Kepala sekolah nampak berpikir. Sebelumnya ketika memindahkan Teressa ke sekolah itu, Hely sudah menjelaskan tentang Ze. Jadi, ia tidak terkejut ketika Ze memperkenalkan diri. Meskipun demikian, Hely meminta agar ia merahasiakannya dari orang lain."Saya tidak tahu permasalahan apa yang Anda dan Ibu Hely hadapi. Saya hanya berharap agar Tere tidak menjadi korban atas permasalahan kedua orang tuanya. Dengan demikian, saya akan membantu rencana Anda," ujar kepala sekolah memutuskan.Selama ini, ia selalu memperhatikan sosok Teressa. Anak itu menjadi pendiam ketika berkumpul dengan teman-temannya, tetapi banyak berbicara jika ia ajak bicara. Mungkin hal itu terjadi karena trauma yang dialami di sekolah lamanya. Terlebih, ada beberapa anak yang tidak menyukainya di sekolah itu."Terimakasih banyak, Bu. Kalau begitu, berapa nomor rekening Ibu atau rekening sekolah agar saya bisa transfer sekarang juga," balas Ze bersemangat.Kepala sekolah langsung menyebutkan nomor rekening sekolah. Kemud
"Ada Oma sama Opa, Sayang. Bisakah Tere bersembunyi dulu di belakang ayah?" Ze melihat ayah dan Ibunya yang kian mendekat."Tapi, Ayah. Kenapa Tere harus bersembunyi? Bukankah Ayah ajak Tere ke sini untuk bertemu dengan Oma dan Opa?" tanya gadis kecil itu."Iya ayah tahu, tapi ayah mau buat kejutan untuk Oma dan Opa. Jadi, apa Tere bisa bersembunyi di balik tubuh ayah?" jelas Ze berharap putri kecilnya langsung bersembunyi karena kedua orang tuanya sudah semakin dekat."Tapi, Ayah ...."Teressa menelan mentah-mentah kalimatnya. Sang ayah hanya memintanya bersembunyi sebentar sekedar ingin memberi kejutan pada kakek dan neneknya. Jadi, ia hanya perlu bersabar sedikit meski melihat semua makanan yang tertata rapi di tikar membuat perutnya keroncongan."Kejutan apa yang ingin kau tunjukkan, Ze?" tanya Diana tidak sabaran.Ze tidak berencana untuk berdiri atau menghampiri kedua orang tuanya. Tentu saja karena ada Teressa di belakangnya yang akan dijadikan sebagai kejutan."Mama sama Papa
"Pak? Pak Ze? Pak Ze masih di sana, 'kan?" panggil kepala sekolah karena Ze tak kunjung menjawab.Wanita itu benar-benar bingung dan tidak tahu harus berkata apa pada Hely. Sebelumnya, ia sudah memberi alasan kalau Teressa sedang bercanda dengan teman-temannya, tetapi Hely bersikeras untuk berbicara dengan putrinya. Semakin kepala sekolah membuat alasan, semakin membuat Hely meminta untuk melakukan panggilan video."Iya. Angkat saja panggilan videonya. Ibu bersikap seolah tidak ada sinyal dan menjelaskan bahwa Tere baik-baik saja. Dengan begitu, Bunda Tere tidak akan khawatir," jawab Ze setelah beberapa saat berpikir."Baiklah, kalau begitu saya coba dulu," kata kepala sekolah sebelum akhirnya memutuskan panggilan."Siapa, Ze?" tanya Diana pemasaran."Tidak, bukan siapa-siapa," sahut Ze berbohong."Ayah mau sate buah, tidak?" tawar Teressa sambil meraih sate buah."Mau dong, tapi Tere suapi ayah," balas Ze bersemangat.Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan kembali menikmat
Mendengar pertanyaan yang Teressa lontarkan membuat semua orang terdiam. Bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja terasa sangat sulit. Leher mereka terasa tercekat dan tidak mampu berkata-kata. Otak mereka berpikir keras memikirkan tentang jawaban masuk akal apa yang akan mereka berikan."Oma? Kenapa Oma diam saja? Kenapa Ayah sama Bunda tidak tinggal bersama?" Teressa mengguncang lengan neneknya dan kembali bertanya."I-iya juga ya, Sayang. Kenapa Ayah dan Bunda tidak tinggal bersama?" Diana tersenyum canggung dan balik melempar pertanyaan yang sama."Iya, Oma. Aneh sekali, bukan?" Gadis kecil itu menatap sang nenek lekat dengan bibir yang dimajukan ke depan."Tere?" panggil Ze. Pertanyaan putrinya cukup mengganggu.Jujur, pertanyaan Teressa mampu membuat Ze mengingat masa lalu kejamnya. Ia ingat betul alasan mengapa Hely pergi lagi dan lagi meninggalkannya. Jika bukan karena ulahnya, mana mungkin hal itu akan terjadi. Selain dirinya, Hely, dan kedua orang tuanya. Teressa pun ikut
Draka lekas meraih ponselnya dan menghubungi Hely. Tidak perlu menunggu lama dan hanya dalam satu kali bunyi bip, Hely sudah langsung mengangkatnya."Halo, Mas Aka.""Iya, Hely. Tere ada? Melihat anak kecil membuatku merindukan Tere."Melihat Teressa terlihat sangat bahagia bersama keluarga ayah kandungnya membuat Draka ikut senang. Dan, alasan ia menghubungi Hely sekedar ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi kenapa Teressa bisa bersama Ze."Maaf, Mas. Tiba-tiba sekolah mengadakan tour dadakan. Jadi sekarang, Tere tidak ada di rumah.""Oh begitu, tapi kenapa kau tidak ikut?""Pihak sekolah tidak mengizinkan orang tua wali murid ikut dengan alasan belajar mandiri. Padahal aku ingin sekali ikut menemani Tere."Baru beberapa jam jauh dari putrinya Hely sudah rindu. Ia merasa tidak nyaman harus jauh dari putrinya padahal biasanya ia sibuk bekerja. Mungkin karena Teressa dibawa ayahnya jadi Hely merasa tidak tenang. Meskipun ia tidak tahu sama sekali tentang hal itu."Baiklah, aku mengert
Sebelum mengambil keputusan, Ze memikirkan tentang perginya Hely setelah sekian lama tidak bertemu. Wanita itu langsung pergi menghindar dan bahkan sampai pindah rumah. Lalu, bagaimana nanti seandainya ia datang dan mengancam?"Tidak, tidak boleh. Kalau aku mengancam Hely, yang ada nanti dia semakin membenciku dan pergi lagi dariku." Raut wajah Ze benar-benar masam, "Ya sudahlah, pelan-pelan saja sesuai dengan rencana awal," sambung pria itu memutuskan.Akhirnya, Ze kembali mengemudikan mobilnya menuju sekolah. Ia berhenti tepat di mana tadi pagi ia menjemput putrinya. Baru saja sampai, bus pun langsung tiba."Tere sayang. Kita sudah sampai, Nak." Ze berusaha membangunkan putrinya, "Tere, kesayangan ayah bangun, yuk! Kita sudah sampai, Sayang," lanjutnya sambil mengusap lembut pipi putrinya."Mmm ... kita sudah sampai, Ayah?" tanya Teressa sambil merentangkan kedua tangannya. Manik mata gadis kecil itu perlahan terbuka dengan malu-malu. Cahaya di sore hari berhasil membuatnya kesulit
Hely menoleh ke belakang menatap putrinya yang sedang sibuk bermain. Tidak mungkin bukan kalau Teressa membohonginya? Kalaupun memang benar, lalu apa yang membuat putrinya berbohong."Aku harus mencari tahu kebenarannya," batin wanita itu bertekad."Bu, Ibu Tere?""Ah iya, Bu. Ya sudah, kalau begitu terimakasih. Maaf sudah mengganggu waktu, Ibu.""Tidak apa-apa, Ibu Tere."Panggilan berakhir dan Hely melangkah duduk ke arah sofa. Ia menatap putrinya lekat dan beralih pada Barbie yang tergeletak menunggu giliran untuk dimainkan."Sebenarnya Ayla itu siapa? Setelah aku ingat-ingat, beberapa hari terakhir Tere sering sekali menyebut nama itu, bahkan sejak pertama kali pindah ke rumah ini. Apa ada anak di area ini yang bernama Ayla dan sering main ke sekolah atau jangan-jangan ...." Hely terus menebak-nebak karena tak kunjung mendapat jawaban."Tere?" panggil wanita itu."Iya, Bunda," sahut Teressa menoleh ke belakang."Bunda boleh tanya sesuatu?" izin Hely barangkali saja ia bisa menemuk
"Ya Tuhan!"Dengan napas yang tersengal, Hely beranjak duduk dari tidurnya. Malam ini, ia sudah lebih dari tiga kali memimpikan hal yang sama di mana Ze mencekokinya obat kontrasepsi. Dengan keringat dingin yang membasahi dahinya, Hely menoleh ke samping. Ia ingat betul jawaban putrinya tadi pagi menjelang siang."Sangat Bunda. Tere sangat-sangat bahagia bersama Ayla. Malah kalau bisa, Tere mau sama-sama Ayla terus.""Apa aku mengalah saja demi Tere? Tapi, aku tidak bisa terus-menerus seperti ini," batin Hely berkecamuk.Di sisi lain, ia tidak ingin merusak kebahagiaan Teressa dengan ayahnya. Namun di sisi lain lagi, ia tidak bisa terus bermimpi buruk. Bahkan semakin ia dekat dengan Ze, maka semakin mimpi itu menghancurkan waktu tidurnya."Tuhan ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku ingin putriku bahagia, tapi aku ...."Hely mengulurkan kakinya dan melangkah keluar kamar. Ternyata, waktu menunjukkan pukul lima pagi. Ia memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan sara