Ternyata seorang pria paruh baya dan pria muda memakai kemeja kotak-kotak yang sangat rapi dan wangi yang berdiri di sana.
“Kang Jalal,” ucap Zuzu lirih pada pria muda yang terlihat fresh dan tampan itu.
“Mang Karya. Masuk-masuk Mang,” kata pak Aman mempersilahkan keduanya masuk.
Keduanya memasuki gubuk mereka yang hanya beralaskan karpet plastik tanpa ada sofa yang empuk ataupun permadani yang terbentang indah seperti di rumah mang Karya.
Kedatangan mereka pun sangat tidak pernah keluarga Zuzu duga, karena mang Karya salah satu orang terpandang di desa seberang,
"Ada apa gerangan tiba-tiba mau berkunjung ke rumah reot milik kami ini Mang?" semakin canggung saat Jalal menyenggol lengan bapaknya mengisyaratkan bahwa itulah wanita yang anaknya sukai.
"Maaf duduknya di karpet dingin Mang," kata pak Aman.
"Tidak apa-apa Mang. Santai saja," jawab Mang Karya penuh santun.
Untung saja tidak ada adik-adik Zuzu di rumah, karena mereka sedang mengaji ditemani oleh Mirah di rumah ustadz yang berada di belakang rumah mereka. Kalau mereka disini, Didin akan berceloteh di Tengah-tengah obrolan mereka.
“Kedatangan kami kesini ingin menyampaikan niat kami pada Mang Aman dan Teh Ariah, bahwa anak saya ini seneng sekali sama Idah, anak Mamang. Setelah Jalal bicara dengan saya, katanya Idah pengen masuk pesantren sebelum mau menikah sama Jalal. Dan insyaallah kalau Neng Idah mau, nanti kami biayain Idah pesantren sampai selesai,” beber bapak Jalal pada keluarga Zuzu.
Mereka terdiam membeku, tidak tahu harus bersikap apa, Zuzu yang hanya berasal dari keluarga yang serba kekurangan, dipertemukan dengan keluarga yang serba berkecukupan dan berbaik hati mau membiayainua pesantren.
Abah dan ibunya pun merasa canggung dengan penawaran yang sangat mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan bagi mereka.
“Waduh. Kami tidak bisa menjawab apa-apa ini Mang Karya, takut merepotkan Mang Karya yang harus membiayai putri kami,” kata abah menolak secara halus.
“Iya Mang, apalagi kami sangat membutuhkan Zuzu dirumah. Kalau Zuzu jauh dari kami, tidak ada lagi yang membantu kami di rumah karena adik-adiknya masih pada kecil-kecil,” timpal bu Ariah tidak meridhoi tawaran bapak Jalal.
Zuzu hanya menunduk. Selangkah lagi impiannya akan tercapai, ia tidak peduli jika nantinya ia harus langsung menikah dengan Jalal setelah lulus dari pesantren, yang terpenting, ia ingin sekali merasakan kehidupan pesantren dan pergi jauh dari dunia keliling yang ia jalani bertahun-tahun itu.
Akhirnya Zuzu memberanikan diri untuk meyakinkan ibu dan abahnya.
“Bah, Ibu. Zuzu pengen sekali masuk pesantren, sama kaya Titi dan Limah. Zuzu sudah cape jualan keliling Bu, Bah,” katanya memelas. “Nantikan kalo Zuzu sukses, Abah sama Ibu juga akan bahagia,” lanjutnya meyakinkan kedua orangtuanya.
“Yaudah kalo itu emang mau Zuzu, tapi harus janji belajar bener-bener di pesantren, kan sudah dibiayain sama Mang Karya, jangan sia-siain kebaikan Mang Karya,” kata abah.
Mendengar kalimat sang abah, matanya bersinar bahagia luar biasa. Mang Karya dan Kang Jalal pun ikut bahagia atas keputusan keluarga Zuzu.
'Kini, aku akan berangkat menjemput impianku' tegasnya dalam hati.
‘Selamat tinggal nampan yang selalu kususun di atas kepalaku, selamat tinggal desa-desa yang pernah kupijak untuk mengelilingi daganganku, terimakasih jembatan reot peregang nyawa telah menyampaikanku pada desa seberang hingga aku bertemu orang baik seperti kang Jalal dan keluarganya’
***
Gerbang pesantren KHAS Cirebon sudah terpampang di depan mata, selangkah lagi, Zuzu akan masuk ke dalam istana suci itu.
“Zu, aku dan bapak pamit pulang ya,” kata Kang Jalal setelah mengantar Zuzu mendaftar di pesantren.
“Zu, hati-hati ya di pesantren, kalau ada apa-apa telpon Bapak ya?” kata mang Karya.
“Iya Pak, terimakasih banyak ya Pak sudah mengantarkan Zuzu sampai pesantren ini,” katanya berterimakasih.
Ia pun menyalami mang Karya dengan takzim, begitu juga pada kang Jalal. Mereka mulai melangkah meninggalkannya, namun, baru beberapa Langkah kang Jalal meninggalkan Zuzu, tiba-tiba dia menoleh kearah Zuzu dan berlari kembali padanya.
“Zu, kamu janji ya sama aku? Jaga diri kamu untukku?” pintanya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.
“Iya Kang, Kang Jalal kan sudah mewujudkan impianku. Zuzu janji akan setia dengan Kang Jalal,” katanya meyakinkan pria yang hampir menangis itu.
“Bekalmu, kalau sudah habis, kami akan mengirimkannya lagi, kamu jangan khawatir ya. Aku juga akan sering berkunjung menjengukmu disini,” kata Kang Jalal menjanjikan uang saku untuk Zuzu.
“Terimakasih Kang,”
Mereka pun berpisah, disaksikan oleh senja dan daun yang melambai mengantarkan Jalal yang berjalan menjauh hingga tak tertatap oleh mata lagi.
Ternyata, perpisahan itu tidak selalu tentang kesedihan. Perpisahan yang membahagiakan adalah tentang bagaimana berpisah untuk setia, menaruh percaya pada masa, menyerahkan rasa pada waktu dan semesta. Dan, Zuzu yakin ia akan bisa.
Hari pertama di asrama. Zuzu sudah bertemu dengan Titi dan Limah. Namun, kamarnya dengan mereka terpisah.
“Alhamdulillah akhirnya kita bisa mondok bersama Zu,” kata Limah terharu.
“Iya Zu, kita Cuma berdua tanpa kamu rasanya kosong banget ya Mah?” Titi menimpali.
“Iya alhamdulillah. Aku juga bahagia banget bisa mondok bareng kalian,” kata Zuzu sambil merapikan barang-barangnya ke dalam lemari kecil yang sudah disiapkan oleh pesantren.
“Oiya malam ini akan ada pengajian Kyai Agil di masjid, kamu mau langsung ikut atau mau istirahat dulu?” tanya Limah.
“Aku mau ikut saja. Aku mau mulai mengikuti jadwal pesantren mulai malam ini,” kata Zuzu antusias.
“Yasudah kalau begitu kami mau mengantri ngambil makan dulu ya Dah, sudah di bel jam makan tuh,” kata Titi.
“Oh iya, aku ada bekal ikan teri dari Ibuku. Kalian nanti makan di kamarku saja ya?”
“Oke kalau begitu,”
Titi dan Limah pun bergegas ke kantin asrama untuk mengambil makan sore mereka.
Barang-barang Zuzu sudah hampir selesai tertata rapi di lemari, barang terakhir, adalah dari Kang Jalal. Sebuah ikat rambut kain berbentuk pita, yang jika dikenakan, pita itu akan menjuntai dengan sangat indah di rambut Zuzu.
“Kusimpan saja ini disini,” katanya pada diri sendiri sambil menggantungkan ikat rambut itu pada balik pintu lemari.
***
Adzan maghrib telah berkumandang, bel asrama telah berbunyi beberapa kali sebagai pengingat para santri agar cepat berkumpul untuk melaksanakan salat berjama’ah.
“Zuuu… Zuzu...” teriak Limah dan Titi dari depan kamar Zuzu.
“Iya, tunggu sebentar lagi pakai mukena,” sahutnua yang mempercepat gerak memakai jilbab mukena.
SRAAAAATTT…
Ia tarik sajadah yang masih menggantung di depan lemari sambil berlari kecil menyusul Limah dan Titi.
“Ayo!” ajak Zuzu pada mereka.
Mereka berlarian untuk segera sampai masjid karena berlomba untuk mendapatkan shaf terdepan agar saat pengajian pak kyai nanti tidak mengantuk.
“Kita harus duduk di depan Zu, biar bisa fokus dengerin ceramah Pak Yai,” kata Titi masih sambil berlari kecil.
“Iya, aku biasanya kalau duduk di belakang, Pak Kyai baru ngucap salam saja aku sudah nguap,” timpal Limah yang berhasil membuat mereka tertawa.
Sampai di masjid, sayang sekali, mereka tidak berhasil menempati shaf paling depan, mereka duduk di shaf ke tiga di bagian santri putri. Meski mereka berada dalam satu masjid bersama santri putra, tetapi shaf mereka jelas berbeda. Santri putra berada jauh di depan, sedangkan yang putri, menempati bagian belakang masjid dengan tirai yang membatasi.
“Harusnya kita datang sebelum bel ke dua ya?” kata Titi membisik pada dua sahabatnya.
“Iya ya. Zu hati-hati kamu nanti ngantuk duduk dekat tiang,” lagi-lagi Limah membuat kami tertawa pelan.
“Assalamu’alaikum,” suara kyai Agil terdengar penuh wibawa saat memasuki masjid, para santri serempak berdiri menyambut kedatangan beliau.
Tapi, mengapa santriwati ramai sekali berbisik-bisik seperti sedang membicarakan seseorang yang baru saja mereka lihat. Mereka tampak antusias dan berbunga-bunga.
'siapa yang mereka lihat?' batin Zuzu.
‘siapa yang mereka lihat?’ batin Zuzu.“Masyaallah, itu putra Kyai Agil yang sulung,” kata mereka yang sempat terdengar di telinga Zuzu.“Masyaallah, ganteng sekali,” timpal yang lain.“Mana? Mana putra sulung Kyai Agil?” tanya Limah penasaran bertanya pada mereka yang sudah melihat putra mahkota dari sela-sela tirai.“Itu. Ganteng banget,” kata santriwati di depan Zuzu.“Mana?” kata Titi ikut mengintip dari sela tirai.Zuzu hanya bersiap untuk salat berjama’ah karena pak kyai sudah mengucap takbir memulai salat maghrib.Selesai menunaikan salat maghrib berjama’ah dengan serangkaian dzikir tahlil setelahnya. Kyai Agil mulai menduduki kursi yang sudah disiapkan pengurus untuk menyampaikan kajian, dan tirai bagian santri putripun siap dibuka.“Masyaallah,” kagum santriwati yang mulai melihat pria yang duduk berdampigan dengan abahnya itu.“Ya Allah ih ganteng, putih lagi,” mereka tak henti-henti memuji putra mahkota pak kyai.Waktu seakan melambat selama tirai itu dibuka dan menampakkan
“Zubaidah Anggraini?” panggil Riza memecah lamunan Zuzu.“Iya Gus?” sahut Zuzu.“Alamatmu belum diisi,” kata Riza.“Oh iya Gus maaf, tadi terlalu bersemangat mengisi pertanyaan cita-cita,” Zuzu seraya mengambil kertasnya lalu mengisi pertanyaan yang masih kosong.**Dua bulan berlalu, perbekalan Zuzu mulai habis. Setiap sore ia akan pergi ke sawah untuk menunggu seseorang yang telah berjanji akan mengunjungi Zuzu.“Zu?” panggil Imah dan Titi.“Sedang menunggu kunjungan lagi?” tanya mereka seraya menghampiri Zuzu.“Iya,” rautnya begitu lesu dan sedih.“Nih aku beli mi ayam, mau gak?” kata Imah menawari.“Iya nih aku juga beli bubur ayam tadi, makan bareng-bareng aja yuk,” kata Titi.“Tidak ah, kalian makan saja,” pandangannya kembali menatap jalanan, berharap aka nada yang datang mengunjunginya sore ini.Aroma mi ayam dan bubur ayam mereka menyengat hingga membuat Zuzu melirik pada mangkuk di tangan mereka. Tanpa sepatah kata, Zuzu hanya menahan segala inginnya karena takut teman-teman
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Zuzu melihat isi harves yang ia terima. Ada sebuah kain berwarna cream didalamnya.“Anggap saja ini permintaan maaf saya karena tidak menepati janji saya untuk mengantarkan kamu,” kata Rasyid.“Tidak usah seperti ini Pak. Saya tidak mau Pak,” tolak Zuzu.“Tidak apa-apa. Ini sebagai awal kita mengenal oke?” Rasyid memaksa.Zuzu hanya terdiam, kemudian ia berlalu meninggalkan Rasyid dan masuk kedalam rumah.Senyum Rasyid merekah saat Zuzu menerima hadiah darinya. Sungguh ia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan gadis cantik itu.‘aku harus bisa mendapatkannya’ Rasyid menetapkan dalam hati.Tak lama kemudian bi Jumroh keluar dari rumah membawa panci kecil.“Mpok,” panggil Rasyid dengan semangat membara.“Apa?” sahut bi Jumroh.“Saya ingin menikahi Zuzu Pok,” katanya tanpa basa basi.“Istrimu kan sudah banyak,” sergah bi Jumroh.“Tapi saya cinta sama dia Pok. Tolong sampaikan pada Zuzu. Saya ingin serius sama dia,” katanya bersikeras memohon pada bi Jumroh.“Iya nanti tak sampein,” kat
Zuzu hanya diam di sepanjang perjalanan.“Zu?” suara Rasyid terdengar terhalang oleh helm.“Ya Pak?”“Loh ko masih Pak manggilnya?”“Aku harus panggil apa dong?”“Mas saja,”“Oke,”“Kita cari perumahan di daerah sini ya?”“Terserah Mas saja,”“Oke kalau gitu,”Motor yang mereka tumpangi itu berbelok membawa mereka ke sebuah perumahan elit yang katanya tak jauh dari kantor Rasyid.“Villa Mas Garden,” Zuzu membaca tulisan tersebut yang tertulis di sebuah batu besar yang menyambut kedatangan sepasang pengantin baru itu.Rasyid pun berhenti di sebuah pos, bukan untuk bertanya pada security, melainkan untuk menelpon seseorang.“Halo Pak Raka?” ucap Rasyid di samping Zuzu.“Saya sudah ada di Villa ni Pak. Saya akan mengambil satu rumah untuk istri baru saya,”“Wahaha. Mantap sekali Pak Rasyid ini. Oke-oke. Pilih saja mana yang mau. Nanti karyawan saya yang kesana untuk mengurus kontraknya,”“Baik Pak Raka. Terimakasih banyak,”Sambungan itu terputus.Mereka kembali menaiki motor dan melihat
Pukul sebelas siang, Rasyid Dan Zuzu sudah berada di kediaman Zuzu. Semua mata tertuju pada siapa yang datang bersama Zuzu. Tak jarang para tetanga bertanya-tanya tentang siapa pria gagah bersih yang singgah di rumah Zuzu, si kembang desa itu.“Assalamu’alaikum Bah, Ibu?” ucap Zuzu di depan pintu.“Wa’alaikumussalam, Zu? Ada apa ko tiba-tiba pulang?” jawab Bu Ariah terkejut. Matanya memperhatikan pria tampan di belakang Zuzu.“Ini Bu. Pria yang mau menikahi Zuzu katanya,” celetuk Zuzu dengan polosnya.Benar saja, kepolosan Zuzu itu mendapat reaksi terkejut di wajah bu Ariah.“Maksudnya bagaimana Zu?” tanya bu Ariah terheran. “Masuk dulu sini, masuk Tong,” bu Ariah mempersilahkan terlebih dahulu.“Tunggu dulu disini ya, Ibu mau manggil Abah,” bergegas bu Ariah memanggil putranya untuk memanggil pak Aman.Beberapa menit kemudian, abah sudah datang dan duduk di hadapan Rasyid.Dengan percaya diri Rasyid menyampaikan maksud kedatangannya ke kampung halaman Zuzu.“Begini Pak. Saya sudah la
Malam pun tiba, Zuzu telah selesai merapikan warung selepas maghrib tadi. Pakaian bagus telah ia kenakan dengan sempurna, rambut Panjang tergerai sampai bawah punggung, membuat parasnya terpancar begitu indah.Suara motor terdengar begitu gagah, berhenti di depan rumah.TIN…Suara klakson dibunyikan tanda pria itu sudah siap akan membawanya ke tempat yang belum pernah sama sekali ia pijak.Zuzu segera keluar menemui pria itu. Seketika waktu melambat, pandangan Rasyid begitu intens memandangi pesona Zuzu yang bak orang Belanda.“Ayo Pak,” Zuzu menegur.“Ayo,”Mereka segera berlalu dengan kecepatan tinggi. Tak ada obrolan selama diperjalanan, Rasyid dengan sangat fokus menyetir hingga mereka sampai pada tujuan hanya dengan waktu lima belas menit.Rasyid melangkah begitu saja menuju pintu utama mall, diikuti dengan Zuzu dibelakangnya.“Pak Rasyid?” seseorang tiba-tiba menyapa Rasyid dari belakang.“Eh Pak,” sahut Rasyid membalikkan tubuh menyalami pria berjaz yang ditemuinya itu.“Gimana
Zuzu melihat isi harves yang ia terima. Ada sebuah kain berwarna cream didalamnya.“Anggap saja ini permintaan maaf saya karena tidak menepati janji saya untuk mengantarkan kamu,” kata Rasyid.“Tidak usah seperti ini Pak. Saya tidak mau Pak,” tolak Zuzu.“Tidak apa-apa. Ini sebagai awal kita mengenal oke?” Rasyid memaksa.Zuzu hanya terdiam, kemudian ia berlalu meninggalkan Rasyid dan masuk kedalam rumah.Senyum Rasyid merekah saat Zuzu menerima hadiah darinya. Sungguh ia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan gadis cantik itu.‘aku harus bisa mendapatkannya’ Rasyid menetapkan dalam hati.Tak lama kemudian bi Jumroh keluar dari rumah membawa panci kecil.“Mpok,” panggil Rasyid dengan semangat membara.“Apa?” sahut bi Jumroh.“Saya ingin menikahi Zuzu Pok,” katanya tanpa basa basi.“Istrimu kan sudah banyak,” sergah bi Jumroh.“Tapi saya cinta sama dia Pok. Tolong sampaikan pada Zuzu. Saya ingin serius sama dia,” katanya bersikeras memohon pada bi Jumroh.“Iya nanti tak sampein,” kat
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak