Angin berembus perlahan melalui jendela kayu sederhana. Mengibarkan kelambu putih dengan Rendra bunga-bunga warna ungu. Pagi setengah siang sudah mulai panas. Terik matahari menerobos lurus melalui ventilasi rumah sederhana milik keluarga Mr. Khotim. Rumah awal dari sebuah perjalanan keluarga Pak Khotim sebelum memiliki rumah megah nan mewah di depannya. Pintu masih tertutup rapat sebab pesan dari Pak Khotim jangan sampai membuka pintu sebelum dia datang. Rindu dan Bu Juariah tentu sangat mematuhinya. “Ibu kenapa perasaanku menjadi sangat tidak enak ya. Ada apakah ini Ibu? Aku seperti mengenal perasaan ini. Pernah rasa ini timbul sebelum kepergian Mas Danang dahulu,” Rindu memegang gelas berisi susu hangat di tangannya. Berjalan dengan tongkat jalan. Kali ini Rindu sudah berani berjalan dengan sebuah congkok alat bantu jalan. Perlahan Rindu berjalan penuh kehati-hatian menuju ruang tamu. Rindu begitu gusar tak tahu ada apa dan tetap merasakan ketidakpastian pada rasa hatinya. “En
Tap, tap, Langkah kaki Raja seakan berbicara pada tanah yang diinjak oleh sepatunya. Sampai angin juga ikut berdesis membisikkan derap kaki per jengkal yang dibuatnya. “Aku datang kawan bersiaplah!” bisik Raja pada seluruh alam yang menyertainya saat berjalan. Ketika Raja datang menginjakkan kaki di pelataran halaman rumah kecil yang disewa oleh Nona Ana. Matanya bagai elang lapar siap menukik mangsanya di lautan luas. Tegap kakinya menjejak tanah halaman rumah sewa Nona Ana. Begitu kukuh bagai langkah singa mengintai mangsa. Ayunan lengannya tampak kokoh bagai lengan cita tengah memburu mangsanya. “Woi dia sudah datang lihat teman-teman tokoh utama kita. Raja Si Raja MMA kota Bangzo telah tiba. Mari-mari Raja kita bermain permainan ring seperti dahulu. Saat kita masih bersua tanding dalam satu ring. Mari kita lihat apa kau sekuat dahulu,” ucap salah satu petarung dati sekian banyak petarung yang berkerumun di teras. Satu petarung itu bercanda ria sambil berjalan santai ke arah
Prak, “Sedang apa kau penyandang jabatan Dokter gadungan. Sedang apa kau Agus pemuda mantan kekasih Istriku saat SMA. Sedang apa kau lelaki bejat yang menodai istri orang!” teriak Raja langsung berdiri. Ketika Agus melayangkan tongkat bisbol ke arah kepala Raja. Memang tongkat bisbol tersebut mengenai kepala Raja. Tapi ada dua tangan Raja yang sigap menangkap arah ayunan tongkat bisbol. Bahkan tongkat bisbol sampai patah menjadi beberapa bagian. Raja teramat murka kali ini pada Agus. Bahkan Raja menatap Agus penuh dengan rasa kebencian teramat dalam. Sekarang tubuh Agus terangkat oleh Raja dengan satu tangannya yang telah mencengkeram kerah baju Agus. Ada rasa kengerian dari raut wajah Agus yang sedang berusaha melepaskan genggaman tangan Raja. Tetapi sia-sia saja Raja lekas melemparnya ke arah halaman. “Kau memang Raja dari Rajanya petarung kota Bangzo wahai Raja. Tetapi apakah seorang manusia bisa menghindari kecepatan peluru yang terlontar dari moncong pistol ini. Bahkan cita
“Ayah bangunlah aku masih mencintaimu Ayah. Maafkan Bunda yang sudah tak bisa menjaga kesucianku sebagai seorang istri. Tapi sungguh dalam hati ini masih ada kamu sayangku. Ayah bangunlah anak kita masih dalam kandunganku!” teriak Rindu terduduk lemas di depan gapura masuk pagar rumah sewa Nona Ana. Namun Raja masih terdiam dalam terkaparnya. Raja terkapar dengan dada terinjak kaki oleh Nona Ana. Bahkan berulang kali Nona Ana menembakkan peluru dari pistol yang ia genggam. Sambil terus tertawa jahat simbol dari kemenangannya. Pelataran depan rumah sewa Nona Ana semakin menangis. Suasana semakin muram banyak darah tertumpah bercampur genangan air. Sebab hujan masih terus mengguyur dari langit. Semua sebab perilaku Nona Ana yang sangat ambisius. Semua sebab perilaku atau perbuatan Nona Ana yang tak pernah puas dengan kepuasan satu lelaki saja. Sehingga korban berjatuhan di pelataran rumah sewa. “Sudah Rindu jangan ke sana terlalu berbahaya. Relakan saja ini semua sudah terjadi dan m
“Kau memang pantas duduk di kursi belakang mobil patroli Nona Ana. Walau terlalu ringan hukuman sebenarnya untukmu. Tapi negara kita adalah negara hukum. Jadi biar pihak yang berwajib memutuskan hukuman untukmu,” ucap Agung sambil memeluk Santi. Menatap kepergian Nona Ana yang tengah dibawa mobil patroli duduk di belakang.“Semua sudah selesai Agung dan kita juga harus meninggalkan kota ini. Mengenai jasad Ayah dan Ibu yang tengah dibawa pihak kepolisian. Aku sudah menelepon Paman Wahyu untuk mengurusnya,” timpal Raja yang jua memeluk Rindu di sampingnya. Mereka masih berdiri di depan pagar paling luar rumah sewa Nona Ana. Menatap kepergian mobil patroli milik kepolisian yang membawa Nona Ana pergi. Dari kejauhan Nona Ana tampak begitu murung diapit beberapa polisi yang ikut duduk di sampingnya. Bahkan pihak kepolisian sangat berterima kasih pada Raja dan Agung. Karena merekalah pihak kepolisian bisa kembali menangkap seorang residivis wanita kelas kakap dengan jaringan internasiona
“Loh, loh, Mbak Rindu jangan! Siapa kalian?” teriak Santi melihat Rindu tiba-tiba di dekap dua orang tak dikenal dari belakang. Santi secara langsung kaget akan suasana yang semula tenang. Kini berubah menjadi panik di depannya. Rindu yang semula berdiri di sampingnya. Secara mengejutkan ada dua orang lelaki bertubuh kekar penuh tato. Berpenampilan layaknya preman tib-tiba mendekapnya dari belakang. Membungkam Rindu dan menjambak rambut Rindu secara kasar. Bahkan saat Rindu meronta-ronta dua lelaki itu tak memedulikan dan terus menyeret Rindu. Santi tampak kebingungan sebab mau berteriak ke arah Agung dan Raja yang sedang menikmati suasana tenggelamnya matahari di depan mobil. Tapi Santi juga malah di dekap lelaki tak di kenal yang lainnya. Ternyata lelaki itu berjumlah banyak. Ada satu lelaki berewok namun cenderung lebih kecil tubuhnya dari yang lain. Tetapi seakan dialah yang memegang kendali atas sepuluh preman yang datang secara tiba-tiba. Lelaki yang lebih pendek dari sepuluh
“Hai datangmu sudah telat kawan tolong menunggu antrean. Bahkan ini sudah urutan yang ke sembilan. Sabar dahulu tunggu dua orang lagi baru giliranmu,” oceh Jampang saat melihat Agung berdiri pas di muka tangga penghubung lantai atas dan lantai pertama rumah kosong dimanah Santi tengah dieksekusi kelompok Jampang. Santi sudah berada dalam keadaan begitu lemas tak berdaya. Bahkan untuk berbicara saja Santi sudah tidak kuat membuka bibirnya. Tubuhnya sudah penuh luka memar dan luka gigitan serta bekas merah-merah. Wajah Santi sudah begitu pucat-pasih dan lunglai tak berdaya. Tali ikatan yang semula melilit seluruh badannya juga sudah dilepaskan. Bahkan untuk menoleh ke arah Agung Santi tak mampu lagi. Hanya suara mengaduh kesakitan sebab terus menerima serangan hebat dan terus berganti dari para anak buah Jampang. Agung tampak begitu marah bercampur kesal. Kedua tangannya mengepal membuat simbol pukulan. Agung tak kuasa melihat kekasihnya yang tengah tak berbusana dipaksa lelaki lain
Ban mobil Raja terus berputar meninggalkan desa Semenanjung. Air matanya mulai menetes perlahan membasahi pipinya yang kasar. Sedangkan Rindu berusaha mengusap air mata Raja yang jatuh. “Sayang sudah berhentilah bila tujuan kita hannyalah kematian dan tiada ujung pangkal. Lebih baik kita menepi di satu tempat di sebuah desa kecil. Tanpa ada yang tahu sebenarnya siapa kita berdua. Agung dan Santi juga sudah memutuskan untuk pergi,” ucap Rindu mengelus pundak Raja dan Rindu duduk di samping Raja yang tengah mengemudi. “Benar katamu istriku tak selamanya Agung dan Santi bersama kita. Sejak melawan Codet aku jadi memahami. Kasihan kalian berdua wanita-wanita kami. Selalu tersiksa menjadi sasaran empuk para musuh. Memang langkah Agung sudah benar membawa Santi pergi. Tetapi hatiku ini yang menganggap Santi sudah sebagai adik sendiri. Sanggatlah sedih melepas kepergian mereka,” jawab Raja dengan aura wajah begitu pilu. Mobil Raja terus melaju tanpa arah menyusuri sebuah jalanan sepi teru