‘siapa yang mereka lihat?’ batin Zuzu.
“Masyaallah, itu putra Kyai Agil yang sulung,” kata mereka yang sempat terdengar di telinga Zuzu.
“Masyaallah, ganteng sekali,” timpal yang lain.
“Mana? Mana putra sulung Kyai Agil?” tanya Limah penasaran bertanya pada mereka yang sudah melihat putra mahkota dari sela-sela tirai.
“Itu. Ganteng banget,” kata santriwati di depan Zuzu.
“Mana?” kata Titi ikut mengintip dari sela tirai.
Zuzu hanya bersiap untuk salat berjama’ah karena pak kyai sudah mengucap takbir memulai salat maghrib.
Selesai menunaikan salat maghrib berjama’ah dengan serangkaian dzikir tahlil setelahnya. Kyai Agil mulai menduduki kursi yang sudah disiapkan pengurus untuk menyampaikan kajian, dan tirai bagian santri putripun siap dibuka.
“Masyaallah,” kagum santriwati yang mulai melihat pria yang duduk berdampigan dengan abahnya itu.
“Ya Allah ih ganteng, putih lagi,” mereka tak henti-henti memuji putra mahkota pak kyai.
Waktu seakan melambat selama tirai itu dibuka dan menampakkan dua pria wibawa nan tampan di hadapan.
“Wahai anakku, ilmu tanpa amal itu tidak ada. Begitu juga dengan amal, amal tanpa ilmu itu berarti gila. Seperti contoh, ada seorang dua pria di dalam gua sedang beribadah. Keduanya sama-sama kuat dalam beribadah, tetapi suatu Ketika si A ini bertanya kepada si B.
Wahai B, kenapa sakumu itu ada warna merah seperti darah?
Lalu si B pun menjawab, aku baru saja tidak sengaja membunuh burung, lalu aku merasa bersalah padanya, dan aku menaruhnya dalam sakuku sebagai penebus kesalahanku pada Allah karena sudah tidak sengaja membunuh burung kecil ini.
Lalu si A pun beristighfar terkejut mendengar jawaban si B, lalu berkata.
Wahai B, apakah kamu tidak tahu, bahwa darah dan bangkai itu najis. Sedangkan salat kita harus dalam keadaan suci, maka jika ada sesuatu yang Najis dalam diri kita, maka batallah salat kita.
Si A pun terkejut dan ia menangis menyesali kebodohannya.
Jadi, anak-anakku sekalian, ilmu dan amal itu saudara kembar, ia harus berjalan bersama untuk mencapai ibadah yang sempurna,”
Kami mengangguk memahami kalam kyai Agil yang cukup membuat kami terbuka betapa pentingnya sebuah ilmu dalam beribadah.
Setelah pak kyai menyelesaikan kajian, pak kyai mulai melirik pria tampan di sebelahnya.
“Apa kalian sudah mengenalnya?” sambil tersenyum lebar pada putranya, lalu bergantian menatap para santri, khususnya bagi santriwati yang sejak tadi pandangan mereka tak luput memandangi pria bersorban putih itu.
“Sudah,” sahut santriwan yang juga tersenyum-senyum melihat sang abah yang menggoda putranya melalui lirikan.
“Baik, kalau begitu kita beri kesempatan untuk putra Abah yang ganteng ini,” ujar pak kyai.
Para santri pun dibuat terkekeh oleh ucapan kyai Agil.
“Terimakasih untuk Abah yang telah memberikan kula kesempatan ini. Jika tadi Abah sudah menyampaikan dawuh yang begitu penuh hikmah. Kini kula hanya ingin panjenengan semua untuk menutup mata panjenengan,” pinta sang putra kyai.
Para santri pun menuruti titahnya.
“Sudah ditutup semua?” tanyanya memastikan. “Kalau sudah, kula ingin, kalian semua pikirkan satu Impian kalian yang paling ingin kalian gapai, apapun itu. Kalian resapi, dan minta dengan sungguh-sungguh,” titahnya lagi.
Semua tenggelam dalam impiannya, tak terkecuali Zuzu, bahkan Sekarang ia terisak, membayangkan betapa ia ingin menjadi orang sukses yang bisa merubah keluarganya menjadi keluarga kaya yang serba berkecukupan.
“Aku ingin menjadi orang kaya ya Allah, aku ingin keluargaku memakan makanan yang enak setiap harinya. Aku tidak ingin melihat adik-adikku kelaparan dan diusir saat ingin mengikuti sekolah. Aku ingin mereka bahagia,” isak Zuzu mulai terdengar oleh gus Riza. Ia pandangi gadis itu lamat-lamat.
‘Ada apa dengan gadis itu? Apa masalah yang Tengah ia alami?’ batin Riza. Netranya tak lepas dari memandangi Zuzu.
“Harapanmu akan segera Allah ijabah, yakinlah,” suaranya terdengar untuk menasehati semua, namun, matanya masih tertuju pada Zuzu, seakan ia menenangkan Zuzu tepat dihadapannya. ”Sekarang bukalah mata kalian,” titahnya.
“Sudah Zu, semua akan baik-baik saja. Kamu kan sudah disini,” kata Limah menghibur Zuzu.
“Iya Zu, kita bareng-bareng belajar yang bener disini,” kata Titi menimpali.
Zuzu hanya mengangguk.
***
Keesokan harinya, Riza penasaran dengan gadis yang ia lihat di masjid semalam. Wajah yang teduh nan tulus, terisak disudut tiang masjid. Pagi ini ia akan mengecek data diri mahasiswi di ruang administrasi.
“Maaf Teh. Apa saya boleh lihat berkas data diri mahasiswi aliyah disini?” tanyanya pada petugas tata usaha.
“boleh Gus. Ini silahkan,” sahut petugas tersebut.
Lembar demi lembar ia perhatikan dengan teliti foto-foto mahasiswi di pesantren ini, hingga akhirnya sampai di lembar terakhir, di baris paling akhir, foto gadis yang ia cari terpampang disana.
“Zubaidah Anggraini,” gerak mulutnya menghafal nama itu.
“Oke, terimakasih Teh,” ucap Riza pada petugas TU.
“Sama-sama Gus,”
Riza kembali ke Ndalem untuk menyiapkan kitab yang akan ia ajarkan hari ini.
“Bagaimana Za. Jadwalmu sudah keluar?” tanya kyai Agil.
“Sudah Bah. Kelas satu Aliyah C putri Bah,” dengan gegas ia menjawab pertanyaan abahnya lalu pamit untuk bersiap mengajar.
Melihat perubahan pada putranya, kyai Agil hanya mengerutkan dahinya tanda heran akan tingkah putranya yang bersemangat.
TAK TAK TAK
Suara sepatu Riza terdengar oleh santriwati di kelas satu aliyah C. Semua memandang Riza dengan kagum dan terkejut. Tak menyangka, putra sulung pak kyai akan mengajar di kelas mereka pagi ini.
“Gus Riza wooooi,” pekik salah satu santriwati memberikan pengumuman yang sia-sia, karena bahkan mereka sudah mendengar suara sepatu Riza sebelum benar-benar melihat Riza berada tepat di depan kelas mereka.
“Satu aliyah C?” tanya Riza memastikan.
“Iya Gus,” sahut mereka.
DEG
Hentakan dalam hati saat benar-benar melihat gadis yang ia cari pagi tadi. Bahkan debaran itu semakin menghentak begitu cepat saat Zuzu melihat kearahnya.
‘Allahu akbar,’ pekiknya dalam hati tak kuasa menahan debaran yang ia rasakan dalam pandangan Zuzu.
Riza mulai menata jantungnya, ia memulai awal mengajarnya dengan membagikan sebuah kertas pada masing-masing santri.
“Kita akan ujian Gus?” celetuk santriwati yang terkenal lucu di kelas itu.
Mereka tertawa mendengar pertanyaan konyol temannya itu, begitu juga dengan Riza yang ikut tersenyum mengikuti suasana kelas.
“Saya ingin kalian mengisi formulir ini dengan pendirian kalian masing-masing. Disini tertulis beberapa hobi atau cita-cita kalian di masa depan,” titah Riza.
Mereka semua menuruti perintah Riza dan mulai mengisi.
“Kamu pilih yang mana Zu?” tanya Limah yang duduk semeja dengannya.
“Aku pilih managemen keuangan Mah. Aku pengen kerja di bank,” kata Zuzu berbisik pada Limah.
“Aku ini Zu, industri perdagangan,” kata Limah.
“Bagus Mah,”
Semua telah mengumpulkan kertas mereka masing-masing pada Riza.
“Formulir ini akan saya ajukan pada rector universitas-universitas ternama yang pernah saya kunjungi, agar kalian bisa mendapat beasiswa dalam bidang yang kalian mau setelah lulus dari pesantren ini.
“Haaaaah?” semua terkejut. Terlebih dengan Zuzu, airmatanya langsung memenuhi mata indahnya mendengar kabar indah dari gus Riza.
“Benar Gus? Terus kita bisa kerja sesuai di bidang yang kita tulis?” tanya Zuzu antusias.
“Mmm,” jawaban singkat Riza sangat memberi harapan pada Zuzu.
‘Aku pasti berhasil!’ yakin Zuzu dalam hati. Senyumnya mengembang manis di wajahnya yang putih.
‘Bah, Ibu, Zuzu bakal kuliah Bu’ hatinya terus berbunga-bunga.
"Zubaidah Anggraini!" Tiba-tiba suara gus Riza terdengar tegas memanggil Zuzu.
“Zubaidah Anggraini?” panggil Riza memecah lamunan Zuzu.“Iya Gus?” sahut Zuzu.“Alamatmu belum diisi,” kata Riza.“Oh iya Gus maaf, tadi terlalu bersemangat mengisi pertanyaan cita-cita,” Zuzu seraya mengambil kertasnya lalu mengisi pertanyaan yang masih kosong.**Dua bulan berlalu, perbekalan Zuzu mulai habis. Setiap sore ia akan pergi ke sawah untuk menunggu seseorang yang telah berjanji akan mengunjungi Zuzu.“Zu?” panggil Imah dan Titi.“Sedang menunggu kunjungan lagi?” tanya mereka seraya menghampiri Zuzu.“Iya,” rautnya begitu lesu dan sedih.“Nih aku beli mi ayam, mau gak?” kata Imah menawari.“Iya nih aku juga beli bubur ayam tadi, makan bareng-bareng aja yuk,” kata Titi.“Tidak ah, kalian makan saja,” pandangannya kembali menatap jalanan, berharap aka nada yang datang mengunjunginya sore ini.Aroma mi ayam dan bubur ayam mereka menyengat hingga membuat Zuzu melirik pada mangkuk di tangan mereka. Tanpa sepatah kata, Zuzu hanya menahan segala inginnya karena takut teman-teman
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Zuzu melihat isi harves yang ia terima. Ada sebuah kain berwarna cream didalamnya.“Anggap saja ini permintaan maaf saya karena tidak menepati janji saya untuk mengantarkan kamu,” kata Rasyid.“Tidak usah seperti ini Pak. Saya tidak mau Pak,” tolak Zuzu.“Tidak apa-apa. Ini sebagai awal kita mengenal oke?” Rasyid memaksa.Zuzu hanya terdiam, kemudian ia berlalu meninggalkan Rasyid dan masuk kedalam rumah.Senyum Rasyid merekah saat Zuzu menerima hadiah darinya. Sungguh ia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan gadis cantik itu.‘aku harus bisa mendapatkannya’ Rasyid menetapkan dalam hati.Tak lama kemudian bi Jumroh keluar dari rumah membawa panci kecil.“Mpok,” panggil Rasyid dengan semangat membara.“Apa?” sahut bi Jumroh.“Saya ingin menikahi Zuzu Pok,” katanya tanpa basa basi.“Istrimu kan sudah banyak,” sergah bi Jumroh.“Tapi saya cinta sama dia Pok. Tolong sampaikan pada Zuzu. Saya ingin serius sama dia,” katanya bersikeras memohon pada bi Jumroh.“Iya nanti tak sampein,” kat
Malam pun tiba, Zuzu telah selesai merapikan warung selepas maghrib tadi. Pakaian bagus telah ia kenakan dengan sempurna, rambut Panjang tergerai sampai bawah punggung, membuat parasnya terpancar begitu indah.Suara motor terdengar begitu gagah, berhenti di depan rumah.TIN…Suara klakson dibunyikan tanda pria itu sudah siap akan membawanya ke tempat yang belum pernah sama sekali ia pijak.Zuzu segera keluar menemui pria itu. Seketika waktu melambat, pandangan Rasyid begitu intens memandangi pesona Zuzu yang bak orang Belanda.“Ayo Pak,” Zuzu menegur.“Ayo,”Mereka segera berlalu dengan kecepatan tinggi. Tak ada obrolan selama diperjalanan, Rasyid dengan sangat fokus menyetir hingga mereka sampai pada tujuan hanya dengan waktu lima belas menit.Rasyid melangkah begitu saja menuju pintu utama mall, diikuti dengan Zuzu dibelakangnya.“Pak Rasyid?” seseorang tiba-tiba menyapa Rasyid dari belakang.“Eh Pak,” sahut Rasyid membalikkan tubuh menyalami pria berjaz yang ditemuinya itu.“Gimana
Zuzu hanya diam di sepanjang perjalanan.“Zu?” suara Rasyid terdengar terhalang oleh helm.“Ya Pak?”“Loh ko masih Pak manggilnya?”“Aku harus panggil apa dong?”“Mas saja,”“Oke,”“Kita cari perumahan di daerah sini ya?”“Terserah Mas saja,”“Oke kalau gitu,”Motor yang mereka tumpangi itu berbelok membawa mereka ke sebuah perumahan elit yang katanya tak jauh dari kantor Rasyid.“Villa Mas Garden,” Zuzu membaca tulisan tersebut yang tertulis di sebuah batu besar yang menyambut kedatangan sepasang pengantin baru itu.Rasyid pun berhenti di sebuah pos, bukan untuk bertanya pada security, melainkan untuk menelpon seseorang.“Halo Pak Raka?” ucap Rasyid di samping Zuzu.“Saya sudah ada di Villa ni Pak. Saya akan mengambil satu rumah untuk istri baru saya,”“Wahaha. Mantap sekali Pak Rasyid ini. Oke-oke. Pilih saja mana yang mau. Nanti karyawan saya yang kesana untuk mengurus kontraknya,”“Baik Pak Raka. Terimakasih banyak,”Sambungan itu terputus.Mereka kembali menaiki motor dan melihat
Pukul sebelas siang, Rasyid Dan Zuzu sudah berada di kediaman Zuzu. Semua mata tertuju pada siapa yang datang bersama Zuzu. Tak jarang para tetanga bertanya-tanya tentang siapa pria gagah bersih yang singgah di rumah Zuzu, si kembang desa itu.“Assalamu’alaikum Bah, Ibu?” ucap Zuzu di depan pintu.“Wa’alaikumussalam, Zu? Ada apa ko tiba-tiba pulang?” jawab Bu Ariah terkejut. Matanya memperhatikan pria tampan di belakang Zuzu.“Ini Bu. Pria yang mau menikahi Zuzu katanya,” celetuk Zuzu dengan polosnya.Benar saja, kepolosan Zuzu itu mendapat reaksi terkejut di wajah bu Ariah.“Maksudnya bagaimana Zu?” tanya bu Ariah terheran. “Masuk dulu sini, masuk Tong,” bu Ariah mempersilahkan terlebih dahulu.“Tunggu dulu disini ya, Ibu mau manggil Abah,” bergegas bu Ariah memanggil putranya untuk memanggil pak Aman.Beberapa menit kemudian, abah sudah datang dan duduk di hadapan Rasyid.Dengan percaya diri Rasyid menyampaikan maksud kedatangannya ke kampung halaman Zuzu.“Begini Pak. Saya sudah la
Malam pun tiba, Zuzu telah selesai merapikan warung selepas maghrib tadi. Pakaian bagus telah ia kenakan dengan sempurna, rambut Panjang tergerai sampai bawah punggung, membuat parasnya terpancar begitu indah.Suara motor terdengar begitu gagah, berhenti di depan rumah.TIN…Suara klakson dibunyikan tanda pria itu sudah siap akan membawanya ke tempat yang belum pernah sama sekali ia pijak.Zuzu segera keluar menemui pria itu. Seketika waktu melambat, pandangan Rasyid begitu intens memandangi pesona Zuzu yang bak orang Belanda.“Ayo Pak,” Zuzu menegur.“Ayo,”Mereka segera berlalu dengan kecepatan tinggi. Tak ada obrolan selama diperjalanan, Rasyid dengan sangat fokus menyetir hingga mereka sampai pada tujuan hanya dengan waktu lima belas menit.Rasyid melangkah begitu saja menuju pintu utama mall, diikuti dengan Zuzu dibelakangnya.“Pak Rasyid?” seseorang tiba-tiba menyapa Rasyid dari belakang.“Eh Pak,” sahut Rasyid membalikkan tubuh menyalami pria berjaz yang ditemuinya itu.“Gimana
Zuzu melihat isi harves yang ia terima. Ada sebuah kain berwarna cream didalamnya.“Anggap saja ini permintaan maaf saya karena tidak menepati janji saya untuk mengantarkan kamu,” kata Rasyid.“Tidak usah seperti ini Pak. Saya tidak mau Pak,” tolak Zuzu.“Tidak apa-apa. Ini sebagai awal kita mengenal oke?” Rasyid memaksa.Zuzu hanya terdiam, kemudian ia berlalu meninggalkan Rasyid dan masuk kedalam rumah.Senyum Rasyid merekah saat Zuzu menerima hadiah darinya. Sungguh ia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan gadis cantik itu.‘aku harus bisa mendapatkannya’ Rasyid menetapkan dalam hati.Tak lama kemudian bi Jumroh keluar dari rumah membawa panci kecil.“Mpok,” panggil Rasyid dengan semangat membara.“Apa?” sahut bi Jumroh.“Saya ingin menikahi Zuzu Pok,” katanya tanpa basa basi.“Istrimu kan sudah banyak,” sergah bi Jumroh.“Tapi saya cinta sama dia Pok. Tolong sampaikan pada Zuzu. Saya ingin serius sama dia,” katanya bersikeras memohon pada bi Jumroh.“Iya nanti tak sampein,” kat
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak