Lima menit berlalu, akhirnya Ayana tiba di ruang kontrol operasi yang berada di lantai sepuluh. Beberapa dokter sudah siap mengamati proses operasi Tuan Janson di ruangan itu.
"Dokter Harold, kita harus bicara," tukas Ayana mengalihkan perhatian orang-orang ketika ia menghampiri dr. Harold.
"Dokter Ayana, kenapa kamu masih di sini?" Kaget dokter Harold sontak membuat Ayana mengernyit.
"Operasinya sebentar lagi akan dimulai. Sebaiknya kamu cepat bersiap!"
Segala pertanyaan yang telah disiapkan Ayana menguap. Mungkinkah dokter Harold sedang mempermainkannya?"
"Apa maksud Anda?" tanya Ayana bingung.
"Seharusnya kamu sudah masuk ke ruangan itu dan melakukan tugasmu. Kenapa kamu masih di sini?”
“Justru itu yang ingin saya tanyakan pada Anda, Dokter. Apa-apaan ini, kenapa Anda menggantikan saya dengan dokter Andres tanpa pemberitahuan apa pun sebelumnya.”
“Kita bicarakan masalah itu nanti, sekarang cepat kamu masuk ke ruang operasi. Sebentar lagi operasinya akan dimulai.”
"Maksud Anda, saya harus melakukan operasi bersama dokter Andres?”
"Iya, kamu dan dokter Andres akan bekerja sama dalam operasi kali ini. Sudah jelas bukan? Sekarang cepat lakukan tugasmu dengan baik."
Kegilaan apa lagi ini? Aku harus satu ruangan dengan dokter sialan itu? Yang benar saja, cih.
"Tapi Dok, saya—"
"Jangan membantah, singkirkan egomu dan bekerjalah dengan profesional. Saya tidak ingin kamu melibatkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Kamu tidak ingin dicap sebagai dokter yang tidak profesional bukan?"
Ayana diam tertunduk, serangan dr. Harold membuatnya kalah telak.
"Jangan merusak kredibilitasmu sebagai seorang dokter, Ayana. Kamu adalah salah satu dokter terpilih, jadi lakukan apa yang harus kamu lakukan sekarang juga."
Meski awalnya Ayana enggan menerima keputusan ini, namun semua perkataan dokter Harold benar. Ini perkara nyawa seseorang, sumpah jabatan sudah ia kumandangkan beberapa tahun silam. Ayana tidak boleh melalaikan tugas hanya karena perasaan pribadi. Dengan terpaksa Ayana harus melupakan sejenak kekesalannya terhadap Andres. Menenggelamkan emosi dan menjunjung tinggi rasa tanggung jawab.
Demi kelancaran operasi, sekali saja. Kamu bisa menghadapinya sekali ini saja, Ayana.
"Baiklah, saya permisi."
***
"Tiga tahun," tukas Andres saat Ayana sudah berdiri di seberang ranjang operasi, tempat pasien yang sudah dibius total terbaring.
Gadis itu sudah mengenakan pakaian operasi seperti yang dikenakan semua rekannya di tempat itu. Ia mendelik ke arah Andres, tampak tak mengerti maksud celetukan aneh pria itu. Beberapa perawat di ruangan tersebut bergeming, membiarkan Andres menyambut kehadiran rival abadinya sebelum operasi benar-benar dimulai.
"Tiga tahun berlalu sejak perkenalan kita. Akhirnya kita bertemu di sini, melakukan operasi bersamaku adalah mimpi terbesarmu, kan, dokter Ayana?" lanjut Andres memamerkan senyum khas andalannya.
Lampu bundar berukuran cukup besar itu sudah dinyalakan, mengarahkan cahayanya langsung pada tubuh pasien.
"Jangan banyak bicara, mari kita mulai operasinya," balas Ayana yang ingin fokus pada pasiennya.
"Tentu, kita akan segera melakukannya," sahut Andres santai, "Namun ada satu hal yang perlu kamu ingat, di sini akulah pemimpinnya! Jadi bersikaplah dengan baik, jangan banyak membantah, nanti aku pusing,” pinta Andres ditingkahi senyum mengejek.
“Bisa tidak, sekali ... saja kamu jangan menyulut emosiku?”
"Tanda vital?" tanya Andres pada Lucas, seorang perawat yang membantu jalannya operasi kali ini. Andres sama sekali tak mengindahkan pertanyaan Ayana.
"Bp 120 lebih dari 60, denyut jantung 88 dan tingkat kejenuhan O2 pada 98%," jelas Lucas merinci keadaan vital pasien berdasarkan apa yang tertera di monitor dan berbagai macam alat medis di sana.
Andres mengangguk paham, kemudian menatap Ayana dengan serius. Tidak ada lagi candaan bodoh dari pria itu. Ia mulai berperan sebagai dokter yang sesungguhnya.
"Kita akan mulai operasi pengangkatan tumor Pankreas pada pasien Janson Smith sekarang," tutur Andres, disetujui oleh anggukan Ayana dan petugas lainnya.
"Pisau bedah !" ujar Andres meminta pisau bedah.
Setelah senjata utama sudah ada di tangannya, pria itu mulai menekan pelan bagian permukaan perut Tuan Janson, memilah bagian yang tepat untuk ia bedah menggunakan senjata medis itu. Ayana belum melakukan pergerakan, gilirannya belum tiba. Ia hanya memperhatikan aksi rivalnya yang kentara mahir saat melakukan hal semacam ini. Tentu saja Andares adalah seorang dokter spesialis bedah, apalagi yang mesti diragukan.
Andres merobek kulit luar perut Tuan Janson dengan hati-hati, menarik garis vertikal pisau bedah tersebut secara perlahan hingga rembesan darah pun keluar. Dengan tingkat konsentrasi tinggi Andres menggerakkan pisau bedah itu, menusuk perut Tuan Janson lebih dalam untuk membelah perut pasien dan kegiatan inti dari operasi ini pun bisa segera dilakukan. Segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Ketenangan Andres membawa atmosfer sejuk dalam ruangan itu. Andres terus mengoyak lapisan daging pada perut pasien, hingga tak berselang lama perut yang semula utuh itu pun sukses terbelah dua.
"Bovie ," ujar Kim Andres lagi meminta sebuah alat pada perawat Nately.
Andres memasukkan alat itu ke dalam organ di mana tumor tersebut bersarang. Ia berniat untuk membekukan salah satu organ yang terus mengeluarkan darah menggunakan alat itu. Ayana memerhatikan wajah Andres sekilas, lalu kembali terfokus pada pasien. Iris cokelatnya menangkap gerakan lihai tangan Andres yang sedang sibuk mengorek organ itu lebih dalam lagi.
Saat ini gadis itu hanya bertugas sebagai dokter pendamping, membantu Andres untuk mengangkat organ yang menutupi tumor dalam pankreas Tuan Janson. Beberapa saat giliran Ayana yang beraksi, menjahit kembali perut Tuan Janson yang sudah Andres bedah. Jujur Ayana sangat kecewa, dalam hatinya ia berujar bahwa seharusnya dirinyalah yang melakukan aksi heroik itu. Namun bagaimana pun sebagai seorang dokter Ayana harus tetap bersikap bijaksana. Ia tidak boleh egois, yang terpenting saat ini adalah kesuksesan operasi dan keselamatan nyawa pasien.
"Tunggu sebentar dokter Andres, sepertinya ada yang aneh," seru Ayana menghentikan aksi Andres sejenak. Gadis itu mengambil alat penjepit untuk mengangkat organ dalam yang menurutnya terlihat ganjil.
Andres terdiam, tampak begitu ragu dengan tindakan yang sedang Ayana lakukan. Entah mengapa tiba-tiba perasaan buruk menyambangi hatinya.
"Ini aneh, mungkinkah ...."
Crett!
Semburan darah mengenai wajah dan sebagian baju operasi yang dikenakan Ayana. Andres terkejut bukan main, kekhawatirannya benar-benar terjadi. Deru napas Ayana terdengar tidak beraturan, matanya membelalak, tubuhnya kaku seperti baru saja dibekukan. Ini adalah kesalahan pertamanya di ruang operasi.
"Dokter Andres kau bisa mengatasinya?"
Tiba-tiba saja suara dokter Harold menggema di tengah kegentingan yang terjadi di ruang operasi. Ketua medik itu sedang gusar di atas sana. Ia terus memberikan dukungan melalui kata-katanya. Andres mendongak tepat ke arah dr. Harold lalu mengangguk yakin. Pria paruh baya itu mengela napas sedikit lega.
"Kita harus segera melakukan kompresi. Suction!"
Andres meminta alat pengisap, untuk menyurutkan darah yang mulai menggenang di sana akibat pecahnya arteri celiac tadi. Kejanggalan yang dirasa Ayana memang benar adanya. Tadi ia merasa ada gangguan pada salah satu organ yang tertutup gumpalan tumor di bagian pankreas. Semula Ayana hanya ingin memastikan, takut-takut terjadi pembengkakan di sekitar organ hati seperti perkiraannya. Hanya saja siapa sangka, pergerakan tangan Ayana ternyata dinilai kurang tepat. Dia tidak sengaja memecahkan arteri itu dengan alat penjepit yang tadi ia gunakan.
"Tidak apa-apa, operasinya pasti berhasil," gumam Andres menenangkan Ayana.
Pria itu tahu Ayana sedang tertekan. Dokter juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Ini wajar meski risiko yang harus ditanggung sangat besar. Ayana menatap Andres sedang sibuk memperbaiki kesalahannya. Ini kali pertama bagi Ayana mendengar ungkapan Andres yang tak membuatnya kesal. Entah karena suasana hatinya yang sedang kalut atau memang ungkapan Andres itu benar-benar tulus. Yang jelas Ayana yakin, Andres sedang khawatir akan keadaan psikisnya. Andres menggunakan alat jepit untuk menghentikan pendarahan, rupanya itu berhasil menghentikan pendarahan.
"Tanda vital?" tanya Andres memastikan kondisi vital yang sebelumnya tidak stabil akibat ketidaksengajaan Ayana.
"Saturasi, denyut jantung, dan tekanan darahnya sudah kembali normal sekarang," jelas Lucas cepat, helaan nafas lega pun terembus dari masing-masing petugas yang ikut terlibat dalam operasi ini.
Entah bagaimana nasib mereka semua jika sana Andres tidak bisa menangani masalah tadi dengan baik.
"Aku akan memotong arteri celiac pada sisi kanan dari klem," tambah Andres lagi memutuskan tindakan selanjutnya setelah ia mengetahui kondisi vital pasien yang sudah normal.
Salah satu perawat mengusap peluh yang bercucuran di dahi Andres, pria itu tidak menolak. Ia masih sangat fokus melaksanakan tugasnya. Kejadian menegangkan barusan begitu memacu semangat Andres untuk mengerahkan seluruh kekuatannya guna kelancaran operasi. Andres sedang menjahit bekas arteri yang sebelumnya sudah ia potong. Gerak tangannya terlihat sangat luwes, tak sedikit pun detak gugup mengganggu konsentrasinya.
"Sekarang kita akan mengeluarkan tumornya, bovie!"
Cipratan darah itu masih membasahi wajah Ayana. Tak sedikit pun ia bergeser dari posisinya, gadis itu hanya diam meratapi kebodohannya. Ia nyaris menjadi seorang pembunuh. Operasi hampir selesai, dan sejauh ini semuanya terbilang baik-baik saja.
"Kontrol perdarahan dan selesaikan operasinya. Kamu tidak perlu aku untuk itu, bukan?" titah Andres pada Ayana.
Gadis itu menatapnya terkejut. Andres menepuk pundak Ayana dua kali lalu meninggalkan ruang operasi lebih dulu. Semua perawat di sana tersenyum lega dan saling memuji satu sama lain.
"Maaf Dok, semua ini memang salah saya."Ayana menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Ayana tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya. Ayana sedang berada di ruang kerja dokter Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang."Duduklah dokter Ayana,” titah dokter Harold ramah.Pria berambut ikal halus ini memang terkenal ramah. Semarah apa pun atau sebesar apa pun rasa kecewanya terhadap seseorang, ia tidak pernah menunjukkannya secara gamblang. Semampunya dokter Harold selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Ayana tergelak, ia menuruti perintah dokter Harold untuk duduk meski ragu."Sekali lagi maafkan saya.""Jika kamu menyesal, ubahlah sifat burukmu itu Ayana."Dokter Harold meletakan kedua tangan kekarnya di ata
"Sudah lama?" tanya Ayana menghampiri Willy."Belum, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Ayana."Willy mulai menggombal, Ayana tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya. Willy mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Ayana kemudian merengkuh kekasihnya erat."Ahh, aku rindu sekali pelukan wanita manja ini," tutur Willy, menyimpan dagunya pada puncak kepala Ayana."Aku juga rindu kamu,Wil. Kamu tahu, akhir-akhir ini Andres kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," rajuk Ayana sambil mengeratkan pelukannya.Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka."Dia memang menarik, aku jadi ingin kenal lebih dekat dengannya.”"Itu ide tergila yang pernah aku dengar. Sebaiknya kamu tarik kata-katamu barusan,Wil. Kamu pasti menyesal.""Kenapa?
"Kamu masih kesal padanya?" tanya Willy.Saat ini ia dan Ayana sedang berada dalam perjalanan pulang. Setelah sebelumnya pasangan kekasih itu sempat meluangkan waktu mereka untuk makan malam di restoran langganan mereka yang ada di kawasan Soho, Manhattan."Tentu, dia pasti merekam kita saat ciuman tadi,Wil. Bagaimana kalau dia menyebarkan foto atau video ciuman kita? Aku harus bagaimana?”"Tidak usah dipikirkan, tenang saja, semua itu tidak akan terjadi. Dokter Andres tidak akan melakukannya.""Kamu tidak tahu saja betapa menyebalkannya pria itu, dia orang sinting yang rela melakukan apa saja demi melihatku kesulitan.""Dokter Andres benar, sepertinya kamu memang tahu banyak tentangnya.”"Oh God, jangan bilang kamu cemburu padanya,Wil?""Jika benar, memangnya kenapa?"Ayana terkekeh geli. Wanita itu tidak habis pikir bagaimana bisa Willy cemburu akan hubungan uniknya dengan Andres. Ini seperti
Willy Tolimson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang di San Capital Corporation, perusahaan milik keluarganya. Ia menjabat sebagaimanajer keuangan di sana. Terlahir dari pasangan Calvin Tolimson dan Dyana, membuat kehidupan Willy begitu diberkati dengan materi yang melimpah. Sejak kecil pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Willy justru sangat menikmati kehidupannya. Ia mencintai keluarganya, juga segala aturan yang berlaku di sana. Terlepas dari segala kesenangan hidup yang Willy punya, pria itu tengah menatap kertas undangan pernikahannya dengan lekat. Ia memejamkan mata dan menghempaskan tubuhnya ke sebuah sofa panjang yang ada diruang kerja pribadinya."Apa yang harus kulakukan?" desahnya frustrasi.Menjelang hari pernikahan yang tinggal satu minggu lagi suasana
"Selamat pagi," sapa beberapa penghuni di ruang kerja tim satu departemen HPB.Mereka menyambut Ayana dengan baik meski ada beberapa yang tak menganggap kehadirannya. Ayana tersenyum kikuk. Ia belum terbiasa bekerja di tim itu walau sudah satu minggu ia bergabung di sana."Dokter Ayana, katanya minggu depan dokter akan menikah, ya?” tanya Gerald, salah seorang dokter di sana."Iya, benar. Kalian mau datang?" tanya Ayana mencoba seramah mungkin.“Bolehkah? Kalau tidak keberatan tentu kami mau datang ke pernikahan Anda, Dok,” sahut Gerald langsung disepakati tiga rekannya yang ada di sana, mereka juga tertarik untuk datang ke pernikahan Ayana.“Tentu saja boleh, nanti aku berikan undangan pada kalian, tunggu saja. Oh ya, dokter Andres mana?” tanya Ayana tiba-tiba membuat tiga orang di sana saling tatap heran.Kabar perseteruan Ayana dan Andres sangat melegenda di rumah sakit itu, jadi wajar kalau setiap departemen
Ayana sedang sibuk menyiapkan acara pernikahannya. Mulai dari vendor, EO, dekorasi, dan hal-hal terkecil untuk pernikahannya diatur oleh gadis itu. Willy dan orang tuanya sedang ada di Indonesia, tiga hari sebelum pernikahan Willy pamit ke Indonesia pada Ayana untuk mengurus bisnis di sana.Sejauh ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana, tidak ada kendala berarti yang memusingkan sang empunya hajat. Jika dipersentasekan mungkin persiapan pernikahan Ayana sudah mencapai angka 95%. Ayana sangat bahagia, tidak menyangka jika hubungannya dengan Willy yang baru berjalan satu tahun ini bisa berujung di pelaminan. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi istri yang baik untuk Willy. Kepala gadis itu sudah dipenuhi oleh rencana-rencana indah yang siap ia realisasikan usai menyandang status sebagai istri sah Willy Tolimson.Sudah satu minggu Ayana tidak berhubungan dengan Willy. Rencananya Willy dan keluarga baru akan terbang ke New York besok pagi. Mengingat acara per
Katedral St. Patrick08.35 amKatedral St. Patrick, bangunan bergaya Neo-Gothic ini terletak di kawasan Midtown Manhattan, New York City. Sekitar setengah jam perjalanan dari kediaman Ayana yang berada di pemukiman Civic Center. Gereja rancangan James Renwick Jr. Dan Wiliiam Rodrigue ini akan menjadi saksi penyatuan cinta Ayana dan Willy. Ya, tepat di hari sabtu agung ini keduanya akan mengucap janji suci. Dihadiri puluhan orang, yang terdiri dari kerabat juga rekan kerja keluarga Ayana.Tidak banyak kerabat Willy yang hadir. Semua tamu sudah memasuki gedung katedral. Duduk di kursi panjang yang berjejer di ruang utama. Katedral ini memang sudah sangat mewah. Tanpa perlu dihias secara berlebihan tempat agung bagi umat Kristen dan Khatolik itu sudah sangat memanjakan mata. Sebuah piano klasik berwarna hitam legam sudah ditempatkan di dekat altar, Daniel –bocah cilik itu yang akan memainkannya nanti. Khusus untuk acara penti
Hai, Ayana ...Ini hari ketujuh kita tidak saling menyapa. Seharusnya kita bertemu sekarang, berdiri di depan altar dan mengucap janji sehidup semati. Kamu pasti sangat cantik, sayang aku tidak bisa melihat kecantikanmu saat mengenakan gaun pengantin. Membayangkannya saja sudah membuatku senang, apalagi jika aku berada di sana.Hhh, apa yang sedang aku lakukan sekarang? Memuji padahal aku sedang menyakitimu. Maaf, tolong maafkan manusia bodoh dan brengsek ini. Aku tidak bisa menjadi mempelai priamu. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk membahagiakanmu, aku tidak bisa menjadi rumah untuk hatimu berpulang jika ia lelah.Bukanaku orang yang tepat untuk menjadi pelipur laramu, jangan menangis karena ini juga menyakitkan bagiku. Kamu sudah melihat fotonya? Jika kamu bertanya mengenai kebenaran akan hal itu, maka aku jawab ya, itu benar. Seperti yang kamu lihat, aku sudah menikah. Dia Hera, istri sahku. Wanita yang sedang
Butir-butir salju melayang di udara bagai dendelion yang tertiup angin. Mendarat dengan tenang di setiap tempat sedikit demi sedikit hingga menciptakan tumpukan yang menggunung menutupi badan jalan. Gundukan putih itu bertengger di atap-atap gedung dan menyampir pada dahan pepohonan. Secangkir cokelat panas tersaji di atas meja, bersebelahan dengan laptop, tumpukan berkas-berkas dan peralatan kerja lainnya. Kepulan asap putih mengudara, meliuk dengan lihai menuju rongga hidung seseorang yang tengah menatap lekat turunnya salju pertama dari balik kaca besar yang menjadi dinding ruangan di lantai dua belas itu. Orang itu kemudian memejamkan mata, menghirup aroma harum dari minumannya yang terus menggodanya untuk beralih tempat. Dan meminum cokelat hangat yang tersimpan di belakangnya itu. Tapi tidak, ia belum mau beranjak dari tempatnya. Tangan orang itu masih disimpan di atas perut, helaan napas terembus tepat di depan kaca itu hingga menimbulkan embun yang mengendap. Membuat kaca men
Flashback ..."Hei tunggu!" cegah Andres saat dia mendapati Ayana ingin menghindarinya lagi. Ayana berhenti dengan tangan terangkat seperti penjahat yang menyerah saat dikepung polisi. Andres berjalan mendekati Ayana, ia berdiri di hadapan gadis itu."Hm ... kamu menghindariku lagi?" dakwa Andres berlaga marah sambil melipat tangannya di atas perut."Ti-tidak, mungkin hanya perasaan Sunbae saja," jawab Ayana gelagapan dan menutup perkataannya dengan nyengir kuda. Andres menyelidik, ia menaruh curiga yang cukup besar pada dokter junior itu."Kamu pikir aku bodoh?""Tidak, kamu sangat pintar, Kak! Ups," jawab Ayana menyentak, refleks ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya."Ck, lihat wajahmu memerah!""Kamu malu?" goda Andres elegan."TIDAK!" bentak Ayana lantang kali ini kedua tangannyalah yang sudah membungkam mulut lo
Flashback "Kamu sayang pada Ibu?"Andres mengangguk pasti dengan senyum cerah. Seminggu setelah kepergian ayahnya, Andres meminta kakek Jo untuk membawanya ke rumah Gyana Tolimson. Semula kakek Jo melarang Andres dan bersikeras tidak mau memberitahu keberadaan ibu Andres. Tapi anak itu tak lelah membujuk kakek Jo hingga hati lembut kakek itu luluh dan menyetujui keinginan Andres. Dan di sinilah dia sekarang, berdiri di depan ibu kandungnya yang sudah sembilan tahun tidak ia lihat. Hari ini adalah hari ulang tahun Andres yang ke sembilan. Bertemu dengan ibunya menjadi kado terindah di tengah bayang-bayang kesedihan setelah Hendra pergi."Aku merindukanmu, Ibu. Aku sangat menyayangimu sama seperti aku menyayangi Ayah.""Kalau begitu kamu rela melakukan apapun untuk Ibu?"Andres mengangguk lagi dan ibunya pun tersenyum nanar. Wanita itu mengelus puncak kepala Andres lalu mencium kening
Tiga bulan kemudian ...Langkah cepat kedua kaki Willy membawa tubuh pria itu terhuyung tidak stabil saat berlari. Beberapa orang yang tertabrak olehnya mengeluh, akan tetapi Willy tidak menghiraukannya. Pria itu masih menggenggam sepucuk surat yang diberikan Ayana, saat pria itu mengunjunginya tadi. Gadis itu mengatakan sesuatu yang sulit diterima nalar. Sesuatu yang mustahil dan terdengar gila. Akhirnya pria itu tiba di konter informasi rumah sakit, ada sesuatu yang harus ia tanyakan di sini. Pria bernama Kevin membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak dengan lelucon tidak masuk akal yang ia buat."Aku ingin mengetahui profil pendonor sumsum tulang belakang dari pasien Willy yang melakukan operasi beberapa waktu lalu," pinta Willy langsung tanpa basa-basi."Boleh tahu ini dengan tuan siapa?""Aku Willy, pasien yang menerima donor itu. Cepat carikan informasinya untukku!""Baiklah, mohon tunggu sebentar."Perawat itu pun meme
TeruntukAyana Jasmine, istriku.(Ah, mungkin saat kamu membaca surat ini kamu telah resmi menjadi mantan istriku. Bagaimana, apa kamu sudah menandatangani surat perceraian kita?)Dada Ayana sesak, pertanyaan Andres kembali menggores satu garis luka dalam hatinya. Air mata itu mengalir ke samping pipi, posisi berbaring Ayana yang menyebabkannya.(Atau mungkin dugaanku salah? Jika seandainya surat ini sampai padamu, itu berarti sesuatu yang buruk sedang menimpamu. Dan aku harus menjadi orang pertama yang patut kau bunuh. Jika keadaan buruk itu tak kunjung usai. Ayana ... astaga aku bingung harus menulis apa. Aku tidak biasa melakukan hal menggelikansepertiini. Tapi aku akan tetap mencobanya. Baiklah, pertama aku akan jujur padamu. Aku melihatnya, melihat kejadian yang membuat dadaku tertusuk meski tidak mengeluarkan darah.Tapi rasanya sungguh perih.)(Saat kamu memeluk dan mencium Willy, aku menyaksikan
Air mata Ayana tidak berhenti menetes sejak satu jam lalu sampai sekarang. Matanya menatap kosong pada selembar kertas yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Kakek Jo berdiri dengan gusar sambil memegangi gagang telepon. Amarahnya selalu meledak saat operator memberi pemberitahuan bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak aktif. Juno memeluk ibunya takut melihat kemarahan sang kakek buyut. Suara cegukan Yena yang sedang menangis terdengar begitu keras. Gadis itu menangis di samping Ayana sambil memeluk ibu tirinya erat.Berulang kali Yena meminta Ayana untuk tidak menangis. Menyuruh wanita cantik itu untuk bicara namun Ayana terus membisu bersama dengan linangan air mata. Hal itu membuat Yena sedih, gadis kecil itu turut merasakan luka ibu tirinya. Surat perceraian yang sudah ditanda tangani Andres terus melambai-lambai, menggoda Ayana untuk segera merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Lebih dari itu, hati Ayana menginterupsi untuk segera membakarnya hingga musnah.
Satu minggu kemudian ..."Kamu yakin dengan keputusan ini?""Aku tidak pernah seyakin ini."Kevin mendesah kasar, pria yang memiliki bibir tipis itu menarik surai pendeknya frustrasi."Lalu bagaimana dengan Yena dan Ayana?" Andres tersenyum getir, ribuan hal berputar dalam benaknya saat ini. Pria itu sudah menimbang keputusan selama satu pekan dan ini adalah hasil akhirnya."Mereka akan hidup dengan bahagia, tentu saja." Andres berjalan ke arah lemari pakaiannya, melanjutkan kegiatan berkemas yang memang sedang ia lakukan sejak tadi sampai Kevin datang untuk mengusiknya."Jika begini terus kamu akan benar-benar kehilangan Ayana. Kamu tahu?""Oleh sebab itulah aku melakukan ini."Kevin terlampau kesal, ia menarik koper Andres lalu membuangnya sembarangan. Baju-baju dan beberapa barang Andres berserakan di lantai, sang empunya barang hanya mematung sambil memutar bola matanya pasrah."Ada apa deng
"Bagaimana kamu sudah mengambil keputusan?""Belum, aku masih mempertimbangkannyadokterHarold.""Kalau begitu, minta pendapat Ayana. Oh, tunggu, jangan bilang jika kau belum memberitahunya tentang hal ini?""Begitulah.""Sudah kuduga. Haruskah aku yang menjelaskannya pada Ayana?""Tidak, jangan pernah. Serahkan saja padaku. Maaf karena membuatmu terlalu lama menunggu.""Aku harus segera merekap semua anggota yang ikut Bum. Pastikan kau segera mengabariku, tolong garis bawahi 'secepatnya'.""Baiklah."Plip"Huh,timingyang sangat tepat," desah Andres setelah mengakhiri panggilan itu."Sekarang bagaimana, Astaga!" pekik Andres terkejut saat seorang wanita menabraknya tanpa sengaja hingga membuat ponsel yang dipegangnya terjatuh. Wanita yang tadi berjalan begitu tergesa itu langsung menurunkan posisinya dan meraih ponsel Andres."Maafkan aku anak muda. Sun
Tubuh pria itu masih terbaring kaku di atas ranjang dengan selang infus yang menjuntai dari atas tiang penyangga dan mendarat di sekitar pergelangan tangan Willy. Ayana menutup pintu itu hati-hati karena tidak ingin membangunkan Willy yang masih memejamkan matanya dengan damai. Jarak dari pintu masuk dan ranjang pasien hanya berkisar tiga meter saja, tapi entah mengapa bagi Ayana itu terlalu jauh. Ia berjalan dengan peluh dan air mata yang bercucuran. Lembaran-lembaran masa-masa indah dengan pria itu kembali terbuka. Penyesalan menjadi perasaan yang merajai hatinya.Tangan gemetar Ayana terangkat untuk menyentuh pipi tirus yang menonjolkan tulang-tulang sekitar area itu. Satu tetes air mata kembali terjun, dulu pipi itu sangat berisi dan menjadi sasaran empuk untuk Ayana cubiti. Tanpa sengaja Ayana menyentuh lalu mengelus pipi itu, pergerakan tangan Ayana mengusik lelap Willy. Hingga akhirnya ia tersadar dan sangat terkejut ketika disuguhi mimpi yang teramat indah. Kehadiran