"Maafin, Ze, Pa, Ma," lirih Ze dengan kepala yang tertunduk dalam. "Maaf kau bilang?" Asilas mengeraskan rahangnya sambil menatap tajam putranya. "Maaf untuk apa, Sayang?" tanya Diana bingung. "Maaf karena Ze membunuh calon cucu Mama dan Papa sehingga Hely pergi," jawab Ze menjatuhkan kepala di lutut. Hatinya serasa diremas-remas ketika mengucapkannya. Mendengar putranya berkata seperti itu membuat Diana dan Asilas menganga terkejut. Di dunia ini, mana ada seorang ayah yang tega membunuh anaknya sendiri? Terlebih, anaknya belum terbentuk sempurna dan masih sangat-sangat kecil. "Yang benar saja, Ze. Bercandamu sangat konyol dan mama sangat tidak suka itu," ujar Diana tersenyum canggung. Sementara sang istri tidak mempercayai putranya, Asilas tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Pria itu terus menatap putranya seolah meminta agar Ze melanjutkan ucapannya. "Pa? Kenapa Papa diam saja?" protes Diana. "Diam! Biarkan Ze melanjutkan kata-katanya," sanggah Asilas menggebu. Sont
Sepeninggalnya sang ayah, Ze menenggelamkan tubuhnya ke dalam bathtub. Merasakan betapa perih seluruh tubuhnya. Terlebih sambil membayangkan perlakuannya kala itu terhadap Hely, hingga kepalanya terbentur dan berdarah. Bayangkan saja, tubuh penuh luka akibat pukulan ikat pinggang, kepala terluka karena benturan keras, tubuhnya direndam di air dingin, dan wajahnya ditenggelamkan di dalam air. Betapa menyesalnya Ze saat ini. Sepertinya, penyesalan pria itu sama sekali tidak bisa digambarkan. Setelah meratapi penyesalan, Ze lekas membersihkan diri dan menghubungi sekretarisnya. "Pak? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ayah Anda melakukan rapat dadakan dengan tema pelengseran jabatan Anda?" Belum lama sang ayah pergi, rapat umum di perusahaan sudah langsung digelar. Dulu, hal ini yang paling Ze takutkan. Akan tetapi, bukan hanya jabatan saja yang pria itu takutkan. Harta warisan dan status anak dari keluarga Chartwheel akan dicabut. Namun, sekarang hal itu tidak lebih penting daripa
"Bagaimana ini, Pa? Putra kita ... Putra kita satu-satunya koma dan tidak kunjung bangun," rengek Diana sambil menangis sesenggukan.Saat ini, Ze sedang berbaring di atas ranjang pasien di ruangan VVIP. Tubuhnya penuh dengan selang karena kecelakaan yang menimpanya. Padahal, saat itu kondisi tubuhnya sedang tidak baik. Tiba-tiba, mobilnya dihantam oleh sebuah mobil dan truk bermuatan sekaligus."Sudah tiga bulan anak kita terbaring lemah seperti ini. Seharusnya kau melakukan sesuatu karena semua ini salahmu." Diana mengguncang tubuh suaminya yang hanya diam, "Seharusnya kau bantu putramu untuk mencari Hely dan bukannya mengabaikannya," imbuh wanita itu menggebu.Diana tahu betul apa yang telah suaminya lakukan pada sang putra. Menyiksanya, memecatnya dari perusahaan, dan berencana mencoret namanya dari daftar keluarga. Selama ini ia diam karena ia pikir itu yang terbaik sebagai hukuman. Namun, melihat putranya berbaring lemah tak berdaya seperti ini membuatnya hancur."Cukup, Diana! I
Dua tahun sudah Helios menghilang tanpa kabar apa pun. Kini, setelah mendapat perawatan di rumah sakit selama berbulan-bulan, kesehatan mental Ze sudah menjadi lebih baik atau bisa dikatakan bahwa ia sudah benar-benar sembuh. Pria itu nampak lebih segar dan terlihat seperti Ze yang dulu. Bedanya, pria itu terlihat lebih sering tersenyum dan menghargai orang lain."Silahkan duduk, Pak," kata seorang wanita yang diketahui pemilik Panti Asuhan Dewi Bulan.Saat ini, Ze sedang berada di acara tahunan yang digelar oleh Panti Asuhan Dewi Bulan untuk mengucapkan terima kasih pada donatur tetap. Sebenarnya sang ayah yang diundang, tetapi sang ibu yang memintanya untuk menggantikan karena kondisi kesehatan Asilas yang sedang tidak baik. Padahal, hubungan mereka masih renggang mengingat Ze belum membawa kembali Hely pulang."Ya. Toilet sebelah mana, Bu?" Ze merasa betah berada di sana dan tiba-tiba ingin buang air kecil."Oh, toilet. Anda bisa keluar dari aula ini dan belok ke kiri. Lalu, lurus
"Aawww!" Hely menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Manik matanya pun sudah terbuka secara perlahan."Kau bangun, Sayang? Apa kepalamu sakit?" tanya Ze sambil mengusap puncak kepala istrinya.Ketika Hely pingsan, ia lekas membawanya ke klinik terdekat. Selama menunggu, pria itu memegangi tangan istrinya dan mengecupi punggung tangannya."Aku di mana?" tanya Hely mengedarkan pandangan. "Kita ada di klinik dekat pasar. Bagaimana kondisimu sekarang?" jelas Ze kembali bertanya."Aku mau pulang," kata Hely mengabaikan pertanyaan Ze."Nanti setelah kau baik-baik saja." Sejak tadi pertanyaannya diabaikan dan ia pikir keadaan Hely belum baik-baik saja. Apalagi wajahnya masih terlihat sangat pucat seolah tidak dialiri darah. Jadi, ia akan mengantar istrinya pulang setelah benar-benar sehat."Tidak, aku mau pulang saja. Lagi pula, aku cuma pusing saja dan tidak sakit apa pun," ujar Hely bersikeras. Entah mengapa, tatapan matanya terlihat berbeda ketika menatap Ze dan berbeda sekali dengan t
Entah sudah pingsan berapa lama, akhirnya Hely terbangun. Ia mengedar pandang dan melihat bahwa dirinya tengah berada di kamar Ze. Ia beranjak bangun dan mengulurkan kakinya ke bawah. Berjalan ke arah pintu dan keluar. Namun tiba-tiba, ia mencium aroma masakan yang mampu membuat perutnya keroncongan."Siapa yang memasak?" lirih Hely sambil berjalan menuruni anak tangga.Tepat di depan ruang makan, Hely melihat meja penuh dengan makanan. Lalu, ia mengedar pandang dan mendapati punggung kekar seorang pria dengan ikatan tali celemek. Tangan pria itu sibuk menggerak-gerakkan spatula di atas wajan."Kau sudah bangun, Hely?" tanya Ze lembut.Setelah mematikan kompor, Ze berbalik hendak meraih piring dan ia mendapati sang istri sedang berdiri menatapnya di depan pintu."Sebentar, yah. Aku pindahkan udang asam manis ini ke piring," lanjut pria itu.Hely hanya menatap Ze bingung. Sejak kapan pria itu pandai memasak? Kenapa gerakannya bisa selincah itu? Padahal seharusnya ia marah karena pria i
"Kau tahu? Seharusnya kita tidak bertemu lagi. Seharusnya kau biarkan aku ketika aku tidak mengenalimu. Apa kau tahu bagaimana usahaku menghapus ingatanku tentangmu? Bagaimana kerasnya aku menghapus semua luka yang kau berikan padaku? Dan sekarang, kau membuatku mengingat semuanya dengan paksa padahal aku sudah berusaha keras menghapusnya." Hely memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Suaranya terdengar seperti orang yang hampir kehabisan napas. "Menyakitkan, sangat-sangat menyakitkan sampai-sampai rasanya aku ingin mati. Kenapa aku tidak mati saja bersama anakku? Kenapa? Kenapa aku harus hidup, tapi seperti ini?"Semenderita apa pun Hely dulu, ia tidak pernah berpikir untuk mati. Siksakan seberat apa pun, ia masih memiliki semangat untuk hidup. Akan tetapi, siksaan yang Ze berikan seolah sudah mendarah daging. Terlebih, di hari di mana pria itu membunuh calon anaknya."Maaf, maafkan aku, Hely. Aku, salah. Aku bersalah. Maafkan aku, Hely." Ze memeluk Hely dengan air mata yang bercuc
"Aku lapar. Ayo, kita makan!" celetuk Hely."Oke, ayo!" Ze menjauhkan tubuhnya dan beranjak berdiri. Lalu, merangkul bahu istrinya dan mengajaknya ke meja makan."Ngomong-ngomong, maaf karena aku sudah bersikap kasar dan membuatmu sakit hati," kata Hely merasa tidak enak."Tidak. Masakanku memang kurang enak. Mungkin karena aku baru ikut kursus memasak beberapa bulan," sanggah Ze mengecup puncak kepala sang istri.Pria itu menarik kursi dan membantu Hely duduk. Di kesempatan kedua kali ini, ia akan berusaha sebaik mungkin agar Hely tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya lagi."Tidak, kok, masakanmu enak. Aku berkata seperti itu hanya ingin membuatmu marah saja," ujar Hely menjelaskan."Baiklah, aku mengerti. Lebih baik, kita makan sekarang," balas Ze mengangguk.Pria tampan itu menyendok nasi dan lauk pauk di piring Hely. Lalu, untuk dirinya sendiri dan mulai menikmatinya. Setelah selesai sarapan, mereka bersantai di ruang santai sambil menonton televisi."Mas?" panggil Hely."Hu