“Ayah bangunlah aku masih mencintaimu Ayah. Maafkan Bunda yang sudah tak bisa menjaga kesucianku sebagai seorang istri. Tapi sungguh dalam hati ini masih ada kamu sayangku. Ayah bangunlah anak kita masih dalam kandunganku!” teriak Rindu terduduk lemas di depan gapura masuk pagar rumah sewa Nona Ana. Namun Raja masih terdiam dalam terkaparnya. Raja terkapar dengan dada terinjak kaki oleh Nona Ana. Bahkan berulang kali Nona Ana menembakkan peluru dari pistol yang ia genggam. Sambil terus tertawa jahat simbol dari kemenangannya. Pelataran depan rumah sewa Nona Ana semakin menangis. Suasana semakin muram banyak darah tertumpah bercampur genangan air. Sebab hujan masih terus mengguyur dari langit. Semua sebab perilaku Nona Ana yang sangat ambisius. Semua sebab perilaku atau perbuatan Nona Ana yang tak pernah puas dengan kepuasan satu lelaki saja. Sehingga korban berjatuhan di pelataran rumah sewa. “Sudah Rindu jangan ke sana terlalu berbahaya. Relakan saja ini semua sudah terjadi dan m
“Kau memang pantas duduk di kursi belakang mobil patroli Nona Ana. Walau terlalu ringan hukuman sebenarnya untukmu. Tapi negara kita adalah negara hukum. Jadi biar pihak yang berwajib memutuskan hukuman untukmu,” ucap Agung sambil memeluk Santi. Menatap kepergian Nona Ana yang tengah dibawa mobil patroli duduk di belakang.“Semua sudah selesai Agung dan kita juga harus meninggalkan kota ini. Mengenai jasad Ayah dan Ibu yang tengah dibawa pihak kepolisian. Aku sudah menelepon Paman Wahyu untuk mengurusnya,” timpal Raja yang jua memeluk Rindu di sampingnya. Mereka masih berdiri di depan pagar paling luar rumah sewa Nona Ana. Menatap kepergian mobil patroli milik kepolisian yang membawa Nona Ana pergi. Dari kejauhan Nona Ana tampak begitu murung diapit beberapa polisi yang ikut duduk di sampingnya. Bahkan pihak kepolisian sangat berterima kasih pada Raja dan Agung. Karena merekalah pihak kepolisian bisa kembali menangkap seorang residivis wanita kelas kakap dengan jaringan internasiona
“Loh, loh, Mbak Rindu jangan! Siapa kalian?” teriak Santi melihat Rindu tiba-tiba di dekap dua orang tak dikenal dari belakang. Santi secara langsung kaget akan suasana yang semula tenang. Kini berubah menjadi panik di depannya. Rindu yang semula berdiri di sampingnya. Secara mengejutkan ada dua orang lelaki bertubuh kekar penuh tato. Berpenampilan layaknya preman tib-tiba mendekapnya dari belakang. Membungkam Rindu dan menjambak rambut Rindu secara kasar. Bahkan saat Rindu meronta-ronta dua lelaki itu tak memedulikan dan terus menyeret Rindu. Santi tampak kebingungan sebab mau berteriak ke arah Agung dan Raja yang sedang menikmati suasana tenggelamnya matahari di depan mobil. Tapi Santi juga malah di dekap lelaki tak di kenal yang lainnya. Ternyata lelaki itu berjumlah banyak. Ada satu lelaki berewok namun cenderung lebih kecil tubuhnya dari yang lain. Tetapi seakan dialah yang memegang kendali atas sepuluh preman yang datang secara tiba-tiba. Lelaki yang lebih pendek dari sepuluh
“Hai datangmu sudah telat kawan tolong menunggu antrean. Bahkan ini sudah urutan yang ke sembilan. Sabar dahulu tunggu dua orang lagi baru giliranmu,” oceh Jampang saat melihat Agung berdiri pas di muka tangga penghubung lantai atas dan lantai pertama rumah kosong dimanah Santi tengah dieksekusi kelompok Jampang. Santi sudah berada dalam keadaan begitu lemas tak berdaya. Bahkan untuk berbicara saja Santi sudah tidak kuat membuka bibirnya. Tubuhnya sudah penuh luka memar dan luka gigitan serta bekas merah-merah. Wajah Santi sudah begitu pucat-pasih dan lunglai tak berdaya. Tali ikatan yang semula melilit seluruh badannya juga sudah dilepaskan. Bahkan untuk menoleh ke arah Agung Santi tak mampu lagi. Hanya suara mengaduh kesakitan sebab terus menerima serangan hebat dan terus berganti dari para anak buah Jampang. Agung tampak begitu marah bercampur kesal. Kedua tangannya mengepal membuat simbol pukulan. Agung tak kuasa melihat kekasihnya yang tengah tak berbusana dipaksa lelaki lain
Ban mobil Raja terus berputar meninggalkan desa Semenanjung. Air matanya mulai menetes perlahan membasahi pipinya yang kasar. Sedangkan Rindu berusaha mengusap air mata Raja yang jatuh. “Sayang sudah berhentilah bila tujuan kita hannyalah kematian dan tiada ujung pangkal. Lebih baik kita menepi di satu tempat di sebuah desa kecil. Tanpa ada yang tahu sebenarnya siapa kita berdua. Agung dan Santi juga sudah memutuskan untuk pergi,” ucap Rindu mengelus pundak Raja dan Rindu duduk di samping Raja yang tengah mengemudi. “Benar katamu istriku tak selamanya Agung dan Santi bersama kita. Sejak melawan Codet aku jadi memahami. Kasihan kalian berdua wanita-wanita kami. Selalu tersiksa menjadi sasaran empuk para musuh. Memang langkah Agung sudah benar membawa Santi pergi. Tetapi hatiku ini yang menganggap Santi sudah sebagai adik sendiri. Sanggatlah sedih melepas kepergian mereka,” jawab Raja dengan aura wajah begitu pilu. Mobil Raja terus melaju tanpa arah menyusuri sebuah jalanan sepi teru
Lembabnya area pemakaman desa Lembayung malam ini. Menaburkan aroma-aroma bau anyir darah. Mengudarakan suasana mistis yang begitu kental. Malam agak buta dengan gerimis turun berdaya rintik sedang. Menambah muram sekitar pemakaman belakang desa dengan rimbunnya pepohonan buah Maja. “Ayah kakak itu tertawa padaku duduk di atas pohon. Bajunya putih agak compang-camping dan rambutnya panjang. Ayah dia melambaikan tangan mengajakku bermain,” ucap seorang gadis kecil memberi rahu Ayahnya yang sedang mengikuti acara pemakaman Nenek Lembayung. “Sudah jangan dilihat itu bukan manusia anakku,” jawab Si Ayah. Raja yang berada di dekat mereka. Mengetahui jikalau yang dilihat gadis kecil itu adalah sosok kuntilanak. Raja mendekati Ayahnya sambil terus memandang si kuntilanak. Lalu kuntilanak itu terbang menjauh dari pohon besar yang ada di dekat mereka. “Pak kenapa adik kecil cantik ini di ajak menghadiri pemakaman. Nanti kalau adik kecil cantik ini sawan bagaimana? Sebaiknya Bapak pulang sa
Sore hari setelah magrib tiba Raja tampak rapi. Memakai baju kokoh dengan bawahan sarung hitam bermotif batik. Plus peci hitam melekat menutup rambutnya yang sudah agak panjang. Raja berdiri di samping Joni yang tengah menyambut warga yang datang. Sedangkan Rindu dan Nani istri Joni bersama Ibu-Ibu yang lain. Berada di ruang tengah bersiap-siap untuk menyiapkan suguhan makanan dan jajanan bagi warga nantinya. Mereka sedang mengadakan pengajian haru pertama atas meninggalnya Nenek Lembayung. “Silakan Pak di dalam masih longgar. Duduk di dalam saja dahulu kalau sekiranya di ruang tamu sudah tak muat. Biar nanti saya gelar tikar di teras dam halaman. Silakan Pak di dalam saja masih longgar,” seru Raja pada beberapa warga yang datang dan memilih untuk duduk di teras. Sedangkan di dalam ruang tamu masih kosong. “Benar Pak di dalam saja duduknya masih longgar. Nanti semua pada di luar yang di dalam ruang tamu malah enggak ada lagi. Mending di dalam saja Pak dahulu,” timpal Joni menambahk
Angin mulai membabi buta bertambah kencangnya. Seiring tahlil dan doa serta selawat yang terus dilafazkan warga di rumah Nenek Lembayung. Pepohonan perdu dan akasia sepanjang jajaran tepi jalan utama desa depan rumah Almarhum Nenek Lembayung. Semakin bergoyang atas dahan dan dedaunan. “Apa ini gawat!” teriak salah satu warga yang tak kuasa menahan ketakutannya. “Terus berzikir jangan berhenti Bapak-Bapak. Setan tak akan mempan menggoda kita. Bila kita terus melafazkan kalimat-kalimat Allah,” ucap Pak Muddin meyakinkan warga. Sedangkan Raja telah berdiri di atas padi nan luas yang jua terus bergoyang tertiup angin. Namun Raja tetap santai berdiri di atas bunga-bunga padi yang menguning. Ada dua sosok yang sudah berdiri di depannya. Sosok tengkorak kembar yang sebenarnya adalah dua sosok manusia pengabdi setan. “Kalian ternyata,” sedikit ucapan Raja sambil menyulut puntung rokok yang tinggal separuh. Beberapa saat lalu ia sengaja mematikan api rokok diujung batangnya. Agar bisa dihi