Dua hari kemudian, Eleanor yang tengah memelototi ponsel mendengar pintu unit itu di ketuk. Dengan sedikit tergesa, dia bergegas membuka pintu dan mendapati Andika tersenyum manis sembari membedong seorang bayi. Laki-laki itu melangkah masuk."Dia masih tidur," ungkap Andika pula. Dengan hati -hati, dia meletakkan Kaisar di atas tempat tidur yang hangat. Bayi yang kini sudah berusia tiga bulan itu terlelap dengan tenang."Kamu jauh-jauh membawanya kemari," Ele menatap Andika dengan tak dapat menyembunyikan senyumnya. "Aku sangat berterimakasih....""Seperti yang tertulis dalam kontrak kita," imbuh Andika dengan senyum yang terus terulas. Sorot mata penuh binar Ele meredup sebentar.Diciumnya bayinya yang sedang tidur. Kalau tak ingat ia sedang tidur, Ele pasti akan menggendongnya ke sana kemari."Ponselku hanya menyimpan satu kontak, aku perlu menghubungi bunda dan karyawan Hadasa." Ucap Eleanor sembari menatap Andika. "Ah, kartu lamamu hilang, Ele. Aku benar benar meminta maaf.""Ba
"Tuan Andika terlihat membeli perlengkapan untuk bayi di supermarket," lapor Winatama pada Effendy menggunakan ponselnya."Dia masih di sana?""Ya, Tuan, saya masih mengawasinya.""Ikuti dia, tapi jangan sampai membuatnya curiga.""Baik Tuan."Ponsel dimatikan Effendy sepihak, dia masih harus menghadapi meeting lima menit lagi. Laki-laki itu memimpin meeting dengan cepat, nyaris cenderung tidak fokus karna terus memikirkan Andika yang katanya membeli perlengkapan bayi. Ketika Dia menyelesaikan rapat dan kembali ke ruangannya, dia memeriksa ponsel dan mendapati Winatama mengirimkannya sebuah alamat.["Saya belum dapat memastikan siapa yang tinggal di sana, tapi Tuan Andika pulang ke rumah itu, dan dia tidak menyadari saya yang mengikutinya."]["Baik."]Balas Effendy pula. ["Kamu bisa kembali, Winatama."]["Baik Tuan].Effendy menatap alamat yang di kirimkan, dia memiliki firasat kalau Eleanor ada di sana. Setidaknya, Effendy ingin datang dan meminta maaf.***"Besok kita akan ke KUA," u
Pemandangan pertama yang menyambut Effendy adalah pemandangan yang membuatnya merasa entah mengapa, sesak di dalam.Eleanor duduk di sisi ranjang, menoleh menatapnya dengan mata yang memerah. Lalu mata coklat itu melebar."Chislon..."Tidak ada kemarahan dalam suaranya, seperti yang di ekspektasikan Effendy. Alih-alih marah, suara Ele seperti membawa jejak kelegaan ketika melihatnya. Atau itu hanya perasaannya saja?Pelan, Effendy mendekat, melihat bayi menggemaskan itu terbaring dengan selang oksigen, dia merasa semakin sakit."Dia...kenapa?" Tanya Effendy dengan suara berat."Pneumonia," jawab Ele. Wanita itu mengusap dahi putranya sebentar lalu melanjutkan, "Dokter bilang dia aka segera membaik, aku percaya itu.""Boleh... Boleh aku menyentuhnya?"Demi apapun, Chislon tahu diri. Ada banyak kesalahpahaman yang terjadi antara dia Dea Eleanor, terutama berkaitan dengan bayi ini. Dia sudah terlanjur menyayangi Kaisar, dan kemudian di akhir dia tahu kalau DNA Kaisar cocok dengan Ele. Di
Winatama menghela napas berat melihat kamar utama Kediaman Abimanyu yang di tempati sang tuan muda tak kunjung terbuka selama tiga hari terakhir. Effendy menolak keluar kamar, tidak ingin di ganggu selama lima hari itu. Dia sebenarnya ingin memberitahu beberapa informasi lanjutan, namun itu terasa sulit sekarang karna Effendy seperti diam di dunianya sendiri.Winatama memutar tubuh, bermaksud kembali. Laki laki bersetelan casual itu terhenti ketika terdengar pintu terbuka. Dia menoleh, melihat Effendy keluar dengan keadaan rapi dan tidak berantakan, hanya saja Winatama dapat melihat bawah matanya yang sedikit menggelap seperti dehidrasi."Kamu disini?" Effendy mengangkat alisnya."Saya ingin menyampaikan beberapa informasi.""Informasi tentang apa?""Tentang Nona Ele-""Itu tidak berguna lagi." Tukas Effendy. Ekspresi datar sekali. Dia berjalan ke dapur dan mengambil segelas air. Para maid yang melihat langsung memasang ekspresi lega, pasalnya sang tuan memang mengunci diri dan tidak
Eleanor menggendong Kaisar yang terus menangis, berusaha menenangkannya. Mereka sudah berada di depan ruang perkawinan. Berkas berkas mereka sudah di urus oleh Andika sebelumnya. Laki-laki itu meminta KTP dan dan berkas berkas personal Ele untuk kelengkapan yang diserahkan pada asistennya, Junaedi, yang sekarang setia mengawal mereka. Laki laki itulah yang mengurus kelengkapan persyaratan pranikah mereka."Seharusnya kamu menuruti perintahku untuk membiarkan ia di asuh Bu Ratmi dulu," tegur Andika dengan airmuka tidak senang. "Lihat, semuanya jadi chaos kalau begini."Ele tak menjawab, dia terus berusaha menenangkan Kaisar. "Aku harus menyusuinya," ungkap Ele pula. Andika mendengus gusar secara halus. "Yasudah, ke toilet saja." Ucapnya. Dia merasa sedikit kesal dan memilih duduk di kursi yang di sediakan di luar. Junaedi hanya berdiri tenang di sana seolah ia transparan.Eleanor dalam diam melangkah ke toilet wanita untuk menyusui bayinya. Kaisar akhirnya bisa tertidur. Dia bergegas k
Begitu keluar dari mobil, Effendy tidak sedikitpun menatap Ele. Dia berjalan lurus masih menggendong Kaisar yang terus tertidur. Ele mengekor sampai ke dalam kamar bayi, dimana Effendy perlahan lahan meletakkan putranya di ranjang khusus miliknya.Tidak ada yang berubah dari kamar bayi itu, masih seharum dan sehangat biasanya.Lama, Effendy berdiri memandangi Kaisar sambil membelakangi Eleanor. Ele menjadi serba salah. Dia hanya bisa berdiri mematung.Ponsel di saku celana Effendy bergetar, laki laki itu mengeluarkan gawainya, melihat ada pesan masuk dari Andika.[Kamu tidak bisa membawanya. Aku akan datang mejemputnya, Eleanor telah menandatangani surat perjanjian denganku, jika dia melanggarnya, aku bisa menyeretnya ke penjara.]Effendy mengerutkan alisnya. Dia membalik.Saat Eleanor hendak membuka mulut, Effendy telah berlalu ke pintu, dia menatap Ele sembari memegang gagang pintu, "Keluar." Pintanya dengan tatapan tajam. Ele hanya bisa menurut."Aku minta penjelasanmu sekarang jug
Eleanor menatap heran pada Effendy, namun sebelum mulutnya kembali bertanya lebih jauh, pintu telah di ketuk dari luar.Ketika Effendy membukanya, ia melihat Ambar berdiri dengan ekspresi cemas, "Tuan, dokter Andika datang bersama Polisi, ingin menemui Tuan."Mendengar perkataan Ambar, Effendy tidak menunjukkan reaksi apapun."Beritahu mereka, aku akan turun ke bawah.""Baik,"Ambar pun meninggalkan kamar Tuannya. Effendy menatap pada Eleanor yang kini telah berdiri di sisinya."Mari, kamu harus ikut denganku dan meluruskan semuanya."Saat mereka turun ke ruang tamu, Andika sudah duduk di sana bersama dua orang petugas kepolisian. Effendy duduk di depan mereka. "Ada apa tuan-tuan di ikutsertakan menemui saya?" Tanya Effendy pada kedua petugas kepolisian itu. Sedang Andika hanya menatapnya dengan senyum miring."Kamu sudah menyalahi aturan, Chislon. Aku membawa kedua penegak hukum ini agar kamu bisa sekaligus di amankan."Effendy tahu, bahwa tidak akan semudah itu kedua penegak kepoli
Sepanjang hari, Eleanor tak pernah mengajak Effendy bicara. Dia menghabiskan waktunya di kamar Kaisar. Saat hari telah beranjak sore, Ele terlihat meninggalkan kamar bayi dan berjalan ke lantai bawah. "Mau kemana?" Effendy lekas lekas menyapa.Eleanor mengacuhkannya. Dia terus menuruni tangga ."Kamu lapar? Tadi aku sudah suruh maid mengantar makanan siang ke kamar Kaisar...""Aku kenyang." Jawab Ele singkat padat dan jelas. Dia terus berjalan ke pintu utama dengan Effendy yang berjalan menyusul dengan langkah lebar.Ketika Ele telah sampai di pintu keluar dan hendak pergi, Effendy menahan tangannya. "Tunggu dulu. Kamu mau kemana?""Mau ke apartemen, aku butuh membersihkan diri.""Memangnya kamu tidak bisa mandi disini?" Effendy mengernyit. "Kamarmu di lantai bawah itu tidak kekurangan pakaian," cetusnya kemudian. Ele menatap Effendy sekejab. Tanpa mengatakan apapun dia berjalan ke kamar lamanya. Kamar yang ia tempati dulu saat dia datang sebagai istri Chislon, juga kamar yang sama s