"Bagaimana ini, Pa? Putra kita ... Putra kita satu-satunya koma dan tidak kunjung bangun," rengek Diana sambil menangis sesenggukan.Saat ini, Ze sedang berbaring di atas ranjang pasien di ruangan VVIP. Tubuhnya penuh dengan selang karena kecelakaan yang menimpanya. Padahal, saat itu kondisi tubuhnya sedang tidak baik. Tiba-tiba, mobilnya dihantam oleh sebuah mobil dan truk bermuatan sekaligus."Sudah tiga bulan anak kita terbaring lemah seperti ini. Seharusnya kau melakukan sesuatu karena semua ini salahmu." Diana mengguncang tubuh suaminya yang hanya diam, "Seharusnya kau bantu putramu untuk mencari Hely dan bukannya mengabaikannya," imbuh wanita itu menggebu.Diana tahu betul apa yang telah suaminya lakukan pada sang putra. Menyiksanya, memecatnya dari perusahaan, dan berencana mencoret namanya dari daftar keluarga. Selama ini ia diam karena ia pikir itu yang terbaik sebagai hukuman. Namun, melihat putranya berbaring lemah tak berdaya seperti ini membuatnya hancur."Cukup, Diana! I
Dua tahun sudah Helios menghilang tanpa kabar apa pun. Kini, setelah mendapat perawatan di rumah sakit selama berbulan-bulan, kesehatan mental Ze sudah menjadi lebih baik atau bisa dikatakan bahwa ia sudah benar-benar sembuh. Pria itu nampak lebih segar dan terlihat seperti Ze yang dulu. Bedanya, pria itu terlihat lebih sering tersenyum dan menghargai orang lain."Silahkan duduk, Pak," kata seorang wanita yang diketahui pemilik Panti Asuhan Dewi Bulan.Saat ini, Ze sedang berada di acara tahunan yang digelar oleh Panti Asuhan Dewi Bulan untuk mengucapkan terima kasih pada donatur tetap. Sebenarnya sang ayah yang diundang, tetapi sang ibu yang memintanya untuk menggantikan karena kondisi kesehatan Asilas yang sedang tidak baik. Padahal, hubungan mereka masih renggang mengingat Ze belum membawa kembali Hely pulang."Ya. Toilet sebelah mana, Bu?" Ze merasa betah berada di sana dan tiba-tiba ingin buang air kecil."Oh, toilet. Anda bisa keluar dari aula ini dan belok ke kiri. Lalu, lurus
"Aawww!" Hely menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Manik matanya pun sudah terbuka secara perlahan."Kau bangun, Sayang? Apa kepalamu sakit?" tanya Ze sambil mengusap puncak kepala istrinya.Ketika Hely pingsan, ia lekas membawanya ke klinik terdekat. Selama menunggu, pria itu memegangi tangan istrinya dan mengecupi punggung tangannya."Aku di mana?" tanya Hely mengedarkan pandangan. "Kita ada di klinik dekat pasar. Bagaimana kondisimu sekarang?" jelas Ze kembali bertanya."Aku mau pulang," kata Hely mengabaikan pertanyaan Ze."Nanti setelah kau baik-baik saja." Sejak tadi pertanyaannya diabaikan dan ia pikir keadaan Hely belum baik-baik saja. Apalagi wajahnya masih terlihat sangat pucat seolah tidak dialiri darah. Jadi, ia akan mengantar istrinya pulang setelah benar-benar sehat."Tidak, aku mau pulang saja. Lagi pula, aku cuma pusing saja dan tidak sakit apa pun," ujar Hely bersikeras. Entah mengapa, tatapan matanya terlihat berbeda ketika menatap Ze dan berbeda sekali dengan t
Entah sudah pingsan berapa lama, akhirnya Hely terbangun. Ia mengedar pandang dan melihat bahwa dirinya tengah berada di kamar Ze. Ia beranjak bangun dan mengulurkan kakinya ke bawah. Berjalan ke arah pintu dan keluar. Namun tiba-tiba, ia mencium aroma masakan yang mampu membuat perutnya keroncongan."Siapa yang memasak?" lirih Hely sambil berjalan menuruni anak tangga.Tepat di depan ruang makan, Hely melihat meja penuh dengan makanan. Lalu, ia mengedar pandang dan mendapati punggung kekar seorang pria dengan ikatan tali celemek. Tangan pria itu sibuk menggerak-gerakkan spatula di atas wajan."Kau sudah bangun, Hely?" tanya Ze lembut.Setelah mematikan kompor, Ze berbalik hendak meraih piring dan ia mendapati sang istri sedang berdiri menatapnya di depan pintu."Sebentar, yah. Aku pindahkan udang asam manis ini ke piring," lanjut pria itu.Hely hanya menatap Ze bingung. Sejak kapan pria itu pandai memasak? Kenapa gerakannya bisa selincah itu? Padahal seharusnya ia marah karena pria i
"Kau tahu? Seharusnya kita tidak bertemu lagi. Seharusnya kau biarkan aku ketika aku tidak mengenalimu. Apa kau tahu bagaimana usahaku menghapus ingatanku tentangmu? Bagaimana kerasnya aku menghapus semua luka yang kau berikan padaku? Dan sekarang, kau membuatku mengingat semuanya dengan paksa padahal aku sudah berusaha keras menghapusnya." Hely memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Suaranya terdengar seperti orang yang hampir kehabisan napas. "Menyakitkan, sangat-sangat menyakitkan sampai-sampai rasanya aku ingin mati. Kenapa aku tidak mati saja bersama anakku? Kenapa? Kenapa aku harus hidup, tapi seperti ini?"Semenderita apa pun Hely dulu, ia tidak pernah berpikir untuk mati. Siksakan seberat apa pun, ia masih memiliki semangat untuk hidup. Akan tetapi, siksaan yang Ze berikan seolah sudah mendarah daging. Terlebih, di hari di mana pria itu membunuh calon anaknya."Maaf, maafkan aku, Hely. Aku, salah. Aku bersalah. Maafkan aku, Hely." Ze memeluk Hely dengan air mata yang bercuc
"Aku lapar. Ayo, kita makan!" celetuk Hely."Oke, ayo!" Ze menjauhkan tubuhnya dan beranjak berdiri. Lalu, merangkul bahu istrinya dan mengajaknya ke meja makan."Ngomong-ngomong, maaf karena aku sudah bersikap kasar dan membuatmu sakit hati," kata Hely merasa tidak enak."Tidak. Masakanku memang kurang enak. Mungkin karena aku baru ikut kursus memasak beberapa bulan," sanggah Ze mengecup puncak kepala sang istri.Pria itu menarik kursi dan membantu Hely duduk. Di kesempatan kedua kali ini, ia akan berusaha sebaik mungkin agar Hely tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya lagi."Tidak, kok, masakanmu enak. Aku berkata seperti itu hanya ingin membuatmu marah saja," ujar Hely menjelaskan."Baiklah, aku mengerti. Lebih baik, kita makan sekarang," balas Ze mengangguk.Pria tampan itu menyendok nasi dan lauk pauk di piring Hely. Lalu, untuk dirinya sendiri dan mulai menikmatinya. Setelah selesai sarapan, mereka bersantai di ruang santai sambil menonton televisi."Mas?" panggil Hely."Hu
"Tidak, Mas. Jangan lakukan ini, aku mohon!" lirih Hely dengan dahi yang berkerut sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Terlihat keringat sebesar biji jagung membasahi dahinya."Tidak, jangan, aku mohon!" lirih Hely lagi.Dengan nafas yang tersengal dan jantung yang tidak berdegup kencang, Hely terbangun dari tidurnya. Wanita itu terduduk sambil menoleh ke arah suaminya yang sedang tertidur pulas. Sudah satu bulan kembali bersama, Hely selalu bermimpi buruk. Setiap malam, ia akan memimpikan kejadian di mana Ze membunuh calon anaknya."Ya Tuhan!" Hely menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Wanita itu beranjak bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Berdiri di depan wastafel sambil menatap pantulan wajahnya. Lalu, menundukkan kepala dan membasuh wajah. Merasa cukup segar, ia meraih handuk kecil di lemari penyimpanan dan menyeka wajahnya. Setelah itu, ia keluar dan berencana untuk mengambil minum di dapur."Mau ke mana?" tanya Ze melihat istrinya hendak keluar kamar. Suaranya
Enam tahun kemudian "Cepat, Hely! Klien sudah lama menunggu di dalam. Bagaimana bisa kau membuat pria setampan dia menunggu terlalu lama?" kata Soraya, rekan kerja Hely yang belum lama ini bergabung.Hely merupakan seorang make up artist yang sering dipakai oleh artis-artis terkenal. Wanita itu sudah bekerja sebagai MUA sekitar lima tahun setelah lulus kursus tata rias. Awalnya, banyak orang yang meremehkannya karena hanya lulusan SMA dan hanya memiliki sertifikat kursus tata rias saja. Namun setelah menunjukkan kebolehannya, ia diterima di perusahaan Lyze Make Up Artist. Perusahaan besar yang dikenal banyak artis papan atas."Iya, Ra. Aku antar Tere dulu ke sekolah makanya telat," balas Hely sambil melangkah terburu-buru.Sejak satu minggu yang lalu, Hely mendapat tugas untuk merias wajah seorang pria yang diketahui sangat berpengaruh. Namun entah siapa orangnya, ia sama sekali tidak tahu. Padahal, seluruh karyawan di perusahaan membicarakan pria tampan yang tidak memiliki celah itu
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
"Apa kau berusaha menghindar lagi?" tanya Ze melihat sikap Hely yang lagi-lagi berusaha menghindar."Menghindar dari apa, Mas?" tanya Hely sambil mengerutkan keningnya."Kau tahu maksud dari pertanyaanku, Hely. Jadi--.""Aku tahu, Mas. Nanti siang kita akan pergi. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menghindar lagi untuk berobat," potong Hely menjelaskan.Mendengar ucapan sang istri berhasil membuat Ze menghembuskan nafas lega. Kekhawatirannya yang tidak perlu kini bisa ia enyahkan dalam sekejap mata. Sekarang, ia hanya perlu mendukung agar proses penyembuhan berjalan dengan lancar dan cepat."Terimakasih, Sayang. Sekarang, kita lihat-lihat rumah kita dulu," ujar Ze mengajak istrinya melihat-lihat rumah barunya.Sepasang suami istri itu mulai melihat-lihat di setiap sudut rumah. Dari lantai satu ke lantai dua dan melihat-lihat di area luar rumah. Sementara Teressa, gadis kecil itu berlarian ke sana kemari sambil tersenyum takjub mengagumi rumah barunya."Bunda! Cepat
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh
Hely mendadak terdiam mendengar pertanyaan yang Ze lontarkan. Tatapan matanya pun jadi tidak fokus. Bola matanya bergerak ke sana kemari."Hey, Sayang? Kenapa diam saja?" tanya Ze bingung.Alih-alih menjawab, Hely justru mengecup bibir suaminya. Berhubung Ze pria yang sudah lama tidak mendapat belaian, jadi sekali mendapat perlakuan itu membuat semangatnya bangkit dan melupakan pertanyaannya. Apalagi, ia sudah merencanakan peraduan beronde-ronde. Jadi, Ia lekas beranjak duduk dan menatap Hely dengan raut berbinar."Kenapa kau jadi tidak sabaran begini, Sayang? Apa kita perlu memulainya sekarang?" tanya Ze bersemangat.Sementara Hely masih tidak fokus. Ia masih memikirkan pertanyaan suaminya dan bagaimana harus menjawabnya. Haruskah ia berkata jujur atau terus menyembunyikan trauma yang selalu menghantui di setiap tidurnya. Namun sayangnya, Ze salah satu pria yang tidak memiliki kepekaan. Ia justru langsung merenggut bibir dan mengungkung tubuh Hely."Kau ingat apa yang kau katakan tad
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa