jam sekolah, ia memutuskan untuk melanjutkan rasa sedihnya di kasur kapuk kesayangannya, hingga akhirnya ia tertidur mengenakan seragam muslim sekolahnya.
Berulangkali Zuzu harus menangis meminta uang jajan dan berulangkali juga ia tidak masuk sekolah karena tidak punya uang.
“Zu. Zuzu sekolahnya MI aja ya? Tidak usah sekolah SD dulu,” kata bu Ariah baik-baik berbicara pada Zuzu.
“Emang kenapa Bu?” tanyanya bingung.
“Ibu tidak punya uang untuk memberi kamu uang jajan,” kata bu Ariah. Air matanya mulai tergenang di pelapuk.“Sekolah MI aja ya? Semoga ada rezekinya nanti buat Zuzu sama Teteh jajan,” rayu bu Ariah sambil meyakinkan Zuzu. Ia hanya mengangguk menuruti perkataan ibunya.Waktu bergulir, pagi-pagi Zuzu hanya berdiam di rumah menunggu waktu sekolah madrasah. Ia melihat ibunya sudah berkecimpung di dapur sejak subuh tadi. Tidak biasanya bu Ariah memasak lama seperti itu.‘apa kita akan makan enak hari ini?’ batin Zuzu bergembira.Seperti biasa, untuk menunggu jam sekolah siang nanti, ia pergi bermain dulu Bersama teman-temannya, bermain layangan.Adzan dzuhur telah berkumandang. Zuzu pun bergegas pulang dan bersiap untuk ke sekolah.“Zuzu, ini Ibu bikin gorengan, nanti jualin ke temen-temen ya? Satunya lima perak,” kata bu Ariah memberikannya keresek yang berisi gorengan yang dialasi baskom tak terlalu besar.“Iya Bu. Nanti uangnya boleh buat jajan tidak Bu?”“Iya boleh. Jangan dijajanin b
SRATTT… BRAKKKZuzu terpeleset dan jatuh ke tanah, semua kue dagangannya ikut jatuh berantakan dan habis terkena lumpur basah.“Aduh,” lenguhnya kesakitan di bagian punggung.“Ya Allah cucuku jatuh,” kata seorang nenek yang melihat Zuzu jatuh dan menghampirinya untuk membantu memunguti dagangan Zuzu yang sudah tidak bisa lagi dijual.“Hati-hati Cu,” kata nenek itu mengiba.“Iya Nek, Tidak apa-apa,” katanya menahan rasa ngilu di punggung.“Dimana rumahnya emang Cu?” tanya Nenek.“Di desa seberang Nek,”“Ya Allah Cu, hati-hati ya,”“Iya Nek, terimakasih ya Nek,” ucap Zuzu pada sang nenek yang baik hati sudah menolongnya.Zuzu pun pulang dengan membawa pulang beberapa kue yang sudah kotor itu .Setibanya ia di rumah, Zuzu menyerahkan kue kotor itu kepada bu Ariah.“Bu, tadi aku jatuh terpeleset dijalanan, terus kue nya jatuh berantakan dan pada kotor,” katanya pada bu Ariah.“Terus kamunya gapapa?” tanya bu Ariah khawatir.“Gak apa-apa Bu,” jawab Zuzu menyembunyikan punggungnya yang masi
Ternyata seorang pria paruh baya dan pria muda memakai kemeja kotak-kotak yang sangat rapi dan wangi yang berdiri di sana.“Kang Jalal,” ucap Zuzu lirih pada pria muda yang terlihat fresh dan tampan itu.“Mang Karya. Masuk-masuk Mang,” kata pak Aman mempersilahkan keduanya masuk.Keduanya memasuki gubuk mereka yang hanya beralaskan karpet plastik tanpa ada sofa yang empuk ataupun permadani yang terbentang indah seperti di rumah mang Karya. Kedatangan mereka pun sangat tidak pernah keluarga Zuzu duga, karena mang Karya salah satu orang terpandang di desa seberang,"Ada apa gerangan tiba-tiba mau berkunjung ke rumah reot milik kami ini Mang?" semakin canggung saat Jalal menyenggol lengan bapaknya mengisyaratkan bahwa itulah wanita yang anaknya sukai."Maaf duduknya di karpet dingin Mang," kata pak Aman."Tidak apa-apa Mang. Santai saja," jawab Mang Karya penuh santun.Untung saja tidak ada adik-adik Zuzu di rumah, karena mereka sedang mengaji ditemani oleh Mirah di rumah ustadz yang b
‘siapa yang mereka lihat?’ batin Zuzu.“Masyaallah, itu putra Kyai Agil yang sulung,” kata mereka yang sempat terdengar di telinga Zuzu.“Masyaallah, ganteng sekali,” timpal yang lain.“Mana? Mana putra sulung Kyai Agil?” tanya Limah penasaran bertanya pada mereka yang sudah melihat putra mahkota dari sela-sela tirai.“Itu. Ganteng banget,” kata santriwati di depan Zuzu.“Mana?” kata Titi ikut mengintip dari sela tirai.Zuzu hanya bersiap untuk salat berjama’ah karena pak kyai sudah mengucap takbir memulai salat maghrib.Selesai menunaikan salat maghrib berjama’ah dengan serangkaian dzikir tahlil setelahnya. Kyai Agil mulai menduduki kursi yang sudah disiapkan pengurus untuk menyampaikan kajian, dan tirai bagian santri putripun siap dibuka.“Masyaallah,” kagum santriwati yang mulai melihat pria yang duduk berdampigan dengan abahnya itu.“Ya Allah ih ganteng, putih lagi,” mereka tak henti-henti memuji putra mahkota pak kyai.Waktu seakan melambat selama tirai itu dibuka dan menampakkan
“Zubaidah Anggraini?” panggil Riza memecah lamunan Zuzu.“Iya Gus?” sahut Zuzu.“Alamatmu belum diisi,” kata Riza.“Oh iya Gus maaf, tadi terlalu bersemangat mengisi pertanyaan cita-cita,” Zuzu seraya mengambil kertasnya lalu mengisi pertanyaan yang masih kosong.**Dua bulan berlalu, perbekalan Zuzu mulai habis. Setiap sore ia akan pergi ke sawah untuk menunggu seseorang yang telah berjanji akan mengunjungi Zuzu.“Zu?” panggil Imah dan Titi.“Sedang menunggu kunjungan lagi?” tanya mereka seraya menghampiri Zuzu.“Iya,” rautnya begitu lesu dan sedih.“Nih aku beli mi ayam, mau gak?” kata Imah menawari.“Iya nih aku juga beli bubur ayam tadi, makan bareng-bareng aja yuk,” kata Titi.“Tidak ah, kalian makan saja,” pandangannya kembali menatap jalanan, berharap aka nada yang datang mengunjunginya sore ini.Aroma mi ayam dan bubur ayam mereka menyengat hingga membuat Zuzu melirik pada mangkuk di tangan mereka. Tanpa sepatah kata, Zuzu hanya menahan segala inginnya karena takut teman-teman
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Zuzu hanya diam di sepanjang perjalanan.“Zu?” suara Rasyid terdengar terhalang oleh helm.“Ya Pak?”“Loh ko masih Pak manggilnya?”“Aku harus panggil apa dong?”“Mas saja,”“Oke,”“Kita cari perumahan di daerah sini ya?”“Terserah Mas saja,”“Oke kalau gitu,”Motor yang mereka tumpangi itu berbelok membawa mereka ke sebuah perumahan elit yang katanya tak jauh dari kantor Rasyid.“Villa Mas Garden,” Zuzu membaca tulisan tersebut yang tertulis di sebuah batu besar yang menyambut kedatangan sepasang pengantin baru itu.Rasyid pun berhenti di sebuah pos, bukan untuk bertanya pada security, melainkan untuk menelpon seseorang.“Halo Pak Raka?” ucap Rasyid di samping Zuzu.“Saya sudah ada di Villa ni Pak. Saya akan mengambil satu rumah untuk istri baru saya,”“Wahaha. Mantap sekali Pak Rasyid ini. Oke-oke. Pilih saja mana yang mau. Nanti karyawan saya yang kesana untuk mengurus kontraknya,”“Baik Pak Raka. Terimakasih banyak,”Sambungan itu terputus.Mereka kembali menaiki motor dan melihat
Pukul sebelas siang, Rasyid Dan Zuzu sudah berada di kediaman Zuzu. Semua mata tertuju pada siapa yang datang bersama Zuzu. Tak jarang para tetanga bertanya-tanya tentang siapa pria gagah bersih yang singgah di rumah Zuzu, si kembang desa itu.“Assalamu’alaikum Bah, Ibu?” ucap Zuzu di depan pintu.“Wa’alaikumussalam, Zu? Ada apa ko tiba-tiba pulang?” jawab Bu Ariah terkejut. Matanya memperhatikan pria tampan di belakang Zuzu.“Ini Bu. Pria yang mau menikahi Zuzu katanya,” celetuk Zuzu dengan polosnya.Benar saja, kepolosan Zuzu itu mendapat reaksi terkejut di wajah bu Ariah.“Maksudnya bagaimana Zu?” tanya bu Ariah terheran. “Masuk dulu sini, masuk Tong,” bu Ariah mempersilahkan terlebih dahulu.“Tunggu dulu disini ya, Ibu mau manggil Abah,” bergegas bu Ariah memanggil putranya untuk memanggil pak Aman.Beberapa menit kemudian, abah sudah datang dan duduk di hadapan Rasyid.Dengan percaya diri Rasyid menyampaikan maksud kedatangannya ke kampung halaman Zuzu.“Begini Pak. Saya sudah la
Malam pun tiba, Zuzu telah selesai merapikan warung selepas maghrib tadi. Pakaian bagus telah ia kenakan dengan sempurna, rambut Panjang tergerai sampai bawah punggung, membuat parasnya terpancar begitu indah.Suara motor terdengar begitu gagah, berhenti di depan rumah.TIN…Suara klakson dibunyikan tanda pria itu sudah siap akan membawanya ke tempat yang belum pernah sama sekali ia pijak.Zuzu segera keluar menemui pria itu. Seketika waktu melambat, pandangan Rasyid begitu intens memandangi pesona Zuzu yang bak orang Belanda.“Ayo Pak,” Zuzu menegur.“Ayo,”Mereka segera berlalu dengan kecepatan tinggi. Tak ada obrolan selama diperjalanan, Rasyid dengan sangat fokus menyetir hingga mereka sampai pada tujuan hanya dengan waktu lima belas menit.Rasyid melangkah begitu saja menuju pintu utama mall, diikuti dengan Zuzu dibelakangnya.“Pak Rasyid?” seseorang tiba-tiba menyapa Rasyid dari belakang.“Eh Pak,” sahut Rasyid membalikkan tubuh menyalami pria berjaz yang ditemuinya itu.“Gimana
Zuzu melihat isi harves yang ia terima. Ada sebuah kain berwarna cream didalamnya.“Anggap saja ini permintaan maaf saya karena tidak menepati janji saya untuk mengantarkan kamu,” kata Rasyid.“Tidak usah seperti ini Pak. Saya tidak mau Pak,” tolak Zuzu.“Tidak apa-apa. Ini sebagai awal kita mengenal oke?” Rasyid memaksa.Zuzu hanya terdiam, kemudian ia berlalu meninggalkan Rasyid dan masuk kedalam rumah.Senyum Rasyid merekah saat Zuzu menerima hadiah darinya. Sungguh ia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan gadis cantik itu.‘aku harus bisa mendapatkannya’ Rasyid menetapkan dalam hati.Tak lama kemudian bi Jumroh keluar dari rumah membawa panci kecil.“Mpok,” panggil Rasyid dengan semangat membara.“Apa?” sahut bi Jumroh.“Saya ingin menikahi Zuzu Pok,” katanya tanpa basa basi.“Istrimu kan sudah banyak,” sergah bi Jumroh.“Tapi saya cinta sama dia Pok. Tolong sampaikan pada Zuzu. Saya ingin serius sama dia,” katanya bersikeras memohon pada bi Jumroh.“Iya nanti tak sampein,” kat
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak