“Ibu tidak punya uang untuk memberi kamu uang jajan,” kata bu Ariah. Air matanya mulai tergenang di pelapuk.
“Sekolah MI aja ya? Semoga ada rezekinya nanti buat Zuzu sama Teteh jajan,” rayu bu Ariah sambil meyakinkan Zuzu. Ia hanya mengangguk menuruti perkataan ibunya.
Waktu bergulir, pagi-pagi Zuzu hanya berdiam di rumah menunggu waktu sekolah madrasah. Ia melihat ibunya sudah berkecimpung di dapur sejak subuh tadi. Tidak biasanya bu Ariah memasak lama seperti itu.
‘apa kita akan makan enak hari ini?’ batin Zuzu bergembira.
Seperti biasa, untuk menunggu jam sekolah siang nanti, ia pergi bermain dulu Bersama teman-temannya, bermain layangan.
Adzan dzuhur telah berkumandang. Zuzu pun bergegas pulang dan bersiap untuk ke sekolah.
“Zuzu, ini Ibu bikin gorengan, nanti jualin ke temen-temen ya? Satunya lima perak,” kata bu Ariah memberikannya keresek yang berisi gorengan yang dialasi baskom tak terlalu besar.
“Iya Bu. Nanti uangnya boleh buat jajan tidak Bu?”
“Iya boleh. Jangan dijajanin banyak-banyak ya?” pesan bu Ariah.
Zuzu pun berangkat dengan hati riang. Akhirnya ia bisa menikmati jajanan yang enak di sekolah.
Waktu istirahat telah tiba. Kini saatnya Zuzu beraksi.
“Siapa yang mau gorengan? Aku jualan gorengan, satu nya lima perak,” katanya mempromosikan dagangannya.
“Mau Zu mau,”
“Aku mau dua Zu,”
“Aku juga mau Zu,”
Suasana di dalam kelas jadi ramai mengelilingi dagangan Zuzu. Betapa bahagia dagangannya diserbu abis oleh teman-temannya.
Setelah selesai menjual semua gorengan. Zuzu pun keluar kelas untuk melihat-lihat tukang jajanan yang masih mangkal di halaman. Dengan beberapa lembar uang ribuan yang ia pegang, rasanya ia ingin sekali membeli semua jajanan-jajanan itu. Tapi,
“Jangan dijajanin banyak-banyak ya?” kata-kata bu Ariah terngiang-ngiang di kepalanya.
Akhirnya Zuzu melangkahkan kakinya menuju tukang es serut warna warni yang belum pernah ia coba sekalipun itu.
Belum selesai tukang es itu membuatkan untuknya, mata Zuzu sudah berbinar melihat serutan es yang di siram oleh sirup warna warni di atasnya.
“Ini Neng,” kata si penjual.
“Terimakasih Bang,” katanya sambil memberikan uang seratus perak pada penjual.
Tak perlu tunggu lama, ia langsung sigap menyendok es tersebut sambil berjalan, hingga remahan es itu berjatuhan karena terlalu bersemangat ingin mencobanya. Nikmat sekali saat rasa dingin dan manis sirup yang berpadu menjadi satu menyentuh lidahnya.
"Enaaak," ucapnya untuk pertamakali merasakan jajan.
Darisanalah di setiap ia mendapatkan keuntungan, ibunya akan selalu berinisiatif untuk membuat dagangan menjadi bervariasi. Menambah macam-macam es dan gorengan.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Keuntungan dari hasil berjualan di sekolah pun tak kunjung mencukupi biaya sekolah Zuzu, hingga akhirnya untuk yang kedua kalinya ia harus meninggalkan sekolah yang sudah menginjak kelas empat MI itu.
Entah bagaimana perasaannya saat itu, sepertinya ia sudah mati rasa merasakan pahitnya berhenti sekolah.
Beberapa hari setelah Zuzu berhenti sekolah, Trisna terlihat berjalan pulang, memakai pakaian rapi dan membawa buku tulis yang digulung serta pensil di tangannya, kali ini ia terlihat lesu dan bersedih.
“Kenapa Tris?” tanya Zuzu padanya.
“Tadi aku sekolah Teh, gantiin Teteh,” katanya. “Pas sudah sampai kelas, aku ditanya sama Bu Guru. Kamu siapa? Terus aku jawab, aku adiknya Teh Zuzu, mau gantiin Teh Zuzu sekolah. Terus kata Bu Guru, tidak boleh begitu, harus daftar dulu kalo mau sekolah. Akhirnya aku pulang lagi Teh karena tidak boleh ikut belajar di kelas,” beber Trisna.
Dia menangis tersedu-sedu menceritakan yang baru saja ia alami.
Zuzu pun ikut menangis mendengar penjelasan Trisna, dia adalah adik yang sangat ambisius, sejak usianya baru empat tahun, ia sudah ingin sekali sekolah bersama kakak-kakaknya.
"Sabar ya Tris. Kapan-kapan kita sekolah bareng lagi," kata Zuzu menyemangati adiknya.
Matahari sudah berwarna jingga, Zuzu hanya berdiam diri di rumah menunggu adzan maghrib berkumandang dan menunggu abahnya pulang dari pekerjaannya. Hal yang paling ia dan saudara-saudaranya tunggu setelah puas bermain adalah menunggu abah mereka. Karena setiap kali pak Aman pulang, ia pasti akan membawa buah tangan untuk anak-anaknya, meski hanya beberapa belalang untuk mereka makan.
Beberapa menit kemudian, akhirnya yang ditunggu pun telah sampai.
“Bah, apa itu Bah?” tanya Didin melihat abahnya membawa karung yang tidak diketahu apa isinya.
“Jambu air,” jawab pak Aman. Teringat sekarang sudah memasuki musim jambu air. Beberapa tetangga yang memiliki pohon jambu air, menginginkan hasil panennya dijualkan oleh siapapun yang ingin menjualkannya.
Pak Aman mengeluarkan semua jambu air di dalam karung dan mulai memilih jambu air tersebut untuk dijual.
"Jangan tercampur ya. Sebelah sini jambu yang bagus-bagus untuk dijual," kata bu Ariah. Sambil mengemasnya dalam keresek. Sedangkan anak-anaknya asyik menyantap beberapa buah yang sudah pak Aman pilihkan untuk mereka makan.
Manis dan mengkal sekali jambu-jambu itu, sungguh menggoda ditambah dengan warnanya yang merah mengkilap.
"Zu. Ni kelilingin jambunya," kata bu Ariah.
"Iya Bu," angguknya.
Matahari sudah berada di atas ubun-ubun, sudah pukul satu siang, Zuzu mulai berkeliling membawa sebaskom jambu air yang sudah dibungkusi tadi. Berjalan menyusuri jalan setapak dari rumah ke rumah untuk menawarkan jambu air yang ia jual.
"Bi jambu Bi," tawar Zuzu pada ibu-ibu yang berada di bale.
"Jambu apa itu Neng?"
"Jambu air Bi,"
"Coba sini dilihat,"
Ia pun mendekati mereka.
'alhamdulillah laku dua plastik' syukurnya dalam hati.
Seperti itulah kehidupan Zuzu setelah putus sekolah. Jika ada tetangga yang memanen kacang Panjang, ia ikut menjuali kacang Panjang, jika ada yang memanen cabai, ia ikut menjuali cabai. Semua ia lakukan demi abah dan ibu juga saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil.
***
Sedikit demi sedikit, Zuzu bisa mengumpulkan uang untuk ibunya, dan bisa untuk menambahkan modal untuk ibunya berjualan aneka kue. Setiap malam, bu Ariah dan Mirah akan bergelut di dapur untuk membuat kue-kue yang akan Zuzu jual di pagi hari.
Adzan subuh berkumandang. Matanya masih terasa berat untuk bangun. Belum lagi gemericik hujan yang menjadi senandung dalam tidurnya.
”Zu, bangun. Sudah jam lima pagi, cepetan kue-kuenya sudah siap ini,” kata bu Ariah.
Dengan berat hati dan mata yang masih ngantuk luar biasa, Zuzu memaksakan diri untuk bangun dan keliling menjual kue-kue itu dari kampung ke kampung.
'bagaimana aku berkeliling? Cuaca sangat dingin dan jalananpun banjir' gumamnya dalam hati.
Jalanan sangat banjir akibat diguyur hujan semalaman, ia harus menyincing celana untuk terhindar dari genangan air meski itu akan sia-sia, banjir akan tetap membasahi pakaiannya.
"Kue... Kue..." Tawar Zuzu dari rumah ke rumah.
"Sepi banget, ke desa seberang aja lah," katanya berbicara sendiri.
Sekarang, saatnya ia akan menyebrangi jembatan untuk sampai ke desa seberang. Jembatan bambu yang hampir tidak terlihat karena derasnya arus Sungai, tetap harus ia seberangi tanpa ragu dan tanpa takut, ia mengeratkan pegangannya pada kue-kue yang ia susun di kepala, sedang tangan kirinya mulai memegang pegangan jembatan, ia langkahkan kakinya pada bambu tua itu.
KREOT… KREOT
Bunyi jembatan tersebut saat menerima beban tubuh Zuzu bersama kue-kuenya. Dengan sangat hati-hati dan percaya diri melewati arus sungai di atas jembatan reot itu, akhirnya ia selamat dan sampai ke desa seberang, ia pun mulai mendatangi rumah-rumah untuk menawarkan dagangannya. Jalanan tampak licin, ia masih membawa dagangan itu di atas kepala. Hingga akhirnya
SRATTT… BRAKKK
SRATTT… BRAKKKZuzu terpeleset dan jatuh ke tanah, semua kue dagangannya ikut jatuh berantakan dan habis terkena lumpur basah.“Aduh,” lenguhnya kesakitan di bagian punggung.“Ya Allah cucuku jatuh,” kata seorang nenek yang melihat Zuzu jatuh dan menghampirinya untuk membantu memunguti dagangan Zuzu yang sudah tidak bisa lagi dijual.“Hati-hati Cu,” kata nenek itu mengiba.“Iya Nek, Tidak apa-apa,” katanya menahan rasa ngilu di punggung.“Dimana rumahnya emang Cu?” tanya Nenek.“Di desa seberang Nek,”“Ya Allah Cu, hati-hati ya,”“Iya Nek, terimakasih ya Nek,” ucap Zuzu pada sang nenek yang baik hati sudah menolongnya.Zuzu pun pulang dengan membawa pulang beberapa kue yang sudah kotor itu .Setibanya ia di rumah, Zuzu menyerahkan kue kotor itu kepada bu Ariah.“Bu, tadi aku jatuh terpeleset dijalanan, terus kue nya jatuh berantakan dan pada kotor,” katanya pada bu Ariah.“Terus kamunya gapapa?” tanya bu Ariah khawatir.“Gak apa-apa Bu,” jawab Zuzu menyembunyikan punggungnya yang masi
Ternyata seorang pria paruh baya dan pria muda memakai kemeja kotak-kotak yang sangat rapi dan wangi yang berdiri di sana.“Kang Jalal,” ucap Zuzu lirih pada pria muda yang terlihat fresh dan tampan itu.“Mang Karya. Masuk-masuk Mang,” kata pak Aman mempersilahkan keduanya masuk.Keduanya memasuki gubuk mereka yang hanya beralaskan karpet plastik tanpa ada sofa yang empuk ataupun permadani yang terbentang indah seperti di rumah mang Karya. Kedatangan mereka pun sangat tidak pernah keluarga Zuzu duga, karena mang Karya salah satu orang terpandang di desa seberang,"Ada apa gerangan tiba-tiba mau berkunjung ke rumah reot milik kami ini Mang?" semakin canggung saat Jalal menyenggol lengan bapaknya mengisyaratkan bahwa itulah wanita yang anaknya sukai."Maaf duduknya di karpet dingin Mang," kata pak Aman."Tidak apa-apa Mang. Santai saja," jawab Mang Karya penuh santun.Untung saja tidak ada adik-adik Zuzu di rumah, karena mereka sedang mengaji ditemani oleh Mirah di rumah ustadz yang b
‘siapa yang mereka lihat?’ batin Zuzu.“Masyaallah, itu putra Kyai Agil yang sulung,” kata mereka yang sempat terdengar di telinga Zuzu.“Masyaallah, ganteng sekali,” timpal yang lain.“Mana? Mana putra sulung Kyai Agil?” tanya Limah penasaran bertanya pada mereka yang sudah melihat putra mahkota dari sela-sela tirai.“Itu. Ganteng banget,” kata santriwati di depan Zuzu.“Mana?” kata Titi ikut mengintip dari sela tirai.Zuzu hanya bersiap untuk salat berjama’ah karena pak kyai sudah mengucap takbir memulai salat maghrib.Selesai menunaikan salat maghrib berjama’ah dengan serangkaian dzikir tahlil setelahnya. Kyai Agil mulai menduduki kursi yang sudah disiapkan pengurus untuk menyampaikan kajian, dan tirai bagian santri putripun siap dibuka.“Masyaallah,” kagum santriwati yang mulai melihat pria yang duduk berdampigan dengan abahnya itu.“Ya Allah ih ganteng, putih lagi,” mereka tak henti-henti memuji putra mahkota pak kyai.Waktu seakan melambat selama tirai itu dibuka dan menampakkan
“Zubaidah Anggraini?” panggil Riza memecah lamunan Zuzu.“Iya Gus?” sahut Zuzu.“Alamatmu belum diisi,” kata Riza.“Oh iya Gus maaf, tadi terlalu bersemangat mengisi pertanyaan cita-cita,” Zuzu seraya mengambil kertasnya lalu mengisi pertanyaan yang masih kosong.**Dua bulan berlalu, perbekalan Zuzu mulai habis. Setiap sore ia akan pergi ke sawah untuk menunggu seseorang yang telah berjanji akan mengunjungi Zuzu.“Zu?” panggil Imah dan Titi.“Sedang menunggu kunjungan lagi?” tanya mereka seraya menghampiri Zuzu.“Iya,” rautnya begitu lesu dan sedih.“Nih aku beli mi ayam, mau gak?” kata Imah menawari.“Iya nih aku juga beli bubur ayam tadi, makan bareng-bareng aja yuk,” kata Titi.“Tidak ah, kalian makan saja,” pandangannya kembali menatap jalanan, berharap aka nada yang datang mengunjunginya sore ini.Aroma mi ayam dan bubur ayam mereka menyengat hingga membuat Zuzu melirik pada mangkuk di tangan mereka. Tanpa sepatah kata, Zuzu hanya menahan segala inginnya karena takut teman-teman
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
Zuzu hanya diam di sepanjang perjalanan.“Zu?” suara Rasyid terdengar terhalang oleh helm.“Ya Pak?”“Loh ko masih Pak manggilnya?”“Aku harus panggil apa dong?”“Mas saja,”“Oke,”“Kita cari perumahan di daerah sini ya?”“Terserah Mas saja,”“Oke kalau gitu,”Motor yang mereka tumpangi itu berbelok membawa mereka ke sebuah perumahan elit yang katanya tak jauh dari kantor Rasyid.“Villa Mas Garden,” Zuzu membaca tulisan tersebut yang tertulis di sebuah batu besar yang menyambut kedatangan sepasang pengantin baru itu.Rasyid pun berhenti di sebuah pos, bukan untuk bertanya pada security, melainkan untuk menelpon seseorang.“Halo Pak Raka?” ucap Rasyid di samping Zuzu.“Saya sudah ada di Villa ni Pak. Saya akan mengambil satu rumah untuk istri baru saya,”“Wahaha. Mantap sekali Pak Rasyid ini. Oke-oke. Pilih saja mana yang mau. Nanti karyawan saya yang kesana untuk mengurus kontraknya,”“Baik Pak Raka. Terimakasih banyak,”Sambungan itu terputus.Mereka kembali menaiki motor dan melihat
Pukul sebelas siang, Rasyid Dan Zuzu sudah berada di kediaman Zuzu. Semua mata tertuju pada siapa yang datang bersama Zuzu. Tak jarang para tetanga bertanya-tanya tentang siapa pria gagah bersih yang singgah di rumah Zuzu, si kembang desa itu.“Assalamu’alaikum Bah, Ibu?” ucap Zuzu di depan pintu.“Wa’alaikumussalam, Zu? Ada apa ko tiba-tiba pulang?” jawab Bu Ariah terkejut. Matanya memperhatikan pria tampan di belakang Zuzu.“Ini Bu. Pria yang mau menikahi Zuzu katanya,” celetuk Zuzu dengan polosnya.Benar saja, kepolosan Zuzu itu mendapat reaksi terkejut di wajah bu Ariah.“Maksudnya bagaimana Zu?” tanya bu Ariah terheran. “Masuk dulu sini, masuk Tong,” bu Ariah mempersilahkan terlebih dahulu.“Tunggu dulu disini ya, Ibu mau manggil Abah,” bergegas bu Ariah memanggil putranya untuk memanggil pak Aman.Beberapa menit kemudian, abah sudah datang dan duduk di hadapan Rasyid.Dengan percaya diri Rasyid menyampaikan maksud kedatangannya ke kampung halaman Zuzu.“Begini Pak. Saya sudah la
Malam pun tiba, Zuzu telah selesai merapikan warung selepas maghrib tadi. Pakaian bagus telah ia kenakan dengan sempurna, rambut Panjang tergerai sampai bawah punggung, membuat parasnya terpancar begitu indah.Suara motor terdengar begitu gagah, berhenti di depan rumah.TIN…Suara klakson dibunyikan tanda pria itu sudah siap akan membawanya ke tempat yang belum pernah sama sekali ia pijak.Zuzu segera keluar menemui pria itu. Seketika waktu melambat, pandangan Rasyid begitu intens memandangi pesona Zuzu yang bak orang Belanda.“Ayo Pak,” Zuzu menegur.“Ayo,”Mereka segera berlalu dengan kecepatan tinggi. Tak ada obrolan selama diperjalanan, Rasyid dengan sangat fokus menyetir hingga mereka sampai pada tujuan hanya dengan waktu lima belas menit.Rasyid melangkah begitu saja menuju pintu utama mall, diikuti dengan Zuzu dibelakangnya.“Pak Rasyid?” seseorang tiba-tiba menyapa Rasyid dari belakang.“Eh Pak,” sahut Rasyid membalikkan tubuh menyalami pria berjaz yang ditemuinya itu.“Gimana
Zuzu melihat isi harves yang ia terima. Ada sebuah kain berwarna cream didalamnya.“Anggap saja ini permintaan maaf saya karena tidak menepati janji saya untuk mengantarkan kamu,” kata Rasyid.“Tidak usah seperti ini Pak. Saya tidak mau Pak,” tolak Zuzu.“Tidak apa-apa. Ini sebagai awal kita mengenal oke?” Rasyid memaksa.Zuzu hanya terdiam, kemudian ia berlalu meninggalkan Rasyid dan masuk kedalam rumah.Senyum Rasyid merekah saat Zuzu menerima hadiah darinya. Sungguh ia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan gadis cantik itu.‘aku harus bisa mendapatkannya’ Rasyid menetapkan dalam hati.Tak lama kemudian bi Jumroh keluar dari rumah membawa panci kecil.“Mpok,” panggil Rasyid dengan semangat membara.“Apa?” sahut bi Jumroh.“Saya ingin menikahi Zuzu Pok,” katanya tanpa basa basi.“Istrimu kan sudah banyak,” sergah bi Jumroh.“Tapi saya cinta sama dia Pok. Tolong sampaikan pada Zuzu. Saya ingin serius sama dia,” katanya bersikeras memohon pada bi Jumroh.“Iya nanti tak sampein,” kat
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak