"Ada Oma sama Opa, Sayang. Bisakah Tere bersembunyi dulu di belakang ayah?" Ze melihat ayah dan Ibunya yang kian mendekat."Tapi, Ayah. Kenapa Tere harus bersembunyi? Bukankah Ayah ajak Tere ke sini untuk bertemu dengan Oma dan Opa?" tanya gadis kecil itu."Iya ayah tahu, tapi ayah mau buat kejutan untuk Oma dan Opa. Jadi, apa Tere bisa bersembunyi di balik tubuh ayah?" jelas Ze berharap putri kecilnya langsung bersembunyi karena kedua orang tuanya sudah semakin dekat."Tapi, Ayah ...."Teressa menelan mentah-mentah kalimatnya. Sang ayah hanya memintanya bersembunyi sebentar sekedar ingin memberi kejutan pada kakek dan neneknya. Jadi, ia hanya perlu bersabar sedikit meski melihat semua makanan yang tertata rapi di tikar membuat perutnya keroncongan."Kejutan apa yang ingin kau tunjukkan, Ze?" tanya Diana tidak sabaran.Ze tidak berencana untuk berdiri atau menghampiri kedua orang tuanya. Tentu saja karena ada Teressa di belakangnya yang akan dijadikan sebagai kejutan."Mama sama Papa
"Pak? Pak Ze? Pak Ze masih di sana, 'kan?" panggil kepala sekolah karena Ze tak kunjung menjawab.Wanita itu benar-benar bingung dan tidak tahu harus berkata apa pada Hely. Sebelumnya, ia sudah memberi alasan kalau Teressa sedang bercanda dengan teman-temannya, tetapi Hely bersikeras untuk berbicara dengan putrinya. Semakin kepala sekolah membuat alasan, semakin membuat Hely meminta untuk melakukan panggilan video."Iya. Angkat saja panggilan videonya. Ibu bersikap seolah tidak ada sinyal dan menjelaskan bahwa Tere baik-baik saja. Dengan begitu, Bunda Tere tidak akan khawatir," jawab Ze setelah beberapa saat berpikir."Baiklah, kalau begitu saya coba dulu," kata kepala sekolah sebelum akhirnya memutuskan panggilan."Siapa, Ze?" tanya Diana pemasaran."Tidak, bukan siapa-siapa," sahut Ze berbohong."Ayah mau sate buah, tidak?" tawar Teressa sambil meraih sate buah."Mau dong, tapi Tere suapi ayah," balas Ze bersemangat.Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan kembali menikmat
Mendengar pertanyaan yang Teressa lontarkan membuat semua orang terdiam. Bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja terasa sangat sulit. Leher mereka terasa tercekat dan tidak mampu berkata-kata. Otak mereka berpikir keras memikirkan tentang jawaban masuk akal apa yang akan mereka berikan."Oma? Kenapa Oma diam saja? Kenapa Ayah sama Bunda tidak tinggal bersama?" Teressa mengguncang lengan neneknya dan kembali bertanya."I-iya juga ya, Sayang. Kenapa Ayah dan Bunda tidak tinggal bersama?" Diana tersenyum canggung dan balik melempar pertanyaan yang sama."Iya, Oma. Aneh sekali, bukan?" Gadis kecil itu menatap sang nenek lekat dengan bibir yang dimajukan ke depan."Tere?" panggil Ze. Pertanyaan putrinya cukup mengganggu.Jujur, pertanyaan Teressa mampu membuat Ze mengingat masa lalu kejamnya. Ia ingat betul alasan mengapa Hely pergi lagi dan lagi meninggalkannya. Jika bukan karena ulahnya, mana mungkin hal itu akan terjadi. Selain dirinya, Hely, dan kedua orang tuanya. Teressa pun ikut
Draka lekas meraih ponselnya dan menghubungi Hely. Tidak perlu menunggu lama dan hanya dalam satu kali bunyi bip, Hely sudah langsung mengangkatnya."Halo, Mas Aka.""Iya, Hely. Tere ada? Melihat anak kecil membuatku merindukan Tere."Melihat Teressa terlihat sangat bahagia bersama keluarga ayah kandungnya membuat Draka ikut senang. Dan, alasan ia menghubungi Hely sekedar ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi kenapa Teressa bisa bersama Ze."Maaf, Mas. Tiba-tiba sekolah mengadakan tour dadakan. Jadi sekarang, Tere tidak ada di rumah.""Oh begitu, tapi kenapa kau tidak ikut?""Pihak sekolah tidak mengizinkan orang tua wali murid ikut dengan alasan belajar mandiri. Padahal aku ingin sekali ikut menemani Tere."Baru beberapa jam jauh dari putrinya Hely sudah rindu. Ia merasa tidak nyaman harus jauh dari putrinya padahal biasanya ia sibuk bekerja. Mungkin karena Teressa dibawa ayahnya jadi Hely merasa tidak tenang. Meskipun ia tidak tahu sama sekali tentang hal itu."Baiklah, aku mengert
Sebelum mengambil keputusan, Ze memikirkan tentang perginya Hely setelah sekian lama tidak bertemu. Wanita itu langsung pergi menghindar dan bahkan sampai pindah rumah. Lalu, bagaimana nanti seandainya ia datang dan mengancam?"Tidak, tidak boleh. Kalau aku mengancam Hely, yang ada nanti dia semakin membenciku dan pergi lagi dariku." Raut wajah Ze benar-benar masam, "Ya sudahlah, pelan-pelan saja sesuai dengan rencana awal," sambung pria itu memutuskan.Akhirnya, Ze kembali mengemudikan mobilnya menuju sekolah. Ia berhenti tepat di mana tadi pagi ia menjemput putrinya. Baru saja sampai, bus pun langsung tiba."Tere sayang. Kita sudah sampai, Nak." Ze berusaha membangunkan putrinya, "Tere, kesayangan ayah bangun, yuk! Kita sudah sampai, Sayang," lanjutnya sambil mengusap lembut pipi putrinya."Mmm ... kita sudah sampai, Ayah?" tanya Teressa sambil merentangkan kedua tangannya. Manik mata gadis kecil itu perlahan terbuka dengan malu-malu. Cahaya di sore hari berhasil membuatnya kesulit
Hely menoleh ke belakang menatap putrinya yang sedang sibuk bermain. Tidak mungkin bukan kalau Teressa membohonginya? Kalaupun memang benar, lalu apa yang membuat putrinya berbohong."Aku harus mencari tahu kebenarannya," batin wanita itu bertekad."Bu, Ibu Tere?""Ah iya, Bu. Ya sudah, kalau begitu terimakasih. Maaf sudah mengganggu waktu, Ibu.""Tidak apa-apa, Ibu Tere."Panggilan berakhir dan Hely melangkah duduk ke arah sofa. Ia menatap putrinya lekat dan beralih pada Barbie yang tergeletak menunggu giliran untuk dimainkan."Sebenarnya Ayla itu siapa? Setelah aku ingat-ingat, beberapa hari terakhir Tere sering sekali menyebut nama itu, bahkan sejak pertama kali pindah ke rumah ini. Apa ada anak di area ini yang bernama Ayla dan sering main ke sekolah atau jangan-jangan ...." Hely terus menebak-nebak karena tak kunjung mendapat jawaban."Tere?" panggil wanita itu."Iya, Bunda," sahut Teressa menoleh ke belakang."Bunda boleh tanya sesuatu?" izin Hely barangkali saja ia bisa menemuk
"Ya Tuhan!"Dengan napas yang tersengal, Hely beranjak duduk dari tidurnya. Malam ini, ia sudah lebih dari tiga kali memimpikan hal yang sama di mana Ze mencekokinya obat kontrasepsi. Dengan keringat dingin yang membasahi dahinya, Hely menoleh ke samping. Ia ingat betul jawaban putrinya tadi pagi menjelang siang."Sangat Bunda. Tere sangat-sangat bahagia bersama Ayla. Malah kalau bisa, Tere mau sama-sama Ayla terus.""Apa aku mengalah saja demi Tere? Tapi, aku tidak bisa terus-menerus seperti ini," batin Hely berkecamuk.Di sisi lain, ia tidak ingin merusak kebahagiaan Teressa dengan ayahnya. Namun di sisi lain lagi, ia tidak bisa terus bermimpi buruk. Bahkan semakin ia dekat dengan Ze, maka semakin mimpi itu menghancurkan waktu tidurnya."Tuhan ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku ingin putriku bahagia, tapi aku ...."Hely mengulurkan kakinya dan melangkah keluar kamar. Ternyata, waktu menunjukkan pukul lima pagi. Ia memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan sara
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Hely?" tanya Ze terkejut.Dari ucapan Hely bisa disimpulkan bahwa Teressa anak Draka dan bukan anaknya. Lalu, bagaimana dengan perasaannya selama ini terhadap Teressa yang sangat kuat? Ia benar-benar merasa kalau gadis kecil itu anak kandungnya."Sama seperti apa yang kau pikirkan, Mas," sahut Hely malas."Jadi maksudmu, Tere bukan anak kandungku?" tanya Ze memastikan."Ya, Tere anakku dan Mas Aka. Jadi, apa kau masih ingin mengajakku pulang?" sahut Hely mantap.Ze menarik nafas kasar. Ia beranjak berdiri sambil berkacak pinggang. Mengedarkan pandangan dengan gusar dan menyugar rambutnya ke belakang. Ia benar-benar tidak menyangka dengan jawaban yang istrinya lontarkan."Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Tere anak pengacara sok hebat itu, Hely? Kau ... kau masih istriku meski kita tidak tinggal bersama?" tanya Ze frustasi. Tatapan mata Ze menunjukkan kekecewaan yang teramat dalam. Selama ini ia sudah sabar menunggu dan sibuk mencari, tetapi apa yang ia
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
"Apa kau berusaha menghindar lagi?" tanya Ze melihat sikap Hely yang lagi-lagi berusaha menghindar."Menghindar dari apa, Mas?" tanya Hely sambil mengerutkan keningnya."Kau tahu maksud dari pertanyaanku, Hely. Jadi--.""Aku tahu, Mas. Nanti siang kita akan pergi. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menghindar lagi untuk berobat," potong Hely menjelaskan.Mendengar ucapan sang istri berhasil membuat Ze menghembuskan nafas lega. Kekhawatirannya yang tidak perlu kini bisa ia enyahkan dalam sekejap mata. Sekarang, ia hanya perlu mendukung agar proses penyembuhan berjalan dengan lancar dan cepat."Terimakasih, Sayang. Sekarang, kita lihat-lihat rumah kita dulu," ujar Ze mengajak istrinya melihat-lihat rumah barunya.Sepasang suami istri itu mulai melihat-lihat di setiap sudut rumah. Dari lantai satu ke lantai dua dan melihat-lihat di area luar rumah. Sementara Teressa, gadis kecil itu berlarian ke sana kemari sambil tersenyum takjub mengagumi rumah barunya."Bunda! Cepat
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh
Hely mendadak terdiam mendengar pertanyaan yang Ze lontarkan. Tatapan matanya pun jadi tidak fokus. Bola matanya bergerak ke sana kemari."Hey, Sayang? Kenapa diam saja?" tanya Ze bingung.Alih-alih menjawab, Hely justru mengecup bibir suaminya. Berhubung Ze pria yang sudah lama tidak mendapat belaian, jadi sekali mendapat perlakuan itu membuat semangatnya bangkit dan melupakan pertanyaannya. Apalagi, ia sudah merencanakan peraduan beronde-ronde. Jadi, Ia lekas beranjak duduk dan menatap Hely dengan raut berbinar."Kenapa kau jadi tidak sabaran begini, Sayang? Apa kita perlu memulainya sekarang?" tanya Ze bersemangat.Sementara Hely masih tidak fokus. Ia masih memikirkan pertanyaan suaminya dan bagaimana harus menjawabnya. Haruskah ia berkata jujur atau terus menyembunyikan trauma yang selalu menghantui di setiap tidurnya. Namun sayangnya, Ze salah satu pria yang tidak memiliki kepekaan. Ia justru langsung merenggut bibir dan mengungkung tubuh Hely."Kau ingat apa yang kau katakan tad
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa