New York Downtown Hospital
09.30 AmAyana berjalan dengan mantap menuju ruang kerjanya yang ada di lantai 5. Beberapa suster menyapa dan melempar senyum padanya namun gadis itu hanya membalasnya dengan anggukan singkat. Ayana ini memang terkenal cukup angkuh di kalangan rekan kerja. Meski begitu dia bisa jadi sangat kooperatif jika menyangkut hal kerjaan. Sikapnya pada para pasien juga ramah, tipikal dokter yang disukai para pasien.
"Selamat pagi dokter Ayana," sapa wanita kaukasoid dalam bahasa Inggris yang fasih, wanita itu baru saja memasuki ruang kerja Ayana. Selang tiga menit setelah Ayana mengenakan jas putihnya.
"Oh ya Jenny, apa yang lainnya sudah bersiap?" tanya Ayana tanpa membalas sapaan Jenny.
"Bersiap untuk apa ya, Dok?" tanya Jenny awalnya bingung.
Setelah itu ia pun membuka mulutnya lebar, membentuk huruf A. Mulai mengerti arah pembicaraan yang sedang dibangun oleh ketua timnya ini.
"Apa maksudmu bertanya begitu? Hari ini kita ada jadwal operasi Tuan Janson, kan? Aku tanya bagaimana persiapannya, sudah siap semua?”
Jenny menunduk takut. Jantungnya berdegup kencang, rasanya tak sanggup untuk menceritakan kebenaran yang ada terkait operasi itu. Ini terlalu berisiko, Jenny tidak ingin mati muda di rumah sakit ini dengan cara yang konyol.
"Ada yang salah dengan pertanyaanku? Kenapa reaksimu seperti orang bingung begitu, coba jelaskan ada apa? Ada masalah?”
Jenny menggeleng pelan, “Sebenarnya tidak ada masalah apa-apa Dok, hanya saja ...” keraguan datang lagi, Jenny kesulitan merampungkan kalimatnya.
"Aku sedang menunggu penjelasanmu, dokter Jenny Wilson!” tegas Ayana dengan kaki menyentak—memberi peringatan.
“Semua persiapan operasi sudah selesai, Dok, hanya saja bukan kita yang akan melakukan operasi itu.”
“Bagaimana bisa bukan kita? Jelas-jelas Tuan Janson adalah pasien kita.”
"Dokter Harold sudah memutuskan untuk mengganti tim yang akan mengoperasi pasien VIP itu," tukas Robert menimpali, sekaligus menjawab pertanyaan yang tak bisa dijawab Jenny.
Pria berusia 29 yang juga rekan kerja Ayana. Ia baru saja memasuki ruangan Ayana, beberapa kali Robert mengetuk pintu namun tak ada yang menyahut. Walau ragu, pemuda itu akhirnya memutuskan masuk tanpa persetujuan.
"Apa?! Kalian serius?” sentak Ayana.
"Setahuku begitu, Dok. Untuk mengonfirmasinya Anda bisa menemui dokter Harold.”
"Kenapa tidak ada yang memberitahuku tentang ini sebelumnya?" Ayana menggeram berat. Bibirnya terkatup berusaha menelan kesal.
"Kami juga baru mendengar kabar itu barusan, Dok," jawab Jenny singkat. Bicara seperlunya, hanya itu yang harus Jenny lakukan sekarang.
"Ahh, rupanya mereka ingin main api dengan kita."
"Maybe yes or maybe not, aku tidak yakin," sahut Robert tanpa sadar, sontak pemuda bermata biru itu mengatupkan mulutnya rapat. Ia berjalan mendekati Jenny lalu menyimpan map tadi di meja kerja Ayana.
"Ini pelanggaran! Sejak awal Tuan Janson adalah pasienku, pasien kita. Mereka tidak bisa seenaknya merebut pasien kita."
"Siapa dokter pengganti yang diutus dokter Harold untuk menangani operasi Tuan Janson?" tanya Ayana murka, semburat merah padam bermunculan tak terkendali dari pipi mulusnya.
"Aku tidak yakin Anda sanggup mendengar namanya, Dok," ujar Robert yang disetujui oleh anggukan Jenny.
Ayana terdiam, ia memutar otaknya cepat, gadis itu mendengus jengkel setelah menemukan satu nama yang terpampang dalam benaknya. Nama itu benar-benar menjadi musuh terbesarnya dalam hal apa pun. Nama sialan, yang selalu merusak suasana suka di hati Ayana. Kerap merenggut apa yang seharusnya dia miliki. Nama yang sangat ingin ia musnahkan dari muka bumi ini.
"Damn, Andares!" bentak Ayana tiba-tiba.
Tatapan murka itu tak sedetik pun menyingkir dari mata Ayana. Kesal, kecewa, dan marah membaur satu. Kesal, saat mendengar dokter lain menggantikannya untuk mengoperasi Tuan Janson. Kecewa pada dokter Harold yang sudah bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan. Marah, karena ternyata Andres adalah orang yang menggantikan dirinya. Benar-benar sial, Ayana merasa hari ini Tuhan tidak mengizinkannya untuk merasa sedikit tenang. Langkah tak sabar Ayana menunjukkan bahwa gadis itu ingin segera menuntaskan permasalahan ini dengan Andres. Pecundang itu selalu bisa membuat darah Ayana mendidih. Gadis itu sama sekali tidak memedulikan tatapan heran orang-orang. terserah jika orang mau menyebutnya kejam, angkuh, atau jahat sekali pun. Tujuan Ayana kali ini hanya dua yaitu, meminta penjelasan pada dokter Harold dan ingin memberi peringatan pada si pencuri pasien. "Kali ini kamu harus benar-benar mati, Andares!" umpat Ayana sebelum membuka pintu. Ayana sudah ti
Lima menit berlalu, akhirnya Ayana tiba di ruang kontrol operasi yang berada di lantai sepuluh. Beberapa dokter sudah siap mengamati proses operasi Tuan Janson di ruangan itu."Dokter Harold, kita harus bicara," tukas Ayana mengalihkan perhatian orang-orang ketika ia menghampiri dr. Harold."Dokter Ayana, kenapa kamu masih di sini?" Kaget dokter Harold sontak membuat Ayana mengernyit."Operasinya sebentar lagi akan dimulai. Sebaiknya kamu cepat bersiap!"Segala pertanyaan yang telah disiapkan Ayana menguap. Mungkinkah dokter Harold sedang mempermainkannya?""Apa maksud Anda?" tanya Ayana bingung."Seharusnya kamu sudah masuk ke ruangan itu dan melakukan tugasmu. Kenapa kamu masih di sini?”“Justru itu yang ingin saya tanyakan pada Anda, Dokter. Apa-apaan ini, kenapa Anda menggantikan saya dengan dokter Andres tanpa pemberitahuan apa pun sebelumnya.”“Kita bicarakan masalah itu nanti, sekarang cepat kamu
"Maaf Dok, semua ini memang salah saya."Ayana menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Ayana tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya. Ayana sedang berada di ruang kerja dokter Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang."Duduklah dokter Ayana,” titah dokter Harold ramah.Pria berambut ikal halus ini memang terkenal ramah. Semarah apa pun atau sebesar apa pun rasa kecewanya terhadap seseorang, ia tidak pernah menunjukkannya secara gamblang. Semampunya dokter Harold selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Ayana tergelak, ia menuruti perintah dokter Harold untuk duduk meski ragu."Sekali lagi maafkan saya.""Jika kamu menyesal, ubahlah sifat burukmu itu Ayana."Dokter Harold meletakan kedua tangan kekarnya di ata
"Sudah lama?" tanya Ayana menghampiri Willy."Belum, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Ayana."Willy mulai menggombal, Ayana tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya. Willy mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Ayana kemudian merengkuh kekasihnya erat."Ahh, aku rindu sekali pelukan wanita manja ini," tutur Willy, menyimpan dagunya pada puncak kepala Ayana."Aku juga rindu kamu,Wil. Kamu tahu, akhir-akhir ini Andres kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," rajuk Ayana sambil mengeratkan pelukannya.Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka."Dia memang menarik, aku jadi ingin kenal lebih dekat dengannya.”"Itu ide tergila yang pernah aku dengar. Sebaiknya kamu tarik kata-katamu barusan,Wil. Kamu pasti menyesal.""Kenapa?
"Kamu masih kesal padanya?" tanya Willy.Saat ini ia dan Ayana sedang berada dalam perjalanan pulang. Setelah sebelumnya pasangan kekasih itu sempat meluangkan waktu mereka untuk makan malam di restoran langganan mereka yang ada di kawasan Soho, Manhattan."Tentu, dia pasti merekam kita saat ciuman tadi,Wil. Bagaimana kalau dia menyebarkan foto atau video ciuman kita? Aku harus bagaimana?”"Tidak usah dipikirkan, tenang saja, semua itu tidak akan terjadi. Dokter Andres tidak akan melakukannya.""Kamu tidak tahu saja betapa menyebalkannya pria itu, dia orang sinting yang rela melakukan apa saja demi melihatku kesulitan.""Dokter Andres benar, sepertinya kamu memang tahu banyak tentangnya.”"Oh God, jangan bilang kamu cemburu padanya,Wil?""Jika benar, memangnya kenapa?"Ayana terkekeh geli. Wanita itu tidak habis pikir bagaimana bisa Willy cemburu akan hubungan uniknya dengan Andres. Ini seperti
Willy Tolimson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang di San Capital Corporation, perusahaan milik keluarganya. Ia menjabat sebagaimanajer keuangan di sana. Terlahir dari pasangan Calvin Tolimson dan Dyana, membuat kehidupan Willy begitu diberkati dengan materi yang melimpah. Sejak kecil pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Willy justru sangat menikmati kehidupannya. Ia mencintai keluarganya, juga segala aturan yang berlaku di sana. Terlepas dari segala kesenangan hidup yang Willy punya, pria itu tengah menatap kertas undangan pernikahannya dengan lekat. Ia memejamkan mata dan menghempaskan tubuhnya ke sebuah sofa panjang yang ada diruang kerja pribadinya."Apa yang harus kulakukan?" desahnya frustrasi.Menjelang hari pernikahan yang tinggal satu minggu lagi suasana
"Selamat pagi," sapa beberapa penghuni di ruang kerja tim satu departemen HPB.Mereka menyambut Ayana dengan baik meski ada beberapa yang tak menganggap kehadirannya. Ayana tersenyum kikuk. Ia belum terbiasa bekerja di tim itu walau sudah satu minggu ia bergabung di sana."Dokter Ayana, katanya minggu depan dokter akan menikah, ya?” tanya Gerald, salah seorang dokter di sana."Iya, benar. Kalian mau datang?" tanya Ayana mencoba seramah mungkin.“Bolehkah? Kalau tidak keberatan tentu kami mau datang ke pernikahan Anda, Dok,” sahut Gerald langsung disepakati tiga rekannya yang ada di sana, mereka juga tertarik untuk datang ke pernikahan Ayana.“Tentu saja boleh, nanti aku berikan undangan pada kalian, tunggu saja. Oh ya, dokter Andres mana?” tanya Ayana tiba-tiba membuat tiga orang di sana saling tatap heran.Kabar perseteruan Ayana dan Andres sangat melegenda di rumah sakit itu, jadi wajar kalau setiap departemen
Ayana sedang sibuk menyiapkan acara pernikahannya. Mulai dari vendor, EO, dekorasi, dan hal-hal terkecil untuk pernikahannya diatur oleh gadis itu. Willy dan orang tuanya sedang ada di Indonesia, tiga hari sebelum pernikahan Willy pamit ke Indonesia pada Ayana untuk mengurus bisnis di sana.Sejauh ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana, tidak ada kendala berarti yang memusingkan sang empunya hajat. Jika dipersentasekan mungkin persiapan pernikahan Ayana sudah mencapai angka 95%. Ayana sangat bahagia, tidak menyangka jika hubungannya dengan Willy yang baru berjalan satu tahun ini bisa berujung di pelaminan. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi istri yang baik untuk Willy. Kepala gadis itu sudah dipenuhi oleh rencana-rencana indah yang siap ia realisasikan usai menyandang status sebagai istri sah Willy Tolimson.Sudah satu minggu Ayana tidak berhubungan dengan Willy. Rencananya Willy dan keluarga baru akan terbang ke New York besok pagi. Mengingat acara per
Butir-butir salju melayang di udara bagai dendelion yang tertiup angin. Mendarat dengan tenang di setiap tempat sedikit demi sedikit hingga menciptakan tumpukan yang menggunung menutupi badan jalan. Gundukan putih itu bertengger di atap-atap gedung dan menyampir pada dahan pepohonan. Secangkir cokelat panas tersaji di atas meja, bersebelahan dengan laptop, tumpukan berkas-berkas dan peralatan kerja lainnya. Kepulan asap putih mengudara, meliuk dengan lihai menuju rongga hidung seseorang yang tengah menatap lekat turunnya salju pertama dari balik kaca besar yang menjadi dinding ruangan di lantai dua belas itu. Orang itu kemudian memejamkan mata, menghirup aroma harum dari minumannya yang terus menggodanya untuk beralih tempat. Dan meminum cokelat hangat yang tersimpan di belakangnya itu. Tapi tidak, ia belum mau beranjak dari tempatnya. Tangan orang itu masih disimpan di atas perut, helaan napas terembus tepat di depan kaca itu hingga menimbulkan embun yang mengendap. Membuat kaca men
Flashback ..."Hei tunggu!" cegah Andres saat dia mendapati Ayana ingin menghindarinya lagi. Ayana berhenti dengan tangan terangkat seperti penjahat yang menyerah saat dikepung polisi. Andres berjalan mendekati Ayana, ia berdiri di hadapan gadis itu."Hm ... kamu menghindariku lagi?" dakwa Andres berlaga marah sambil melipat tangannya di atas perut."Ti-tidak, mungkin hanya perasaan Sunbae saja," jawab Ayana gelagapan dan menutup perkataannya dengan nyengir kuda. Andres menyelidik, ia menaruh curiga yang cukup besar pada dokter junior itu."Kamu pikir aku bodoh?""Tidak, kamu sangat pintar, Kak! Ups," jawab Ayana menyentak, refleks ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya."Ck, lihat wajahmu memerah!""Kamu malu?" goda Andres elegan."TIDAK!" bentak Ayana lantang kali ini kedua tangannyalah yang sudah membungkam mulut lo
Flashback "Kamu sayang pada Ibu?"Andres mengangguk pasti dengan senyum cerah. Seminggu setelah kepergian ayahnya, Andres meminta kakek Jo untuk membawanya ke rumah Gyana Tolimson. Semula kakek Jo melarang Andres dan bersikeras tidak mau memberitahu keberadaan ibu Andres. Tapi anak itu tak lelah membujuk kakek Jo hingga hati lembut kakek itu luluh dan menyetujui keinginan Andres. Dan di sinilah dia sekarang, berdiri di depan ibu kandungnya yang sudah sembilan tahun tidak ia lihat. Hari ini adalah hari ulang tahun Andres yang ke sembilan. Bertemu dengan ibunya menjadi kado terindah di tengah bayang-bayang kesedihan setelah Hendra pergi."Aku merindukanmu, Ibu. Aku sangat menyayangimu sama seperti aku menyayangi Ayah.""Kalau begitu kamu rela melakukan apapun untuk Ibu?"Andres mengangguk lagi dan ibunya pun tersenyum nanar. Wanita itu mengelus puncak kepala Andres lalu mencium kening
Tiga bulan kemudian ...Langkah cepat kedua kaki Willy membawa tubuh pria itu terhuyung tidak stabil saat berlari. Beberapa orang yang tertabrak olehnya mengeluh, akan tetapi Willy tidak menghiraukannya. Pria itu masih menggenggam sepucuk surat yang diberikan Ayana, saat pria itu mengunjunginya tadi. Gadis itu mengatakan sesuatu yang sulit diterima nalar. Sesuatu yang mustahil dan terdengar gila. Akhirnya pria itu tiba di konter informasi rumah sakit, ada sesuatu yang harus ia tanyakan di sini. Pria bernama Kevin membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak dengan lelucon tidak masuk akal yang ia buat."Aku ingin mengetahui profil pendonor sumsum tulang belakang dari pasien Willy yang melakukan operasi beberapa waktu lalu," pinta Willy langsung tanpa basa-basi."Boleh tahu ini dengan tuan siapa?""Aku Willy, pasien yang menerima donor itu. Cepat carikan informasinya untukku!""Baiklah, mohon tunggu sebentar."Perawat itu pun meme
TeruntukAyana Jasmine, istriku.(Ah, mungkin saat kamu membaca surat ini kamu telah resmi menjadi mantan istriku. Bagaimana, apa kamu sudah menandatangani surat perceraian kita?)Dada Ayana sesak, pertanyaan Andres kembali menggores satu garis luka dalam hatinya. Air mata itu mengalir ke samping pipi, posisi berbaring Ayana yang menyebabkannya.(Atau mungkin dugaanku salah? Jika seandainya surat ini sampai padamu, itu berarti sesuatu yang buruk sedang menimpamu. Dan aku harus menjadi orang pertama yang patut kau bunuh. Jika keadaan buruk itu tak kunjung usai. Ayana ... astaga aku bingung harus menulis apa. Aku tidak biasa melakukan hal menggelikansepertiini. Tapi aku akan tetap mencobanya. Baiklah, pertama aku akan jujur padamu. Aku melihatnya, melihat kejadian yang membuat dadaku tertusuk meski tidak mengeluarkan darah.Tapi rasanya sungguh perih.)(Saat kamu memeluk dan mencium Willy, aku menyaksikan
Air mata Ayana tidak berhenti menetes sejak satu jam lalu sampai sekarang. Matanya menatap kosong pada selembar kertas yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Kakek Jo berdiri dengan gusar sambil memegangi gagang telepon. Amarahnya selalu meledak saat operator memberi pemberitahuan bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak aktif. Juno memeluk ibunya takut melihat kemarahan sang kakek buyut. Suara cegukan Yena yang sedang menangis terdengar begitu keras. Gadis itu menangis di samping Ayana sambil memeluk ibu tirinya erat.Berulang kali Yena meminta Ayana untuk tidak menangis. Menyuruh wanita cantik itu untuk bicara namun Ayana terus membisu bersama dengan linangan air mata. Hal itu membuat Yena sedih, gadis kecil itu turut merasakan luka ibu tirinya. Surat perceraian yang sudah ditanda tangani Andres terus melambai-lambai, menggoda Ayana untuk segera merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Lebih dari itu, hati Ayana menginterupsi untuk segera membakarnya hingga musnah.
Satu minggu kemudian ..."Kamu yakin dengan keputusan ini?""Aku tidak pernah seyakin ini."Kevin mendesah kasar, pria yang memiliki bibir tipis itu menarik surai pendeknya frustrasi."Lalu bagaimana dengan Yena dan Ayana?" Andres tersenyum getir, ribuan hal berputar dalam benaknya saat ini. Pria itu sudah menimbang keputusan selama satu pekan dan ini adalah hasil akhirnya."Mereka akan hidup dengan bahagia, tentu saja." Andres berjalan ke arah lemari pakaiannya, melanjutkan kegiatan berkemas yang memang sedang ia lakukan sejak tadi sampai Kevin datang untuk mengusiknya."Jika begini terus kamu akan benar-benar kehilangan Ayana. Kamu tahu?""Oleh sebab itulah aku melakukan ini."Kevin terlampau kesal, ia menarik koper Andres lalu membuangnya sembarangan. Baju-baju dan beberapa barang Andres berserakan di lantai, sang empunya barang hanya mematung sambil memutar bola matanya pasrah."Ada apa deng
"Bagaimana kamu sudah mengambil keputusan?""Belum, aku masih mempertimbangkannyadokterHarold.""Kalau begitu, minta pendapat Ayana. Oh, tunggu, jangan bilang jika kau belum memberitahunya tentang hal ini?""Begitulah.""Sudah kuduga. Haruskah aku yang menjelaskannya pada Ayana?""Tidak, jangan pernah. Serahkan saja padaku. Maaf karena membuatmu terlalu lama menunggu.""Aku harus segera merekap semua anggota yang ikut Bum. Pastikan kau segera mengabariku, tolong garis bawahi 'secepatnya'.""Baiklah."Plip"Huh,timingyang sangat tepat," desah Andres setelah mengakhiri panggilan itu."Sekarang bagaimana, Astaga!" pekik Andres terkejut saat seorang wanita menabraknya tanpa sengaja hingga membuat ponsel yang dipegangnya terjatuh. Wanita yang tadi berjalan begitu tergesa itu langsung menurunkan posisinya dan meraih ponsel Andres."Maafkan aku anak muda. Sun
Tubuh pria itu masih terbaring kaku di atas ranjang dengan selang infus yang menjuntai dari atas tiang penyangga dan mendarat di sekitar pergelangan tangan Willy. Ayana menutup pintu itu hati-hati karena tidak ingin membangunkan Willy yang masih memejamkan matanya dengan damai. Jarak dari pintu masuk dan ranjang pasien hanya berkisar tiga meter saja, tapi entah mengapa bagi Ayana itu terlalu jauh. Ia berjalan dengan peluh dan air mata yang bercucuran. Lembaran-lembaran masa-masa indah dengan pria itu kembali terbuka. Penyesalan menjadi perasaan yang merajai hatinya.Tangan gemetar Ayana terangkat untuk menyentuh pipi tirus yang menonjolkan tulang-tulang sekitar area itu. Satu tetes air mata kembali terjun, dulu pipi itu sangat berisi dan menjadi sasaran empuk untuk Ayana cubiti. Tanpa sengaja Ayana menyentuh lalu mengelus pipi itu, pergerakan tangan Ayana mengusik lelap Willy. Hingga akhirnya ia tersadar dan sangat terkejut ketika disuguhi mimpi yang teramat indah. Kehadiran