SRATTT… BRAKKK
Zuzu terpeleset dan jatuh ke tanah, semua kue dagangannya ikut jatuh berantakan dan habis terkena lumpur basah.
“Aduh,” lenguhnya kesakitan di bagian punggung.
“Ya Allah cucuku jatuh,” kata seorang nenek yang melihat Zuzu jatuh dan menghampirinya untuk membantu memunguti dagangan Zuzu yang sudah tidak bisa lagi dijual.
“Hati-hati Cu,” kata nenek itu mengiba.
“Iya Nek, Tidak apa-apa,” katanya menahan rasa ngilu di punggung.
“Dimana rumahnya emang Cu?” tanya Nenek.
“Di desa seberang Nek,”
“Ya Allah Cu, hati-hati ya,”
“Iya Nek, terimakasih ya Nek,” ucap Zuzu pada sang nenek yang baik hati sudah menolongnya.
Zuzu pun pulang dengan membawa pulang beberapa kue yang sudah kotor itu .
Setibanya ia di rumah, Zuzu menyerahkan kue kotor itu kepada bu Ariah.
“Bu, tadi aku jatuh terpeleset dijalanan, terus kue nya jatuh berantakan dan pada kotor,” katanya pada bu Ariah.
“Terus kamunya gapapa?” tanya bu Ariah khawatir.
“Gak apa-apa Bu,” jawab Zuzu menyembunyikan punggungnya yang masih nyeri.
“Yaudah istirahat dulu, Ibu mau bikin kue buat jualan siang,” kata bu Ariah langsung membawa nampan kue itu ke dapur.
“Bu, Zuzu mau nonton TV dulu ya Bu di rumah Sri,”
“Iya,” sahut bu Ariah.
Zuzu pun dengan semangat berangkat ke rumah Sri Bersama adik-adiknya untuk menonton film Mahabarata yang sedang trend di zaman itu.
Ia Bersama anak-anak lain yang juga menumpang nonton film seri itu sangat menikmati tontonan mereka, wajah-wajah yang serius, terkadang mereka tertawa Bersama saat adegan lucu dalam film tersebut.
Akhirnya adzan dzuhur pun berkumandang. Bu Ariah sudah memanggil Zuzu untuk keliling menjual kue.
“Zuzu. Pulang, cepetan sudah dzuhur,”
“Iya Bu, sebentar lagi,” sahutnya.
“Cepetan nanti kesorean kelilingnya,” kilah bu Ariah.
Dalam hatinya, ia masih ingin sekali nonton film bersama teman-temannya.
‘Ya Allah, kapan aku bisa nonton film sepuasnya seperti anak-anak yang lain’ batinnya merintih.
Untuk membantah ibunya pun ia tidak bisa, karena sekali ia membantah perintah itu seperti yang pernah ia lakukan, tubuhnya akan terkena hujaman, cubitan dan yang paling ia takuti adalah Ketika bambu sudah menghantam tubuhnya sampai bambu itu hancur, bahkan meski ia berpura-pura pingsan sekalipun, bu Ariah tidak akan berhenti memukulnya.
"Buuu... Udah Buuu... Sakittt," keluh Zuzu.
"Mau ngapain emang dirumah terus? Maunya maen doang kaya gitu?" amuk bu Ariah
Zuzu hanya terisak menahan sakit bekas cubitan bu Ariah.
Ia cepat beranjak kejadian itu terlintas kembali dalam fikirannya.
"Ini saja Bu yang dijual?" Katanya berpura-pura bertanya.
"Iya itu saja,"
Zuzu sangat takut sekali jika ibunya sudah marah, lebih baik ia menuruti saja perintah ibunya meski dengan berat hati ia melakukannya.
'apakah aku ini anak pungut sampai diperakukan seperti ini pada ibu? Padahal aku sangat peduli dengan keluargaku dan rela menjadi tulang punggung bagi mereka. Aku sangat Ikhlas melakukan semua itu demi mencukupi kebutuhan keluargaku, aku Ikhlas jika uang tabunganku diminta ibu untuk membeli beras. Aku Ikhlas dengan semua itu. Tapi, kenapa tidak ada belas kasih untukku sedikitpun? Aku hanya ingin seperti anak-anak yang lain, bermain dengan riang serta menonton serial Mahabarata bersama-sama di rumah Sri, itu saja'. Tangis ZuU pecah saat ia mulai mengelilingi dagangan yang ia susun di kepala.
***
Kini, Zuzu sudah beranjak menjadi gadis remaja yang mempesona. Kulitnya putih, body yang indah, rambut kemerahan hasil keturunan dari bu Ariah. Itulah mengapa orang-orang kampung menyebutnya sebagai kembang desa.
“Teh Ariah, besok malam ada layar tancap di kampung Duren, hajatannya Pak Lurah,” kata teman bu Ariah yang kebetulan lewat depan rumah.
“Emang iya? Yaudah besok mau jualan disana lah,” sahut bu Ariah.
“Iya Teh, guede banget lagi layarnya sudah dipasang tuh, pasti rame,” katanya antusias.
“Yaudah, Zu, siap-siap kita belanja bahan-bahannya,” ajak bu Ariah.
“Iya Bu,” kata Zuzu menurut.
Selesai belanja, sorenya, bu Ariah mengeksekusi apa saja barang-barang yang diperlukan untuk berjualan nanti.
“Mirah, Zuzu, ayo kita angkutin barangnya dari sekarang di tempat hiburan,” Zuzu dan Mirah pun segera mengikuti ibunya membawa perlengkapan dagang.
ZuU membawa kuali besar dan beberapa baskom, Mirah membawa kompor, sedangkan bu Ariah membawa peralatan tenda seadanya.
Malam pun tiba, hanya Zuzu dan bu Ariah yang menjaga dagangan, dan Mirah bertugas menjaga adik-adik di rumah.
Kue-kue mereka sudah berjejer di meja, kue cucur dan jalabia yang terlihat nikmat sudah siap diserbu para penonton yang mulai berdatangan.
"Bi beli jalabianya Bi,"
"Neng kue cucurnya tiga Neng,"
Para pembeli berdatangan mengelilingi dagangan mereka, sampai kami kewalahan untuk menggoreng lagi dan lagi kue cucur dan jalabianya.
Kue mereka memang sudah terkenal sangat lezat di berbagai kampung, tidak heran jika mereka selalu bersemangat jika ada hiburan seperti ini, karena jualan mereka akan mendapat serbuan oleh para penggemar kue dan segera habis hanya dalam dua jam.
"Tunggu Roma!"
"Apa kamu sengaja berselingkuh di hadapanku karena kamu sudah tidak mencintaiku lagi Ani!"
"Tidak Roma!"
"Atau kau sengaja membuatku patah hati dan meninggalkanmu?"
"Cukup Roma!"
Suara film layar tancap terdengar seru hingga penonton terbawa oleh adegan film yang terkenal pada zaman 90an itu.
Di Tengah kerepotan Zuzu, seorang pria diam-diam telah memperhatikannya, ia berdiri di dekat tenda tempat Zuzu berjualan. Ia taksir umurnya mungkin sekitar 20 tahunan, tubuhnya gagah, kulitnya sawo matang dan terlihat sangat macho memakai jaket hijau dan celana loreng.
Zuzu sama sekali tidak menghiraukannya, mungkin saja dia hanya menginginkan kue yang Zuzu jual, tapi tidak punya uang. Namun anehnya, netranya tak lepas dari memandangi Zuzu, bukan dagangannya.
“Alhamdulillah sudah habis jualannya Bu,” kata Zuzu pada bu Ariah.
“Iya alhamdulillah. Yu kita rapi-rapikan barangnya, habis itu pulang, kita hitung uangnya,” kebahagiaan terpancar di wajah bu Ariah.
“Ayo Bu,” kata Zuzu bersemangat.
Hanya dalam waktu dua jam, dagangan mereka sudah habis tak bersisa, cuaca malam itu memang sangat bagus, tidak ada hujan, sehingga mereka bisa pulang dengan keuntungan yang lumayan.
Jika cuacanya hujan mendadak, Zuzu masih harus menjual sisa-sisanya esok subuh seperti yang sudah pernah ia lalui. Seperti itulah suka duka mereka menjadi buruh dagang di tempat hiburan.
Waktu telah berlalu, di suatu pagi, seperti biasa Zuzu berkeliling berjualan di kampung sebelah. Pagi ini terasa Terik sekali, Zuzu memilih untuk beristirahat sebentar di bawah pohon. Ia taruh dagangannya di atas rumput tempatnya duduk. Menyandarkan diri di badan pohon sambil memandangi awan yang terbentuk dengan indah nan bersih.
“Zu,” sapa seseorang dari belakang.
Zuzu terperanjat mendengar suara pria tersebut. Ia takut jika dia akan melakukan jahatnya.
Namun, tak ia sangka, pria itu ikut duduk di samping Zuzu dan melirik dagangannua yang masih tersisa setengah. Pria itu, ternyata pria yang curi-curi pandang padanya saat hiburan layar tancap minggu lalu.
“Cape yah?” katanya memandang Zuzu dengan teduh.
“Sudah biasa,” Zuzu menjawab cuek.
“Kalau ada yang bantuin kamu, kamu mau tidak?” kata pria itu.
“Aku bisa sendiri ko, lagian Cuma sedikit jualnya,” kata Zuzu masih cuek.
“Kamu kenapa sih ko mau berjualan keliling seperti ini? Jarang sekali anak muda yang mau seperti ini,”
“Yah, mau bagaimana lagi, keluargaku mungkin tidak seperti keluarga mereka. Aku harus mengurungkan rasa maluku demi mencukupi keluargaku,” kata Zuzu jujur.
“Masyaallah,” kagum pria itu.
“Kamu ingat tidak minggu kemarin di layar tancap? Aku ngeliatin kamu, tapi kamu malah jutek,” katanya membuat Zuzu tersipu.
“Mulai dari situ aku sudah mengagumimu. Dengan mendengar kejujuran kamu yang berjuang untuk keluargamu, aku semakin kagum sama kamu,” ungkapnya.
“Terus Kang Jalal mau apa? Saya bukan dari keluarga yang berada kaya Kang Jalal,”
“Aku serius sama kamu Zubaidah. Aku ingin menikahi kamu,”
Zuzu tertegun. Baru kali ini seseorang telah berani mengungkapkan hal itu kepadanya, bahkan ia tidak pernah memikirkan soal itu.
“Maaf Kang Jalal, aku tidak bisa,”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa Kang,”
“Katakan saja Zu, aku ingin kepastian darimu,”
“Umurku baru 14 tahun Kang, ada yang ingin aku capai dalam masaku ini,”
“Apa?” tanyanya lagi.
“Kang Jalal tidak perlu tahu,”
“Aku akan membantumu untuk mencapai impianmu Zu,”
Zuzu menoleh pada pria yang juga sedang memandanginya. Sedetik dunia berhenti berputar untuk menyadari titik keseriusan pria di hadapannya.
“Apa Kang Jalal serius?”
“Iya Zu, aku serius. Apa keinginanmu saat ini?”
“Aku ingin pergi ke pesantren, seperti teman-temanku. Aku ingin merasakan bagaimana hidup bersama-sama dan belajar ilmu agama disana,”
“Aku bisa memenuhi keinginanmu Zu. Aku akan bicara pada Bapak untuk bisa memberangkatkanmu ke pesantren,” kata Kang Jalal meyakinkan.
“Tidak usah Kang. Itu malah membuatku tidak enak pada Kang Jalal dan keluarga,” tolaknya.
“Tenang saja Zu, tapi kamu janji ya mau menikah sama aku? Aku akan setia menunggumu disini sampai kamu selesai dari pesanten,” pinta Jalal.
“Insyaallah Kang,” jawab Zuzu. “kalau begitu, Aku lanjut keliling dulu ya Kang?” pamit Zuzu.
“Iya silahkan Zu, hati-hati,”
***
Malam-malamnya kini ia habiskan untuk merenung, di usianya yang masih menginjak 14 tahun, sudah bisa menyadari banyak hal tentang hidup. Rasanya ia sudah Lelah dengan dunia yang ia habiskan untuk berjualan keliling, ia ingin merasakan hidup baru seperti teman-temannya yang sudah meninggalkannya untuk mengarungi kehidupan di pesantren. Ia ingin sekali pergi bersama mereka.
TOK TOK TOK
“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari balik pintu rumah.
“Wa’alaikumussalam,” jawab keluarga Zuzu dari dalam rumah.
Betapa terkejutnya saat pak Aman membukakan pintu.
Ternyata seorang pria paruh baya dan pria muda memakai kemeja kotak-kotak yang sangat rapi dan wangi yang berdiri di sana.“Kang Jalal,” ucap Zuzu lirih pada pria muda yang terlihat fresh dan tampan itu.“Mang Karya. Masuk-masuk Mang,” kata pak Aman mempersilahkan keduanya masuk.Keduanya memasuki gubuk mereka yang hanya beralaskan karpet plastik tanpa ada sofa yang empuk ataupun permadani yang terbentang indah seperti di rumah mang Karya. Kedatangan mereka pun sangat tidak pernah keluarga Zuzu duga, karena mang Karya salah satu orang terpandang di desa seberang,"Ada apa gerangan tiba-tiba mau berkunjung ke rumah reot milik kami ini Mang?" semakin canggung saat Jalal menyenggol lengan bapaknya mengisyaratkan bahwa itulah wanita yang anaknya sukai."Maaf duduknya di karpet dingin Mang," kata pak Aman."Tidak apa-apa Mang. Santai saja," jawab Mang Karya penuh santun.Untung saja tidak ada adik-adik Zuzu di rumah, karena mereka sedang mengaji ditemani oleh Mirah di rumah ustadz yang b
‘siapa yang mereka lihat?’ batin Zuzu.“Masyaallah, itu putra Kyai Agil yang sulung,” kata mereka yang sempat terdengar di telinga Zuzu.“Masyaallah, ganteng sekali,” timpal yang lain.“Mana? Mana putra sulung Kyai Agil?” tanya Limah penasaran bertanya pada mereka yang sudah melihat putra mahkota dari sela-sela tirai.“Itu. Ganteng banget,” kata santriwati di depan Zuzu.“Mana?” kata Titi ikut mengintip dari sela tirai.Zuzu hanya bersiap untuk salat berjama’ah karena pak kyai sudah mengucap takbir memulai salat maghrib.Selesai menunaikan salat maghrib berjama’ah dengan serangkaian dzikir tahlil setelahnya. Kyai Agil mulai menduduki kursi yang sudah disiapkan pengurus untuk menyampaikan kajian, dan tirai bagian santri putripun siap dibuka.“Masyaallah,” kagum santriwati yang mulai melihat pria yang duduk berdampigan dengan abahnya itu.“Ya Allah ih ganteng, putih lagi,” mereka tak henti-henti memuji putra mahkota pak kyai.Waktu seakan melambat selama tirai itu dibuka dan menampakkan
“Zubaidah Anggraini?” panggil Riza memecah lamunan Zuzu.“Iya Gus?” sahut Zuzu.“Alamatmu belum diisi,” kata Riza.“Oh iya Gus maaf, tadi terlalu bersemangat mengisi pertanyaan cita-cita,” Zuzu seraya mengambil kertasnya lalu mengisi pertanyaan yang masih kosong.**Dua bulan berlalu, perbekalan Zuzu mulai habis. Setiap sore ia akan pergi ke sawah untuk menunggu seseorang yang telah berjanji akan mengunjungi Zuzu.“Zu?” panggil Imah dan Titi.“Sedang menunggu kunjungan lagi?” tanya mereka seraya menghampiri Zuzu.“Iya,” rautnya begitu lesu dan sedih.“Nih aku beli mi ayam, mau gak?” kata Imah menawari.“Iya nih aku juga beli bubur ayam tadi, makan bareng-bareng aja yuk,” kata Titi.“Tidak ah, kalian makan saja,” pandangannya kembali menatap jalanan, berharap aka nada yang datang mengunjunginya sore ini.Aroma mi ayam dan bubur ayam mereka menyengat hingga membuat Zuzu melirik pada mangkuk di tangan mereka. Tanpa sepatah kata, Zuzu hanya menahan segala inginnya karena takut teman-teman
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Zuzu hanya diam di sepanjang perjalanan.“Zu?” suara Rasyid terdengar terhalang oleh helm.“Ya Pak?”“Loh ko masih Pak manggilnya?”“Aku harus panggil apa dong?”“Mas saja,”“Oke,”“Kita cari perumahan di daerah sini ya?”“Terserah Mas saja,”“Oke kalau gitu,”Motor yang mereka tumpangi itu berbelok membawa mereka ke sebuah perumahan elit yang katanya tak jauh dari kantor Rasyid.“Villa Mas Garden,” Zuzu membaca tulisan tersebut yang tertulis di sebuah batu besar yang menyambut kedatangan sepasang pengantin baru itu.Rasyid pun berhenti di sebuah pos, bukan untuk bertanya pada security, melainkan untuk menelpon seseorang.“Halo Pak Raka?” ucap Rasyid di samping Zuzu.“Saya sudah ada di Villa ni Pak. Saya akan mengambil satu rumah untuk istri baru saya,”“Wahaha. Mantap sekali Pak Rasyid ini. Oke-oke. Pilih saja mana yang mau. Nanti karyawan saya yang kesana untuk mengurus kontraknya,”“Baik Pak Raka. Terimakasih banyak,”Sambungan itu terputus.Mereka kembali menaiki motor dan melihat
Pukul sebelas siang, Rasyid Dan Zuzu sudah berada di kediaman Zuzu. Semua mata tertuju pada siapa yang datang bersama Zuzu. Tak jarang para tetanga bertanya-tanya tentang siapa pria gagah bersih yang singgah di rumah Zuzu, si kembang desa itu.“Assalamu’alaikum Bah, Ibu?” ucap Zuzu di depan pintu.“Wa’alaikumussalam, Zu? Ada apa ko tiba-tiba pulang?” jawab Bu Ariah terkejut. Matanya memperhatikan pria tampan di belakang Zuzu.“Ini Bu. Pria yang mau menikahi Zuzu katanya,” celetuk Zuzu dengan polosnya.Benar saja, kepolosan Zuzu itu mendapat reaksi terkejut di wajah bu Ariah.“Maksudnya bagaimana Zu?” tanya bu Ariah terheran. “Masuk dulu sini, masuk Tong,” bu Ariah mempersilahkan terlebih dahulu.“Tunggu dulu disini ya, Ibu mau manggil Abah,” bergegas bu Ariah memanggil putranya untuk memanggil pak Aman.Beberapa menit kemudian, abah sudah datang dan duduk di hadapan Rasyid.Dengan percaya diri Rasyid menyampaikan maksud kedatangannya ke kampung halaman Zuzu.“Begini Pak. Saya sudah la
Malam pun tiba, Zuzu telah selesai merapikan warung selepas maghrib tadi. Pakaian bagus telah ia kenakan dengan sempurna, rambut Panjang tergerai sampai bawah punggung, membuat parasnya terpancar begitu indah.Suara motor terdengar begitu gagah, berhenti di depan rumah.TIN…Suara klakson dibunyikan tanda pria itu sudah siap akan membawanya ke tempat yang belum pernah sama sekali ia pijak.Zuzu segera keluar menemui pria itu. Seketika waktu melambat, pandangan Rasyid begitu intens memandangi pesona Zuzu yang bak orang Belanda.“Ayo Pak,” Zuzu menegur.“Ayo,”Mereka segera berlalu dengan kecepatan tinggi. Tak ada obrolan selama diperjalanan, Rasyid dengan sangat fokus menyetir hingga mereka sampai pada tujuan hanya dengan waktu lima belas menit.Rasyid melangkah begitu saja menuju pintu utama mall, diikuti dengan Zuzu dibelakangnya.“Pak Rasyid?” seseorang tiba-tiba menyapa Rasyid dari belakang.“Eh Pak,” sahut Rasyid membalikkan tubuh menyalami pria berjaz yang ditemuinya itu.“Gimana
Zuzu melihat isi harves yang ia terima. Ada sebuah kain berwarna cream didalamnya.“Anggap saja ini permintaan maaf saya karena tidak menepati janji saya untuk mengantarkan kamu,” kata Rasyid.“Tidak usah seperti ini Pak. Saya tidak mau Pak,” tolak Zuzu.“Tidak apa-apa. Ini sebagai awal kita mengenal oke?” Rasyid memaksa.Zuzu hanya terdiam, kemudian ia berlalu meninggalkan Rasyid dan masuk kedalam rumah.Senyum Rasyid merekah saat Zuzu menerima hadiah darinya. Sungguh ia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan gadis cantik itu.‘aku harus bisa mendapatkannya’ Rasyid menetapkan dalam hati.Tak lama kemudian bi Jumroh keluar dari rumah membawa panci kecil.“Mpok,” panggil Rasyid dengan semangat membara.“Apa?” sahut bi Jumroh.“Saya ingin menikahi Zuzu Pok,” katanya tanpa basa basi.“Istrimu kan sudah banyak,” sergah bi Jumroh.“Tapi saya cinta sama dia Pok. Tolong sampaikan pada Zuzu. Saya ingin serius sama dia,” katanya bersikeras memohon pada bi Jumroh.“Iya nanti tak sampein,” kat
“Adara sakit Mas sudah tiga hari. Pihak pondok mengizinkan Adara pulang untuk mendapat perawatan dirumah,” beber Arum.“Mas besok ada perlu di perbatasan kota. Nanti biar Bima yang menjemput Adara ya?” ujar Rasyid seraya mengeluarkan ponsel di sakunya, segera menghubungi Bima, keponakannya.“Halo Bim?” ucapnya.“Iya Om?” sahut Bima dari balik saluran.“Besok bisa jemput Adara jam 9 pagi di pondok?”“Bisa Om bisa,”“Tidak kuliah besok?”“Kebetulan masuk siang Om,”“Oke kalau begitu, terimakasih ya?”“Iya Om aman,”Ia taruh benda pipih itu di meja, ia kembali bersantai menikmati cemilan yang disuguhkan Arum.“Besok langsung saja dibawa kerumah sakit, siang kalau Mas sudah beres urusan, Mas antar,” katanya sambil mengeluarkan dompet tebal miliknya.“Ni jaga-jaga kalau ada keperluan lain,” Rasyid memberikan lima lembar uang merah untuk Arum.“Baik Mas kalau begitu,”Tililit... Tililit..Sekar. Nama yang terpampang di layar ponsel. Membuat Arum seketika malas dengan suasana itu, Sekar sela
Tililit...Ponsel Rasyid kembali berdering.‘feelingnya kuat sekali istri pertamaku ini’ gumamnya membaca sebuah nama di layar ponselnya.“Halo?” sapanya.“Mas dimana sekarang?” tanya wanita itu tanpa bas abasi.“Ini mau bertemu dengan ketua perhubungan, ada apa?” jawab Rasyid.“Setelah itu bisa pulang tidak Mas? Penting sekali,” rengek wanita itu.“Oke Mas akan segera pulang,”**“Rasyid, Mall Indah Cipinang yang sedang dibangun itu masuk perbatasan Jakarta. Dilaporkan pada saya bahwa pagar Pembangunan akan melewati batas tersebut. Tolong amankan dan bereskan pada atasannya,” ujar ketua perhubungan.“Sebelumnya saya sudah mewanti-wanti pada bosnya Pak, bahwa luas Pembangunan tidak semestinya keluar dari perbatasan. Mungkin ada sistem yang lalai dari mereka,” jelas Rasyid.“Tangani ini secepat mungkin sebelum terlanjur Pembangunan!” perintah sang ketua.“Baik Pak, saya akan bertemu atasannya,” kata Rasyid kemudian berpamitan pada sang ketua.‘ada-ada saja masalah proyek ini’ umpatnya
“Itu mau dibangun kantor Neng, gak tahu tapi kantor apa,” kata bi Jumroh menjelaskan.Pemandangan baru yang belum pernah ia dapati di desa. Melihat para pegawai memakai seragam kerja dan helm proyek, ada yang mengangkut bata menggunakan grobak besi, serta ada yang bergelayut tinggi di atas Gedung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.‘ini benar-benar kota’ gumamnya dalam hati mengembangkan senyum dibibir manisnya.Di sisi lain Gedung, ada tiga orang Tengah berbincang, sepertinya mereka adalah orang-orang dibalik Pembangunan Gedung ini. Terlihat dari penampilannya yang berbeda dari pekerja di sekelilingnya.“Neng, sebentar lagi mereka masuk jam istirahat. Pasti mereka pada kesini untuk istirahat,” kata bi Jumroh memecah perhatiannya pada tiga orang tersebut.Zuzu segera menyiapkan apa saja yang diperintah oleh bi Jumroh.“Bi, kopi itemnya satu ya,” kata seseorang yang Zuzu lihat tadi.Pria tegap berperawakan tinggi sekal berpakaian seragam dinas berwarna khaki.‘diantara tiga pria ke
Sesuatu telah menembus jantungnya, dan menghancurkannya secara berkeping-keping.“Sampai sini saja Pelajaran kita, ada yang ingin ditanyakan?” kata Riza menyudahi jam pelajarannya.“Masih lima belas menit lagi Gus,” sahut santriwati yang ingin berlama-lama diajar oleh Riza.“Maaf saya harus segerapergi, ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya beralasan.Tanpa lama, akhirnya Riza pun kembali ke Ndalem dengan keresahan atas kepergian gadis impiannya.“Bu?” panggil Riza pada sang Ibu yang sedang membaca kita fiqih di meja belajarnya.“Hm?” sahut bu nyai Azah yang masih focus pada bacaannya.“Kemari nada santri yang pamit pulang kah Bu?”“Iya ada dua santri,” bu nyai masih tetap tak menoleh pada Riza.“Siapa?”“Ujang sama Zuzu,”Riza langsung membawa dirinya ke kamar, tak menghiraukan ibunya lagi setelah ia mendapatkan informasi jelas tentang gadis itu. Bu nyai pun menoleh dengan keanehan putranya setelah ia menyebut nama itu.“Assalamu’alaikum?” ucap kyai Agil yang bar
DEGGadis putih seperti keju itu ternyata duduk tepat di depan pintu, membuat matanya dengan mata Riza intens saling beradu pandang.“Sampeyan dulu maju,” seru santriwati saling mendorong.“Gak mau ah, sampeyan lah sana yang sudah lulus Al-Fatihah,” timpal yang lain.Kegiatan mengaji malam itu berjalan dengan lancer, Riza mampu mengatasi rasa gugupnya menghadapi santriwati dalam jarak dekat.**Tiga bulan sudah Zuzu menahan perih kesulitan finansialnya dipondok, akhirnya Zuzu memutuskan untuk berpamit kembali ke kampung halaman. Berat melangkah izin ke rumah pengasuh, membawa sebongkah baju-baju yang ia gendong di pundak.“Zu,” panggil Imah yang sudah berderaian air mata.“Kalian harus semangat ya ngajinya,” pesan Zuzu pada Imah dan Titi yang sudah sembab menangis sejak menemaninya mengemas barang-barang.Mereka menangis sejadi-jadinya, saling berpelukan menumpahkan segala asa dan romansa yang pernah terjadi dalam persahabatan mereka dipondok ini.“Maafin aku ya Mah, Ti, kalau banyak