Keesokan harinya, Hely membuka mata secara perlahan. Kemudian, ia mengedarkan pandang dan mendapati Ze juga Draka di sana."Mas Aka?" panggil Hely lirih.Alih-alih memanggil nama sang suami, Hely justru memanggil pengacara itu. Mendengar hal itu, sontak Ze merasakan nyeri di dadanya. Akan tetapi, ia berusaha mengabaikan perasaan itu dan menghampiri sang istri."Kau sudah sadar, Hely?" Draka langsung mendekat."Anakku? Anakku baik-baik saja, 'kan? Mas Aka berhasil menyelamatkan anak aku, 'kan?" tanya Hely dengan seulas senyuman. Tangannya senantiasa mengusap lembut perut ratanya.Semalam, Hely meminta tolong pada Draka untuk menyelamatkan anaknya dengan cara membawanya ke rumah sakit secepat mungkin. Jadi mengingat permintaannya itu, Hely langsung bertanya pada Draka setelah sadar."Mas? Mas Aka kenapa diam saja?" tanya Hely panik. Air matanya jatuh begitu saja dalam hitungan detik.Tiba-tiba, pintu terbuka membuat semua orang menoleh dan terpampang sosok Dokter Rani masuk ke dalam. "K
"Kau di mana, Hely? Aku mohon jangan pergi!" lirih Ze frustasi.Setelah mencari Hely di taman dan tidak menemukannya, ia lekas kembali. Mencari sang istri di setiap sudut rumahnya. Akan tetapi, ia tetap tidak menemukan istrinya. Akhirnya, ia pergi ke keluar menggunakan mobil dan mencari di sepanjang jalan. Namun seberapa jauh ia melajukan mobilnya, ia tetap tidak menemukan Hely."Yah, Dokter Rani. Pasti Hely sedang menemuinya," tebak Ze. Selain Dokter Rani dan Draka, pria itu tidak tahu Hely dekat dengan siapa.Ze langsung berbalik arah mencari Hely ke rumah sakit. Kemudian, ia lekas menemui untuk Dokter Rani yang saat ini sedang jaga malam."Kau? Kenapa kau ada di sini? Apa kau melukai Hely lagi?" tanya Dokter Rani terkejut melihat keberadaan Ze di sana."Jadi, Hely tidak datang ke sini untuk menemuimu?" Alih-alih menjawab, Ze justru balas melempar pertanyaan."Untuk apa Hely menemuiku? Kau? Apa yang kau lakukan pada Hely?" Dokter Rani menunjuk wajah Ze curiga dengan apa yang telah p
"Maafin, Ze, Pa, Ma," lirih Ze dengan kepala yang tertunduk dalam. "Maaf kau bilang?" Asilas mengeraskan rahangnya sambil menatap tajam putranya. "Maaf untuk apa, Sayang?" tanya Diana bingung. "Maaf karena Ze membunuh calon cucu Mama dan Papa sehingga Hely pergi," jawab Ze menjatuhkan kepala di lutut. Hatinya serasa diremas-remas ketika mengucapkannya. Mendengar putranya berkata seperti itu membuat Diana dan Asilas menganga terkejut. Di dunia ini, mana ada seorang ayah yang tega membunuh anaknya sendiri? Terlebih, anaknya belum terbentuk sempurna dan masih sangat-sangat kecil. "Yang benar saja, Ze. Bercandamu sangat konyol dan mama sangat tidak suka itu," ujar Diana tersenyum canggung. Sementara sang istri tidak mempercayai putranya, Asilas tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Pria itu terus menatap putranya seolah meminta agar Ze melanjutkan ucapannya. "Pa? Kenapa Papa diam saja?" protes Diana. "Diam! Biarkan Ze melanjutkan kata-katanya," sanggah Asilas menggebu. Sont
Sepeninggalnya sang ayah, Ze menenggelamkan tubuhnya ke dalam bathtub. Merasakan betapa perih seluruh tubuhnya. Terlebih sambil membayangkan perlakuannya kala itu terhadap Hely, hingga kepalanya terbentur dan berdarah. Bayangkan saja, tubuh penuh luka akibat pukulan ikat pinggang, kepala terluka karena benturan keras, tubuhnya direndam di air dingin, dan wajahnya ditenggelamkan di dalam air. Betapa menyesalnya Ze saat ini. Sepertinya, penyesalan pria itu sama sekali tidak bisa digambarkan. Setelah meratapi penyesalan, Ze lekas membersihkan diri dan menghubungi sekretarisnya. "Pak? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ayah Anda melakukan rapat dadakan dengan tema pelengseran jabatan Anda?" Belum lama sang ayah pergi, rapat umum di perusahaan sudah langsung digelar. Dulu, hal ini yang paling Ze takutkan. Akan tetapi, bukan hanya jabatan saja yang pria itu takutkan. Harta warisan dan status anak dari keluarga Chartwheel akan dicabut. Namun, sekarang hal itu tidak lebih penting daripa
"Bagaimana ini, Pa? Putra kita ... Putra kita satu-satunya koma dan tidak kunjung bangun," rengek Diana sambil menangis sesenggukan.Saat ini, Ze sedang berbaring di atas ranjang pasien di ruangan VVIP. Tubuhnya penuh dengan selang karena kecelakaan yang menimpanya. Padahal, saat itu kondisi tubuhnya sedang tidak baik. Tiba-tiba, mobilnya dihantam oleh sebuah mobil dan truk bermuatan sekaligus."Sudah tiga bulan anak kita terbaring lemah seperti ini. Seharusnya kau melakukan sesuatu karena semua ini salahmu." Diana mengguncang tubuh suaminya yang hanya diam, "Seharusnya kau bantu putramu untuk mencari Hely dan bukannya mengabaikannya," imbuh wanita itu menggebu.Diana tahu betul apa yang telah suaminya lakukan pada sang putra. Menyiksanya, memecatnya dari perusahaan, dan berencana mencoret namanya dari daftar keluarga. Selama ini ia diam karena ia pikir itu yang terbaik sebagai hukuman. Namun, melihat putranya berbaring lemah tak berdaya seperti ini membuatnya hancur."Cukup, Diana! I
Dua tahun sudah Helios menghilang tanpa kabar apa pun. Kini, setelah mendapat perawatan di rumah sakit selama berbulan-bulan, kesehatan mental Ze sudah menjadi lebih baik atau bisa dikatakan bahwa ia sudah benar-benar sembuh. Pria itu nampak lebih segar dan terlihat seperti Ze yang dulu. Bedanya, pria itu terlihat lebih sering tersenyum dan menghargai orang lain."Silahkan duduk, Pak," kata seorang wanita yang diketahui pemilik Panti Asuhan Dewi Bulan.Saat ini, Ze sedang berada di acara tahunan yang digelar oleh Panti Asuhan Dewi Bulan untuk mengucapkan terima kasih pada donatur tetap. Sebenarnya sang ayah yang diundang, tetapi sang ibu yang memintanya untuk menggantikan karena kondisi kesehatan Asilas yang sedang tidak baik. Padahal, hubungan mereka masih renggang mengingat Ze belum membawa kembali Hely pulang."Ya. Toilet sebelah mana, Bu?" Ze merasa betah berada di sana dan tiba-tiba ingin buang air kecil."Oh, toilet. Anda bisa keluar dari aula ini dan belok ke kiri. Lalu, lurus
"Aawww!" Hely menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Manik matanya pun sudah terbuka secara perlahan."Kau bangun, Sayang? Apa kepalamu sakit?" tanya Ze sambil mengusap puncak kepala istrinya.Ketika Hely pingsan, ia lekas membawanya ke klinik terdekat. Selama menunggu, pria itu memegangi tangan istrinya dan mengecupi punggung tangannya."Aku di mana?" tanya Hely mengedarkan pandangan. "Kita ada di klinik dekat pasar. Bagaimana kondisimu sekarang?" jelas Ze kembali bertanya."Aku mau pulang," kata Hely mengabaikan pertanyaan Ze."Nanti setelah kau baik-baik saja." Sejak tadi pertanyaannya diabaikan dan ia pikir keadaan Hely belum baik-baik saja. Apalagi wajahnya masih terlihat sangat pucat seolah tidak dialiri darah. Jadi, ia akan mengantar istrinya pulang setelah benar-benar sehat."Tidak, aku mau pulang saja. Lagi pula, aku cuma pusing saja dan tidak sakit apa pun," ujar Hely bersikeras. Entah mengapa, tatapan matanya terlihat berbeda ketika menatap Ze dan berbeda sekali dengan t
Entah sudah pingsan berapa lama, akhirnya Hely terbangun. Ia mengedar pandang dan melihat bahwa dirinya tengah berada di kamar Ze. Ia beranjak bangun dan mengulurkan kakinya ke bawah. Berjalan ke arah pintu dan keluar. Namun tiba-tiba, ia mencium aroma masakan yang mampu membuat perutnya keroncongan."Siapa yang memasak?" lirih Hely sambil berjalan menuruni anak tangga.Tepat di depan ruang makan, Hely melihat meja penuh dengan makanan. Lalu, ia mengedar pandang dan mendapati punggung kekar seorang pria dengan ikatan tali celemek. Tangan pria itu sibuk menggerak-gerakkan spatula di atas wajan."Kau sudah bangun, Hely?" tanya Ze lembut.Setelah mematikan kompor, Ze berbalik hendak meraih piring dan ia mendapati sang istri sedang berdiri menatapnya di depan pintu."Sebentar, yah. Aku pindahkan udang asam manis ini ke piring," lanjut pria itu.Hely hanya menatap Ze bingung. Sejak kapan pria itu pandai memasak? Kenapa gerakannya bisa selincah itu? Padahal seharusnya ia marah karena pria i